wartawan singgalang

Selasa, 31 Mei 2016

Pincuran Tujuh Masjid Raya Pakandangan Jadi Tempat Anak Turun Mandi

Pincuran Tujuh Masjid Raya Pakandangan Jadi Tempat Anak Turun Mandi

Pakandangan--Masjid Raya Pakandangan juga lazim disebut banyak orang; Masjid Pincuran Tujuah. Terletak di Jalan Syekh Burhanuddin, Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung, Padang Pariaman, membuat masjid yang berdiri pada 1865 M ini menjadi satu dari sekian banyak masjid yang jadi cagar budaya.
    Sebagai masjid tertua dalam nagari ini, tak heran masjid yang telah mengalami pemugaran ini tetap mempertahankan tradisi dan ajaran lamanya, yang pernah dikembangkan oleh pendahulu yang merintis pembangunan masjid demikian. Tak heran pula, Masjid Raya ini simbol kekuatan nagari yang konsen dengan nilai-nilai adat dan agama Islam itu sendiri.
    Di masjid inilah berdirinya Pondok Quran Darul Hikmah, Ikatan Guru Mengaji (IGM) Kecamatan Enam Lingkung, Lembaga Didikan Subuh (LDS), Kadhi Nagari. Dan masjid ini pula tempatnya memecahkan persoalan krusial di tengah masyarakat, karena Mufti Pakandangan bermarkas di masjid itu.
    Disebut sebagai Masjid Pincuran Tujuah, karena di depan masjid itu ada pincuran untuk berwuduk, yang jumlahnya tujuh buah. Terbuat dari besi, pipanya tak pernah berhenti mengalirkan air. Bentuk atapnya yang berupa tumpang empat terbuat dari bahan seng. Masjid berupa kompleks dengan pintu gerbang di sebelah timur dan harus menuruni 15 anak tangga untuk menuju bangunan induk.
    Syaiful Rahman Tuanku Mudo, Ketua IGM Enam Lingkung menyebutkan kalau air pincuran ini diyakini banyak orang sebagai obat. Buktinya, banyak air pincuran itu yang dijadikan sebagai tempat anak turun mandi. Dan banyak pula orang luar yang datang hanya untuk melepaskan nazarnya di masjid tersebut.
    "Satu hal yang lain di masjid ini, adalah tradisi pelaksanaan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dilakukan dua kali dalam setahun," kata dia menceritakan pada Singgalang, Rabu (1/6). Maulid pertama dilakukan saat bulan Rabiul Awal, dan yang kedua pada Jumadil Awal, yang istilah Pakandangannya; Manyongsong dan Maanta.
    Pada bagian depan halaman masjid yang tidak terlalu luas terdapat bangunan terbuka yang berfungsi sebagai tempat wuduk. Memiliki denah persegi dan terdiri atas dua lantai. Bentuk atapnya berupa tumpang dua yang terbuat dari seng dan ditopang oleh tiang kayu yang berdiri di pinggir. Bentuk bangunan tempat wuduk ini jika dilihat sekilas seperti serambi masjid.
    Pada bagian tengah lantai dasar terdapat tempat wudhu dengan bentuk kolam segi delapan yang memilki air mancur di tengah kolam. Selain itu, terdapat pula bedug dan tangga naik ke lantai dua yang berdenah persegi dan berdinding kaca nako. Sebelah selatan tempat wuduk, dengan menuruni empat buah anak tangga, dapat ditemui kolam berbentuk ‘L’. Sebagian kolam berada di selatan masjid dan sebagian lagi berada di sebelah utara masjid berdekatan dengan bangunan TPA dan Pondok Quran Darul Hikmah. Kolam masjid ini terletak di tepi Sungai Batang Ulakan.
    Teras masjid berada di bagian depan atara tempat wuduk dan ruang ruang utama. Sehingga, bagi jamaah yang sudah memiliki wuduk bisa langsung memasuki ruang utama melalui teras. Teras berlantai keramik dan pada bagian luarnya terdapat penyangga atap teras berupa pilar. Untuk memasuki ruang utama, terdapat dua buah pintu di sisi timur. Adapun jendela masjid sejumlah 12 buah terletak empat buah masing-masing di sisi selatan dan timur, dua buah di antara ruang utama dan mihrab, dan dua buah di ruang mihrab.
    Lantai ruang utama terbuat dari bahan keramik yang sebagiannya ditutupi karpet. Terdapat sembilan tiang yang terbuat dari kayu di dalam ruang utama. Salah satunya termasuk tonggak macu yang berdiri di tengah ruangan. Semua tiang dilapisi papan membentuk segi delapan dan dicat kuning serta coklat. Di sudut tenggara ruang utama terdapat 14 anak tangga yang terbuat dari kayu berbentuk huruf ‘L’ untuk naik ke atas plafon.
    Di sisi barat ruang utama berdiri mihrab yang berbentuk persegi panjang. Pada sisi utara dan selatannya disekat membentuk kamar. Masing-masing kamar memiliki sebuah jendela yang mengahadap ke ruang utama dan sebuah pintu yang menghadap ke teras samping. Antara mihrab dan ruang utama dipisahkan oleh tiga tiang semu yang membentuk dua relung.
    Selain mihrab dan anak tangga, terdapat mimbar yang terletak di sisi utara ruang utama. Mimbar berbentuk persegi panjang, terbuat dari kayu, dan ditutup oleh kelambu putih. Di bagian depan mimbar terdapat dua buah tiang yang membentuk gapura dengan hiasan kaligrafi di bagian atasnya. Sedangkan bagian belakang mimbar memiliki empat buah tiang sebagai penyangga atap.
    Terdapat ukiran motif bunga pada setiap sisi mimbar. Selain kolam, TPA, dan tempat wuduk, terdapat dua buah makam dan surau di belakang masjid. Bangunan surau terbuat dari kayu berdenah persegi, atap tumpang dua dari bahan seng, dan memiliki kolong. (501)

Sabtu, 28 Mei 2016

Catatan Gelar Sidi

 Catatan Gelar Sidi

Daerah Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Indochina dipimpin oleh Dapunta Hyang telah dihuni oleh bangsa Gujarat, Malabar dan Srilanka dan jauh sebelumnya telah ada ras Negrito dan Austronesia yang mendiami kawasan tersebut. Ekspansi yang dipimpin oleh Dapunta Hyang bergerak dari daerah Minangatamwan yang berada dimuara sungai kampar kanan dan sungai kampar kiri menuju dataran tinggi sumatera barat, untuk seterusnya bergerak dan akhirnya menetap di Palembang mendirikan kerajaan Sriwijaya.

Kedatangan bangsa Indochina dibawah pimpinan Dapunta Hyang dianggap oleh para sejarawan sebagai migrasi kedua dari bangsa yang mendiami kawasan Asia selatan. Ada juga yang berpendapat bahwa migrasi pertama yang berasal dari Asia selatan, mereka berasal dari daerah yang bernama Dongson berkebudayaan perunggu dan mendiami daerah pegunungan Asia selatan. Sedangkan yang datang dan bergerak dari daerah Minangatamwan menuju dataran tinggi Sumatera Barat tidaklah dapat dikatakan sebagai migrasi penduduk. Lebih tepat dikatakan ekspansi bangsa Indocina yang bisa saja berasal dari Kamboja atau Champa. (Prasasti Kedudukan Bukit, 684 M)

Migrasi bangsa Indochina yang berasal dari pengunungan Dongson kawasan Asia Selatan adalah migrasi pertama yang berlangsung berabad-abad sehingga terjadi asimilasi dengan ras Negrito dan Austronesia kemudian melahirkan kebudayaan Neolitich.

Kedatangan bangsa Indochina melalui jalan ekspansi merupakan migrasi kedua yang dipimpin oleh Dapunta Hyang berhasil menaklukkan dataran tinggi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya kemudian menyerang kerajaan Taruma Negara yang beragama Hindu di Pulau Jawa (Prasasti Talang Tuo, 685 M).

Oleh sejarawan, kedatangan bangsa Indochina, baik yang datang secara berimigrasi maupun yang datang melalui ekspansi sebagai nenek moyang bangsa Melayu dan nenek moyang bangsa Minangkabau.
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa mendirikan kerajaan Sriwijaya dan dinasty (wangsa) Syailendra sebagai penguasa kerajaan beragama Budha aliran Hinayana terkuat dan terbesar di Nusantara. Kemudian Adityawarman mendirikan kerajaan Malayupura (tulisan dibelakang Arca Amoghapasa, Prasasti Kuburajo, dan Prasasti Batusangkar) dan memindahkan pusat kerajaan tersebut di pedalaman Sumatera Barat. Pada tahun 1347 M kerajaan ini akhirnya lebih dikenal dengan Kerajaan Pagaruyung.

Adityawarman sendiri merupakan keturunan Raja Majapahit hasil perkawinan dengan Dara Jingga, Putri dari Kerajaan Dharmasraya. Adityawarman beragama Hindu dan Bidha (Sinkrentis). Sampai pada pertengahan Abad XIV kerajaan Pagaruyung masih beragama Budha yang dipadukan dengan Hindu.
Belum ada satu manuskrip yang menyatakan Islam sudah ada di dataran tinggi (Pedalaman) Sumatera Barat pada masa tersebut. Sekitar tahun 1513 barulah ada raja Pagaruyung yang memeluk Agama Islam, sebutan Raja berubah menjadi Sultan. Sultan pertama pagaruyung adalah Sultan Ahmadsyah dan Sultan pertama tersebut jelas bukanlah merupakan keturunan dari Aditywarman.

BANGSA ARAB DI PARIAMAN

Situasi yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan daerah pesisir pantai, Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai dihuni oleh orang Gujarat dan Malabar yang berasal dari India. Pariaman atau dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebut dengan Faryaman pada saat masuknya Dapunta Hyang ke dataran tinggi (pedalaman) Sumatera Barat, disini sudah mengakar kuat agama Hindu. Masyarakat Hindu membagi manusia dalam empat tingkatan struktur sosial atau yang lebih dikenal dengan Kasta.

Kasta Brahmana dikenal sebagai struktur masyarakat tertinggi, mereka adalah kaum pendeta. Kasta ini sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas yang tinggi dan umumnya mereka menjadi penasehat raja. Kasta Ksatria merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan kedua, mereka adalah kaum bangsawan dan pembesar kerajaan umumnya mereka juga sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas. Kasta waisya merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan ketiga, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha. Kasta Sudra dikenal juga sebagai orang paria, mereka adalah para pekerja kasar, tukang dan mengabdi pada kasta yang berada diatasnya, mereka tidak menjaga kesopanan dan punya moralitas yang sangat rendah.

Pada awal abad VII M seorang pendeta Budha (I Tsing) yang belajar dan menetap beberapa tahun di Kerajaan Sriwijaya menulis dalam catatan perjalanannya bahwa ada sekelompok masyarakat Arab beragama Islam yang mendiami pesisir pantai barat Sumatera. Masyarakat Arab yang pertama minginjakkan kaki dipantai barat Sumatera ini bisa saja berasal dari Hijaz kemudian melakukan perjalanan kewilayah India kemudian melakukan perjalanan dengan kapal dan sampailah mereka dipelabuhan Tiku dan menetap di daerah tersebut. Rombongan ini merupakan migrasi pertama dari dari turunan Imam Hasan dan Bani Ghasan.
Terjadinya pembantaian terhadap Bani Ghasan disebabkan Bani Ghasan tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar oleh sebab itu mereka tidak mau membayar zakat. Ketidakmauan Bani Ghasan membayar zakat menjadi alat pembenaran oleh khalifah Abu Bakar untuk membantai Bani Ghasan, sehingga yang selamat melarikan diri ke Hijaz.

Pada tahun 680 M Imam Husain (cucu Nabi Muhammad SAW) syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Sebelumnya Imam Hasan berhadapan dengan Muawiyah bin Abi Sofyan dan dengan kelicikan berhasil membunuh Imam Hasan dengan cara meracuni melalui isteri Imam Hasan yang bernama Jad’ah. Beberapa Anak Imam Hasan bergabung dengan Bani Ghasan yang sudah lebih dahulu ada di Hijaz.
Anak keturunan Imam Hasan dan Imam Husein serta para pengikut setia mereka pasca pembantaian di Padang Karbala menyembunyikan diri di Hijaz dan kawasan sekitarnya. Kejaran dari serdadu Yazid memaksa mereka meninggalkan kampung halaman untuk menyelamatkan diri dengan mencari daerah yang jauh dan aman hal ini terjadi dipenghujung abad VI M. Sebahagian besar turunan Imam Husein Migrasi kewilayah Hadramaut kemudian menyebar kekawasan Asia tenggara dan pada pertengahan Abad ke IX salah satu turunan Imam Husein di rajakan di Peurelak. Ini merupakan migrasi kedua dari turunan Imam Hasan dan Imam Husein di Nusantara.

Kedatangan bangsa Arab diawal abad VII melalui Bandar Tiku diabadikan didalam cerita rakyat ditanah Minang (Ba Khaba). Kemudian bangsa Arab ini membuka perkampungan tidak jauh dari Bandar Tiku dan kampung tersebut sampai saat ini bernama Ghasan. Kemudian terjadi asimilasi dan akultrasi budaya Hindu dan Islam.

Diceritakan mendaratnya Sidi Nan Sabatang di Bandar Tiku beserta rombongan, Sidi Nan Sabatang tersebut membawa seluruh keluarganya. Isteri dan para pembantu serta para pengawal. Sidi Nan Sabatang tersebut punya sembilan anak laki-laki dan mereka lebih dikenal dengan sebutan Sidi Nan Sambilan. Sedangkan berapa jumlah anak perempuan Sidi Nan Sabatang tidak ada kabar beritanya, namun diceritakan anak perempuan Sidi Nan Sabatang tersebut dikawinkan dengan Raja Hindu yang sudah memeluk Agama Islam dan anak dari hasil perkawinan tersebut bergelar Bagindo.

Namun sampai saat ini tidaklah diketahui secara pasti Sidi Nan Sabatang tersebut berasal dari fam (keluarga) mana, bila ditelisik dari lintasan sejarah tentang tekanan yang dialami oleh turunan Imam Hasan dan Imam Husein serta jalur migrasi mereka maka besar kemungkinan turunan Imam Hasan lah yang mendarat di Tiku dan menyebar dikawasan Pariaman dan sekitarnya. Turunan Imam Hasan yang sampai di Tiku Pariaman berasal dari satu orang yaitu Sidi Nan Sabatang, kemudian mempunyai anak laki-laki yang disebut dengan Sidi Nan Sambilan, dari Sidi Nan Sambilan berkembanglah turunan Sidi selama 1300 tahun di Pariaman, mereka berkembang seperti butiran hujan yang turun ke bumi, bagaikan butiran pasir yang ada ditepian pantai.

Gelar Sidi

TERPUTUSNYA NASAB SYAID PARIAMAN

Setelah terjadinya Islamisasi secara damai maka berubahlah struktur masyarakat Hindu Pariaman. Kasta berubah menjadi gala atau gelar. Brahmana menjadi Sidi dan mereka adalah pemuka agama Islam banyak diantara mereka menjadi Tuanku (panggilan Ulama Minang). Ksatria menjadi Bagindo dahulunya mereka adalah para pembesar kerajaan dan merupakan kaum bangsawan. Waisya menjadi Sutan, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha, gelar ini biasanya juga diberikan atau dihadiahkan kepada orang asing yang dihormati. Sudra atau Paria menjadi Marah ini merupakan struktur paling rendah dalam masyarakat Pariaman sampai saat ini. Orang yang bergelar Marah tak boleh dipanggil Rajo (Ajo), mereka biasanya dipanggil Uda seperti orang Minang yang mendiami dataran tinggi (pedalaman) Minang.

Gelar atau gala diwarisi secara turun temurun dari pihak ayah, sedangkan kekerabatan dari diwariskan dari pihak ibu (Matrilineal). Bila ayah seseorang begelar Sidi maka si anak juga bergelar Sidi (gala ndak dapek diasak), dan bila ibunya bersuku Chaniago maka si anak bersuku Chaniago. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab para Sidi di Pariaman tidak mengetahui fam mereka, karena dibelakang nama mereka tidak dicantumkan fam seperti turunan Imam Husein yang datang dari Hadramaut ke Nusantara. Mereka biasanya mencantumkan suku dari ibu dibelakang nama sedangkan gelar didepan nama.

Seorang yang bergelar Sidi (singkatan dari Syaidi) haruslah mencantumkan gelar Siti (singkatan dari Syaidati) didepan nama anak perempuannya. Tak ada orang Pariaman yang berani mencantumkan gelar Siti didepan nama anak perempuannya kalau mereka bukan bergelar Sidi. Kalau di tanah Melayu anak perempuan dari turunan Said didepan namanya dicantumkan gelar Syarifah. Inilah kebiasaan yang berlangsung selama ribuan tahun, dan saat ini sudah jarang seorang perempuan dari turunan Sidi memakai gelar Siti.

Seorang yang bergelar Bagindo merupakan turunan pertama dari anak perempuan Sidi Nan Sabatang yang menikah dengan raja Hindu yang sudah memeluk agama islam. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan tersebut diberi gelar Bagindo dan untuk seterusnya gelar tersebut diwariskan kepada anak Laki-laki, sedangkan anak perempuan memakai gelar Puti. Pemakaian gelar Puti pada anak perempuan yang ayahnya bergelar Bagindo saat ini sudah hampir hilang atau hilang sama sekali.

Pemakaian gelar Siti untuk anak perempuan dari turunan Sidi maupun pemakaian gelar Puti untuk anak perempuan dari turunan Bagindo saat ini sudah hilang. Pemakaian gelar tersebut bukan saja untuk menguatkan identitas tapi lebih pada penjagaan diri si anak tersebut. Seorang Sidi kalau bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti maka dia akan memperlakukannya dengan penuh hormat dan menganggapnya sebagai saudara kandung, demikian juga perlakuan yang diberikan kepada perempuan Pariaman yang bergelar Puti. Bila Sutan atau Marah bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti atau Puti mereka akan menghormatinya dan tidak berani bersikap lancang. Penghormatan ini diberikan karena keduanya merupakan turunan dari Sidi Nan Sabatang yang merupakan zuryat (keturunan) Rasulullah Muhammad SAW.
Menurut Hamka turunan Rasulullah yang ada di Pariaman bergelar Sidi (Dari Perbendaharaan lama dan Panji Masyarakat) mereka bisa dikenali dari ciri-ciri fisiknya, berwajah arab atau berwajah oriental. Dari cerita rakyat (khaba) Pariaman, Sidi Nan Sabatang beristri seorang perempuan China.

SIDI BANGSA YANG DIRAJAKAN

Dalam adat istiadat masyarakat Pariaman Gala Pusako dari Ayah berbeda dengan orang Minang yang berasal dari dataran tinggi (pedalaman) Gala merupakan pusako dari Mamak ke kemenakan (dari paman ke kemenakan). Sewaktu orang-orang dari dataran tinggi menjadikan daerah Pariaman sebagai daerah Rantau (jajahan), Gala Pusako dari ayah tidak bisa digantikan dengan sistem adat yang dibawa dari dataran tinggi tersebut.

Rombongan yang datang dan mendarat di Bandar tiku (berbatasan dengan Luhak Nantigo) serta mendirikan perkampungan dan menamakannya kampung Ghasan (untuk mengenang asal mereka Bani Ghasan). Sidi nan sabatang beserta keluarga dirajakan (dirajokan/dihormati layaknya raja) oleh Bani Ghasan. Penduduk pribumi baik yang ada di Pariaman maupun yang datang dari dataran tinggi pada akhirnya juga merajakan mereka. Keturunan Sidi nan sabatang baik yang bergelar Sidi maupun Bagindo dipanggil dengan panggilan Ajo (Rajo). Sutan yang merupakan kaum pengusaha dan pedagang juga dirajokan atau dipanggil Ajo.
Panggilan Ajo merupakan panggilan dari seorang adik kepada abangnya, bisa juga panggilan untuk orang yang usianya lebih tua. Orang yang boleh dipanggil Ajo adalah seseorang yang bergelar Sidi, Bagindo dan Sutan. Panggilan Uda merupakan panggilan seorang adik kepada abangnya atau panggilan kepada seseorang yang usianya lebih tua.

Menurut adat di Pariaman seseorang yang bergelar Marah yang boleh dipanggil Uda. Kemudian Orang-orang yang datang dari dataran tinggi Minang juga dipanggil Uda oleh orang Pariaman karena mereka adalah penduduk asli Tanah Minang atau melayu Minangkabau atau kaum pribumi ranah Minang. Sama dengan penduduk yang lebih dulu ada di Pariaman ketika rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat di Bandar Tiku juga dianggap sebagai bangsa pribumi.

Beginilah cara para Bani Hasyim yang sampai di Pariaman dalam menyikapi perbedaan antara Bani Hasyim dan penduduk asli melayu Minangkabau. Bangsa Melayu yang tinggal di dataran tinggi (pedalaman) bisa hidup secara damai dan harmonis walaupun berbeda dalam adat dan istiadat.
Orang-orang yang bergelar Sidi dan Bagindo di Pariaman lebih bersifat egaliter, Gelar tersebut tidak menjadikan mereka orang yang sombong dengan keturunannya. Mereka berbaur dengan masyarakat pribumi, juga terjadinya asimilasi melalui perkawinan, walaupun masih ada juga yang mempertahankan pernikahan sekufu (Siti untuk Sidi).

Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai peletak dasar pemerintahan desentralisasi Bodi Chaniago dalam mamangan disebut “duduak sahamparan, tagak sapamatan.” Hal ini menyiratkan bahwa kedudukan raja dan rakyat adalah sama didalam hukum (Demokrasi). Sistem ini memandang semua orang sama dan sederajat secara hukum, inilah yang menjadikan masyarakat Pariaman menjadi egaliter. Sangat berbeda dengan sistem sentralistik pemerintahan Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk Katumangguangan, yang didalam mamangan disebutkan “Rajo ditantang, mato buto.” Hal ini bermakna bahwa raja punya kekuasaan yang Absolut, sehingga rakyat harus menjalankan apapun titah raja (Feodal).

Pada perkembangannya terjadi perpaduan kedua sistem tersebut yang didalam mamangan disebut “Rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo dibantah”. Sampai saat ini sistem inilah yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau, yang bermakna ketika seorang penguasa memimpin dengan adil maka rakyat akan menghormati, ketika seorang penguasa berlaku zalim terhadap rakyat maka penguasa tersebut wajib untuk tidak didukung bahkan digulingkan dari kekuasaannya.

SEBAB MUSABAB HILANGNYA GELAR SIDI

Ada perbedaan yang fundamental antara zuryat Rasulullah di Pariaman dan dan zuryat Rasulullah didaerah lain di Nusantara dalam hal menjaga gelar keturunan. Gelar Sidi dalam adat yang berlaku di Pariaman bisa saja hilang diakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah gelar Sidi disandang dan dilekatkan ketika seorang dari turunan Sidi sudah menikah, maka keluarga pihak perempuan memanggil menantunya, atau iparnya tersebut dengan gelar yang disandangnya. Bila dia tidak menikah sampai akhir hanyat maka dia tidak pernah dipanggil dengan gelar yang disandangnya.

Sebab lain adalah ketika keturunan Sidi menikah dengan orang yang tidak sebangsa (Pariaman), misalnya menikah dengan perempuan Jawa atau perempuan dari suku lain yang ada di Nusantara. Maka tentu saja pihak keluarga perempuan, apakah itu ipar atau mertua tidak ada yang memanggil Sidi. Menikah dengan penduduk asli Minang yang berasal dari Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah datar, Limo Puluh Koto), oleh mereka siapapun menantu mereka, apapun bangsa menantu mereka, apakah bergelar Sidi, Bagindo, Sutan atau Marah, apakah berasal dari Pariaman atau daerah lain tetap saja dipanggil Sutan.

Adapun sebab lain adalah malu menyandang gelar Sidi, seorang yang bergelar Sidi biasanya malu dipanggil Sidi bila sikap dan moralnya tidak baik. Hal yang sangat mendasar menjadi penyebab hilangnya gelar Sidi tersebut adalah gelar tersebut tidak disandangkan kepada nama anak keturunan sejak lahir. Sangat berbeda dengan turunan Alawy yang datang pada awal abad VIII sampai dipenghujung abad XVI, mereka menyandangkan gelar tersebut didepan nama anaknya sejak mereka lahir.

Tulisan ini bukan untuk membanggakan keturunan tertentu atau merendahkan keturunan yang lain, hal ini semata-mata untuk mengingatkan penulis sendiri. Ketika kita menghadap Allah yang ditanyakan adalah amal dan ibadah yang kita lakukan semasa hidup bukan dari keturunan siapa kita berasal.

Tuanku Rao yang Kontroversi

Tuanku Rao yang Kontroversi

Tuanku Rao adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka yang gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan.

Menurut Buya Hamka dalam bukunya 'Tuanku Rao Antara Fakta dan Khayal' setebal 363 halaman, Tuanku Rao adalah seorang ulama yang juga telah berjaya mengislamkan keseluruhan orang-orang Rao dan kawasan sekitarnya. Tuanku Rao juga adalah seorang pejuang yang syahid di tangan penjajah.

Ketokohan Tuanku Rao telah terpahat di hati dan menjadi kebanggaan setiap orang Rao. Atas jasa Tuanku Rao orang-orang Rao, Tapanuli dan kawasan sekitarnya sampai sekarang semuanya beragama Islam dan masih mengaji dengan menggunakan bahasa Rao.

Sebelumnya pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi gelar Fakih Muhammad.

Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, puteri Yang Dipertuan Rao.

Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia-Belanda, maka pimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.

Pada 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan hukum Islam.

Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak kemenakannya.

Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, dia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan Hulu, Riau.

Di wilayah Rokan dia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, dia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di bibir Danau Toba.

Dalam mengislamkan wilayah Tapanuli dan sekitarnya ini dikisahkan Tuanku Rao berhasil
membunuh Sisingamangaraja X.

Sisingamangaraja adalah raja tanah Batak yang sangat sakti dan kebal berbagai macam senjata tajam. Dia diyakini tidak akan mati selagi badannya menyentuh bumi.

Akhirnya di waktu badan Sisingamangaraja X melambung ke udara Tuanku Rao mengambil kesempatan itu untuk menebas kepalanya dan disambut agar tidak jatuh ke bumi atau agar dia tidak hidup kembali.

Sementara dalam Buku Tuanko Rao karangan Mangaradja Onggang Parlindungan disebutkan Tuanku Rao adalah putra Batak asli dengan nama Pongkinangolngolan.

Menurut buku tersebut, dia adalah putra hasil perkawinan sedarah antara Sori Singamangaraja IX dengan saudara perempuan Sisingamangaraja X, Gana Sinambela.

Perkawinan sedarah dan semarga tersebut kemudian diketahui oleh pendeta agung di tanah Batak. Sehingga ketika itu bagi siapa pun yang melakukan incest harus dihukum dan hasil dari incest tersebut harus dibunuh.

Sisingamangaraja X kemudian terpaksa membunuh keponakannya Pongkinangolngolan dengan cara menenggelamkan di Danau Toba. Konon dari sanalah percikan dendam Tuanku Rao terhadap Ugamo Malim (Parmalim) terpantik.

Sebelum dibuang, tubuh Tuanku Rao diikat dengan tali yang diberati oleh batu. Namun upaya Sisingamangaraja X tersebut tidak terwujud sebab Tuanku Rao berhasil melepaskan tali ikatan tali dan berenang ke tepian.

Mengingat keamanan diri dan kakeknya apabila tetap berada di daerah Bakkara, maka Tuanku Rao meninggalkan kakeknya di Bakkara dan berangkat menunuju Aceh Tengah.

Di Aceh Tengah inilah Tuanku Rao pertama kali mengenal dan mempelajari ajaran Islam untuk kemudian memeluk agama Islam.

Kemudian Tuanku Rao hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang tidak terdapat marga Sinambela untuk menghindari pengejaran terhadap dirinya dari antek-antek pamannya yaitu Sisingamangaraja X.

Tuanku Rao belajar ilmu agama di Aceh sampai berumur 18 tahun dan setelah itu kembali ke Padang Matinggi pada 1801 M menemui sanak familinya sekaligus mulai mendakwahkan Islam kepada kalangan keluarga dan masyarakat Batak di sekitarnya.

Selanjutnya Tuanku Rao belajar dari beberapa orang ulama terkenal Minangkabau abad ke-19 M, diantaranya Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin

Sepulang dari Mekkah dan  Syria tahun 1815, di mana dia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan Kavaleri Janissary Turki, Tuanku Rao diutus Tuanku Nan Renceh untuk memimpin 11 ribu tentara infantri dan kavaleri ke Muarasipongi (tanah Batak) dan menaklukkan Penyambungan dan terus bergerak ke utara.

Misi utama penyerangan itu untuk mendirikan Islam yang kaffah, yang sesuai dengan Alquran dan hadist sesuai dengan paham Islam Wahhabi yang dianut Paderi.

Tidak begitu sulit proses penegakan syariat Islam ini karena ternyata sebagian orang Mandailing dan Angkola (sekarang Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidempuan di Sumut) ternyata sudah ada yang memeluk Islam.

Usai menaklukkan Mandailing, pasukan dengan pedang di pinggang ini, bergerak lebih ke utara. Rencananya mereka akan menaklukkan tanah Batak yang pada saat itu masih menganut animisme dan dinamisme.

Di Sipirok, kini salah satu kecamatan di Tapanuli Selatan, mereka berhenti untuk menyusun strategi dan menambah kekuatan pasukan. Tuanku Rao lalu merekrut ribuan penduduk setempat yang sudah diislamkan/telah masuk Islam dalam pasukannya. Pasar Sipirok yang sekarang dahulunya merupakan tempat latihan infrantri dan kavaleri, pasukan berkuda.

Setelah jumlah pasukan dirasa cukup dan strategi telah matang, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke pusat kerajaan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja X yang bernama Ompu Tuan Nabolon.

Pasukan Paderi bergerak melewati Silantom, Pangaribuan, Silindung dan terus ke Butar dan Humbang yang merupakan daerah pusat kekuasaan Sisingamangaraja X.

Di Desa Butar pasukan Paderi bertemu dengan pasukan Sisingamangaraja X. Nahas, dalam pertempuran itu, Sisingamangaraja X berhasil ditewaskannya.

Bersama Tuanku Lelo dan beberapa putra Batak lainnya yang telah Islam, Tuanku Rao melakukan penyebaran Islam di tanah Batak.

Sementara perlawanannya terhadap kompeni dimulai setelah pasukan Belanda menaklukan Matur dan Lubuk Sikaping, pada Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan.

Letnan Bevervoorden, seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah.

Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.

Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari Mekkah, menginspirasinya untuk berjuang melawan Belanda.

Kebetulan saat itu tanah Batak dikuasai Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis.

Namun Pada  29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, dan dia menderita luka berat akibat dihujani peluru.

Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao wafat. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh tentara Belanda.

Muhammad Saleh Nama Asli Tuanku Tambusai

Muhammad Saleh Nama Asli Tuanku Tambusai

TUANKU Tambusai adalah salah seorang pejuang tangguh dalam sejarah negeri ini. Berikut kisah perjuangan Pahlawan Nasional ini.

Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, Nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau, 5 November 1784. Dalu-dalu merupakan salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi Sungai Sosah, anak Sungai Rokan.

Nama kecilnya, Muhammad Saleh. Dia anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali, ada juga yang menulis Imam Maulana Kadhi, dan Munah.

Ayahnya berasal dari Nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai, ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat.

Ibunya berasal dari Nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.

Sewaktu kecil, Muhammad Saleh diajarkan ilmu bela diri, ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara. Semua itu diajarkan ayahnya.

Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatera Barat. Di sana, dia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi (Padri).

Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Ajaran itu dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya untuk berperang mengislamkan masyarakat di tanah Batak yang masih banyak menganut pelebegu.

Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823.

Menurut pemerhati sejarah dari STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan, Christine Dobbin dalam "Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847" menyebut bahwa pemuda Tambusai yang berumur 15 tahun dan banyak belajar dari ulama Paderi itu ikut angkat senjata melawan tentara kompeni sampai ke wilayah Natal pada tahun 1823.

Setahun setelahnya, Tuanku Tambusai didaulat sebagai pemimpin pasukan di Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, dan Mandailing.

Dalam usia yang belia itu, menurut Mahidin Said dalam "Tuanku Tambusai Berjuang", Tuanku Tambusai dan pasukannya berhasil mengancurkan benteng Belanda Fort Amerongen. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda direbut kembali.

Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga melawan pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda.

Antara tahun 1834-1837, Belanda memusatkan kekuatannya untuk merebut Bonjol. Usaha mereka terhalang oleh gerakan Tuanku Tambusai di bagian utara.

Dengan adanya gerakan itu, Belanda mengalami kesulitan untuk menyerang Bonjol dari dua arah, yakni dari utara dan selatan. Pasukan gabungan Belanda dan Raja Gedombang yang bergerak dari utara, dicegat oleh pasukan Tuanku Tambusai.

Dengan mengerahkan kekuatan yang cukup besar dan setelah melakukan pengepungan yang ketat selama lebih tiga tahun, akhirnya Belanda berhasil merebut Bonjol (Agustus 1837).

Pada Oktober 1837, melalui tipuan perundingan, Belanda menangkap Tuanku Imam Bonjol. Dengan demikian, salah satu kekuatan Paderi berhasil mereka tundukkan. Namun, perang belum berhenti sebab Tuanku Tambusai masih menjadi ancaman yang serius terhadap perluasan kekuasaan Belanda.

Sesudah Bonjol jatuh, peranan Tuanku Tambusai semakin menonjol. Sadar bahwa ia merupakan satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih ada, Tuanku Tambusai memperkuat pertahanan di Dalu-dalu.

Belanda pun sadar bahwa selama Tuanku Tambusai masih belum ditundukkan, kekuasaan mereka di daerah pedalaman Sumatera belum akan berdiri dengan kukuh. Dua kekuatan itu berhadap-hadapan sepanjang tahun 1838 terutama di sekitar Dalu-dalu.

Sejak Januari 1838, pasukan Belanda dikerahkan ke Raja Mondang, suatu tempat sehari perjalanan dari Dalu-dalu. Gerakan mereka terhalang oleh pertahanan Tuanku Tambusai dan aksi-aksi gerilya yang dilancarkan pasukan Tambusai.

Belanda berusaha merebut satu demi satu kubu pertahanan Tuanku Tambusai yang bertebaran di daerah-daerah sekitar Dalu-dalu. Namun, sejak September 1838, Belanda memperoleh beberapa kemajuan sehingga Tuanku Tambusai memusatkan pertahanannya di benteng utama di Dalu-dalu.

Belanda mengerahkan kekuatan yang cukup besar untuk merebut benteng ini. Sejak pertengahan Desember 1838, Benteng Dalu-dalu dihujani dengan tembakan meriam.

Pada tanggal 28 Desember 1838, setelah melalui pertempuran yang melelahkan dan menimbulkan banyak korban, benteng ini jatuh ke tangan Belanda.

Namun, Tuanku Tambusai berhasil meloloskan diri lewat pintu rahasia. Dia mengungsi dan wafat di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia, pada tanggal 12 November 1882.

Menurut Fikrul Hanif, karena ketangguhannya saat berjuang melawan Belanda, beberapa laporan arsip kolonial menggelari Tuanku Tambusai sebagai De Padrische Tijger van Rokan (Harimau Paderi dari Rokan).

Gelar ini bukanlah isapan jempol. Dalam beberapa literatur, misalnya "Perang Paderi di Sumatera Barat 1808-1838" yang ditulis oleh Moh Radjab disebut bahwa Tuanku Tambusai memang sulit dikalahkan, pantang menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda.

"Salah satu sikap itu ia tunjukkan ketika menolak bujukan Kolonel Elout untuk berdamai," kata Fikrul kepada Sindonews.

Atas jasa dan perjuangannya, Tuanku Tambusai dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Nomor 71/TK/1995 tanggal 7 Agustus 1995.

Kamis, 26 Mei 2016

Ketika Tukang Ojek Kembali Belajar Membaca Quran dari Iqraq

Inovasi Penyuluh Agama Lismawati
Ketika Tukang Ojek Kembali Belajar Membaca Quran dari Iqraq

Lubuk Alung--Keberadaan kelompok sosial keagamaan memberikan nilai plus bagi perkembangan dan percepatan pembangunan bidang keagamaan, khususnya agama Islam. Hal inilah yang dilakukan penyuluh agama Islam Kankemenag Kabupaten Padang Pariaman, Lismawati. Terlihat jelas pada penutupan kegiatan Kelompok Pengajian Pangkalan Ojek (KPPO) Kampung Ladang, Balah Hilia, Lubuk Alung, Rabu (25/05) malam lalu di Mushalla Darussalikin (Surau Kajai).
    Kegiatan penutupan ini sekaligus dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Indahnya silaturrahim ini karena dihadiri seluruh anggota KPPO yang berjumlah lebih dari 50 orang, beserta isteri dan anaknya.
    Keberadaan tukang ojek di tengah masyarakat bukanlah sesuatu yang asing. Menjadi tukang ojek sudah menjadi bagian profesi seorang suami yang juga sebagai ayah guna menghidupi keluarganya. Bahkan, profesi ini ada juga yang digeluti oleh perempuan.
    Hampir di setiap sudut kota, kecamatan, nagari, bahkan korong banyak terdapat pangkalan ojek yang selalu setia menunggu para tumpangan. Banyak isu negatif tentang segelintir tukang ojek.
    Untuk menangkis tanggapan negatif itu, Lismawati, penyuluh agama Islam fungsional Padang Pariaman berinisiatif membentuk kelompok pengajian, yang mempunyai tujuan mulia, membangkitkan semangat kehambaan bagi profesi tukang ojek, bahwa mereka adalah makhluk
Allah yang juga berkewajiban mengabdi kepada sang Khalik.
    Untuk pengabdian itu, tentu perlu belajar dan mengasah kembali kemampuan, terutama dalam bidang ibadah dan Quran. Karena melihat fenomena itulah, akhirnya muncul pemikiran dan ide dari Lismawati untuk menyatukan aktifitas para tukang ojek ini dalam sebuah organisasi yang diberi nama KPPO Kampung Ladang.
    Kegiatan pengajian dilaksanakan di masjid dan mushalla yang ada di sekitar kecamatan Lubuk Alung, sesuai dengan kesepakatan anggota sejak Juli 2015 lalu. Kegiatan  yang dilaksanakan dua kali sebulan. Diikuti anggota KPPO dari usia 35-65.
    "Dari sekian banyak anggota KPPO, hanya 10 persen yang mampu membaca Quran. Itupun masih belum begitu fasih. Sedangkan 90 persen lagi harus dibimbing dengan memulai lagi
dari Iqraq satu," kata Lismawati. 
    Kenyataan yang sangat memilukan. Tetapi, Alhamdulillah berkat semangat Lismawati yang selalu memotivasi anggota, akhirnya semua anggota yang belum mampu membaca Quran rela dan ikhlas kembali belajar Iqraq bersama penyuluh Agama.
    Terobosan lalinya juga dilakukan dengan menerbitkan kartu keanggotaan. Kartu ini
dibuat dalam rangka memberikan legalitas dan keamanan anggota. Apabila terjadi masalah di lapangan, anggota bisa memperlihatkan kartu ini untuk memperjelas identitasnya.
    "Selain itu, dengan bantuan donatur kita juga membuat jaket seragam untuk anggota. Tujuannya kembali memberikan kenyamanan untuk anggota dalam mencari nafkah, serta menyiarkan kelompok pengajian ini di tengah masyarakat," ujarnya.
    Selain itu, Lismawati juga mengidentifikasi kondisi ekonomi dan tempat tinggal anggota KPPO. Berdasarkan data, ternyata para tukang ojek masih hidup dibawah standar. "Kita telah ajukan proposal ke berbagai pihak, termasuk ke Baznas Padang Pariaman, agar rumah tempat tinggal tukang ojek ini layak untuk ditempati," katanya.
    Kepala KUA Lubuk Alung, Syafral Abdi menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap
semangat penyuluh agama yang mampu merambah binaannya, bahkan sampai ke pangkalan ojek sekalipun. "Semoga penyuluh selalu eksis menjadi garda terdepan dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat," harapnya.
    Syafral Abdi menyerahkan bantuan kitab suci Quran dan Ikraq kepada KPPO. "Ini bantuan dan kepedulian dari Kemenag Padang Pariaman, untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya," pinta dia.
    Kepala Kemenag Padang Pariaman, Masrican Tuanku Marajo Basa menyampaikan apresiasi atas hadirnya organisasi ini. Penyuluh agama harus mampu memberikan solusi dan penengah di setiap problem yang dihadapi masyarakat. Dia ingin, terobosan ini dapat pula dilakukan oleh penyuluh agama lainnya di daerah ini. (501)

Selasa, 24 Mei 2016

Syekh Abdul Wahab Rokan yang Mendirikan Kampung Tanjung Masjid

 Syekh Abdul Wahab Rokan yang Mendirikan Kampung Tanjung Masjid
 
Abdul Wahab Rokan atau dikenal dengan sebutan Syeikh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi an-Naqsyabandi adalah seorang ulama ahli fikih, seorang sufi, sekaligus mursyid (pembimbing rohani) Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Riau dan Sumatera Timur pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ia juga merupakan pendiri Pondok Pesantren Babussalam di Pekanbaru, Riau.


Biografi

Syeikh Abdul Wahab Rokan lahir 10 Rabiulakhir 1242 H/11 November 1826 M di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Nagari Tinggi, Kabupaten Kampar, Riau dengan nama Abu Qosim, setelah menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Haji Abdul Wahab. Sedangkan tambahan nama Rokan menunjukkan bahwa ia berasal dari wilayah Sungai Rokan. Ia lahir dari keluarga bangsawan yang berpendidikan, taat beragama dan sangat dihormati. Ayahnya bernama Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Tuanku Abdullah Tambusai, seorang ulama terkemuka di kampungnya, sedangkan buyutnya bernama Tuanku Tambusai, seorang ulama dan pejuang yang masih keturunan keluarga Kerajaan Islam Siak Seri Inderapura. Ibunya bernama Arbaiyah binti Dagi yang masih keturunan Kesultanan Langkat, Sumatera Utara.


Pendidikan

Syeikh Abdul Wahab pertama kali mendapatkan pendidikan al-Quran langsung dari ayahnya, namun setelah ayahnya meninggal ia melanjutkan belajarnya kepada Tuanku Muhammad Shaleh Tambusai dan Tuanku Haji Abdul Halim Tambusai. Setelah belajar kepada kedua gurunya tersebut, Syeikh Abdul Wahab telah mampu berkembang pesat dalam menguasai ilmu bahasa Arab dan fikih, sehingga ia dijuluki "Faqih (ahli ilmu fikih) Muhammad" oleh gurunya.

Syeikh Abdul Wahab juga belajar kepada Syeikh Muhammad Yusuf di Semenanjung Melayu selama dua tahun. Pada tahun 1863, ia melanjutkan menunaikan ibadah haji ke Mekah sekaligus melanjutkan memperdalam ilmu-ilmu keislaman di sana. Selama enam tahun (1863-1869) ia bermukim dan belajar kepada ulama-ulama terkenal di Mekah.

Guru-guru Syeikh Abdul Wahab ketika belajar di Mekah:

  • Syeikh Saidi Syarif Dahlan (mufti mazhab Syafi'i)
  • Syeikh Hasbullah (ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram)
  • Syeikh Muhammad Yunus Abdurrahman Batu Bara (ulama Indonesia asal tanah Batak)
  • Syeikh Sulaiman Zuhdi di Jabal Abu Qubais, Mekah
  • Syeikh Sulaiman Zuhdi inilah yang kemudian memberi ijazah (pegesahan) dan membaiat Syeikh Abdul Wahab untuk mengamalkan dan menyiarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di tanah kelahirannya. Syeikh Sulaiman Zuhdi pula yang memberikan gelar Al-Khalidi An-Naqsyabandi di belakang nama Abdul Wahab Rokan.

Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah

Sepulang dari Mekah, Syeikh Abdul Wahab mendirikan perkampungan di sekitar Sungai Rokan yang ia beri nama Tanjung Masjid (Kampung Masjid). Ia menyebarkan tarekatnya tidak hanya sebatas di kampungnya saja, namun juga meliputi wilayah Riau, Tapanuli Selatan, Sumatera Timur, bahkan sampai ke Semenanjung Melayu. Pada tahun 1874, Syeikh Abdul Wahab pindah ke Dumai (Pantai Timur Riau) dan mengembangkan perkampungan baru di sana. Namun ia tidak lama menetap di Dumai, ia kembali ke tanah kelahirannya di Rantau Binuang Sakti untuk mengembangkan tarekatnya di sana.

Syeikh Abdul Wahab sempat mendirikan organisasi perjuangan Islam dengan dibantu oleh para ulama lain seperti Haji Abdullah Muthalib Mufti dan Sultan Zainal Abidin. Namun, karena dirasa organisasi tersebut membahayakan, maka Pemerintah Hindia Belanda menangkapya dan mengasingkannya ke Madiun, Jawa Timur, serta membubarkan organisasi tersebut. Pemerintah Hindia Belanda terus mencurigai setiap tindakan Syeikh Abdul Wahab, sehingga ia memutuskan untuk pindah ke Kampung Kualuh, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Di sana ia membangun lagi sebuah perkampungan dan di sana pula ia mulai memiliki santri.

Pada tahun 1879, Syeikh Abdul Wahab mendapatkan wakaf sebidang tanah yang terletak di wilayah Langkat dari Sultan Langkat, yaitu Sultan Musa al-Muazzam Syah. Pada tahun 1883, Syeikh Abdul Wahab beserta para santrinya kemudian membangun sebuah perkampungan baru lengkap dengan masjid dan pesantren. Perkampungan tersebut semakin berkembang dan diberi nama Kampung Babussalam (Pintu Keselamatan) dan masyarakat umum sering menyebutnya Bassilam. Demikian pula nama pesantren dan masjidnya serta kegiatan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Wahab kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Bassilam.


Karya

Tidak banyak diketahui hasil penulisan Tuan Guru Syeikh Abdul Wahhab Rokan. Setakat ini yang dapat dikesan ialah:
  1. Munajat, merupakan kumpulan puji-pujian dan pelbagai doa.
  2. Syair Burung Garuda, merupakan pendidikan dan bimbingan remaja.
  3. Wasiat, merupakan pelajaran adab murid terhadap guru, akhlak, dan 41 jenis wasiat.
Wafat

Syeikh Abdul Wahab Rokan Wafat di Babussalam, Langkat, pada hari Jum'at, 21 Jumadil awal 1345 H/26 Disember 1926 M.  (sumber: Wikipedia)

Raja Ali Haji, Ulama yang Sastrawan

Raja Ali Haji, Ulama yang Sastrawan

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. Beliau lahir di Selangor, ca. 1808 dan meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan.

Raja Ali Haji terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.

Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasihat kerajaan.

Latar belakang

Raja Ali Haji dilahirkan di Selangor (sekarang bagian Malaysia) tahun 1808 atau 1809, walaupun beberapa sumber menyebutkan bahwa dia dilahirkan di Pulau Penyengat (sekarang bagian Indonesia). Dia adalah putra dari Raja Ahmad, yang bergelar Engku Haji Tua setelah melakukan ziarah ke Mekah. Dia adalah cucu Raja Ali Haji Fisabilillah (saudara Raja Lumu, Sultan pertama Selangor).  Fisabilillah adalah keturunan keluarga kerajaan Riau, yang merupakan keturunan dari prajurit Bugis yang datang ke daerah tersebut pada abad ke-18. Bundanya, Encik Hamidah binti Malik adalah saudara sepupu dari ayahnya dan juga dari keturunan Suku Bugis.

Raji Ali Haji segera dipindahkan oleh keluarganya ke Pulau Penyengat saat masih bayi, di mana ia dibesarkan dan menerima pendidikan di sana.

Pendidikan

Raji Ali Haji  memperoleh pendidikan dasarnya dari ayahnya  sendiri. Di samping itu, ia juga mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana  Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Di lingkungan kesultanan ini, secara  langsung ia mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh terkemuka yang pernah  datang. Ketika itu banyak tokoh ulama yang merantau ke Pulau Penyengat dengan  tujuan mengajar dan sekaligus belajar. Di antara ulama-ulama yang dimaksud  adalah Habib Syeikh as-Saqaf,  Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul  Ghafur bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi.

Raji Ali Haji  juga mendapatkan  pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia beserta rombongan ayahnya  pergi ke Betawi pada tahun 1822, RAH memanfaatkan momentum ini sebagai wahana untuk belajar. Ia  juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah, yaitu ketika ia  bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi tanah suci Mekkah pada  tahun 1828 (untuk berhaji). Mereka merupakan bangsawan Riau yang pertama kali  mengunjungi Mekkah. Raji Ali Haji  beserta ayah dan rombongannya sempat ke Mesir, setelah  berkelana di Mekkah beberapa bulan. Ketika itu, Raji Ali Haji masih berusia muda.

Tugas sebagai pengabdian

Dalam usia 30 tahun, Raji Ali Haji  mengikuti saudara  sepupunya, Raja Ali bin Ja'far, pergi ke seluruh kawasan Kesultanan Riau-Lingga  hingga ke pulau-pulau terpencil. Keperluan mereka adalah untuk memeriksa  kawasan tersebut.

Ketika usia Raji Ali Haji  telah mencapai 32 tahun, ia  beserta saudara sepupunya itu dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk  mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah, yang pada saat itu masih berumur sangat  muda. Ketika itu Sultan Mahmud Muzaffar Syah belum mau menunjuk Yang Dipertuan  Muda pengganti Marhum Kampung Bulan yang telah meninggal dunia. Pada tanggal 26  Juni 1844 atau Hari Rabu 9 Jumadil-akhir 1260 H, Raji Ali Haji  membuat petisi yang isinya  mendukung Raja Ali menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga.  Petisi itu ditandatangani oleh para pendukung Raja Ali.

Ketika Raja Ali bin Ja'far  diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau VIII pada tahun 1845, RAH diangkat  sebagai penasehat keagamaan kesultanan.

Ketika Yang Dipertuan Muda  Riau Raja Ali bin Ja’far digantikan oleh adiknya Raja Haji Abdullah Mursyid,  Raji Ali Haji dan Raja Ali bin Ja'far kemudian membangun lembaga "Ahlul Halli wa Aqdi"  yang membantu jalannya roda pemerintahan kesultanan.

Pada  tanggal 7 Mei 1868, Raji Ali Haji mengetuai rombongan Kesultanan Riau-Lingga menuju Teluk  Belanga untuk menghadiri penobatan Tumenggung Johor Abu Bakar sebagai Maharaja  Johor. Pekerjaan sebagai penanggung jawab bidang hukum Islam di Kerajaan  Riau-Lingga diemban oleh RAH hingga ia meninggal pada tahun 1873.

Karya terkenal

Puisi 
1847 : Gurindam Dua Belas (12)

Buku
1860s : Tuhfat al-Nafis (Bingkisan Berharga)
1865 : Silsilah Melayu dan Bugis

Karya lain
1857 : Bustan al-Kathibin
1850-an: Kitab Pengetahuan Bahasa (Tidak selesai)
1857 : Intizam Waza'if al-Malik
1857 : Thamarat al-Mahammah

Kematian

Sebagian besar sumber menyatakan bahwa Raja Ali Haji wafat pada tahun 1872 di Pulau Penyengat di Kepulauan Riau, tetapi tanggal kematiannya sedang diperdebatkan setelah bukti-bukti yang tersebar muncul untuk menentang klaim ini. Diantaranya, bukti yang terkenal adalah surat yang ditulis pada tahun 1872 ketika Raja Ali Haji menulis surat kepada Herman Von De Wall, seorang ahli kebudayaan Belanda, yang kemudian meninggal di Tanjung Pinang pada tahun 1873.

Jumat, 20 Mei 2016

Syafruddin Prawiranegara Pernah Jadi Pegawai Departemen Keuangan Jepang

 Syafruddin Prawiranegara Pernah Jadi Pegawai Departemen Keuangan Jepang

Mr. Syafruddin Prawiranegara (ejaan lama: Sjafruddin Prawiranegara ) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. Sebelum terlibat sebagai tokoh nasional, Syafruddin Prawiranegara pernah bekerja sebagai pegawai radio swasta, pegawai departemen Keuangan Belanda, dan pegawai departemen keuangan Jepang.

Asal usul

Syafruddin Prawiranegara lahir pada tanggal 28 Februari 1911 di Serang, Banten, memiliki nama kecil "Kuding", yang berasal dari kata Udin pada nama Syariffudin. Ia memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu dan Sunda Minangkabau dari pihak ayah. Buyutnya dari pihak ayah, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, namun cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.

Pada tahun 1925 Syafruddin menempuh pendidikan ELS, dilanjutkan ke MULO  di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Univesitas Indonesia ) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum). Sebelum terlibat sebagai tokoh nasional, Syafruddin Prawiranegara pernah bekerja sebagai pegawai radio swasta, pegawai departemen Keuangan Belanda, dan pegawai departemen keuangan Jepang.

Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) selama 207 Hari 

Setelah proklamsi kemerdekaan Indonesia, Mr Syafruddin Prawiranegara menjabat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP, yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Setelah itu Mr Syafrudin Prawiranegara  diangkat sebagai Menteri Kemakmuran RI.

Pada tanggal 19 Desember 1948. Agresi Militer II Belanda terhadap Ibu Kota Yogyakarta menyebabkan Presiden Sukarno ditangkap. Wakil Presiden Mohammad Hatta yang cemas dengan kondisi itu segera mengirimkan telegram kepada Menteri Kemakmuran RI, Syafrudin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Selain itu Telegram juga diberikan kepada yang lain seperti kepada dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di New Delhi (India), untuk membentuk pemerintahan darurat, jika usaha Mr Syafruddin di Sumatera Barat tidak berhasil. Telegram ini ditandatangani M Hatta selaku Wapres, dan Agus Salim sebagai Menlu.

Namun Mr Syafruddin tidak tahu tentang telegram tersebut, Syafruddin tidak pernah tahu ada mandat kepadanya untuk membentuk pemerintahan darurat. Ia hanya mendengarnya dari siaran radio bahwa ibu kota Yogyakarta telah diduduki Belanda, pada 19 Desember 1949 sore. Ia menemui Teuku Muhammad Hassan dan menyampaikan kemungkinan kevakuman pemerintahan. Ia pun mengusulkan supaya dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam bahaya. Setelah berdiskusi panjang lebar, termasuk soal hukum karena tidak ada mandat, maka dibentuklah pemerintahan darurat. Pemerintahan darurat itu dipimpin Mr Syafruddin dan TM Hasan sebagai wakilnya. Kesepakatan dua tokoh ini merupakan embrio dari pembentukan pemerintahan darurat yang tiga hari kemudian dilaksanakan di Halaban.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan serta kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

Jabatan pemerintahan

Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.

Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan "Gunting Syafruddin".

Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.

Keterlibatan dalam PRRI

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bukanlah gerakan separatis, PRRI justru berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunisme. Jika dibaca kalimat-kalimat awal Piagam Perdjuangan Menjelamatkan Negara tertanggal Padang, 10 Februari 1958 yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan, nyata sekali betapa PRRI lahir didasarkan atas keinginan kuat untuk melindungi republik yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan konstitusi yang berlaku saat itu.

Pada awal tahun 1958, PRRI berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk Kabinet tandingan sebagai Jawaban atas dibentuknya kabinet Ir Juanda, di Jawa. Kabinet PRRI berbasis di Sumatera Tengah. PRRI masih tetap mengakui Soekarno sebagai Presiden PRRI, karena beliau diangkat secara konstitusional.

Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.

Masa tua

Syafrudin Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. Dalam aktivitas keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI). Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah, antar lain:

  • Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen(1958)
  • Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
  • Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-??)
Ia juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.

Keluarga

Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddinn. Mereka memiliki delapan orang anak, dan sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagai bayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981.

Penghargaan:

Syafruddin Prawiranegara meninggal di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1989, pada umur 77 tahun.Atas segala jasa-jasanya terhadap bangsa pada tahun 2011 Ia dianugerahi gelar pahlawan nasional dengan dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/2011.

Pendidikan, Karir, pekerjaan, dan Jabatan pemerintahan
Pendidikan, 
  • ELS (1925), 
  • MULO di Madiun (1928) 
  • AMS di Bandung (1931) 
  • Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) (1939), berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum). 
Karir dan pekerjaan 
  • Pegawai siaran radio swasta (1939-1940), 
  • Petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), 
  • Pegawai Departemen Keuangan Jepang. Anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. 
Jabatan pemerintahan
  • Wakil Perdana Menteri, Masa jabatan: 4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949. 
  • Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Masa jabatan: 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949. 
  • Menteri Keuangan Republik Indonesia ke-5, Masa jabatan: 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947. 
  • Menteri Kemakmuran (1947) 
  • Menteri Perdagangan Republik Indonesia ke-4, Masa jabatan: 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949. 
  • Menteri Pertanian Republik Indonesia ke-5, Masa jabatan: 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949

"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah" (Syafruddin Prawiranegara)

Kyai Ahmad Sahal Mahfudh Lahir dan Dibesarkan dalam Lingkungan Pesantren

 Kyai Ahmad Sahal Mahfudh Lahir dan Dibesarkan dalam Lingkungan Pesantren

Kyai Ahmad Sahal Mahfudh lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati pada tanggal 17 Desember 1937. Ia adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, terlahir dengan nama Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd Salam Alhajaini dari pasangan Kyai Mahfudz bin Abd Salam Alhafidz dan Hj Badi’ah. Ia  Kyai Sahal merupakan anak ketiga dari enam bersaudara.

Kyai Ahmad Sahal Mahfudh lahir dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren kemudian mengabdi di pesantren. Pada tahun 1968 Kyai Sahal menikah dengan Hj Nafisah binti KH Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang dan memiliki putra bernama Abdul Ghofar Rozin.

Dedikasinya kepada pesantren, masyarakat, dan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Ia menguatkan tradisi dengan ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih ditambah keserasian dengan akhlak yang diajarkan dari ulama tradisional. Dalam istilah pesantren semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral luhur).

Beliau adalah sosok yang gemar membaca buku, ini terbukti dengan 1.800 koleksi buku yang dimilikinyadi rumahnya. Bukan saja bidang agama yang dia pelajari namun bacaan lain seperti tentang psikologi hingga novel detektif beliau baca. Alhasil, belum genap berusia 40 tahun, dirinya telah menunjukkan kepintarannya dalam forum fiqih. Dan pada berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya.

Sejak tahun 1963 Kyai Sahal sudah mepemimpin Pesantren Maslakul Huda Putra. Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910. Sebagai pemimpin pesantren, Kyai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU. Sikapnya yang menonjol ialah mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.

Ia pun pernah bergabung dengan sejumlah institusi salah satunya yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu menjadi anggota BPPN3 selama dua periode dari tahun 1993-2003.

Pada 18 Juni 2003 Ia dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqh serta pengembangan pesantren dan masyarakat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Organisasi yang pernah dijabat Kyai Sahal: Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009). Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.

Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30 juta orang itu.

KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005. Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain sebagai Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah (sejak 1989) dan pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati (sejak 1963).

KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz, meninggal dunia pukul 01.05 WIB dini hari, Jumat 24 Januari 2014. KH Sahal wafat dalam usia 78 tahun.

Karya-karya KH MA Sahal Mahfudz

Kyai Sahal adalah seorang pakar fiqih (hukum Islam), yang sejak menjadi santri seolah sudah terprogram untuk menguasai spesifikasi ilmu tertentu yaitu dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, Bahasa Arab dan Ilmu Kemasyarakatan. Namun beliau juga mampu memberikan solusi permasalahan umat yang tak hanya terkait dengan tiga bidang tersebut, contohnya dalam bidang kesehatan dan beliau menemukan suatu bagian tersendiri dalam fiqh.

Dalam bidang kesehatan Kyai Sahal mendapat penghargaan dari WHO dengan gagasannya mendirikan taman gizi yang digerakkan para santri untuk menangani anak-anak balita (hampir seperti Posyandu). Selain itu juga mendirikan balai kesehatan yang sekarang berkembang menjadi Rumah Sakit Islam.

Berbicara tentang karya beliau, pada bagian fiqh beliau menulis seperti Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fuqaha, al-Barokatu al- Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab. Sedangkan karya Kyai Sahal yang berbentuk tulisan lainnya adalah:

Buku (kumpulan makalah yang diterbitkan):

  • Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
  • Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
  • Al-Bayan al-Mulamma’ ‘an Alfdz al-Lumd”, (Semarang: Thoha Putra, 1999)
  • Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997)
  • Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
  • Ensiklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu’ah al-Ij ma’). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987).
  • Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
  • Luma’ al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
  • Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)
Risalah dan Makalah (tidak diterbitkan):
  • Tipologi Sumber Daya Manusia Jepara dalam Menghadapi AFTA 2003 (Workshop KKNINISNU Jepara, 29 Pebruari 2003).
  • Strategi dan Pengembangan SDM bagi Institusi Non-Pemerintah, (Lokakarya Lakpesdam NU, Bogor, 18 April 2000).
  • Mengubah Pemahaman atas Masyarakat: Meletakkan Paradigma Kebangsaan dalam Perspektif Sosial (Silarurahmi Pemda II Ulama dan Tokoh Masyarakat Purwodadi, 18 Maret 2000).
  • Pokok-Pokok Pikiran tentang Militer dan Agama (Halaqah Nasional PB NU dan P3M, Malang, 18 April 2000)
  • Prospek Sarjana Muslim Abad XXI, (Stadium General STAI al-Falah Assuniyah, Jember, 12 September 1998)
  • Keluarga Maslahah dan Kehidupan Modern, (Seminar Sehari LKKNU, Evaluasi Kemitraan NU-BKKBN, Jakarta, 3 Juni 1998)
  • Pendidikan Agama dan Pengaruhnya terhadap Penghayatan dan Pengamalan Budi Pekerti, (Sarasehan Peningkatan Moral Warga Negara Berdasarkan Pancasila BP7 Propinsi Jawa Tengah, 19 Juni 1997)
  • Metode Pembinaan Aliran Sempalan dalam Islam, (Semarang, 11 Desember 1996)
  • Perpustakaan dan Peningkatan SDM Menurut Visi Islam, (Seminar LP Ma’arif, Jepara, 14 Juli 1996)
  • Arah Pengembangan Ekonomi dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Seminar Sehari, Jember, 27 Desember 1995)
  • Pendidikan Pesantren sebagai Suatu Alternatif Pendidikan Nasional, (Seminar Nasional tentang Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Peningkatan Kualitas SDM Pasca 50 tahun Indonesia Merdeka, Surabaya, 2 Juli 1995)
  • Peningkatan Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Berkualitas, (disampaikan dalam Diskusi Panel, Semarang, 27 Juni 1995)
  • Pandangan Islam terhadap Wajib Belajar, (Penataran Sosialisasi Wajib belajar 9 Tahun, Semarang 10 Oktober 1994)
  • Perspektif dan Prospek Madrasah Diniyah, (Surabaya, 16 Mei 1994)
  • Fiqh Sosial sebagai Alternatif Pemahaman Beragama Masyarakat, (disampaikan dalam kuliah umum IKAHA, Jombang, 28 Desember 1994)
  • Reorientasi Pemahaman Fiqh, Menyikapi Pergeseran Perilaku Masyarakat, (disampaikan pada Diskusi Dosen Institut Hasyim Asy’ari, Jombang, 27 Desember 1994)
  • Sebuah Releksi tentang Pesantren, (Pati, 21 Agustus 1993)
  • Posisi Umat Islam Indonesia dalam Era Demokratisasi dari Sudut Kajian Politis, (Forum Silaturahmi PP Jateng, Semarang, 5 September 1992).
  • Kepemimpinan Politik yang Berkeadilan dalam Islam, (Halaqah Fiqh Imaniyah, Yogyakarta, 3-5 Nopember 1992)
  • Peran Ulama dan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan Umat, (Sarasehan Opening RSU Sultan Agung, Semarang, 26 Agustus 1992).
  • Pandangan Islam Terhadap AIDS, (Seminar, Surabaya,1 Desember 1992)
  • Kata Pengantar dalam buku Quo Vadis NU karya Kacung Marijan, (Pati, 13 Pebruari 1992)
  • Peranan Agama dalam Pembinaan Gizi dan Kesehatan Keluarga, Pandangan dari Segi Posisi Tokoh Agama, Muallim, dan Pranata Agama, (Muzakarah Nasional, Bogor, 2 Desember 1991)
  • Mempersiapkan Generasi Muda Islam Potensial, (Siaran Mimbar Agama Islam TVRI, Jakarta, 24 Oktober 1991)
  • Moral dan Etika dalam Pembangunan, (Seminar Kodam IV, Semarang, 18-19 September 1991)
  • Pluralitas Gerakan Islam dan Tantangan Indonesia Masa Depan, Perpsketif Sosial Ekonomi, (Seminar di Yogyakarta, 10 Maret 1991)
  • Islam dan Politik, (Seminar, Kendal, 4 Maret 1989)
  • Filosofi dan Strategi Pengembangan Masyarakat di Lingkungan NU, (disampaikan dalam Temu Wicara LSM, Kudus, 10 September 1989)
  • Disiplin dan Ketahanan Nasional, Sebuah Tinjauan dari Ajaran Islam, (Forum MUIII, Kendal, 8 Oktober 1988)
  • Relevansi Ulumuddiyanah di Pesantren dan Tantangan Masyarakat, (Mudzakarah, P3M, Mranggen, 19-21 September 1988)
  • Prospek Pesantren dalam Pengembangan Science, (Refreshing Course KPM, Tambak Beras, Jombang 19 Januari 1988)
  • Ajaran Aswaja dan Kaitannya dengan Sistem Masyarakat, (LKL GP Anshor dan Fatayat, Jepara 12-17 Februari 1988)
  • AIDS dan Pr0st!susi dari Dimensi Agama Islam, (Seminar AIDS dan Pr0st!tusi YAASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987)
  • Sumbangan Wawasan tentang Madrasah dan Ma’arif, (Raker LP Ma’arif, Pati, 21 Desember 1986)
  • Program KB dan Ulama, (Pati, 27 Oktober 1986)
  • Hismawati dan Taman Gizi, (Sarasehan gizi antar santriwati,
  • Administrasi Pembukuan Keuangan Menurut Pandangan Islam, (Latihan Administrasi Pembukuan dan Keuangan bagi TPM, Pan, 8 April 1986)
  • Pendekatan Pola Pesantren sebagai Salah Satu Alternatif membudayakan NKKBS, (Rapat Konsultasi Nasional Bidang, KB, Jakarta, 23-27 Januari 1984)
  • Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Lokakarya Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Jakarta, 6-8 Januari 1983)
  • Tanggapan atas Pokok-Pokok Pikiran Pembaharuan Pendidikan Nasional, (27 Nopember 1979)
  • Peningkatan Sosial Amaliah Islam, (Pekan Orientasi Ulama Khotib, Pati, 21-23 Pebruari 1977)
  • Intifah al-Wajadain, (Risalah tidak diterbitkan)
  • Wasmah al-Sibydn ild I’tiqdd ma’ da al-Rahman, (Risalah tidak diterbitkan)
  • I’dnah al-Ashhdb, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
  • Faid al-Hija syarah Nail al-Raja dan Nazhdm Safinah al-Naja, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
  • Al-Tarjamah al-Munbalijah ‘an Qasiidah al-Munfarijah, (Risalah tidak diterbitkan)
(sumber: http://www.fimadani.com/biografi-kh-ahmad-sahal-mahfudh/)

Hamzah Haz, Wartawan yang Pernah Jadi Wapres

 Hamzah Haz, Wartawan yang Pernah Jadi Wapres

Dr. H. Hamzah Haz, MA, P.hD. adalah Wakil Presiden Republik Indonesia kesembilan yang menjabat sejak tahun 2001 bersamaan dengan naiknya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam kepartaian, Hamzah Haz menjabat sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1998-2007.

Riwayat Awal

Hamzah Haz lahir di Ketapang, Kalimantan Barat pada 15 Februari 1940; umur 74 tahun. Sekolah di SMP, Pontianak, Kalimantan Barat. Lalu Pada 1961 melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Pontianak, setelah lulus, ia menjadi Wartawan surat kabar Bebas, Hamzah pernah kuliah di Yogyakarta sampai lulus pada 1965 dan melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Perusahaan Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura. Selama menuntut ilmu di Pontianak, beliau juga merupakan Ketua Presidium KAMI Konsulat Pontianak.

Karier

Pada tahun 1971 Hamzah pernah menjadi Wakil Ketua DPW Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Barat, setelah itu dia menjadi wakil rakyat bagi NU pada tahun itu juga. Pasca terjadinya fusi antara Nahdlatul Ulama (NU) dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hamzah aktif bergerak menjadi anggota DPR bagi PPP serta menjadi pengurus penting PPP sampai akhirnya menjabat mejadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu.

Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) - Oleh Presiden Habibie, pada 1998 Hamzah Haz diangkat menjadi Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), namun ia mengundurkan diri setelah satu tahun menjabat akibat desakan masyarakat agar pimpinan partai tidak menjabat menteri.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat - Namun ketika Presiden Abdurrahman Wahid memintanya menjadi menteri pada Kabinet Persatuan Nasional sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dia kembali menerima amanat tersebut, dan kembali pada 26 November 1999 Hamzah kembali mengundurkan diri dengan alasan yang sama dan ingin fokus ke partai. Aksi pengunduran itu juga merupakan aksi pengunduran diri pertama dalam kabinet Persatuan Nasional setelah Hamzah hanya menjabat selama dua bulan.

Wakil Presiden Republik Indonesia - Puncak karier politik Hamzah Haz adalah ketika ia berhasil menjabat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia menggantikan Megawati Soekarnoputri yang saat itu naik jabatan menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid yang diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat saat itu, Amien Rais.

Dalam pemilihan Wakil Presiden yang dilakukan oleh 700 orang anggota MPR tersebut, Hamzah Haz berhasil unggul dari Susilo Bambang Yudhoyono dan Akbar Tandjung.

Pada Pemilu 2004, Partai Persatuan Pembangunan meraih posisi keempat, berada di bawah Partai Kebangkitan Bangsa dengan 8,15% suara, sehingga Hamzah Haz dicalonkan sebagai calon presiden oleh partainya, PPP, berpasangan dengan Agum Gumelar sebagai calon wakil presiden, namun ia kalah dengan perolehan suara hanya 3%.

Pemikiran

Hamzah Haz banyak diduga memiliki hubungan dengan para tentara muslim terutama akibat hubungan baiknya dengan KH. Abu Bakar Ba'asyir dengan tujuan untuk mencari dukungan suara agar memilihnya menjadi Presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2004.

Hamzah Haz juga sempat mengungkapkan bahwa Amerika Serikat adalah teroris, yang menjadi kontroversi dimana-mana.

Menjelang Pemilu 2014, Hamzah Haz mengungkapkan bahwa suatu hal yang nasionalis dan agamis patut untuk digabungkan agar berhasil memimpin Indonesia 5 tahun ke depan, Ungkapan tersebut sejalan dengan dukungan Hamzah kepada Joko Widodo (Jokowi) agar mencalonkan diri menjadi presiden pada Pemilu 2014 dan juga imbauan untuk Jokowi agar memilih Wakil Presiden dari jajaran Agamawan.

Kehidupan Pribadi

Hamzah Haz memiliki dua orang istri yaitu Asmaniah dan Titin Kartini, dan memiliki 12 anak dan salah satunya, Nur Agus Haz merupakan anggota DPR dari PPP. Hamzah Haz bergelar PhD (S3 / doktoral) dari American World University, sebuah institusi pabrik ijazah.

Syekh Abdurrauf Punya 19 Orang Guru

Syekh Abdurrauf Punya 19 Orang Guru

Syekh Abdurrauf Singkil ( - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).


Masa muda dan pendidikan

Abdurrauf Singkil lahir di Singkil, Aceh pada 1024 H/1615 M, beliau memiliki nama lengkap Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.

Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu Islam, selain 27 ulama terkemuka lainnya.

Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah. Studi keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir.


Hasil karya

Sepanjang hidupnya, tercatat Syiah Kuala sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari satu kitab tafsir, dua kitab hadis, tiga kitab fikih, dan selebihnya kitab tasawuf. Bahkan Tarjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir Syiah Kuala yang pertama dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.

Namun di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara, yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Kitab ini ditulis ketika Syiah Kuala masih berada di Aceh. Kitab ini beredar di kawasan Melayu-Indonesia, bahkan luar negeri.

Diyakini banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Selain itu, kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir Alquran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.

Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam, Seulimum, Aceh Besar. Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik yang berdasarkan hasil penelitian Al Yasa’ Abubakar.

Disebutkan dalam tulisan itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai 36 buah kitab. Bahkan salah satu kitab yang dikarangnya diabadikan oleh Profesor A. Meusingge dalam buku yang wajib dibaca mahasiswa Koninklijke Academic Delft, Leiden. Di dalam buku tersebut diulas isi kitab As-Singkili yang berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari'yyah li al Malik al-Wahhab.


Mufti kerajaan

Selain sebagai penulis yang produktif, Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercayakan sebagai mufti kerajaan Aceh pada masanya. Pengaruhnya sangat besar dalam mengembangkan Islam di Aceh dan meredam gejolak politik di kerajaan tersebut. Salah satu kebijakan populis pada abad pertengahan adalah restunya terhadap kepemerintahan ratu-ratu di Aceh.


Tarekat Syattariyah

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.


Pengajaran dan karya

Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).

Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:

  • Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
  • Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
  • Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
  • Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
  • Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
  • Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
  • Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.


Wafat

Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh. Namanya kini dilakabkan menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh.


Keberadan makam

Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam. Satu berada di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Satu lagi di Desa Kilangan, Singkil. Makam di Singkil berada di bibir Krueng Singkil. Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari Aceh maupun dari luar daerah seperti Sumatera Barat.

Sementara di Banda Aceh, lokasi makam Syiah Kuala berada di bibir Selat Malaka. Seperti halnya di Singkil, lokasi makam ini juga banyak dikunjungi peziarah. Bahkan makam dijadikan sebagai lokasi wisata religi di Tanah Rencong oleh pemerintah daerah.


Sumber:
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrauf_Singkil
  • http://atjehpost.co/articles/read/69/Syekh-Abdurrauf-As-Singkili-Ulama-Sekaligus-Mufti-Kerajaan

Minggu, 15 Mei 2016

Syeikh Nawawi al-Bantani Digelar Imam Nawawi kedua

Syeikh Nawawi al-Bantani

Digelar Imam Nawawi kedua
Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

NAMA Imam Nawawi tidak asing lagi bagi dunia Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama Syafi’iyah. Ulama ini sangat terkenal kerana banyak karangannya yang dikaji pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Pada penghujung abad ke-18 lahir pula seorang yang bernama Nawawi di Banten, Jawa Barat. Setelah dia menuntut ilmu yang sangat banyak, mensyarah kitab-kitab bahasa Arab dalam pelbagai disiplin ilmu yang sangat banyak pula, maka dia digelar Imam Nawawi ats-Tsani, ertinya Imam Nawawi Yang Kedua. Orang pertama memberi gelaran demikian ialah Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Gelaran yang diungkapkan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dalam seuntai gubahan syairnya itu akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis riwayat ulama yang berasal dari Banten itu. Sekian banyak ulama dunia Islam sejak sesudah Imam Nawawi yang pertama (wafat 676 Hijrah/1277 Masehi) sampai sekarang ini belum ada orang lain yang mendapat gelaran Imam Nawawi ats-Tsani, kecuali Syeikh Nawawi, ulama kelahiran Banten yang dibicarakan ini. Rasanya gelaran demikian memang dipandang layak, tidak ada ulama sezaman dengannya mahupun sesudahnya yang mempertikai autoritinya dalam bidang ilmiah keislaman menurut metode tradisional yang telah wujud zaman berzaman dan berkesinambungan.

Sungguhpun Syeikh Nawawi ats-Tsani al-Bantani diakui alim dalam semua bidang ilmu keislaman, namun dalam dunia at-thariqah ash-shufiyah, gurunya Syeikh Ahmad Khathib Sambas tidak melantik beliau sebagai seorang mursyid Thariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, tetapi yang dilantik ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani, iaitu ayah saudara kepada Syeikh Nawawi al-Bantani, yang sama-sama menerima thariqat itu kepada Syeikh Ahmad Khathib Sambas. Apakah sebabnya terjadi demikian hanya diketahui oleh Syeikh Ahmad Khathib Sambas dan Syeikh Nawawi al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani mematuhi peraturan yang diberikan itu, sehingga beliau tidak pernah mentawajuh/membai’ah seseorang muridnya walaupun memang ramai murid beliau yang menjadi ulama besar yang berminat dalam bidang keshufian.

Lahir dan pendidikan
Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten, Jawa Barat, lahir pada tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi. Ketika kecil, beliau sempat belajar kepada ayahnya sendiri, dan di Mekah belajar kepada beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dumyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Demikian saja para gurunya yang dapat dicatat daripada berbagai-bagai sumber, dan berkemungkinan banyak yang belum dapat dicatat di sini.

Dipercayai beliau datang ke Mekah dalam usia 15 tahun dan selanjutnya setelah menerima pelbagai ilmu di Mekah, beliau meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir. Setelah keluar dari Mekah kerana menuntut ilmu yang tidak diketahui berapa lamanya, lalu beliau kembali lagi ke Mekah. Keseluruhan masa beliau tinggal di Mekah dari mulai belajar, mengajar dan mengarang hingga sampai kemuncak kemasyhurannya lebih dari setengah abad lamanya. Diriwayatkan bahawa setiap kali beliau mengajar di Masjidil Haram sentiasa dikelilingi oleh pelajar yang tidak kurang daripada dua ratus orang. Kerana sangat terkenalnya beliau pernah diundang ke Universiti al-Azhar, Mesir untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara yang tertentu.

Belum jelas tahun berapa beliau diundang oleh ahli akademik di Universiti al-Azhar itu, namun difahamkan bahawa beliau sempat bertemu dengan seorang ulama terkenal di al-Azhar (ketika itu sebagai Syeikhul Azhar), iaitu Syeikh Ibrahim al-Baijuri (wafat 1860 Masehi) yang sangat tua dan lumpuh kerana tuanya. Kemungkinan Syeikh Ibrahim al-Baijuri, Syeikhul Azhar yang terkenal itu termasuk salah seorang di antara guru kepada Syeikh Nawawi al-Bantani.

Murid-murid
Diriwayatkan bahawa Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Barangkali ulama Banten yang terkenal itu kurang menguasai bahasa Melayu yang lebih umum dan luas digunakan pada zaman itu. Oleh sebab kurang menguasai bahasa Melayu, maka tidak berapa ramai muridnya yang berasal dari luar pulau Jawa (seperti Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan Patani). Tetapi Tok Kelaba al-Fathani menyebut bahawa beliau menerima satu amalan wirid daripada Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, dan Syeikh Abdul Qadir itu menerimanya daripada Syeikh Nawawi al-Bantani. Syeikh Abdul Qadir al-Fathani (Tok Bendang Daya II) sebenarnya bukan peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani tetapi adalah peringkat sahabatnya. Syeikh Nawawi al-Bantani (1230 Hijrah/1814 Masehi) lebih tua sekitar empat tahun saja daripada Syeikh Abdul Qadir al-Fathani (Tok Bendang Daya II, 1234 Hijrah/1817 Masehi). Adapun murid Syeikh Nawawi al-Bantani di pulau Jawa yang menjadi ulama yang terkenal sangat ramai, di antara mereka ialah, Kiyai Haji Hasyim Asy’ari, Pengasas Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur, bahkan beliau ini dianggap sebagai bapa ulama Jawa dan termasuk pengasas Nahdhatul Ulama. Murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang terkenal pula ialah Kiyai Haji Raden Asnawi di Kudus, Jawa Tengah, Kiyai Haji Tubagus Muhammad Asnawi di Caringin, Purwokerto, Jawa Barat, Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan ramai lagi.

Salah seorang cucunya, yang juga mendapat pendidikan sepenuhnya daripada beliau ialah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 Hijrah/1868 Masehi – 1324 Hijrah/1906 Masehi). Pada halaman pertama Al-Aqwalul Mulhaqat, Syeikh Abdul Haq al-Bantani menyebut bahawa Syeikh Nawawi al-Bantani adalah orang tuanya (Syeikhnya), orang yang memberi petunjuk dan pembimbingnya. Pada bahagian kulit kitab pula beliau menulis bahawa beliau adalah `sibthun’ (cucu) an-Nawawi Tsani. Selain orang-orang yang tersebut di atas, sangat ramai murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Celegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin pemberontak Celegon ialah: Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Semua mereka adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikaderkan di Mekah.

Karya-karya
Berapa banyakkah karya Syeikh Nawawi ats-Tsani al-Bantani yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Barangkali masih banyak yang belum masuk dalam senarai yang ditulis oleh penulis-penulis sebelum ini. Saya telah memiliki karya ulama Banten ini sebanyak 30 judul. Judul yang telah saya masukkan dalam buku berjudul Katalog Besar Persuratan Melayu, sebanyak 44 judul. Semua karya Syeikh Nawawi al-Bantani ditulis dalam bahasa Arab dan merupakan syarahan daripada karya orang lain. Belum ditemui walau sebuah pun karyanya yang diciptakan sendiri. Juga belum ditemui karyanya dalam bahasa Melayu, Jawa ataupun Sunda. Oleh sebab kekurangan ruangan di antara 44 judul di bawah ini saya catat sekadarnya saja, ialah:

1. Targhibul Musytaqin, selesai Jumaat, 13 Jamadilakhir 1284 Hijrah/1867 Masehi. Cetakan awal Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah.
2. Fat-hus Shamadil `Alim, selesai awal Jamadilawal 1286 Hijrah/1869 Masehi. Dicetak oleh Mathba’ah Daril Kutubil Arabiyah al-Kubra, Mesir 1328 Hijrah.
3. Syarah Miraqil `Ubudiyah, selesai 13 Zulkaedah 1289 Hijrah/1872 Masehi. Cetakan pertama Mathba’ah al-Azhariyah al-Mashriyah, Mesir 1308 Hijrah.
4. Madarijus Su’ud ila Iktisa’il Burud, mulai menulis 18 Rabiulawal 1293 Hijrah/1876 Masehi. Dicetak oleh Mathba’ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, akhir Zulkaedah 1327 Hijrah.
5. Hidayatul Azkiya’ ila Thariqil Auliya’, mulai menulis 22 Rabiulakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi, selesai 13 Jamadilakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi. Diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan, Surabaya, tanpa menyebut tahun penerbitan.
6. Fat-hul Majid fi Syarhi Durril Farid, selesai 7 Ramadan 1294 Hijrah/1877 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1304 Hijrah.
7. Bughyatul `Awam fi Syarhi Maulidi Saiyidil Anam, selesai 17 Safar 1294 Hijrah/1877 Masehi. Dicetak oleh Mathba’ah al-Jadidah al-’Amirah, Mesir, 1297 Hijrah.
8. Syarah Tijanud Darari, selesai 7 Rabiulawal 1297 Hijrah/1879 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah `Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Mesir, 1369 Masehi.
9. Syarah Mishbahu Zhulmi `alan Nahjil Atammi, selesai Jamadilawal 1305 Hijrah/1887 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1314 Hijrah atas biaya saudara kandung pengarang, iaitu Syeikh Abdullah al-Bantani.
10. Nasha-ihul `Ibad, selesai 21 Safar 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.
11. Al-Futuhatul Madaniyah fisy Syu’bil Imaniyah, tanpa tarikh. Dicetak di bahagian tepi kitab nombor 10, oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.
12. Hilyatus Shibyan Syarhu Fat-hir Rahman fi Tajwidil Quran, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1332 Hijrah.
13. Qatrul Ghaits fi Syarhi Masaili Abil Laits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1321 Hijrah.
14. Mirqatu Su’udi Tashdiq Syarhu Sulamit Taufiq, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah, Mekah 1304 Hijrah.
15. Ats-Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Bahiyah, Mesir, Syaaban 1299 Hijrah. Dicetak juga oleh Mathba’ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1342 Hijrah.
16. Tanqihul Qaulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyah, Mesir, tanpa tarikh.
17. Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Haramain, Singapura-Jeddah, tanpa tarikh.
18. Fat-hul Mujib Syarhu Manasik al- ‘Allamah al-Khatib, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah at-Taraqqil Majidiyah, Mekah, 1328 Hijrah.
19. Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadi-in, tanpa tarikh. Diterbitkan oleh Syarikat al-Ma’arif, Bandung, Indonesia, tanpa tarikh.
20. Al-Fushushul Yaqutiyah `alar Raudhatil Bahiyah fi Abwabit Tashrifiyah, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Bahiyah, Mesir, awal Syaaban 1299 Hijrah.