wartawan singgalang

Selasa, 22 April 2014

Kekurangan Modal Ditengah Larisnya Batubata

Kekurangan Modal Ditengah Larisnya Batubata

Lima Pulu Kota---Pagi itu cuaca masih mendung. Maklum, saat ini lagi musim hujan. Tapi, Iswardi Engku Nan Biru tetap bersemangat sekali melakukan aktivitasnya, membakar batubata yang telah siap disusun rapi dalam tungku untuk dibakar. Membuat batubata alias tembok, adalah profesi yang telah lama digeluti bapat empat orang putra-putri ini.
    Dia menggarap tanahnya sendiri untuk dijadikan bahan pembuat rumah itu di Jorong Belubus, Nagari Sungai Talang, Lima Puluh Kota. Tungkunya cukup besar. Untuk satu kali masak mencapai 20 ribu batubata. Tapi waktu membakarnya selama sepekan, karena dibakar pakai sekam. Tidak dengan kayu. Kini, Iswardi menjual batubatanya seharga Rp700 sampai ditujuan untuk Kota Payakumbuh dan Lima Puluh Kota.
    Batubata buatan Iswardi cukup terkenal. Belakangan, banyak batubatanya sampai ke Pariaman. Pasalnya, daerah itu setelah dihoyak gampo 2009 lalu, saat ini banyak masyarakatnya membangun. Dengan serentaknya pembangunan yang dilakukan masyarakat, sehingga batubata dalam daerah tak sanggup memenuhi permintaan pasar. Iswardi juga dapat berkah tersendiri dari musibah itu, sehingga batubatanya banyak dibeli oleh rang Piaman.
    Dulu, Iswardi sempat punya sejumlah karyawan lantaran tingginya permintaan batubata. Namun, belakangan karyawannya tinggal satu orang, yang setiap harinya membuat batubata dari tanah yang telah dilunakkan oleh kerbau milik Iswardi. Sebab, batubata yang dibuatnya masih menggunakan pola tradisional atau manual. Setiap yang sudah dicetak dipajang dulu untuk dijemur barang seminggu atau lebih. "Melihat cuaca. Kalau musim panas, batubata itu cepat keringnya sehingga bisa cepat pula dibakar. Tapi saat musim hujan saat ini, lama juga menjemurnya," kata Iswardi pada Singgalang Minggu pekan lalu.
    Untuk mendapatkan sekam, Iswardi cukup kewalahan juga. Bahkan, sampai mencari sekam jauh keluar daerah, seperti Solok, Pariaman dan daerah lainnya. Sementara, karyawan yang membuat batubata dia beri upah sesuai berapa banyaknya batubata yang diselesaikan. Untuk satu unit batubata dinilai Rp90 upahnya.
    Dengan batubata itulah Iswardi mampu mengayuh biduk kehidupannya. Semua anaknya mampu menyelesaikan pendidikannya sampai SMA. Bahkan, dua bulan belakangan, anak bungsunya baru saja diwisuda di UNP Padang. "Hanya dengan tanah inilah anak-anak dibiayai semua. Mereka disilahkan mengembangkan ilmunya sampai kemana saja, sesuai dengan kemampuan kitalah selaku orangtuanya," ujarnya.
    Iswardi merasa kesulitan untuk menambah modal usahanya. "Seperti untuk mengantarkan batubata ketempat konsumen, kita masih menyewa mobil orang lain. Begitu juga untuk mencari sekam. Agaknya, agar usaha ini bisa berkembang lebih besar lagi, butuh bapak angkat. Soal permintaan batubata, lihat sajalah. Tidak ada batubata yang siap dibakar yang parkir lama-lama. Baru saja masak dari tunggu, pembeli telah menunggu. Ada yang untuk pribadinya dan ada pula pedagang yang membeli," kata Iswardi. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar