wartawan singgalang

Senin, 25 Juli 2016

Sutisna Sendjaya, Ulama yang Tokoh Pers Jawa Barat

Sutisna Sendjaya, Ulama yang Tokoh Pers Jawa Barat

Raden Sutisna Sendjaya lahir di Wanaraja, Garut, pada 27 Oktober tahun 1890 M dan wafat di Bandung pada 11 Desember tahun 1961. Selain sebagai tokoh NU, ia sangat dikenal sebagai tokoh pers di Jawa Barat.
<>
Ia dikenal sebagai Pemimpin Redaksi Majalah al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama yang diterbitkan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Tasikmalaya pada bulan Agustus 1933. Pengabdiannya di NU, ia lanjutkan hingga tingkat wilayah. Tahun 1948 menjadi ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat. Selain aktif di NU, ia juga salah seorang tokoh pergerakan di Paguyuban Pasundan.

Dalam dunia jurnalistik, selain di Al-Mawaidz, ia pernah menjadi redaktur di beberapa surat kabar pada masa penjajahan Belanda seperti Silliwangi (1921-1922). Aktif menulis di surat kabar Sipatahoenan (1923). Dalam menulis, ia sering menggunakan inisial Sutsen.

Pendidikan Sutsen ditempuh di Sakola Raja (KweekSchool) di Bandung pada tahun 1911. Sutsen pernah mengajar di HIS Banten kemudian di HIS Bandung. Kemudian ia melanjutkan belajar ke HKS, dan kemudian melanjutkan kembali kegiatan mengajar di HIS Pasundan 1 Tasikmalaya.

Pada zaman penjajahan Jepang, ia menjadi anggota Chuo Sangi in. Kemudian menjadi koordinator pergerakan perjuangan rakyat pada zaman revolusi fisik dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Tasikmalaya.

Pada zaman penjajahan Belanda, Sutsen bersama pengurus NU Tasikmalaya seperti KH Ruhiat (ayah dari Rais Aam PBNU KH Ilyah Ruhiat), berpandangan, gelar ulil amri bagi pemerintah kolonial harus dipandang sebagai suatu siyasi (politik). Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan yang sah, tetapi statusnya tetaplah penguasa asing yang hanya berkuasa secara politik.
Dengan demikian, pemerintah hanya berwenang mengatur masyarakat berkaitan urusan politik. Masalah lain seperti keagamaan, sejatinya diserahkan sepenuhnya kepada para ulama yang menjadi panutan rakyat.

Zaman kemerdekaan, pada tahun 1952, Sutsen menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta. Setelah pensiun pada tahun 1954, ia bergabung dengan Daya Sunda. Kemudian bersama teman-temannya kembali aktif dalam jurnalistik. Ia menerbitkan mingguan berbahasa Sunda Kalawarta Kudjang (1956) dan bertindak sebagai pemimpin redaksi. (Abdullah Alawi, dari berbagai sumber)
Sutisna Senjaya, Tokoh Pers dari NU Jabar

Minggu, 17 Juli 2016

Ikan Larangan Aua Malintang

Ikan Larangan Aua Malintang

Menyinggahi Pariaman, pelancong akan terkenang dengan gulai kepala ikannya yang terkenal nikmat atau suasana pantainya. Namun lupakan sejenak soal itu, cobalah menengok lebih jauh dari wilayah Pariaman lainnya.

Singgahilah objek wisata yang terletak di Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, tepatnya berada di bawah Jembatan Jalan Raya Sijanih. Lokasinya sekitar 50 KM arah utara Pariaman terdapat objek wisata yang dinamakan Ikan Larangan.

Disebut ikan larangan, karena konon ceritanya siapa yang memakan ikan tersebut akan terkena musibah, entah itu sakit aneh, perut menjadi buncit, ataupun musibah lainnya. Tapi sebenarnya ikan ini bisa dimakan, dengan syarat saat hari-hari tertentu saja seperti pada hari acara adat ataupun hari besar keagamaan.

Menurut informasi yang dihimpun, dulunya di sungai tempat ikan larangan itu berada, ada seseorang yang sakti memberi ilmu teluh kepada bibit-bibit ikan yang ada di sini. Hal itu dilakukannya agar tidak ada yang berani mencurinya. Namun orang yang menaruh teluh pada ikan-ikan tersebut meninggal tanpa mencabut teluh itu terlebih dahulu. Ceritanya selalu ada kejadian aneh yang kerap kali terjadi di sana seperti ada yang kesurupan karena membuang sampah di sungai tersebut.

Menurut cerita salah satu warga sekitar, Anya (49), saat dihubungi melalui telepon, mengatakan, ikan tersebut tak boleh diambil. Ada batas-batas di mana ikan itu boleh diambil. Kalau sudah lewat dari area larangan, ikan itu baru boleh di ambil.

Namun, beberapa orang tetua di daerah sana mengatakan bahwa sebenarnya itu hanya mitos, alasan supaya ekosistem yang ada di dalam sungai tersebut dapat terjaga kelestariannya. Buktinya, dengan ada larangan tersebut, sungai tempat ikan larangan itu jernih tanpa ada sampah yang mengotori permukaan sungai tersebut. Tentunya ikan-ikan di dalam sana berjumlah banyak dan besar-besar.

Tentu ikan-ikan ini tidak dibiarkan hidup selama ratusan tahun atau dibiarkan mati begitu saja, setidaknya dengan membuka kesempatan di hari-hari tertentu, ikan dapat di pancing dan dimakan. Pihak pemangku adat dan aparat nagari biasanya melaksanakan ritual membuka larangan bersama-sama masyarakat di mana hasil yang diperoleh digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Objek wisata ikan larangan ini banyak dimanfaatkan oleh pelancong melakukan terapi ikan atau sekadar memberi makan untuk ikan. Selain itu pengunjung juga tidak dipungut biaya alias gratis.

Sampai saat ini orang-orang sekitar percaya jika komitmen untuk tidak menangkap ikan itu dilanggar, mereka akan tertimpa musibah. Kecuali di hari-hari yang telah ditentukan. Tak percaya dengan mitos ini? silakan buktikan dan kunjungi objek wisata ikan larangan di Sungai Geringging.

Terowongan Batu Lubang Saksi Kekejaman Kolonial Belanda

 Terowongan Batu Lubang Saksi Kekejaman Kolonial Belanda

Terowongan Batu Lubang atau juga disebut terowongan batu, merupakan jalur lintas Tarutung ke Sibolga atau sebaliknya. Batu Lubang ini memiliki sejarah dan misteri, dan merupakan saksi bisu kekejaman kolonial Belanda, karena pembuatannya merupakan kerja paksa pada zaman penjajahan Belanda.

Terowongan Batu Lubang ini berada di Desa Simaninggir, Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Pengerjaan Batu Lubang ini dimulai oleh Belanda pada Tahun 1930. Batu cadas keras di sisi Bukit Barisan ini pada mulanya dibuat oleh Belanda dengan tujuan untuk memperlancar transportasi menuju Tarutung. Belanda secara paksa mempekerjakan warga pribumi Indonesia. Batu cadas ini oleh para pekerja paksa dipahat sedikit demi sedikit sampai menembus perbukitan yang ada. Setelah Belanda hengkang, pengerjaan Batu Lubang dilanjutkan oleh Jepang.

Kondisi pekerja yang dipekerjakan tidak berbeda jauh dengan jaman pendudukan Belanda. Warga pribumi juga disuruh kerja paksa atau kerja rodi. Tidak jarang pekerja yang tewas setelah mendapat perlakuan kejam oleh kedua penjajah ini mayatnya langsung dibuang ke dalam jurang yang berada di sisi Batu Lubang. Jurang di tepian Batu Lubang ini memiliki kedalaman ratusan meter, sehingga benda apapun yang dibuang dari atas tidak akan terlihat lagi dan lenyap dari pandangan.

Untuk menuju tempat ini, kita harus menempuh jarak sekitar 7 KM dari dari Sibolga menuju Tarutung-Medan. Kendati hanya berjarak beberapa kilometer dari Sibolga tapi perjalanan menuju Batu Lubang memakan waktu sekitar 20 Menit karena harus melewati jalan menanjak dan berliku di sisi lereng Bukit Barisan.

Dari Sibolga menuju Batu Lubang kita harus ekstra hati-hati membawa kendaraan karena di sebelah kanan adalah pegunungan yang menjulang tinggi dan disebelah kiri adalah jurang yang curam.

Di Desa Simaninggir ini terdapat dua Batu Lubang. Letak keduanya saling berdekatan, hanya berjarak sekitar 70 meter. Bila kita dari Sibolga, Batu Lubang pertama dijumpai memiliki panjang sekitar 10 meter dan bentuknya menikung mengikuti bentuk jalan. Batu Lubang kedua berukuran lebih pendek, memiliki panjang sekitar 8 meter, sedangkan ketinggiannya secara kasat mata dapat dilewati oleh truk-truk yang melintasi jalan Sibolga-Tarutung.

Di atas kedua Batu Lubang ini mengalir deras air terjun yang airnya sangat jernih. Demikian juga di dalam kedua Batu Lubang, rembesan air terjun yang mengalir telah mempengaruhi suhu udara di dalamnya, sehingga membuatnya terasa lembab dan sejuk.

Saat kita melintasi Batu Lubang, kita harus membunyikan klakson kendaraan sebagai tanda peringatan kepada kendaraan lain agar tidak bertemu secara bersamaan di dalamnya. Batu Lubang ini hanya dapat dilalui oleh satu kendaraan saja.

Untuk itu perlu kesabaran bila ada dua kendaraan yang saling bertemu muka saat akan melewati Batu Lubang. Bukan hanya klason yang dibunyikan, tetapi lampu kendaraan juga harus dinyalakan karena di dalam Batu Lubang tidak memiliki penerangan matahari yang cukup memadai, suasana gelap kelam langsung menyambut orang yang akan melintasi terowongan ini.

Disamping ekstra hati-hati membawa kendaraan, juga harus tanggap dengan kondisi alam yang ada karena jalanan aspal di dalamnya juga rusak karena sering tergerus oleh air yang merembesi terowongan batu cadas ini.

Jumat, 15 Juli 2016

Subchi Parakan Terkenal dengan "Kiai Bambu Runcing"

Subchi Parakan Terkenal dengan "Kiai Bambu Runcing"
 
Revolusi kemerdekaan Indonesia ditopang oleh perjuangan kaum santri dan barisan Kiai yang menyelamatkan negeri. Sayangnya, kisah perjuangan para kiai dan santri, tenggelam dalam narasi sejarah Indonesia. Salah satunya, Kiai Subchi Parakan, yang dikenal dengan "Kiai Bambu Runcing". Bagaimana kisah hidup dan perjuangan Kiai Subchi?

Kiai Subchi lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar tahun 1850. Subchi, atau sering disebut dengan Subeki, merupakan putra sulung Kiai Harun Rasyid, penghulu masjid di kawasan ini. Subchi kecil bernama Muhammad Benjing, nama yang disandang ketika lahir. Setelah menikah, nama ini diganti menjadi Somowardojo,  kemudian nama ini diganti ketika naik haji, menjadi Subchi.

Kakek Kiai Subchi, Kiai Abdul Wahab merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati  Suroloyo Mlangi, Yogyakarta. Kiai Abdul Wahab inilah yang menjadi pengikut Pangeran Dipanegara, dalam periode Perang Jawa (1825-1830). Ketika laskar Dipanegara kalah, banyak pengikutnya yang menyembunyikan diri di kawasan pedesaan untuk mengajar santri. Jaringan laskar kiai kemudian bergerak dalam dakwah dan kaderisasi santri.

Kiai Wahab kemudian mengundurkan diri untuk menghindar dari kejaran Belanda. Ia menyusuri Kali Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga singgah di kawasan Parakan. Kawasan Parakan merupakan titik penting arus transportasi kawasan Kedu, yakni sebagai persimpangan Banyumas, Kedu, Pekalongan dan Semarang. Keluarga Kiai Abdul Wahab kemudian menetap di Parakan, sebagai tempat bermukim untuk menggembleng santri dan menyiapkan perlawanan terhadap penjajah.

Pasukan Belanda henti-hentinya mengejar pengikut Dipanegara di berbagai pelosok Jawa, terutama Yogyakarata, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika Ibunda Kiai Subchi mengandung, Belanda masih sering mengejar keturunan Kiai Wahab, serta santri-santri yang diduga menjadi pengikut Dipanegara. Pada tahun 1885, Subchi kecil berada di gendongan ibundanya untuk mengungsi dari kejaran pasukan Belanda.

Subchi kecil dididik oleh orangtuanya, dengan tradisi pesantren yang kuat. Ia kemudian nyantri di pesantren Sumolangu, asuhan Syekh Abdurrahman Sumolangu (ayahanda Kiai Mahfudh Sumolangu, Kebumen). Dari ngaji di pesantren inilah, Kiai Subchi menjadi pribadi yang matang dalam ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.

Parakan: Simpul Perjuangan Laskar Santri

Parakan merupakan sebuah kota kecil di Kabupaten Temanggung. Kota ini, memiliki arti penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada awal abad 20, Temanggung menjadi basis pergerakan Sarekat Islam (SI). Kaum santri yang tinggal di Parakan, menjadi tulang punggung kaderisasi SI. Bahkan, di Parakan juga pernah diselenggarakan Kongres Sarekat Islam, yang dihadiri oleh HOS Tjokroaminoto. Pada 1913, anggota Sarekat Islam di Parakan, berjumlah 3.769 orang. Cabang SI Temanggung dibuka pada 1915, dengan jumlah anggota 4.507 (Thamrin, 2008).

Di Parakan, Temanggung, masa sebelum kemerdekaan sangat memprihatinkan bagi rakyat. Hal ini, karena kondisi ekonomi sangat sulit dan politik pemerintah Hindia Belanda yang memeras rakyat dengan tanam paksa, maupun sistem kerja paksa. Ketika Jepang menduduki Jawa, warga Temanggung juga menanggung beban yang sulit. Kewajiban Romusha menjadi beban yang sangat berat bagi rakyat Parakan di Temanggung. Pemberlakukan romusha menjadikan warga terlantar, hidup sengsara, lahan pertanian terbengkalai, hingga sebagian warga menderita busung lapar karena sulitnya memperoleh makanan. Bahkan, kain karung goni sebagai penutup tubuh, menjadi pemandangan biasa pada masa itu (Darban, 1988). Warga Parakan, Temanggung juga banyak yang direkrut sebagai romusha. Mereka dikirim ke Banten, serta ke wilayah Malaysia dan Myanmar.

Pada masa kemerdekaan, Parakan Temanggung menjadi simpul pergerakan untuk melawan penjajah. Ketika Pemerintah Hindia Belanda berusaha menggunakan strategi pemisahan wilayah, berupa garis demarkasi Van Mook, warga Temanggung juga bergerak untuk melawan diskriminasi politik yang dilancarkan Hindia Belanda. Pada saat itu, dibentuklah Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Barisan ini dipelopori oleh kiai-santri, yang bertujuan untuk memobilisasi kekuatan rakyat melawan penjajah. BMT didirikan pada 30 Oktober 1945 di masjid Kauman Parakan.

Sebelum adanya BMT, warga Parakan Temanggung bergerak dalam jaringan Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Warga Parakan yang tergabung dalam BKR sempat melakukan serangan terhadap sembilan bekas Tentara Jepang yang akan menuju Ngadirejo. Ketika melewati Parakan, pasukan Jepang diserbu oleh warga yang terkonsolidasi dalam BKR. Peristiwa penyerangan ini, dikenal sebagai Peristiwa Batuloyo (Gunardo, 1986).

Setelah adanya Barisan Muslimin Temanggung, operasi warga untuk melawan penjajah semakin gencar. Santri-santri yang tergabung dalam barisan ini, menjadi bertambah semangat dengan dukungan kiai, terutama Kiai Subchi Parakan. Beberapa kali, BMT berhasil menyerbu patroli militer Belanda yang lewat kawasan Parakan. Perjuangan heroik BMT dan dukungan Kiai Subchi, mengundang simpatik dari jaringan pejuang santri dan militer. Beberapa tokoh berkunjung ke Parakan, untuk bertemu Kiai Subchi dan pemuda BMT: Jendral Soedirman (1916-1950), Kiai Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Zaenal Arifin (Hizbullah), Kiai Masykur (Sabilillah), Kasman Singadimedja (Jaksa Agung), Mohammad Roem, Mr. Wangsanegara, Mr. Sujudi, Roeslan Abdul Gani dan beberapa tokoh lainnya.

Ketika pasukan Belanda menyerbu kembali Jawa pada Desember 1945, barisan santri dan kiai bergerak bersama warga untuk melawan. Pertempuran di Ambarawa pada Desember 1945 menjadi bukti nyata. Bahkan, Jendral Sudirman berkunjung ke kediaman Kiai Subchi untuk meminta doa berkah dan bantuan dari Kiai Subchi. Jendral Sudirman sering berperang dalam keadaan suci, untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi. Dari narasi ini, dapat diketahui bahwa Jenderal Sudirman merupakan santri Kiai Subchi.  

Kiai Bambu Runcing, Kiai Penggerak

Kiai Subchi dikenal sebagai seorang yang murah hati, suka membantu warga sekitar yang kekurangan. Jiwa bisnisnya tumbuh seiring dengan kesuburan tanah di lereng Sindoro – Sumbing. Pertanian menjadi andalan, dengan pelbagai macam tanaman yang menjadi ladang pencaharian warga. Saat ini, Parakan dikenal sebagai kawasan andalan dengan hasil tembakau terbaik di Jawa. Kiai Subchi, pada waktu itu, sering membagikan hasil pertanian, maupun menyumbangkan lahan kepada warga yang tidak memilikinya. Inilah kebaikan hati Kiai Subchi, hingga disegani warga dan memiliki kharisma kuat.

Ketika barisan Kiai mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subchi turut serta dengan mendirikan NU Temanggung. Beliau menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris. Nama terakhir merupakan ayahanda Kiai Muhaiminan Gunardo, yang menjadi tokoh pesantren dan NU di kawasan Temanggung-Magelang. Kiai Subchi juga sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi. Pada 1941, Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung, yang langsung dipantau oleh Kiai Subchi.

Kiai Subchi dikenal sebagai kiai 'alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk bertempur melawan penjajah. Kiai ini, dikenal sebagai "Kiai Bambu Runcing", karena pada masa revolusi meminta pemuda-pemuda untuk mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing, kemudian diberi asma' dan doa khusus. Dengan bekal bambu runcing, pemuda-pemuda berani tampil di garda depan bertarung dengan musuh. Bambu runcing inilah yang kemudian menjadi simbol perjuangan warga Indonesia untuk mengusir penjajah.

Dalam catatan Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), Kiai Subchi menjadi rujukan askar-askar yang berjuang di garda depan revolusi kemerdekaan. "Berbondong-bondong barisan-barisan laskar dan TKR menuju Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sindoro dan Sumbing. Di antaranya yang terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Masykur", Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, "Barisan Banteng" di bawah pimpinan dr. Muwardi, Laskar Rakyat di bawah pimpinan Ir. Sakiman, Laskar Perindo di bawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini, baik TKR maupun badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju Parakan".

Kiai Subchi dikenal sebagai sosok sederhana, zuhud dan sangat tawadhu'. Ketika banyak pemuda pejuang yang sowan untuk minta doa dan asma', Kiai Subchi justru menangis tersedu. "KH Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, dan KH Masjkur pernah mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, Kiai Subchi menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam tersebut. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH. Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai. Tapi, Kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah benar", catat Kiai Saifuddin Zuhri dalam memoarnya "Berangkat dari Pesantren".

Kiai Subchi merupakan teladan dalam kedermawanan, pengetahuan dan perjuangan. Sosok Kiai Subchi menjadi panutan bangsa ini untuk mengawal negeri, mengawal NKRI. Selayaknya, negara mengakuinya sebagai Pahlawan Bangsa.


*Munawir Aziz, periset Islam Nusantara, pengurus LTN PBNU (Twitter: @MunawirAziz)
 

Referensi:

Ahmad Adaby Darban, Sejarah Bambu Runcing, Laporan Penelitian: Fakultas Sastra UGM, 1988.

_________________________, Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia, Surabaya: JP Books, 2008.

Ahmad Baso, Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka Afid, 2015.

Amran Habibi, Sejarah Pencak Silat Indonesia: Studi Historis Perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate di Madiun Periode 1922-2000. Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009

Husni Thamrin,dkk, Geger Doorstoot: Perjuangan Rakyat Temanggung1945-1950, Temanggung: Dewan Harian Cabang, 2008.

Muhaiminan Gunardo, Bambu Runcing Parakan, Yogyakarta: Kota Kembang,1986.

Nur Laela, Perjuangan Rakyat Parakan-Temanggung dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1946), Skripsi UIN Yogyakarta, 2014.

KH Muhammad Yahya, Mursyid Tariqat dan Pejuang Kemerdekaan

 KH Muhammad Yahya, Mursyid Tariqat dan Pejuang Kemerdekaan

”Manusia dilahirkan dalam keadaan mengangis, sementara orang di sekelilingnya tertawa bahagia atas kelahirannya. Maka pada saat ia meninggal, harusnya yang terjadi adalah sebaliknya. Ia meninggal dalam keadaan senyum, sementara orang di sekelilingnya menangis bersedih atas kepergiannya.” Mungkin syair inilah yang tepat untuk menggambarkan kepergian sosok kiai kharismatik yang terkenal dengan nilai-nilai kesufiannya, Almagfurlah KH Muhammad Yahya, 23 November 1971 lalu.

Bagi kaum tarekat di Indonesia, khususnya pengikut Thariqah Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), nama KH Muhammad Yahya tentu sudah sangat masyhur. Keberadaannya sebagai salah seorang mursyid TQN membuat murid-muridnya menyebut Kiai Yahya sebagai Syekhul Mursyidin.

Dilahirkan tahun 1900 M di Desa Jetis, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, KH Muhammad Yahya sejak kecil sudah bersentuhan dengan ilmu agama melalui pendidikan khas ala pesantren yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Kiai Qoribun dan ibunya, Nyai Ratun. Hidup di tengah keluarga yang religius, Kiai Yahya juga mengikuti pendidikan dasar agama yang diasuh oleh pamannya, yaitu Kiai Abdullah yang juga salah satu mursyid Thariqah Kholidiyah. Di surau pesantren pamannya inilah Kiai Yahya mengenal dasar-dasar aqidah, bimbingan ibadah dan doktrin etika agama. Penguatan dasar agama di masa kecil ini menjadikannya kuat dan kokoh dalam mempertahankan prinsip.

Kiai Yahya kecil hingga remaja memang terkenal sangat mencintai ilmu. Terbukti, tidak kurang dari enam pesantren menjadi jujugan-nya dalam menuntut ilmu selama kurun waktu 20 tahun. Mulai dari Pesantren Bungkuk Singosari, Pesantren Cempaka Blitar, Pesantren Kuningan Blitar, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Kiai Asy’ari Tulungagung hingga Pesantren Jampes Kediri. Keenam pesantren tersebut telah memberi maziyah keilmuan tersendiri bagi Kiai Yahya.

Setelah dirasa cukup, di tahun 1930 atas restu Kiai Ihsan, akhirnya Kiai Yahya boyong ke kota kelahirannya di Malang. Dan di tahun itu pula, Kiai Yahya diambil menantu oleh Kiai Isma’il, dan dinikahkan dengan putri angkat beliau yang bernama Siti Khodijah. Kiai Isma’il mengambil putri angkat dari kemenakannya sendiri, yaitu Kiai Abdul Majid. Kedua ulama ini merupakan pengasuh generasi kedua Pondok Pesantren Gadingkasri Malang, nama Pondok Pesantren Miftahul Huda saat itu, yang sekarang lebih dikenal dengan Pondok Gading. Namun, baru lima tahun usia pernikahanannya, Kiai Abdul Majid dan Kiai Isma’il wafat. Akhirnya, Kiai Yahya mengemban tugas ganda, baik sebagai pengasuh pesantren maupun sebagai kepala keluarga.

Aktif di Medan Tempur

Saat memimpin Pesantren Gading inilah, Kiai Yahya terpanggil untuk mendarmabaktikan jiwa dan raga untuk membela kehormatan bangsa. Kiai yang memiliki sebelas anak ini ikut terlibat aktif dalam upaya heroik membela bumi pertiwi. Bersama seorang komandan batalyon tentara Badan Keamanan Rakyat (BKR) bernama Mayor Sulam Syamsun, Kiai Yahya turut serta merancang, menyusun strategi dan menggerakkan santri dan rakyat untuk melakukan perang gerilya di Kota Malang dan sekitarnya. Bahkan, saat Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad pada 10 November 1945, Kiai Yahya juga termasuk salah satu dari ratusan ribu pejuang yang ikut bertempur di garis depan. Keikutsertaannya di pertempuran tersebut atas permintaan khusus dari Panglima BKR Divisi Untung Soeropati, Mayor Jenderal Imam Soedja’i.

Semasa perang gerilya berlangsung, Pondok Pesantren Gading dijadikan sebagai markas pasukan dalam melakukan penyerangan ke jantung kota. Karena letaknya yang strategis dan dianggap sebagai netral zone (daerah netral), hal ini membuat pasukan merasa aman dan leluasa merancang dan merencanakan serangan. Selain itu, Pondok Gading juga terkenal di kalangan para pejuang sebagai tempat yang aman bagi berkumpulnya pimpinan dalam melakukan pertemuan dan briefing.

Hal ini sesuai dengan pernyataan KH Abdurrahman Yahya (putra ke-5 Kiai Yahya) saat ditemui penulis di kediamannya, Minggu (5/7) lalu yakni, “Walaupun terhitung lebih dari sepuluh kali mortir (bom) jatuh di darah Gading namun tidak pernah terjadi ledakan yang membahayakan,” ujar Mbah Kiai Man, sapaan akrab KH Abdurrahman Yahya.

Demikian pula  ketika meletusnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang mana hal tersebut dikhawatirkan bakal merembet ke daerah lain, maka KH Abdul Wahid Hasyim sebagai wakil pemerintah dan petinggi Nahdlatul Ulama memilih berkunjung ke Pondok Gading. Didampingi Kepala Staf Divisi VII Surapati Kolonel Iskandar Sulaiman, di pondok inilah diadakan rapat terbatas bersama Komandan Batalyon Hamid Rusdi, Sullam Syamsun, Abdul Manan, Kapten  Yusuf bin Abu Bakar dan Kiai Yahya yang menekankan kepada seluruh pejuang untuk tidak terpengaruh oleh provokasi DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Kiai Yahya di kalangan para pasukan juga sangat terkenal dengan sikap pemberaninya. Setelah agresi Militer Belanda 1 yang memaksa pejuang Indonesia dipukul mundur. Dari pihak Indonesia, Mayor Sullam memikul tugas berat untuk merebut kembali Kota Malang yang sudah terlanjur dikuasai oleh pasukan asing. Disiapkanlah strategi perang gerilya. Semua kekuatan dikerahkan, termasuk potensi dan kharisma Kiai Yahya. Ada empat tugas khusus yang harus dilakukan Kiai Yahya. Di antaranya, tugas motivator, tugas intelejen, tugas logistik, dan tugas teritorial. Meski tergolong berat, namun tugas tersebut dijalankan dengan baik oleh Kiai Yahya yang mampu menggerakkan santri dan masyarakat sekitar. Tidak heran jika Kiai Yahya dikenal sebagai seorang ahli strategi dan mobilisator yang tangguh, istiqomah, tegas dan cerdas.

Pagi, 4 Syawal 1392 H atau bertepatan pada tanggal 23 November 1971 M sekitar pukul 09.30 WIB, Kiai Yahya mengembuskan nafas terakhir, menghadap Allah SWT pada usia 71 tahun. Ada yang berpendapat ia meninggal pada usia 68 tahun karena Kiai Yahya lahir pada 1903. Namun, menurut saksi hidup, KH Abdurrahman Yahya, saat ditemui penulis, yang lebih valid adalah Kiai Yahya lahir tahun 1900, sehingga umur beliau 71 tahun. Terlepas dari itu semua, kepergiannya yang mendadak dan begitu mudah, membuat keluarga ndalem, tetangga dan santri setengah tidak percaya, termasuk Nyai Khodijah dan KH Abdurrahman Yahya yang mendampingi hingga detik-detik terakhir. Namun Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Berkehendak untuk menciptakan makhluk sekaligus mengambilnya. Akhirnya, Kiai Yahya wafat meninggalkan ilmu, pesan, teladan dan kenangan tiada terukur bagi siapa pun.

Muhammad Faishol, mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini menjadi Koordinator Redaktur Media Santri NU (MSN) Malang; Santri Sholawatul Qur’an Banyuwangi dan Sabilurrosyad Gasek Malang. 

Senin, 04 Juli 2016

Surau dan Kearifan Lokal Minangkabau

Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau-Sumatera Barat
Dalam tradisi keilmuan Islam, kemampuan bahasa Arab menempati posisi penting. Siapa saja yang ingin mengetahui seluk-beluk agama harus mempelajari dan mahir dalam bidang yang satu ini. Oleh karenanya bahasa Arab sering disebut sebagai ilmu Alat, yaitu perkakas yang wajib dimiliki sebelum mendalami ilmu-ilmu agama Islam lainnya. Berdasarkan hal demikian, keilmuan bahasa Arab menjadi mata pelajaran penting yang paling awal dipelajari oleh seorang ‘Anak Siak’ (sebutan santri di Minangkabau) sebelum terjun ke bidang-bidang lainnya. Hal ini berlangsung rata pada masing-masing lembaga pendidikan Islam sejak awal hingga sampai saat ini.
Surau, lembaga pendidikan Islam tradisional Minangkabau, merupakan salah satu contoh yang dapat kita lihat pada kali ini. Sejak awal kemunculan dan pengaruhnya, Surau telah memainkan peran intelektual yang sangat penting. Peran itu bukan hanya terletak pada transmisi keilmuan yang mengacu pada peradaban Timur Tengah, Makkah tentunya, lebih dari itu surau mampu menjadi rahim yang melahirkan jaringan intelektual yang luas, kaya, dan beragam. Hal ini dapat kita lihat dari transmisi keilmuan Surau yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Terdapat beberapa spesialisasi keilmuan yang diajarkan oleh komunitas surau, antara lain Fikih, Tauhid, Tafsir, Tata Bahasa Arab dan lainnya. Di awal perkembangan surau, kita dapati bahwa vak keilmuan dan literatur yang digunakan lebih sederhana. Hal ini dimungkinkan karena Islamisasi yang berjalan perlahan-lahan, memasuki jantung kebudayaan Minangkabau, sehingga pengajaran Agama hanya dimungkinkan untuk ilmu-ilmu yang dianggap penting, seperti tata cara ibadah (fikih), tauhid, tafsir dan bahasa Arab. Dengan mempelajari ilmu-ilmu ini, seorang urang siak diharapkan mampu mengembangkan diri dengan berkelana mencari surau-surau lain yang menawarkan corak keilmuan yang lebih beragam. Keadaan seperti ini terlihat merata di seluruh penjuru Minangkabau.
Fikih yang populer dan menjadi pegangan ulama-ulama Surau begitu juga masyarakat Minangkabau ialah Fikih Syafi’iyah. Dalam bidang fikih, literatur yang lebih menonjol ialah Minhaj al-Thaalibin karya magnum opus dari Imam Nawawi, seorang mujtahid mazhab dari kalangan Syafi’iyah. Meskipun terdapat beberapa literatur lain seperti Sharh al-taqrib, sebuah komentar terhadap Matn al-ghayah wa al-taqrib karya Imam Abu Suja‘, namun tidak begitu mendominasi di surau-surau sebelum abad XX. Menurut penuturan salah seorang ulama tua Minangkabau, Syaikh Sulaiman Arrasuli, Minhaj al-thalibin merupakan karya fikih terpenting bagi ulama-ulama surau sebelum abad XX. Kitab ini menjadi rujukan, bukan hanya dalam ibadah, tapi urusan-urusan sosial, pernikahan, dan hukum. Sehingga ada pameo: “Islam-nya Minangkabau disebabkan oleh kitab Minhaj al-thalibin.
Dalam literatur ilmu tauhid, dikenal kitab al-Sanusiyah karangan Imam Sanusi, sebuah risalah ringkas mengenai dasar-dasar ilmu tauhid dalam kalangan Asy’ariyah yang kemudian banyak dikomentari (diberi sharah) oleh ulama-ulama besar setelah. Kitab ini tersebar luas hampir di seluruh surau-surau sebelum abad XX. Hal ini terlihat dari peninggalan koleksi naskah dari berbagai surau yang menyimpan naskah al-Sanusiyah ini. Bagian yang terpenting dari al-Sanusiyah ialah mengenai Sifat Dua Puluh, yaitu dua puluh sifat-sifat yang wajib bagi Allah, yang menjadi ciri khas tersendiri bagi beberapa surau. Sifat Dua Puluh menjadi salah satu bentuk mengajaran tersediri karena terdapat beberapa ulama yang menghubungkan pemahaman Sifat Dua Puluh dengan ilmu tasawuf.
Aspek keilmuan yang terpenting lainnya dalam komunitas surau ialah tasawuf. Hampir semua surau yang berpengaruh sebelum abad XX berinisiasi kepada salah satu ordo sufi, apakah Naqsyabandiyah, Syattariyah, atau Sammaniyah. Dengan demikian, tarekat dengan segala bentuk praktiknya menjadi salah satu ciri khas dari surau-surau itu, artinya sebuah surau benar-benar akan diakui sebagai “surau” kalau mengajarkan satu praktek tasawuf seperti tarekat ini. ada banyak literatur tasawuf yang diajarkan di surau, terutama mengenai karya-karya yang berhubungan dengan ordo sufi tertentu. Kitab al-Hikam karya monumental dari Sufi Mesir, Ibnu Atha’illah, merupakan karya tasawuf yang dikaji secara umum di surau-surau tersebut.
Pada Surau Syattariyah, literatur tasawuf yang banyak dipakai ialah karya-karya ulama Aceh yaitu Syaikh Abdurra’uf al-Fansuri yang ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Karya-karya tersebut umumnya berbicara mengenai ilmu tasawuf yang terbilang tinggi, karena mencakup kajian Martabat Tujuh yang bersifat filosofis. Dalam kalangan Syattariyah, Martabat Tujuh terurai dalam istilah “Kaji Diri”, yaitu mengetahui hakikat diri yang bertujuan untuk mengenal (ma’rifat) kepada Allah, sesuai dengan hadis yang populer dari ordo sufi ini: Man ‘arafa nafsahu fa-qad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenai dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya). Meskipun sebagian ulama meragui kalimat ini merupakan hadis, namun secara substansi merupakan ungkapan yang penting terkait dengan intropeksi diri yang kemudian melahirkan kesadaran ber-Tuhan. Inilah yang menjadi poin penting bagi kalangan Syattariyah.
Cabang keilmuan yang penting dan berhubungan dengan semua keilmuan Islam yaitu bahasa Arab. Kajian bahasa Arab di surau lebih menekankan aspek kemahiran membaca dan memahami isi teks dibandingkan kemampuan bercakap-cakap. Hal ini dikarenakan asumsi bahwa seorang ulama mesti mampu menguraikan isi sebuah literatur keilmuan Islam secara baik, benar, dan tepat sesuai dengan maksud pengarangnya. Oleh sebab itu pengetahuan bahasa Arab menjadi suatu yang penting. Di berbagai surau, pengetahuan tentang tata bahasa Arab menjadi studi dasar yang bersifat wajib sebelum seorang urang siak (santri) belajar ilmu-ilmu agama lanjutan, seperti fikih, tafsir, dan tasawuf. Malah terdapat beberapa surau yang berkosentrasi untuk mengajar ilmu bahasa Arab secara khusus. Hal ini kita lihat misalnya di Surau Kamang yang dikenal sebagai pusat ilmu Nahwu.
Karena pentingnya ilmu bahasa Arab di surau, maka terdapat beragam literatur tentang ilmu ini. mulai dari teks yang dianggap ringkas dan sangat pendek, hingga literatur yang berjilid-jilid dan rumit (muthawwalat). Kitab-kitab itu dipelajari sesuai dengan jenjang dan kemampuan urang siak. Secara umum, kitab-kitab dalam bidang bahasa Arab di berbagai surau dapat dikategorikan sebagai berikut:
Dasar
Literatur bahasa Arab tingkat dasar diberikan kepada santri yang baru belajar bahasa Arab. Kitab-kitab ini terbilang ringkas, dengan bahasa yang mudah, dan tidak rumit. Kitab-kitab dari tingkat ini seperti: (1) Matan Ajurumiyah karangan Imam Shanhaji, (2) Kitab Dhammun yang merupakan syarah ringkas terhadapal-‘Awamil al-Jurjani, (3) Matan al-Bina’ wa al-Asas, dan (4) Matan al-‘Izzi. Juga termasuk deretan kitab-kitab dasar yaitu syarah (komentar-perluasan) dari kitab-kitab matantersebut, antara lain (1) Mukhtashar Jiddan karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang merupakan syarah dari Matan Ajurumiyah, dan (2) Syarah Kailani karya Syekh al-Kailani, yaitu syarah dari Matan al-‘Izzi.
Lanjutan
Pada tingkat lanjutan, terdapat beberapa literatur mengenai tata Bahasa Arab yang agak luas, antara lain (1) Syarah Mutammimah Ajurumiyah, (2) Hasyiyah Khalid ‘ala Syarah Ajurumiyah. Kitab-kitab pada tingkatan ini merupakan perluasan dari kitab-kitab matan, biasanya merupakan hasyiyah, perluasan dari syarah.
Mahir
Pada tingkat mahir, terdapat beberapa kitab yang menjadi rujukan, antara lain (1) Syarah Qatrun Nada karya Syekh Ibnu Hisyam al-Anshari, (2) Kitab Alfiyah dengan berbagai syarah dan hasyiyah-nya, diantaranya Syarah Ibnu ‘Aqil dan Syarah al-Asymuni. Literatur pada tingkatan ini umumnya telah membicarakan tentang perdebatan-perdebatan berbagai Mazhab Nahwu, seperti Mazhab Kufah dan Bashrah. Selain itu dalam pembahasannya juga sering mengutip tokoh-tokoh Bahasa Arab seperti Sibawaihi, Furra’, Kisa’i, dan lain-lainnya.
Pengajaran Bahasa Arab di surau umumnya menggunakan literatur-literatur klasik yang berbeda format dan tertib babnya dibandingkan dengan kitab-kitab modern. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap kitab-kitab itu tergolong pelik. Namun kepelikan itu mempunyai sisi positif, antara lain:
Anak Siak dididik untuk jeli memperhatikan titik, koma, dan paragraf dalam fragmen kitab-kitab itu, sebab umumnya kitab-kitab itu dicetak tanpa titik dan koma, dan juga paragraf. Hal ini setidaknya mendorong Anak Siak untuk menfokuskan pikiran dalam menganalisa kalimat perkalimat dalam teks yang mereka baca;Anak Siak didorong untuk mampu membuat ringkasan (mukhtashar) dari sebuah teks, sehingga mereka dapat memetakan pelajaran mereka;Anak Siak dibiasakan dengan hafalan, sebab matan kitab pelajaran mereka di surau semacam paragraf pendek atau sebuah nazham (susunan sya’ir). Biasanya paragraf pendek itulah yang diberi penjelasan dan diuraikan dengan panjang lebar pada tingkat-tingkat selanjutnya;Membiasakan Anak Siak untuk mengulang pelajaran hingga benar-benar dhabit (sangat hafal). Biasanya bab-bab kitab diajar dengan berulang-ulang dengan tingkat kerumitan yang semakin tinggi.
Selain penggunakan teks klasik, pengajaran Bahasa Arab di surau mempunyai kearifan lokal tersendiri. Terdapat beberapa kekhasan pengajaran Bahasa Arab di surau, diantaranya:
Terjemahan Bahasa Minang yang terikat dengan tata Bahasa Arab
Kitab-kitab pelajaran di surau, tak terkecuali bidang Bahasa Arab, diterjemahkan dan dijelaskan dengan Bahasa Minang oleh guru. Terjemahannya itu sangat terikat dengan tata Bahasa Arab, sehingga memudahkan Anak Siak dalam memahami terjemahan sesuai dengan gramatikalnya.
Misalnya, ungkapan "al-Kalam huwa allafzhu al-murakkab al-mufid bi al-Wadh’i", diterjemahkan Sebermulo kalam, ba-a baramulonyo, iolah lafazh nan disusun…
Kata baramulo menunjukkan mubtada dalam Bahasa Arab. Dengan demikian Anak Siak, setiap mendengar terjemahan Baramulo, akan langsung paham bahwa kalimat itu terjemahan dari teks yang merupakan mubtada. Begitu seterusnya.
Terjemahan seperti ini membantu Anak Siak dalam memahami teks sesuai dengan tata bahasa yang benar. Bila Anak Siak telah selesai belajar, kemudian, misalnya terjun kedunia penerjemahan, maka ia hanya cukup mengubah gaya terjemahannya sesuai dengan tata Bahasa Indonesia, tanpa mesti memikirkan lagi gramatika teks yang akan diterjemahkan.
Memahami teks dengan penggunakanMantiq
Adalah kemahiran, bahkan telah menjadi adat, bahwa guru-guru di surau pintar bermain kata-kata, dalam hal ini mantiq. Hal ini juga dibutuhkan ketika mengajar, tak terkecuali Bahasa Arab, ketika melatih daya nalar Anak Siak. Pernah satu ketika Syaikh Muhammad Jamil Jaho menjelaskankan tentang isim maushul di depan Anak-anak Siak-nya.
Beliau menyatakan bahwa Isim maushul ialah membutuhkan shilah dan ‘a-id. Namun kemudian beliau menimpali: “Kalau sudah mempunyai shilah dan ‘a-id, tentu bukan lagi disebut isim maushul.” Para Anak Siak bingung mendengar penjelas yang terakhir. Padahal kalimat yang diucapkan beliau hanya sekedar kelihaian berpikir, yang intinya beliau menegaskan bahwaisim maushul itu berhajat kepada shilah dan ‘a-id. Bila Anak Siak memahami ungkapan beliau, semua tertawa, sebab telah dipermainkan gurunya lewat kata-kata.
Mengaitkan Bahasa Arab dengan ilmu-ilmu lain, seperti tasawuf
Telah maklum dikalangan ulama-ulama surau bahwa Bahasa Arab itu terkait dengan ilmu-ilmu lainnya, salah satunya Tasawuf. Sebab, untaian huruf, menurut mereka, ataupun letak baris dan titik mempunyai hikmat yang luas seluas lautan tak bertepi. Lautan yang bila ditempuh dengan kapal ilmu bisa membawanya ke pulau ma’rifat. Sebagai contoh, dalam sebuah kitab Nahwu yang terdapat di Ulakan, berjudul Risalah Burhaniyah (barangkali dikarang oleh anak murid Syaikh Ulakan) disebutkan pertanyaan:
“Mengapa wazan fi’il itu ditimbang dari fa’ala, bukan kalimat lainnya?”
kemudian dalam kitab itu disebutkan jawaban: “Karena fa’ala menunjukkan perbuatan Tuhan, sedangkan kalimat lainnya menunjukkan perbuatan hamba.”
Dalam contoh ini, pengarang menyebutkan bahwa fa’ala itu perbuatan Tuhan (fi’il Allah), dan fi’il Allah meliputi sekalian alam. Ini jawaban merupakan bagian dari ilmu Tasawuf. Oleh sebab itu pada beberapa surau-surau lama ditemui kitab-kitab Nahwu yang bertali dengan ilmu tasawuf yang rumit. Salah satu kitab itu, misalnya, ialah kitab Sinni al-Mathalib, berisi teks Nahwu dasar dengan syarah berupa kajian tasawuf.
Selain dalam ilmu tasawuf, bahasa Arab juga dikaitkan dengan ilmu bela diri pencak silat khas Minang atau Silek Minang. Konon beberapa aliran silek diinspirasi dari model tulisan Arab pada kitab-kitab kuning itu.
Inilah sedikit kekhasan yang menjadi kearifan lokal pengajaran Bahasa Arab di surau-surau Minangkabau. Ketika sistem surau tidak begitu populer, setelah disaingin madrasah dengan sistem klasikal, kekhasan ini tetap terpelihara, antara lain oleh madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah. Maka dikenallah dua Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang menonjol dalam bidang Bahasa Arab, yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho dengan tokoh sentralnya Syaikh Muhammad Jamil Jaho, dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tobek Godang Payakumbuh dengan tokohnya Syaikh Abdul Wahid Asshalihi al-Khalidi Naqsyabandi. Bila ada guru yang menemui kesulitan dalam memahami gramatikal Bahasa Arab, maka mereka akan berpulang kepada dua madrasah ini. Sampai-sampai Syekh Sulaiman Arrasuli, menurut penjelasan orang tua-tua, bila ia telah“tersangkut” dalam memaknai bahasa, maka ia menunggu Syaikh Jamil Jaho datang ke Candung.