wartawan singgalang

Minggu, 13 April 2014

Sering Mancing Belut dan Ikan Puyu

Sering Mancing Belut dan Ikan Puyu

    Mencari belut dan ikan puyu termasuk mainan yang aku sukai selama lima tahun mondok di Darul 'Ulum, Padang Magek, Tanah Datar. Sewaktu tinggal di Surau Tabiang, Kandar Koncen acap membawaku memancing belut di sawah. Begitu juga Uda Hendri, anak Rambatan yang sering tidur di surau itu juga pernah mengajak aku menangkap belut dengan lukah. Saat kelamaan nangkap belut sama Kandar Koncen, anak Pasa Usang itu sempat aku libur ngaji. Akibatnya, Tuo Zamzami dan Ajo Mael berang. Guru itu memarahi kami. Sebab, tujuan ke Padang Magek bukan mencari belut, tapi mencari ilmu. Untuk itu, aktivitas lain ndak boleh mengalahkan ngaji selama menuntut ilmu. Seminggu sekali kami main bola di lapangan Tanah Sirah, Guguak Baruah. Sementara kalau mencari ikan puyu ada sebuah sungai dekat Surau Tabiang. Sungai itu banyak melahirkan ikan puyu. Dan memang dalam nagari itu ikan puyu pula yang paling banyak. Baik ikan puyu maupun belut di Batusangkar itu terasa enak bila dibandingkan dengan belut dan ikan puyu yang ada di Piaman. Bahkan, di bandar sawah di kampung itu banyak ditemui ikan puyu. Dengan itu pula kami sering memasak ikan puyu untuk sambal makan.
    Saat tinggal di Surau Tabiang kami tak begitu susah mengambil air untuk di masak. Ada di belakang surau, tepatnya di samping halaman Etek Dar. Dari air sumur Etek ini kami menyauk pagi petang buat dimasak. Dapur Surau Tabiang pas dibagian Mihrabnya. Surau itu punya kamar tempat Tuo Zam dan Ajo Mael tidur. Sementara, sebuah warung tempat keluarga Mak Kakan jualan pun ada kamar tempat tidur. Kami kalau siang jam istirahat acap tidur disitu sama Kamil dan Uda Kamal, termasuk juga dengan Uda Kas dan Uda Hendri. Saat aku di Surau Tabiang tiga uda itu sekolah di MAN II Batusangkar di Limo Kaum. Sedangkan Kamil di MTsN Rambatan. Kami juga acap melihat kesenian randai. Yang paling ngetop Grup Randai Siti Baheram. Waktu itu adik Etek Dar jadi pemainnya. Randai di Batusangkar memang terkenal. Setiap kali ada kesenian itu selalu ramai oleh penonton. Sampai-sampai kami melihat randai itu ke Rabatan, Pabalutan dan Simpang Gobah. Itulah hiburan kami saat di Padang Magek.
    Asyiknya di Padang Magek, saat Etek Dar panen padi. Karena sawahnya jauh, terpaksa habis dihiriak dijaga pada malam hari. Kami tidur di pondok darurat, tapi tidurnya nyenyak karena jerami yang tebal ganti kasurnya. Ada dua malam tidur ditengah sawah, baru padi bisa sampai semuanya di rumah Etek tersebut. Aku juga pernah turun ke sawah, tapi nolong Apuak Mahyuddin dan Mak Kakan saja. Ada yang ikut saat menyabit padi, dan ada pula mengangkut padi yang sudah panen. Mak Kakan punya tanah yang lumayan luas disitu. Tanah ladangnya ada di Padang Magek, ada pula di Rambatan. Sebagian yang di Padang Magek diserahkannya kepada santri yang tinggal di surau dia untuk ditanami apa saja. Pernah ditanami oleh Pak Ali Akbar, suaminya Etek Dar. Ajo Buyuang yang anak Salisikan pernah pula berladang.
    Ajo Buyuang terkenal dengan santri yang agak kelainan jiwa. Tapi dia taat beribadah. Dialah santri satu-satunya yang berkekalan wudhu. Tak heran, mukanya jernih. Biasanya sehabis wudhuk dia langsung ngaji. Kalau waktu shalat masuk dia azan. Soal ngaji meskipun umurnya udah jauh tuanya dari kami tetap saja seangkatan. Sebab dia termasuk yang lemah daya tangkapnya terhadap pengajian. Umumnya, di Surau Tabiang itu isinya kawan-kawan dari Pasa Usang. Mereka mengaji ke Padang Magek karena diantar oleh kakaknya Mak Kakan, Tuanku Mudo Mursyid. Anehnya, dari sekian banyak anak Pasa Usang di Padang Magek tak seorang pun yang jadi dalam menuntut ilmu. Hampir semuanya gagal. Pulang kampung dan hilang dari peredaran, seperti kebanyakan orang kampung biasa. Bahkan, Ajo Kiman berhenti di Padang Magek lantaran diusir oleh Mak Kakan.

1 komentar: