wartawan singgalang

Selasa, 22 April 2014

Pendewasaan Jiwa Lewat Organisasi

Pendewasaan Jiwa Lewat Organisasi

    Belajar berorganisasi aku mulai di lingkungan pesantren. Di Lubuk Pandan OSIP namnya. Organisasi ini mengatur perjalanan santri dalam tatatertib menuntut ilmu, membuat peraturan secara bersama. OSIP di Lubuk Pandan lahir sekitar 1994, yang waktu itu aku termasuk santri baru di lingkungan pesantren yang berdiri sejak 1940 tersebut. Kata senior aku, organisasi ini terinspirasi dari kunjungannya ke pesantren Nurul Yaqin, Ringan-Ringan. Aku sempat jadi ketua organisasi ini, setahun setalah aku menyelesaikan marapulai tafsir.
    Kepengurusan organisasi ini diperbaharui tiap sekali setahun. Dan setiap tahun pula dilakukan revesi peraturan yang sudah di buat pada tahun lalu. Artinya pengurus berganti, peraturan juga ditambah, dikurangi atau direvisi. Setelah peraturan ditetapkan secara bersama dalam rapat OSIP, maka marapulai bertugas menjalankan atau menegakkan peraturan demikian. Santri yang kedapatan nonton tv diluar waktu yang dibolehkan, marapulai dengan tegas menindak yang bersangkutan. Ada dikenakan sanksi bayar beras, uang dan ada pula yang dibebankan mencari kayu, tergantung besarnya kesalahan yang dilakukan santri bersangkutan.
    OSIP berhadapan langsung dengan pimpinan dan guru besar pesantren. Sebab, sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kawan-kawan yang senior, punya kharisma dalam bicara dan berperilaku. Sistem pemilihan ketua-nya ada yang voting dan ada pula dengan aklamasi, tergantung kesepahaman peserta rapat. Termasuk untuk menentukan siapa marapulai tafsir tahun depannya, itu OSIP langsung yang berumbuk dengan pimpinan dan guru besar. Guru besar; Buya Tuanku Shaliah Pengka, sebagai orang pertama yang mendirikan pesantren itu. Sedangkan pimpinan dijabat Iskandar Tuanku Mudo, dan setelahnya oleh Marzuki Tuanku Nan Basa. Sekarang tidak terdengar lagi istilah guru besar, sejak beliau berpulang 1996, aktivitas pesantren sepertinya ditangani seorang Tuanku Marzuki bersama gurutuo yang ada.
    Semakin lama kiprah OSIP nampaknya semakin redup pula. Gaungnya tak begitu kuat seperti yang pernah ada dulunya. Semasa guru besar masih ada, kiprah OSIP sangat-sangat menentukan. Tentunya faktor demikian, karena tidak atau kurang terpolanya pengkaderan dalam organisasi ini dengan baik. Bahkan, akhir-akhir ini ada yang jadi ketua sampai tiga periode. Ini tentunya kurang elok, dianggap gagal dalam melakukan pengkaderan secara berkesinambungan. Aku pernah sekali menata organisasi ini kembali. Aku coba memenej dari dalam, dimulai dengan musyawarah mufakat secara bersama menetukan siapa ketua, bagaimana pengurus lama menyampaikan laporan pertanggungjawabannya ditengah peserta musyawarah. Namun, hanya sekali itu adanya. Sehabis itu, OSIP kembali tak berketentuan. Ndak punya konsep dan visi misi yang jelas dalam mengembangkan diri dan dan potensi santri.
    Padahal, kalau dilihat dan dikembangkan dengan baik, para santri punya sumber potensi diri yang bisa di kembangkan. Kita lihat, sebagian besar orang besar yang hebat berawal dari kiprahnya dalam organisasi. Organisasilah yang membentuk kemampuan diri kita bicara di depan banyak orang. Bisa berdebat dengan baik, punya kedewasaan jiwa karena lama di asah dengan perbedaan pendapat. Orang yang besar di organisasi dengan yang tidak, akan jauh bedanya bila sama-sama berkiprah di tengah masyarakat.
    Aku sempat memberikan materi jurnalistik dikalangan teman-teman Lubuk Pandan. Namun, itu tak lama. Tujuan aku memberikan ilmu itu, bagaimana santri lebih mampu lagi mengembangkan dakwahnya lewat tulisan. Menurut aku, santri harus bisa jadi penulis. Itu benar yang ingin aku capai dari kawan santri Lubuk Pandan, tempat aku terinspirasi jadi wartawan karena tiap pekan melihat seorang Zakirman Tanjung, yang saat itu jadi wartawan Canang. Memang, ilmu jurnalistik harus dibarengi dengan minat dan bakat dari calon orang akan menerima ilmu tersebut. Kalau tidak, hanya bagai menjatuhkan batu ke lubuk, hilang begitu saja. Apalagi, santri saat ini tak lagi punya media sebagai bahan bacaan yang pernah kami lakukan dulu. Dulu, sebulan sekali ada Media Dakwah yang masuk pesantren itu. Belum lagi aku yang seminggu sekali membeli Tabloid Aksi dan koran Republika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar