wartawan singgalang

Sabtu, 08 Agustus 2020

Kenangan Indah Dari Kota Solo, Jawa Tengah

Menjelang akhir tahun 2004 dan sebelum Aceh diterjang tsunami, pasnya setelah Pileg serta Pilpres aku dan Rahmat Tuanku Sulaiman berangkat ke Solo, Jawa Tengah untuk menghadiri Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-31. Aku dan Rahmat merupakan dua peserta peninjau dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Padang Pariaman. Kami berangkat menggunakan PO Transport, naik di fullnya Lubuk Alung. Saat itu aku masih tinggal di Surau Kampuang Paneh, Ulakan. Sedangkan Rahmat adalah anggota KPU Padang Pariaman, yang ketuanya Wirya Fansuri. Peserta Muktamar lima orang tiap kabupaten dan kota. Dua di antara lima itu disebut peserta peninjau. Namun, fasilitas muktamar semuanya sama. Muktamar dibuka secara resmi oleh Presiden SBY yang baru terpilih, dan ditutup Wapres Jusuf Kalla. KH. Hasyim Muzadi terpilih untuk periode kedua menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam muktamar demikian.

Perasaian aku dan Rahmat yang naik mobil waktu itu lumayan juga saat sampai di Jakarta, setelah sekian lama dalam perjalanan darat. Koper yang di tarok di atas tenda bus basah. Jadilah semua persediaan pakaian yang dibawa basah-basah. Dua malam kami numpang nginap di rumah mande Rahmat yang jualan nasi. Setelah itu, datanglah peserta yang di ketuai Amiruddin Tuanku Bagindo bersama Ali Nurdin M. Nur. Kami bertemu di Kantor PBNU yang terletak di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sorenya, kami naik bus tujuan Solo yang langsung diantarnya ke Asrama Haji Donohudan, Boyolali. Sore naik bus yang cukup mewah, jelang Subuh masuk kami sudah sampai di arena muktamar. Langsung registrasi dan mendapatkan tas yang berisi bahan muktamar, serta sejumlah buku.    

Para peserta daerah lainnya di Sumatera Barat pun tampak sudah merebahkan badannya, istirahat karena pagi besok Presiden SBY akan membuka hajatan lima tahun sekali tersebut. Muktamar selama empat hari tiga malam itu penuh dengan dinamika. Maklum, persaingan kandidat Ketua Umum PBNU yang cukup sengit. Sebelum pulang dari muktamar, kami sedikit dikasih uang yang langsung dibagikan Firdaus Djafri, Sekretaris PWNU Sumbar. Dari Solo kami naik bus ke Jakarta yang langsung turun di Kramat Raya, Kantor PBNU. Sampai di situ, kami semua berpisah, melepaskan untung surang-surang saja lagi.    

Mendiang Amiruddin Tuanku Bagindo yang juga Pimpinan Pesantren Ayekh Burhanuddin Al-Muhajirin, Sungai Rotan, Kota Pariaman saat itu masih di Solo karena ingin ke rumah anaknya di Semarang. Ajo Ali Nurdin pergi ke rumah dunsanaknya di Bogor. Rahmat langsung pulang naik pesawat dari Solo. Aku ke tempat Zal dan Iton, warga Padang Toboh yang jualan nasi di Jakarta Barat. Dia menjemput aku pakai motor yang jauhnya minta ampun. Susah juga dia mencari alamat yang aku berikan di PBNU. Namun, sorenya bersua dan langsung ke tempat dia. Ada dua malam aku di tempat dia dan semalam di tempat Atiak Win dan kawan-kawan alumni Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan. Akhirnya aku pulang dengan bus Lampung Jaya dari Rawamangun, Jakarta. Meskipun pulang pergi naik bus, itulah muktamar yang paling berkesan yang pernah aku ikuti, dari sekian acapnya muktamar dan kongres. Ada pengayaan ke-NU-an yang aku dapatkan selama mengikuti acara itu.    

Banyak buku-buku berbau NU yang aku bawa pulang dari Solo. Dan itu pertama kalinya aku menempuh Kota Solo. Tergelincirnya pesawat Lion Air di Solo membuat muktamar ikut berduka. Prof. Maidir Harun ikut cidera dalam pesawat itu. Ada peserta muktamar dan petinggi NU yang meninggal akibat kecelakaan tersebut. Selama muktamar, tiap pagi kami disuguhi koran Kompas dan banyak koran daerah lainnya. Bagiku, semua bacaan dalam muktamar itu dibawa pulang sebagai kenangan dalam mengikuti ajang nasional.

Kongres GP Ansor dan Pilkada Padang Pariaman

Kongres GP Ansor 2005 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta merupakan periode terakhir bagi sahabat Saifullah Yusuf untuk menjabat Ketua Umum. Bersamaan dengan itu, dia pun baru jadi Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden SBY, yakni Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal RI. Dinamika kongres tak begitu terasa, karena pemiliha Ketua Umum hanya lewak aklamasi. Kongres dibuka secara resmi oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Adiaksa Dautl. Saya ikut kongres sebagai peserta penuh karena menjabat Sekretaris PC Ansor Kabupaten Padang Pariaman, yang ketuanya Afredison. Dari daerah ini ikut empat orang; Afredison, A. Damanhuri, Sudirman dan Bustanul Arifin. Berangkat dari Padang naik Batavia Air dari Bandara Tabing.

Itu pertama kalinya aku naik pesawat. Kongres yang berlangsung tiga hari dua malam di samping membahas laporan pertanggungjawaban pengurus PP Ansor yang dibawah pimpinan Saifullah Yusuf, dalam forum tertinggi lima tahun sekali itu juga dibuat rekomendasi, dan program kerja untuk lima tahun kedepan. Meskipun ketua PW Ansor Sumbar, Rahmatullah Azis waktu itu, tetap saja yang punya kendali Khusnun Azis, mantan ketua sebelumnya yang juga kakak kandung Rahmatullah Azis. Sehabis kongres, aku lebih duluan pulang. Sementara teman lainnya masih di Jakarta menemui familinya. Maklum, kesempatan ke Jakarta sangat jarang sekali adanya.    

Tahun 2005 itu menjelang aku bergabung dengan Tabloid Publik dan akhir kerja di Media Sumbar. Pada tahun itu juga, aku ikut Muktamar II PKB yang diadakan di Semarang, Jawa Tengah. Dari Padang Pariaman yang ikut; Usman Fond, Ali Amat Tuanku Sidi, Zulhelmi Tuanku Sidi dan aku sendiri. Muktamar yang penuh dinamika itu memenangkan Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy sebagai Ketua Umum dan Sekjend DPP PKB. Berangkat dari BIM dengan Lion Air sampai ke Semarang. Sementara pulangnya, aku ikut rombongan yang naik bus ke Jakarta. Dari Jakarta aku terus ke Bandung, karena istriku Mahbubatus Salmi pergi ke tempat adiknya untuk sebuah keperluan. Waktu itu aku sudah tidak lagi tinggal di surau. Waktu di Bandung bertambah lagi beberapa harinya. Setelah lama juga jalan-jalan di Bandung, aku dan istri pulang naik ANS, karena harga tiket pesawat saat itu lumayan mahal, sehingga diputuskan naik mobil saja.

Tahun itu juga bersamaan dengan Pilkada di Padang Pariaman, yang PKB juga ikut hiruk-pikuknya suasana politik, yang akhirnya memenangkan pasangan Muslim Kasim-Ali Mukhni jadi bupati dan wakil bupati yang diusung PAN dan PDI Perjuangan. Saat muktamar PKB hanya ada kisruh lantaran Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf masuk kabinet KIB I, sehingga kubu dua tokoh itu tak berani melawan Gus Dur yang memberhentikannya dari PKB. LPJ Ketua Umum disampaikan Mahfud MD yang saat itu menjabat Plt Ketua Umum DPP PKB menggantikan Alwi Shihab yang masuk kabinet, karena posisi PKB dalam Pilpres putaran kedua netral. Saifullah Yusuf akhirnya diberhentikan dari kabinet, setelah dua setengah tahun menjabat. Dia digantikan Lukman Edy yang masih menjabat Sekjend DPP PKB. Sedangkan waktu yang sama, Alwi Shihab juga digantikan posisinya dari Menko Kesra oleh Aburizal Bakrie. Alwi selanjutnya menjabat utusan khusus presiden untuk Timur Tengah. Sedangkan Saifullah Yusuf ikut Pilkada Jawa Timur yang mendampingi Sukarwo yang maju jadi calon Wagub-nya. Pasangan Pakde Karwo-Gus Iful ini akhirnya menang. Bahkan, pasangan ini terus berlanjut untuk periode kedua 2013-2018.

Surau Mengajarkan Kita Hidup Bermasyarakat

Lazim bagi tamatan pesantren tradisional jadi guru mengaji, atau tinggal dan melakukan aktivitas di surau. Aku sehabis tamat di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan juga sempat jadi guru mengaji. Pertama kali diminta mengajar di Kandis, Duri, Provinsi Riau. Waktu itu aku baru saja kawin. Ada seorang pemilik rumah makan di Duri. Dia orang Kayutanam. Rumah makannya besar, tempt berhenti bus jurusan Dumai-Pariaman dan bus Pekanbaru-Medan. Nama bapak itu aku lupa. Dia minta seorang guru untuk mengajar mengaji di surau kecil samping rumah makan itu ke Lubuk Pandan.

Oleh Buya Marzuki aku yang diutus. Karena suasana besing, ramai setiap saat, cuma bertahan sebulan aku di situ. Aku permisi pulang kampung, dan tak pernah balik kesitu lagi. Habis dari Duri, aku diminta tinggal di kampung, Surau Ampang Tarok. Sebelumnya, aku dan Ajo Mansur melakukan wirid pengajian di situ seminggu sekali. Asyik juga tinggal di kampung, Ambung Kapur. Di samping mengajar mengaji siang jelang sore, aku juga mengaktifkan shalat berjamaah tiap waktu, terutama aku sedang di surau. Lama juga aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Dan selama tinggal di kampung, banyak wirid Ajo Mansur yang aku menjalankannya. Seperti wirid di Surau Mandiangin, Surau Kampung Tangah Barangan, dan lain sebagainya.     

Sempat pula membawa jamaah Ambung Kapur ziarah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dan ke Ulakan, sebagaimana lazimnya wirid Tuanku Sidi Tukang yang dijalankan Ajo Mansur. Ada dua tahun lebih aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Banyak kesan, dan tentunya banyak pula dukanya. Namanya saja tinggal di kampung sendiri. Dari kampung aku pindah ke Surau Kampung Paneh, Padang Toboh Ulakan. Di sana aku lima tahun lamanya tinggal dan mengabdi. Semasa aku di kampung, kerja sambilan adalah mengantarkan koran Padang Pos, yang Pak Amir kepala perwakilannya di Pariaman. Aku punya sebuah sepeda motor cup 70. Mengantar koran seminggu sekali, sambil pandai dan belajar juga jadi wartawan. Pindah ke Padang Toboh juga mengajar anak-anak kampung belajar mengaji.

Di Ulakan itu aku mulai tahun 2000 sampai 2005. Dan itu pula surau terakhir yang aku tunggui. Namun, ketika di Ulakan aku diperkenankan membawa urang rumah, dan disediakan tempat tinggal yang lumayanlah, yakni surau kayu lama yang dibuatkan sebuah kamarnya. Memang, kalau untuk mencari sumber kehidupan tidak bisa diandalkan hanya tinggal di surau, yang honornya dikasih masyarakat. Kadang ada diberi, kadang sudah tiga bulan tak menerima honor. Honornyapun tak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Tapi itu semua hanya diterima apa adanya dengan baik, Lillahi ta'ala. Tinggal di surau, apalagi itu surau milik masyarakat, ya honor hanya sebagai sedekah saja. Walapun demkian, orang mengajar nengaji di surau itu tak pula pernah mogok mengajar atau melakukan demo.    

Selama di Ulakan, aku dan keluarga yang belum punya anak itu juga mempunyai sejumlah ternak itik. Tiap pagi sehabis shalat Subuh aku acap mencari keong untuk makanan itik. Dari hasil penjualan telor itik itulah aku dapat tambahan biaya keseharian, di samping juga seminggu sekali mengantar koran alias jadi loper Padang Pos. Berbagai kemampuan dan kesanggupan, aku kerahkan untuk melakukan yang terbaik di tengah masyarakat Padang Toboh. Apa yang menjadi kebiasaan masyarakat selalu aku ikuti dengan baik. Seperti wirid bergiliran di empat surau yang ada di desa itu. Satu hal yang menjadi sejarah kepenulisan aku, di Padang Toboh itu berita pertama aku muncul di SKM Padang Pos, tahun 2000. Dan saat tinggal di situ pula aku dapat penghargaan sebagai loper terbaik satu SKM Padang Pos, saat HUT pertama tahun 2000, yang diadakan di Hotel Pangeran, Padang.  

Kepala Desa Padang Toboh Syahiruddin, dan sekretarisnya Syahayar sangat mendukung aku atas pemberitaan demikian. Waktu itu ada anak KKK dari Unand Padang yang melakukan jejak pendapat tentang perlu atau tidaknya mendirikan masjid di Padang Toboh. Ternyata banyak yang menginginkan pendirian masjid. Namun, keinginan itu dilawan oleh Sudirman Rangkayo Rajo Mangkuto, yang menguasai ulayat Sigimba Panjang. Berita itu jadi headlenews di Padang Pos. Kemudian, bersama ulama Padang Toboh, aku dianggap duduak samo randah, tagak samo tinggi di bidang apapun juga. Mulai dari peringatan Maulid Nabi di Sigimba Panjang, sampai alek baralek di tengah masyarakat.

Apapun tradisinya, selalu aku ikuti dengan baik. Bahkan, aku sepat ikut julo-julo tukang di Padang Toboh, yang ketuanya waktu itu Labai Siri. Tapi, karena belum membangun rumah, aku hanya menerima uangnya saja. Sempat lama aku ikut julo-julo tukang, yang setiap anggota yang menerima selalu melakukan kerja di rumahnya. Aku pergi dari Padang Toboh secara baik-baik. Tidak sanggup lagi menjalankan tugas, karena semakin sibuk di dunia wartawan. Menjelang keluar di situ, aku menjadi wartawan Media Sumbar. Setahun menjelang pindah ke rumah mertua, aku sempat ke Malaysia dan Singapura, serta ikut Muktamar ke-31 NU di Solo, Jawa Tengah.

Pengajaran dari orangtua

Pendidikan keluarga dari kecil sangat aku rasakan dampaknya setelah menginjak dewasa, terutama pendidikan yang diberikan Amak dan Abak. Abak punya tipikal yang lumayan keras dan kuat. Sebagai anak tua dari Abak, aku merasakan betul kerasnya pendidikan yang diberikannya ke aku. Berkali-kali aku dipaksa makan sahur, saat awal-awal aku belajar puasa. Saking susahnya aku dibangunin, Abak tak sungkan-sungkan memainkan kakinya ke pinggul aku. Itu terjadi saat aku tidur di Surau Koto Runciang.

Memang, dari kecil aku belajar mengaji dan banyak menghabiskan waktu di kampung bakoku tersebut. Malam mengaji, siang membantu Abak kerja tani sambil juga gembala sapi sama kakak aku Afrizal yang lain Abak dengan aku. Kalau tidak ada kerjaan tukang rumah di rumah orang, Abak melakukan kerja di sawah milik surau itu. Karena dia seorang labai, punya setumpak atau dua tumpak sawah yang digarap untuk kehidupan keluarga.

Ada banyak sawah wakaf milik surau yang digarapnya bersama Ajo Mansur, seorang ulama yang lama tinggal di Surau Koto Runciang. Di samping Abak dan Amak bertanam padi, juga ada bertanam cabai. Sebab, model sawah di kampung itu harus diselingi. Sekali padi, sekali dengan tanaman lain. Saat bertanam cabai, Abak sering kongsi dengan Apak Ali Munir, seorang Kepala Dusun di kampung itu. Panen cabai dua kali seminggu; Jumat dan Selasa. Aku acap ikut mengambil cabai demikian. Boleh di bilang, di samping padai tukang rumah, Abak juga seorang petani.

Kalau tukang rumah, agaknya itu kepandaian Abak yang langsung diajarkan oleh ayahnya; Sirin Labai Mangkuto. Saat Abak dinobatkan jadi labai di Surau Koto Runciang, menggantikan Apak Labai Usin yang meninggal dunia, aku masih sangat kecil. Belum sekolah, tapi aku sudah tahu, dan ikut melihat prosesi itu di kampungnya, Koto Runciang. Namun sangat disayangkan, kelak aku tak pandai bertani dan tukang. Aku melihat, Abak tak ingin anaknya susah menjalani hidup, seperti yang sudah dialaminya.

Abak pernah terjatuh saat memasang atap rumah orang. Untuk ini, aku tak pernah diajarkan untuk pandai menjadi tukang itu pula. Malah setamat sekolah dasar, aku diserahkan melanjutkan pendidikan ke pesantren. Saat aku kecil, kampung Koto Runciang yang saat itu bagian dari Desa Guguak masih terbilang ramai. Kawan sepermainan banyak. Sambil menggembalakan ternak, aku juga sering main karet, main gambar. Kalau malam main endap-endapan di surau itu. Main bola di halaman surau atau di tengah sawah yang habis dipanen juga acap kami lakukan. Sekarang, aku lihat Koto Runciang semakin sepi. Apalagi surau milik kaum Suku Sikumbang itu dipindahkan ke Kajai, kampung kecil dalam Koto Runciang yang berbatasan dengan Desa Padang Bungo, karena di situ banyak rumah penduduknya. Pernah Abak mengajak aku bekerja di rumah orang, tapi tak sering. Hal itu saat aku pulang kampung dari pesantren Padang Magek dan Lubuk Pandan. Kekerasan didikan Abak yang aku rasakan, kalau yang kita buat tak diingininya, dia marah mintak ampun. 

Lain pula dengan didikan yang Amak berikan ke aku dengan berjualan sebelum sekolah. Kekerasan Abak ke aku mulai berkurang, saat aku sudah belajar di pesantren. Setiap hari Amak membuat makanan jenis mangkuak, Amak butuh tepung yang diolah dari beras dolok. Beras itu ditumbuk dua kali seminggu. Aku dan adik-adik sama Amak pergi menumbuk beras tersebut di lesung milik Buyuang Katan. Kami membantu menjongkekkan kayu besar, yang alunya memecah beras. Lama di tumbuk, beras yang tadinya kasar jadi halus, lalu di ayak dan jadilah barang itu tepung. Di namakan tepung beras. Tepung dijemur oleh Amak agar bisa dibikin mangkuak yang rancak. Mangkuak itulah yang aku jual menjelang masuk kelas tatkala sekolah SD dulu. Lama juga numpang numbuk tepung di tempat Buyuang Katan. Kemudian, Abak membuat pondok tempat menumbuk itu, yang lesungnya dibawa dari rumah Amak Uwo. Dengan uang jualan itulah kami membantu kemasukan uang rumah tangga.

Kadang, pas kami menumbuk tepung, Buyuang Katan sedang menanak garam. Buyuang Katan juga dua kali menanak garam kasar menjadi garam halus dalam seminggu. Dia memasaknya dengan tradisional. Di bentangkan tempat menanaknya dari seng yang agak panjang, lalu dibakar dengan kayu. Selama sehari garam yang tadinya kasar, menjadi garam halus. Bagi masyarakat garam halus buatan Buyuang Katan ini sangat terkenal. Dia jualan PMD di Pasar Ampalu setiap hari Sabtu, di Sungai Sariak hari Rabu dan di Padang Sago hari Senin. Hampir tiap rumah menaruh garam halus demikian. Sebab, manakala garam gulai agak kurang terasa, di situlah gunanya garam halus penambahnya. Buya Lubuk Pandan membiasakan menjilat garam halus itu sebelum dan sesudah makan. Entah apa khasiatnya, aku tak tahu banyak pula soal itu. Kawan menyebutkan, kalau membiasakan makan garam sebelum dan setelah makan itu, insya Allah Tuhan menjadikan mulut kita asin. Artinya pembicaraan kita di dengar banyak orang.

Amak numpang numbuk tepung juga menyewa sama Jinan, kakaknya Buyuang Katan. Tapi sewanya tak begitu mahal. Selain tepung untuk membuat mangkuak, bagi Amak tepung juga bisa untuk memasak goreng pisang. Sesekali aku juga jualan goren. Kadang-kadang jualan tapai ubi bagai. Memang Amak mengajari kami semua anak-anaknya dengan berjualan. Tapi tak ada yang sampai jadi saudagar kaya di antara kami. Memang, apa yang dikatakan banyak orang, bahwa mencari uang harus dengan uang pula. Kalau tak bermodal jangan harap untuk bisa kaya. Ya untuk sekedar menutup biaya harian saja. Tapi, yang jelas Amak telah mengajari anaknya cara hidup mandiri bila dewasa kelak. Dan memang, dari sekian banyak anak Amak tak seorangpun yang dimodalkan pergi ke rantau orang, karena modal itu benar yang tak ada, selain dari pengajaran demikian yang kami jalankan selama sekolah SD di kampung.

Dengan kemandirin itu, aku tak merasa cangkung menghadapi kehidupan yang kian konflik. Belajar jualan dari kecil itulah aku merasakan, betapa hidup itu indah dan penuh dengan warna. Hanya dengan kesiapan yang matang, kita mampu menjalani hidup dengan baik dan benar. Mungkin nasib yang membuat aku tak jadi seorang pedagang. Tapi aku sempat jadi pengurus HIPMI, alias himpunan pengusaha muda Indonesia Kabupaten Padang Pariaman. Aku merasa tersanjung, tatkala Aljufri, Ketua HIPMI Padang Pariaman memasukkan namaku ke dalam pengurus organisasi pengusaha muda tersebut. Hanya berbekalkan cara hidup yang baik dari orangtua itu, aku merasa tak canggung menjalani kehidupan saat ini, meskipun banyak sudah pengalaman hidup yang aku lalui, sebelum berlabuh di dunia jurnalistik. Dan dengan pengalaman itu pula aku mampu menjalankan kepercayaan induk semang dengan baik.     

Terbukti, pasca aku keluar di Padang Pos, selalu media yang meminta aku bergabung untuk memperkuat media bersangkutan. Aku tak pandai menonjolkan diri, atau minta kerja di media terkait. Di pinangnya aku oleh banyak media, yang aku rasakan tak lepas dari hasil didikan Pak Infai yang aku terima awalnya di Padang Pos, hingga Media Sumbar. Alhamdulillah, sebanyak itu media mingguan dan harian yang aku masuki, terakhir berlabuh di Harian Singgalang, kepercayaan pimpinan ke aku masih aku pertahankan dengan baik. Dan ini modal didikan Amak, yang mengajari aku dengan kesederhanaan hidup, melihat susah hidup untuk ditiru yang baiknya.

Dalam masa pendidikan demikian, Abak malah banyak mengajak aku pergi wirid mingguan di surau yang tiga di Dusun Tigo Jurai tersebut. Kadang-kadang ada pula Abak mengajak aku saat orang kampung mengaji ka puaso dan mengaji kematian. Kalau saat wirid pengajian, aku sering disuruh ceramah. Apalagi kalau Ajo Mansur lagi tak di tempat, sehingga yang memberikan pengajian itu kami yang pulang dari pesantren tersebut. Itu cara Abak membesarkan aku untuk bisa hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Membentuk Kemampuan Diri Lewat Organisasi dan Menulis

Belajar berorganisasi aku mulai di lingkungan pesantren. Di Lubuk Pandan OSIP namnya. Organisasi ini mengatur perjalanan santri dalam tata tertib menuntut ilmu, membuat peraturan secara bersama. OSIP di Lubuk Pandan lahir sekitar 1994, yang waktu itu aku termasuk santri baru di lingkungan pesantren yang berdiri sejak 1940 tersebut. Kata senior aku, organisasi ini terinspirasi dari kunjungannya ke pesantren Nurul Yaqin, Ringan-Ringan. Aku sempat jadi ketua organisasi ini, setahun setalah aku menyelesaikan marapulai tafsir.

Kepengurusan organisasi ini diperbaharui tiap sekali setahun. Dan setiap tahun pula dilakukan revisi peraturan yang sudah di buat pada tahun lalu. Artinya pengurus berganti, peraturan juga ditambah, dikurangi atau direvisi. Setelah peraturan ditetapkan secara bersama dalam rapat OSIP, maka marapulai bertugas menjalankan atau menegakkan peraturan demikian. Santri yang kedapatan nonton tv di luar waktu yang dibolehkan, marapulai dengan tegas menindak yang bersangkutan. Ada dikenakan sanksi bayar beras, uang dan ada pula yang dibebankan mencari kayu bakar, tergantung besarnya kesalahan yang dilakukan santri bersangkutan.

OSIP berhadapan langsung dengan pimpinan dan guru besar pesantren. Sebab, sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kawan-kawan yang senior, punya kharisma dalam bicara dan berperilaku. Sistem pemilihan ketua-nya ada yang voting dan ada pula dengan aklamasi, tergantung kesepahaman peserta rapat. Termasuk untuk menentukan siapa marapulai tafsir tahun depannya, itu OSIP langsung yang berumbuk dengan pimpinan dan guru besar. Guru besar; Buya H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sebagai orang pertama yang mendirikan pesantren itu. Sedangkan pimpinan dijabat Iskandar Tuanku Mudo, dan setelahnya oleh Marzuki Tuanku Nan Basa. Sekarang tidak terdengar lagi istilah guru besar, sejak beliau berpulang 1996, aktivitas pesantren sepertinya ditangani seorang Tuanku Marzuki bersama guru tuo yang ada.

Semakin lama kiprah OSIP nampaknya semakin redup pula. Gaungnya tak begitu kuat seperti yang pernah ada dulunya. Semasa guru besar masih ada, kiprah OSIP sangat-sangat menentukan. Tentunya faktor demikian, karena tidak atau kurang terpolanya pengkaderan dalam organisasi ini dengan baik. Bahkan, akhir-akhir ini ada yang jadi ketua sampai tiga periode. Ini tentunya kurang elok, dianggap gagal dalam melakukan pengkaderan secara berkesinambungan. Aku pernah sekali menata organisasi ini kembali. Aku coba memenej dari dalam, dimulai dengan musyawarah mufakat secara bersama menetukan siapa ketua, bagaimana pengurus lama menyampaikan laporan pertanggungjawabannya di tengah peserta musyawarah. Namun, hanya sekali itu adanya. Sehabis itu, OSIP kembali tak berketentuan. Ndak punya konsep dan visi misi yang jelas dalam mengembangkan diri dan dan potensi santri.

Padahal, kalau di lihat dan di kembangkan dengan baik, para santri punya sumber potensi diri yang bisa di kembangkan. Kita lihat, sebagian besar orang besar yang hebat berawal dari kiprahnya dalam organisasi. Organisasilah yang membentuk kemampuan diri kita bicara di depan banyak orang. Bisa berdebat dengan baik, punya kedewasaan jiwa karena lama di asah dengan perbedaan pendapat. Orang yang besar di organisasi dengan yang tidak, akan jauh bedanya bila sama-sama berkiprah di tengah masyarakat.

Aku sempat memberikan materi jurnalistik di kalangan teman-teman santri Lubuk Pandan. Namun, itu tak lama. Tujuan aku memberikan ilmu itu, bagaimana santri lebih mampu lagi mengembangkan dakwahnya lewat tulisan. Menurut aku, santri harus bisa jadi penulis. Itu benar yang ingin aku capai dari kawan santri Lubuk Pandan, tempat aku terinspirasi jadi wartawan karena tiap pekan melihat seorang Zakirman Tanjung, yang saat itu jadi wartawan Canang. Memang, ilmu jurnalistik harus dibarengi dengan minat dan bakat dari calon orang akan menerima ilmu tersebut. Kalau tidak, hanya bagai menjatuhkan batu ke lubuk, hilang begitu saja. Apalagi, santri saat ini tak lagi punya media sebagai bahan bacaan yang pernah kami lakukan dulu. Dulu, sebulan sekali ada Media Dakwah yang masuk ke pesantren itu. Belum lagi aku yang seminggu sekali membeli Tabloid Aksi dan koran Republika.

Rasa Kebersamaan Lewat Ajaran Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah, kata ulama pahalanya 27 kali lipat dari shalat sendirian. Sejak di Ponpes Darul 'Ulum Padang Magek sampai ke Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan aku belajar, selalu ada aturan shalat secara berjamaah. Bahkan, sejak awal aku tinggal di Surau Tabiang semua santri diasuh oleh Ajo Ismael dan Tuo Zamzami dengan semua kelengkapan sembahyang. Artinya, seorang santri gantian jadi imam. Nanti membaca tasbih lain pula santrinya. Begitu juga untuk membaca doa, juga digilirkan dari santri yang ada waktu itu. Termasuk juga azan pun harus bergantian lima waktu sehari semalam.

Dengan terbiasa demikian, aku sangat merasakan betapa indahnya sebuah kebersamaan, saling berbagi dengan teman, dan saling menutupi kelemahan dan kekurangan kawan. Di Surau Tabiang, kedua guru tuo demikian juga memberlakukan sanksi bagi siapa yang melanggar aturan atau tidak ikut shalat berjamaah tanpa alasan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan. Hanya boleh bebas dua hari dalam seminggu, yakni Kamis dan Jumat karena dua hari itu merupakan liburan bagi kami yang mengaji di pesantren tradisional. Kalau yang dua hari itu kita tak shalat jamaah, atau shalat jamaah di luar pesantren dianggap bonus atau biasa saja.

Perjalan minta belas kasihan orang lain pada dua hari tersebut, bukan semata miskinnya santri bersangkutan. Namun, lebih dari itu bagaimana kader ulama itu diterpa dengan kesusahan hidup. Masuk kampung dan nagari sambil pakai sarung, dan sebuah karung tepung dari kain, yang kami sebut buntie. Kami cukup mengucapkan salam kepada pemilik rumah, lalu bagi pemilik rumah yang punya niat ingin bersedekah, ya dikasihnya beras ala kadarnya atau uang. Itulah rezeki kami. Tak jarang, aku dan kawan-kawan yang melakukan itu acap dapat perlakuan kasar selama mamakiah itu dari masyarakat. Cacian dan makian dari segelintir orang, di kejar ajing gila atau di salak ajing penjaga rumah-rumah orang berada misalnya.

Kata guru tuo kami, itu bagian dari ujian dalam menuntut ilmu agama Islam. Selama lima tahun aku di Padang Magek (1988-1993), boleh dikatakan semua kampung yang ada di Tanah Datar dan Padang Panjang sudah aku rancahi. Ada yang berdua perginya, dan ada pula yang sendirian. Ada pameo yang mahir untuk kawan yang sulit dapat ilmu; mangaji di Padang Magek, mamakiah ka Sitakuak. Bialah kaji ndak dapek, asalkan badan lai gapuak. Tentu, pamoe itu juga pelecut bagi kami untuk terus giat belajar segala ilmu di pesantren tersebut. Memang, ada satu kampung di Tanah Datar itu yang bernama Sitakuak, yakni dekat Sungai Tarab. Begitu juga soal muhadlarah atau latihan dakwah seminggu sekali, juga semua santri dapat giliran.

Dengan shalat berjamaah, zikir bersama setiap habis shalat serta doa bersama itu pula barangkali terbangunnya rasa sosial kemasyarakatan di tiap-tiap individu santri Padang Magek. Rasa berkawan, rasa berkampung dan rasa bernagari mampu hinggap dalam setiap jiwa. Tak heran, saat lebaran menjelang pergi ke pesantren kembali setelah libur panjang, kami yang di Padang Pariaman saling berkunjung. Aku berkunjung ke Koto Baru, Batang Piaman, Tandikek dan kampung kawan lainnya. Malah sampai bermalam di situ. Begitu juga kawan yang di Batang Piaman dan Koto Baru juga pernah bermalam di rumah orangtuaku, Ambung Kapur. Sewaktu aku di Padang Magek, memang yang paling banyak itu kawan dari Batang Piaman, Koto Baru dan Tandikek. Sedang dari Ambung Kapur dan Sungai Sariak ada pula, tapi tak begitu banyak. Hanya sekarang inilah silaturrahim untuk bertemu sesama teman alumni Padang Magek yang jarang aku ikuti, karena kesibukan jadwal yang kadang-kadang saling berantuk di antara agenda yang satu dengan lainnya. Namun, komunikasi kami masih tetap aktif dan terjaga dengan baik.

Catatan Santri Padang Magek Soal Katupek Pitalah dan Pangek Bilih

Ada tiga makanan yang paling aku sukai semasa di Padang Magek. Tersebutlah Nasi Kiambang, Katupek Pitalah, dan Pangek Bilih. Bagi santri Padang Magek, Pasar Rambatan adalah pasar yang paling dekat untuk di kunjungi, di samping Pasar Batusangkar setiap hari Kamis. Rambatan hari pakannya, Selasa. Aku dan santri lain acap ke pasar ini dengan hanya berjalan kaki. Di samping memakiah alat yang akan di masak, kami juga pergi belanja membeli apa saja yang di perlukan. Kalau beli gulai, ya Pangeh Bilih yang sering di beli. Gulai buatan orang Ombilin ini terkenal enak. Ada ubi kayu campurannya. Biasanya kalau dibeli Selasa, sampai Rabu sore masih ada. Sementara, kalau ada flu yang menyerang banyak kawan-kawan memanfaatkan obatnya dengan makan di kedai Nasi Kiambang.

Gulainya terkenal pedas, mampu memerahkan wajah saat makan itu, sehingga angin tersumbat jadi lapang. Setiap Selasa Pasar Rambatan juga menyediakan Katupek Pitalah. Katupek ini besar-besar dan gulai cubadaknya juga gadang-gadang. Sehingga kalau di makan pagi bisa kenyang perut sampai siang atau sorenya. Di manapun pasar di daerah Tanah Datar selalu menyediakan makanan yang namanya Katupek Pitalah. Aku pernah juga makan katupek itu di Pasar Pitalah. Keenakan katupek ini gulainya di masak dengan periuk dari tanah yang sangat alami. Tentunya periuk itu buatan orang Galogandang, karena di kampung ini sangat banyak kerajinan rumah tangga dalam soal membuat periuk dari tanah yang kemudian di bakar bagai membuat batu bata.

Hingga kini Katupek Pitalah masih mentereng namanya dalam belantara kuliner di Luhak Nan Tuo itu. Sejak aku pindah dari Padang Magek ke Lubuk Pandan, Padang Pariaman sangat jarang aku makan Katupek Pitalah. Kalaupun ada, itu tentunya bisa sesekali saat jalan-jalan ke Padang Panjang, misalnya. Rasa Katupek Pitalah dengan katupek yang di jual banyak orang dalam kampung pun berbeda. Lalu ada lagi katupek gulai paku yang orang Piaman di Pasar Batusangkar. Di Pasar Bawah, tempat langganan kami menjual beras. Enak di tempat Uniang ini ada menyediakan sala lauak, ciri khas makanan Piaman. Namun, katupek gulai paku Uniang belum sanggup menyaingi Katupek Pitalah yang telah lama mendunia di Tanah Datar. Saat aku memakiah ke Pitalah, uang aku tak mau amak-amak yang jualan itu mengambilnya. Urang darek terkenal pemurah.

Aku jarang makan siang kalau saat jalan-jalan Kamis dan Jumat itu. Paling sehabis sarapan ketan goreng pagi, siangnya makan Katupek Pitalah atau katupek gulai paku Uniang. Sampai sing hari pun makanan demikian masih tersedia dengan baik dan enak. Semua makanan itu tak di sediakan di warung yang wah. Hanya kaki lima yang payung bulat di setiap hari pasar. Tapi pengunjungnya mintak ampun ramainya. Rasanya belum ke Pasar Rambatan kalau tak makan Katupek Pitalah atau membeli gulai Pangek Bilih. Setiap masyarakat yang pergi ke pasar itu pun demikian adanya. Pasti membeli gulai pangek bilih dan Katupek Pitalah. Bagi petani kampung Padang Magek, hampir tiap pakan makan di kedai Nasi Kiambang yang terkenal membangkitkan selera makan, serta menghilangkan segala yang tersumbat dalam batang hidung kita. Itu pula ajaibnya Nasi Kiambang. Dan itu hampir semua orang tahu di seantero Tanah Datar.

Belut dan ikan puyu

Mencari belut dan ikan puyu termasuk mainan yang aku sukai selama lima tahun mondok di Darul 'Ulum, Padang Magek, Tanah Datar. Sewaktu tinggal di Surau Tabiang, Kandar Koncen acap membawaku memancing belut di sawah. Begitu juga Uda Hendri, anak Rambatan yang sering tidur di surau itu juga pernah mengajak aku menangkap belut dengan lukah. Saat kelamaan nangkap belut sama Kandar Koncen, anak Pasa Usang itu sempat aku libur ngaji. Akibatnya, Tuo Zamzami dan Ajo Mael berang. Guru itu memarahi kami. Sebab, tujuan ke Padang Magek bukan mencari belut, tapi mencari ilmu. Untuk itu, aktivitas lain ndak boleh mengalahkan ngaji selama menuntut ilmu. Seminggu sekali kami main bola di lapangan Tanah Sirah, Guguak Baruah. Sementara kalau mencari ikan puyu ada sebuah sungai dekat Surau Tabiang. Sungai itu banyak melahirkan ikan puyu. Dan memang dalam nagari itu ikan puyu pula yang paling banyak. Baik ikan puyu maupun belut di Batusangkar itu terasa enak bila dibandingkan dengan belut dan ikan puyu yang ada di Piaman. Bahkan, di bandar sawah di kampung itu banyak ditemui ikan puyu. Dengan itu pula kami sering memasak ikan puyu untuk sambal makan.

Saat tinggal di Surau Tabiang, kami tak begitu susah mengambil air untuk di masak. Ada di belakang surau, tepatnya di samping halaman Etek Dar. Dari air sumur Etek ini kami menyauk pagi petang buat dimasak. Dapur Surau Tabiang pas di bagian Mihrabnya. Surau itu punya kamar tempat Tuo Zam dan Ajo Mael tidur. Sementara, sebuah warung tempat keluarga Mak Kakan jualan pun ada kamar tempat tidur. Kami kalau siang jam istirahat acap tidur di situ sama Kamil dan Uda Kamal, termasuk juga dengan Uda Kas dan Uda Hendri. Saat aku di Surau Tabiang tiga uda itu sekolah di MAN II Batusangkar di Limo Kaum. Sedangkan Kamil di MTsN Rambatan. Kami juga acap melihat kesenian randai. Yang paling ngetop Grup Randai Siti Baheram. Waktu itu adik Etek Dar jadi pemainnya. Randai di Batusangkar memang terkenal. Setiap kali ada kesenian itu selalu ramai oleh penonton. Sampai-sampai kami melihat randai itu ke Rambatan, Pabalutan dan Simpang Gobah. Itulah hiburan kami saat di Padang Magek.

Asyiknya di Padang Magek, saat Etek Dar panen padi. Karena sawahnya jauh, terpaksa habis dihiriak dijaga pada malam hari. Kami tidur di pondok darurat, tapi tidurnya nyenyak karena jerami yang tebal ganti kasurnya. Ada dua malam tidur di tengah sawah, baru padi bisa sampai semuanya di rumah Etek tersebut. Aku juga pernah turun ke sawah, tapi menolong Apuak Mahyuddin dan Mak Kakan saja. Ada yang ikut saat menyabit padi, dan ada pula mengangkut padi yang sudah panen. Mak Kakan punya tanah yang lumayan luas di situ. Tanah ladangnya ada di Padang Magek, ada pula di Rambatan. Sebagian yang di Padang Magek diserahkannya kepada santri yang tinggal di surau dia untuk ditanami apa saja. Pernah ditanami oleh Pak Ali Akbar, suaminya Etek Dar. Ajo Buyuang yang anak Salisikan pernah pula berladang.

Ajo Buyuang terkenal dengan santri yang agak kelainan jiwa. Tapi dia taat beribadah. Dialah santri satu-satunya yang berkekalan wudhu'. Tak heran, mukanya jernih. Biasanya sehabis wudhu' dia langsung ngaji. Kalau waktu shalat masuk dia azan. Soal ngaji meskipun umurnya udah jauh tuanya dari kami tetap saja seangkatan. Sebab dia termasuk yang lemah daya tangkapnya terhadap pengajian. Umumnya, di Surau Tabiang itu isinya kawan-kawan dari Pasa Usang. Mereka mengaji ke Padang Magek karena diantar oleh kakaknya Mak Kakan, Tuanku Mudo Mursyid. Anehnya, dari sekian banyak anak Pasa Usang di Padang Magek tak seorang pun yang jadi dalam menuntut ilmu. Hampir semuanya gagal. Pulang kampung dan hilang dari peredaran, seperti kebanyakan orang kampung biasa. Bahkan, Ajo Kiman berhenti di Padang Magek lantaran diusir oleh Mak Kakan.

Minggu, 02 Agustus 2020

Jadi Santri di Tengah Kepergian Dua Ulama Besar

Di atas mobil Datsun jurusan Sicincin - Padang Panjang itu hanya kami isinya. Aku, Ali Mutamar, Syamsuar Kamal, tiga Abak kami dan sopir serta seorang kernetnya. Sopir mobil itu berhasil melakukan negosiasi dengan Abak kami untuk mengantarkan ke Padang Magek. Waktu itu hari Rabu tahun 1988, mungkin karena kurang atau lengang muatannya, sehingga mereka mau mengangkut kami ke Kabupaten Tanah Datar itu.

Mobil Datsun yang kepalanya agak panjang itu meliuk-liuk mendaki Silaing. Tapi karena sudah jalan kebiasaannya, pendagian yang tinggi itu tak jadi halangan baginya. Sehingga dari Sicincin sampai ke Tanah Datar jalannya mulus saja. Barulah saat sampai di Cubadak, lantaran mobil belok kanan sehabis Pasar Simabur, mungkin jalan pintas dan cepat sampai mobil ini mengalami patah per. Lama berhenti di jalan yang kiri kanan jalan itu hanya sawah dan ladang cengkeh yang kami lihat. Dan menjelang sore, kami tiba di Surau Tabiang. Tak ada sopir bertanya selama di jalan. Sepertinya, Padang Magek sudah hafal betul oleh sopirnya.

Saat kami di Padang Magek, pesantren itu baru saja kehilangan pimpinan; Buya Salim Malin Kuniang yang wafat tahun 1987. Abak aku (Alm Ali Ibrahim) orang yang pernah lama mondok dulunya di Padang Magek, tinggal di Surau Lerong, yang berdekatan dengan Surau Tabiang. Dia melanjutkan ke pendidikan umum, dan tamat Sekolah Persiapan IAIN. Jadi, soal Padang Magek dia banyak tahu, sehingga oleh Abak-nya Ali Mutamar dan Syamsuar Kamal, Abak dijadikan semacam juru bicara sesampai di Padang Magek.

Artinya, ketika menyerahkan kami ke guru melalui Mak Kakan dan Apuak Mahyuddin, Abak aku yang banyak bicara. Ketiga Abak kami ini bermalam semalam di Surau Tabiang. Sebelum mereka pulang pagi Kamis-nya, kami dipesankan untuk tidak boleh pulang kampung selama setahun. Di samping dikasih sedikit uang, mereka juga menitipkan uang ke Apuak Mahyuddin, tapi tak dikasih tahunya ke kami.

Cerita soal Buya Salim Malin Kuniang yang selanjutnya kepemimpinan pondok saat aku di sana di pegang Pak Suin, alias Suhaili Ya'kub, yang pensiunan PNS, banyak aku dapatkan melalui guru tuo dan guru-guru yang tua-tua. Saat datang ke pondok mengajar ilmu hadis, Pak Suin selalu stedi. Pakai celana, baju lengan panjang. Dia mengajar selalu pakai papan tulis. Hanya satu bidang studi itu Pak Suin mengajar. Sedangkan yang banyak mengajar kitab adalah Mak Anjang, Mak Nur di Pauah, Mak Kakan. Tiga orang guru itu sepertinya mewarisi betul keilmuan dari guru besar pesantren; Salim Malin Kuniang.

Saat kami di Surau Tabiang, sudah ada juga santri senior di situ. Mereka Akhirman, Iskandar dan lainnya yang datang dari Salisikan, Nagari Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai. Mereka yang dari Salisikan itu diantarkan oleh Buya Mursyid Tuanku Mudo, adik kandung Mak Kakan. Dari santri senior itulah kami banyak belajar soal adaptasi lingkungan. Tapi untuk belajar mengaji tetap dipegang Apuak Mahyuddin, yang kemudian dilanjutkan mendiang Tuo Zamzami dan Ajo Ismael.

Aku merasakan, saat di Padang Magek itu tak ada berkurangnya santri yang mondok lantaran ditinggal pengasuhnya. Memang ada yang pindah sebagian santri ke pesantren lain, seperti ada yang ke Bukit Tandang, Kabupaten Solok, ke Pudak, Kabupaten Sijunjung. Tetapi santri yang datang lebih banyak lagi dari pindah mondok. Artinya, proses belajar mengajar tetap berjalan sepeninggal Buya Salim Malin Marajo. Mungkin karena banyak kader yang ditinggalkannya, sehingga Darul 'Ulum Padang Magek tetap eksis dan bertahan dengan segala dinamikanya.

Kalau kita lihat pesantren lain yang ditinggal guru besarnya itu, banyak yang tutup. Sekedar menyebut nama, di Bukit Tandang Solok itu sudah tidak ada lagi orang mondok, sejak Buya Tuanku Khaidir wafat. Begitu juga sejumlah pesantren yang sama di Padang Pariaman. Artinya, nilai lebih yang bisa kita ambil di sini mampunya Buya Salim Malin Kuniang meletakkan pondasi dasar yang cukup kuat, sehingga Darul 'Ulum Padang Magek semakin diminati santri.

Setahun aku di Padang Magek, terdengar kabar bahwa pimpinan Pesantren Luhur Kalampaian Ampalu Tinggi, Syekh H. Ibrahim meninggal dunia. Kabar itu yang dapat pertama kali di Padang Magek adalah Tuo Sumardi. Dia guru tuo yang dipercaya tinggal di Surau Tungga. Dia punya sebuah radio. Dari radio pagi yang dia dengar kepergian ulama besar tersebut. Tuo Sumardi adalah orang Sungai Pua Tanjung Mutuih, Nagari Koto Dalam. Tak heran, anak asuhannya banyak yang datang dari nagari terdekat, seperti dari Ambacang Gadang.

Dari Surau Tungga, Tuo Sumardi jalan kaki ke Rambatan untuk selanjutnya naik mobil ke Simpang Lima Kaum. Lalu singgah di Surau Tabiang. Orang, para santri senior sedang mengaji pagi bersama Mak Kakan dan Mak Nur. Setelah mengucapkan salam, Tuo Sumardi masuk dan mengabarkan bahwa dia pagi tadi dapat kabar, kalau Buya Ampalu Tinggi meninggal. Spontan, guru-guru dan santri yang sedang mengaji mengucapkan Innalillahi wainnailaihi rajiun.

"Ambo mungkin langsung berangkat ke bawah," kata Tuo Sumardi. Tuo Sumardi ini kabarnya, sebelum ke Padang Magek sempat nyantri di Ampalu Tinggi bersama Syekh Ibrahim tersebut. Saat aku di Padang Magek, Tuo Sumardi telah menjalani profesi seperti Mak Anjang pula, yakni tukang servis jam di pasar. Makanya, hari Selasa dia buka pula di Rambatan, Kamis di Batusangkar, serta ke pasar lainnya di daerah itu.

Jadi, aku merasakan di Padang Magek itu selalu ada guru tuo yang membimbing di tiga surau tersebut. Bahkan, saat aku jadi santri baru terasa sekali banyaknya santri senior yang selalu memberikan motivasi. Memang, secara duduk bersilanya, aku tak sempat ngaji sama Tuo Sumardi. Namun, saat aku akan pindah ke Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan tahun 1994, Tuo Sumardi yang aku cari dan minta tolong sama dia untuk mengantarkan aku ke Lubuk Pandan pertama kali. Hingga saat ini, Tuo Sumardi atau yang dikenal dengan Tuanku Aung masih melakukan profesi tukang servis jam di sejumlah pasar di Kabupaten Padang Pariaman. Kata dia, ada seorang anaknya yang jadi santri saat ini di Padang Magek.

Itulah peristiwa wafatnya dua ulama besar yang aku rasakan saat awal-awal jadi santri. Syekh Ibrahim kalau di Ambung Kapur dikenal dengan Tuanku Haji Ibrahim. Beliau sering ke Ambung Kapur, karena istrinya orang Ambung Kapur. Aku masih kecil, sering melihat dia berjalan kaki dari jalan raya ke rumahnya, pakai tongkat, lengkap dengan pakaian kebesaran ulama, seperti kain sarung dengan peci haji yang dililit dengan serban. Sayang, ulama besar Salim Malin Kuniang tak berjumpa dengan aku. Hanya ada cerita kharisma dia yang diceritakan oleh banyak guru di Padang Magek, serta ziarah tahunan ke Koto, tempat beliau dimakamkan.

Menjelang pulang kampung saat liburan panjang, kami para santri dan guru melakukan ziarah dan zikir di komplek makam Buya Salim Malin Kuniang. Ziarahnya malam hari. Kami mengangkut lampu strongkeng ke sana. Kala itu seluruh Surau Baru belum belistrik. Yang pakai listrik baru Surau Tabiang dan Surau Tungga. Kalau lagi ada acara besar, seperti peringatan Israk Mikraj, acara selawat dulang, lampu strongkeng tampak berkilauan di seluruh sudut Surau Baru.

Lapau Kejujuran, Thareqat dan Kajian Kampung Ala Padang Magek

Surau Ateh, di samping berfungsi sebagai tempat mengaji, juga jadi asrama guru tuo. Mendiang Iskandar Tuanku Kuniang, Anwar Tuanku Sutan Marajo tinggal di Surau Ateh. Sebuah jendela surau dijadikan Iskandar sebagai warung. Dia menjual banyak hal makanan ringan, minuman dan rokok.

Setelah Iskandar pergi dari pesantren, warung itu dilanjutkan Anwar Tuanku Sutan Marajo. Di warung itu umumnya kami para santri belanja kalau sedang kegiatan di surau. Ambil barangnya sendiri, lalu tarok uangnya dalam warung itu yang sudah ada tempatnya.

Zaman itu, 1980 an hingga 1990 an belum dikenal di sekolah-sekolah istilah kantin kejujuran. Tetapi, kami santri Darul 'Ulum telah membuatnya. Ada yang berutang, dan mungkin ada yang tidak jujur. Tapi yang jelas, kedua guru tuo itu saat jualan sepenuhnya ikhlas. Guru tuo itu hanya tahu saat akan belanja lagi, yakni hari Selasa di Pasar Rambatan. Soal berapa uang terkumpul dalam kedai, itu banyak dilakukan Tuo Jalil, Tuo Syahrial dan Tuo Syamsuardi.

Di Surau Ateh pula kegiatan latihan pidato. Dan bila acara tahunan, seperti peringatan Israk Mikraj, itu juga diadakan di Surau Ateh. Termasuk juga wirid yang tua-tua alias ngaji thariqat bersama mendiang Buya Zen dari Tandikek diadakan sekali lima belas hari juga di Surau Ateh.

Begitu juga ngaji para guru tuo dengan Mak Anjang yang dilakukan tiap malam, juga di Surau Ateh. Dilakukan di atas anjung. Aku termasuk yang ikut dalam rombongan ngaji bersama Mak Anjang itu bersama kawan-kawan kelompok dari Surau Peto.

Kelompok Surau Peto itu, di samping aku ada Marjoni, Buyuang Sayang, Bakaruddin alias Atang, Ermi Johanda, Soni Irama, dan kawan lainnya. Sesekali kami yang tinggal di surau itu, dikasih ikan oleh Gaek Peto. Suraunya dikelilingi oleh kolam ikan, yang airnya terus mengalir dari aliran irigasi.

Meskipun kami tinggal di Surau Gaek Peto, soal masak tetap di Surau Baru. Termasuk juga kawan-kawan yang belakangan tinggal di surau yang baru dibangun keluarga Buya Salim Malin Kuniang, sebelah kiri Surau Gaek Peto juga masaknya di Surau Baru. Sekali piket memasak itu cukup banyak anggotanya. Nasi disanduk di dapur, lalu yang piket mengantar ke asrama kawan-kawan dan guru tuo.

Jadi, jadwal menghafal bersama di Surau Gaek Peto kami lakukan, bila tidak ada kegiatan di luar. Sehabis Isya, itu mengaji di atas anjung Surau Ateh bersama Mak Anjang. Sementara, pagi ikut mengaji di Surau Bawah, di Surau Tabiang. Sebab, mengaji pagi dari dulu itu bergiliran tempatnya antara surau yang dua itu. Biasanya, pagi itu di samping mendiang Mak Kakan, juga ada guru Mak Nur, dan Pak Suin. Mak Anjang ada manakala dia sedang tidak ke pasar.

Kumpulan pengajian thariqat bersama Buya Zen, aku tak ikut. Dalam rombongan Surau Gaek Peto yang ikut hanya seorang Marjoni. Sebab, Marjoni dianggap cukup usia untuk ikut pengajian yang tua-tua itu. Suatu kali aku dan Buyuang Sayang pernah mencoba mengintip pengajian itu dari luar surau, dengan cara diam-diam.

Baru sebentar mendengar, keluar Tuo Anwar, langsung menegur kami untuk tidak ikut menguping pengajian tersebut. "Belum pengajian kita itu. Nanti ada masanya. Ibarat anak ayam kalau dikasih padi nanti dia tercekek. Sebab, belum ukuran anak ayam itu makan padi," ulas Tuo Anwar menjelaskan, bahwa santri itu diibaratkan bagaikan anak ayam yang belum pantas memakan makanan yang keras dan yang berat-berat.

Dengan tersipu malu, dan pura-pura ingin belanja ke atas anjung, lalu kami pergi meninggalkan Surau Baru, dan pergi ke belakang, Surau Gaek Peto. Jadwal Buya Zen itu, di samping malam bersama jemaah yang tua-tua yang berasal dari orang kampung sekitar pesantren, dan sebagian guru tuo, pagi Minggu-nya, menjelang balik ke Tandikek, Buya Zen yang alumni Pesantren Madinatul 'Ilmi Buluah Kasok, Padang Pariaman ini ikut mengajarkan kajian kitab pagi Minggu.

Dari kelompok kecil ini barangkali jemaah Tuo Anwar jadi banyak dan berkembang di seantero Tanah Datar. Saat libur yang dimulai jelang puasa sampai lebaran, biasanya Tuo Anwar melanglang buana melakukan kajian thariqat ini di Jakarta dan Bandung. Begitu juga jadwal dakwah dan pengajian Tuo Anwar di luar hampir penuh tiap malam. Sekali aku dan Marjoni pernah mewakili jadwal dakwahnya di Guguak Baruah.

Dengan Marjoni yang anak Galoro, Nagari Tandikek Barat, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman ini, aku punya pengalaman dan memori tersendiri. Dia termasuk kawan yang rajin. Rajin mengaji, rajin ibadah, dan rajin pula berolahraga. Olahraga kami santri Darul 'Ulum sekali seminggu main bola kaki di Lapangan Tanah Sirah, Guguak Baruah.

Baik yang tinggal di Surau Tabiang, Surau Tungga maupun di pusat pesantren, Surau Baru punya aturan yang secara umum sama. Hanya saja yang sedikit berbeda mungkin dalam pengembangan minat dan bakat lewat giliran jadi imam dan baca doa usai shalat lima waktu. Saat aku tinggal di Surau Tabiang, oleh mendiang Tuo Zamzami dan Ajo Ismael, kami dilatih semua dalam bacaan alat shalat itu. Seperti jadi imam gantian. Begitu juga yang mengimami bacaan alat tasbih sehabis shalat, juga bergantian, dan doa begitu pula.

Namun, hal itu tak aku jumpai saat pindah ke Surau Baru. Di Surau Baru cenderung yang jadi imam shalat itu para guru tuo. Paling nanti saat baca doa dan tasbih, kami para santri disuruh secara acak oleh guru tuo yang jadi imam. Biasanya, jelang shalat Zuhur, kami rutin mendengarkan sandiwara lewat radio Carano. Kala itu yang paling buming adalah cerita Tutur Tinular. Satu radio milik guru tuo di Surau Ateh kami dengar secara bersama-sama.

Sekali seminggu, kami para santri dan guru tuo dibolehkan duduk di lapau sambil nonton tv. Biasanya jadwal itu berlaku setelah latihan pidato. Tepatnya malam Minggu atau Sabtu malam. Ada banyak kedai di Guguak Gadang itu tempat para santri nonton tv. Kalau guru tuo biasanya numpang nonton di rumah Buya Salim Malin Kuniang, yang saat itu kami sebut "Rumah Ande". Sebab, ke istri mendiang Buya atau ibu Ampera Salim Patimaradjo, kami para santri dan guru tuo memanggilnya Ande, atau rumah Mak Anjang, dan rumah masyarakat lainnya. Tetapi ada juga guru tuo itu yang ikut bersama kami para santri memilih warung sebagai tempat minum dan nonton tv.

Sebagai pelajaran tambahan, kami mempelajari ilmu alat kampung. Artinya, yang berhubungan dengan adat dan tradisi di perkampungan Padang Pariaman. Seperti kami mempelajari tata cara menyelenggarakan jenazah, sampai mengajikan yang lazim dilakukan di tengah masyarakat, yang dimulai sejak awal hingga seratus hari wafat. Begitu juga cara pelaksanaan shalat Tarwih di bulan puasa juga kami pelajari.

Sehingga tak heran, saat liburan pada bulan Rajab hingga lebaran, kami yang datang dari Padang Pariaman itu biasanya aktif di kampung. Mulai ikut mengaji jelang puasa yang dikenal dengan ngaji bulan lamang hampir di setiap rumah masyarakat. Ketika puasa masuk, kami juga sesekali disuruh jadi imam shalat Tarwih.

Malah, setahun mengaji di pesantren itu saat liburan sudah bisa totalitas jadi imam Tarwih, lantaran surau tak ada imam, misalnya. Sehari jelang liburan panjang di mulai, biasanya kami melakukan acara secara bersama-sama. Selawat Dulang paling trend saat itu. Kami undang dua grup tim selawat dulang. Dulu itu yang paling sering diundang, adalah grup selawat dari Pariangan dan Saruaso.

Lewat selawat dulang itu, kami undang banyak orang. Pesantren Darul 'Ulum terkenal dengan pesantren yang paling membaur di tengah masyarakat Padang Magek. Kami merasa, rumah masyarakat yang ada di Guguak Gadang adalah rumah orangtua kami. Begitu pula masyarakat Guguak Gadang memperlakukan kami para santri dan guru tuo ini bagaikan anaknya kemenakannya, sehingga terjalin hubungan yang baik.

Nah, bila kegiatan ada di surau, orang kampung pada keluar. Alek selawat dulang yang kami lakukan selalu ramai. Itulah Padang Magek. Makanya, saking baik dan eloknya hubungan antara santri dan masyarakat, dari dulu banyak santri yang dari Padang Pariaman tinggal dan kawin dengan orang kampung.

Sekedar menyebut nama, mendiang Mak Kakan, Mak Anjang, Mak Nur, Apuak Mahyuddin, adalah santri dari Padang Pariaman dulunya. Sekitar era 1960 an mereka jadi santri, lalu berlanjut membina keluarga. Dan jadilah mereka sumando Padang Magek dan Rambatan.

Cerita Indah dan Santri Hebat dari Surau Baru Padang Magek

Pertama datang ke Padang Magek, aku diantar Abak dan keluarga setelah tamat sekolah SD tahun 1988. Menempati Surau Tabiang, yang merupakan surau milik mendiang H. Kakan, salah seorang guru di Pondok Pesantren Darul 'Ulum, yang juga warga Ambung Kapur yang telah lama tinggal di Rambatan.

Sebagai orang yang datang dari Ambung Kapur, tentu Abak yang pernah juga mondok dulunya di Padang Magek, dan sampai tamat sekolah di Persiapan IAIN Batusangkar, Abak mengantar aku ke Surau Tabiang. Apalagi Abak dan H. Kakan yang kemudian aku panggil dengan sebutan mamak itu sama-sama santri mendiang Salim Malin Kuniang dulunya.

Yang sama berangkat ke Surau Tabiang dari kampung, adalah Syamsuar Kamal, Ali Mutamar. Kami bertiga ini sama-sama tamat SD, dan sama-sama diantarkan ke pesantren oleh orangtua. Tak beberapa hari setelah aku sampai di Surau Tabiang, datang pula warga Ambung kapur lainnya, Anwar Syam, cucu kandung oleh Mamak Kakan.

Mahyuddin, kemenakan mamak Kakan yang juga telah jadi warga Rambatan yang banyak menemani kami para santri di kala malam. Kami mengaji bersama. Sebelumnya, saat kami kelas enam SD, Apuak, begitu kami memanggil Mahyuddin, pernah pulang kampung, dan sempat lama tinggal di kampung, yakni di Surau Langkuik.

Nah, selama dia di kampung itulah, kami yang datang ke Padang Magek itu pernah ngaji matan taqrib, matan bina, matan jurumiah serta makna Quran bersama Apuak. Belakangan, karena kesibukan Apuak yang semakin tinggi, dan banyak apsen mengajar. Didatangkanlah dua orang guru tuo dari Surau Baru.

Dia mendiang Zamzami dan Ismael. Zamzami yang orang Batang Piaman Gadang, Nagari Koto Dalam ini ikut membawa dua kemenakannya, Mukhlis dan Mansurni ke Surau Tabiang. Sedangkan Ismael sendirian. Cukup lama juga kami para santri yang datang dari Ambung Kapur, Pasar Usang itu ngaji bersama dua orang guru tuo tersebut.

Tahun berjalan, Tuo Zamzami melanjutkan merantau ke Palembang, menurutkan kakaknya yang telah duluan berhasil di kampung wong kito galo itu. Sedangkan Ismael yang warga Sarang Gagak melanjutkan mengaji ke Koto Laweh, Tanah Datar, bersama Tuanku Dahlan, orang kampungnya yang malin, alumni Pesantren Madrasatul 'ulum Lubuk Pandan.

Dua teman aku yang sama berangkat dari kampung, Syamsuar Kamal dan Ali Mutamar hanya bertahan setahun. Ali Mutamar memilih jadi kernet mobil Padang Sago - Padang setelah sempat pindah ke Pesantren Luhur Surau Mato Aie, Pakandangan. Syamsuar Kamal hanya bertahan di kampung.

Aku karena terasa jauh berulang mengaji dari Surau Tabiang ke Surau Baru, setelah minta izin ke Mamak Kakan dan Apuak Mahyuddin, memilih pindah tempat tinggal ke Surau Baru. Surau Baru itu mengingatkan kembali masa lalu saat aku nyantri dulu. Di surau itulah aku belajar ngaji, tahu adab sopan santun, memuliakan guru dan menghormati teman-teman yang senasib sepenanggungan. Di surau itu pula letaknya pusat sentral Pondok Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek.

Dari 1988 hingga 1992 aku ngaji di Padang Magek bersama sejumlah kawan yang datang dari Ambung Kapur, Kabupaten Padang Pariaman. Surau Baru kala itu ada dua. Makanya, ada Surau Ateh dan ada Surau Bawah. Kedua surau itu berfungsi, ya untuk ngaji, ya sekalian asrama. Sebagai tempat mengaji, di surau itu aku dan kawan-kawan belajar berbagai disiplin ilmu agama melalui kitab kuning. Waktu ngaji pagi, siang dan malam. Ada guru yang mendampingi saban waktu, yakni dari santri senior yang biasa kami panggil dengan sebutan guru tuo, lantaran mungkin karena usia dan ilmunya lebih dalam dari kami yang santri yunior.

Guru tuo, seperti alm H. Anwar Tuanku Sutan Marajo, Iskandar Tuanku Kuniang, Tuanku M. Jalil adalah guru yang paling tahu nasib dan perasaian para anak faqih di asrama. Dan ada juga guru tuo lain. Selama di Surau Baru, aku punya kelompok bersama kawan-kawan lain, yang merupakan gabungan dari surau lain, seperti Surau Tungga, dan Surau Baru.

Sementara, Mamak Kakan, Mak Anjang, Mak Nur, Pak Suin itu lebih banyak mengajar pagi. Pak Suin atau Suhaili Ya'kub adalah pimpinan pondok sepeninggal mendiang Buya Salim Malin Kuniang. Dia mengajarkan ilmu hadist.

Sempat kelompok itu tenar, dan terkenal sebagai kelompok yang paling rajin menghafal secara bersama. Kami memilih tinggal di belakang Surau Baru. Surau Gaek Peto namanya. Tak banyak kami di situ. Tapi kemampuan dan kerajinan kami saat itu jadi rujukan oleh para guru tuo saat memberi motivasi dalam belajar dakwah.

Belajar dakwah dalam program muhadharah, itu dilakukan sekali seminggu di lingkungan Pesantren Darul 'Ulum. Setiap Sabtu malam atau malam Minggu. Tiga surau-nya yang selalu terpakai tempat latihan berpidato para santri tersebut. Yakni Surau Baru, Surau Tabiang dan Surau Tungga.

Masa yang paling mengasyikan dan menyenangkan lumayan terasa selama menjadi santri. Selama lima tahun lebih kurang aku di sana, banyak ilmu dan keilmuan yang aku dapatkan. Dari sana aku terlatih senang dan gemar berorganisasi. Di Padang Magek itu selalu masak bersama, dengan sistim giliran alias piket masak.

Bagi yang piket akan terasa sekali, betapa ada kerja bakti yang melahirkan rasa kepedulian terhadap sesama. Di lingkungan Surau Baru air yang ada hanya untuk mandi. Tak bisa untuk masak. Kalau air untuk masak, itu kami jemput ke Koto. Ada beberapa meter dari surau arah ke makam Buya Salim Malin Marajo.

Kini, Surau Baru telah banyak perubahannya. Lokasi yang dipakai saat ini, pondasi dasarnya sempat aku dan kawan mengerjakan secara gotong royong. Batu bangunan pondasinya kami cari di sungai yang cukup jauh. Lupa nama sungainya. Lokasinya arah ke Ombilin. Kami keluarkan batu dari dalam sungai, lalu mobil mengangkut batu itu ke pesantren.

Surau Baru dan Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek telah memberikan banyak ilmu dan kenangan tersendiri bagi aku dan tentunya bagi kawan-kawan yang pernah mondok dulunya. Ada cerita yang mungkin tak bisa dilupakan hingga ini hari, yang tentu jadi memori, biarlah aku dan Tuhan saja yang tahu.