wartawan singgalang

Senin, 21 Oktober 2013

Kelok Nona Itu Tidak Lagi Angker dan Menakutkan

Kelok Nona Itu Tidak Lagi Angker dan Menakutkan

Tapakis---Kelok Nona di jalur Ketaping-Pariaman tidak lagi ditakuti oleh banyak orang yang lalu-lalang di jalan itu. Ditambah lagi keberadaan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) yang dibangun pemerintah disitu. Dulu, jalan itu angker. Ketika matahari mulai menghilang dan malam pun datang, tak akan adalagi orang yang lewat, karena ada saja hal aneh yang dilihatnya.
    Walinagari Tapakis, Kecamatan Ulakan Tapakis, Rusli Rangkayo Majo Basa menuturkan kalau lokasi pembangunan BP2IP dan pelabuhan Tiram ini namanya Kelok Nona. Dinamakan demikian, banyak orang melihat, terutama di malam hari perempuan cantik, sehingga orang yang lewat merasa takut dan langsung cigin saja. Akibatnya, tidak sedikit lagi korban jiwa dilokasi ini dulunya, karena jatuh dari kendaraan, atau masuk rawa.
    "Upaya Pemkab Padang Pariaman membangun BP2IP dan pelabuhan ini sungguh sebuah terobosan yang sangat luar biasa. Khusus bagi masyarakat Tapakis, jelas tidak akan adalagi rasa takut. Bahkan, sejak mulai pengerjaannya sudah banyak anak-anak yang bermain dilokasi ini dikala senja. Mereka melihat indahnya matahari terbenam, yang seolah-olah berciuman dengan air laut, kalau cuaca lagi rancak," cerita Rusli dalam hantaran katanya, saat kedatangan tamu banyak dalam pengecoran pembangunan BP2IP demikian, Sabtu lalu.
    Rusli, adalah satu dari 10 orang rajo dalam Ulayat Tapakis, Ketaping dan Ulakan. Dia punya kekuasaan adat yang sama juga dengan Rangkayo Rajo Sampono di Ketaping. Untuk ini, tentu seluk-beluk Nagari Tapakis khususnya sangat diketahuinya. Mulai masyhurnya sebutan Kelok Nona, memang sudah sangat lama. Dasarnya itu tadi. Bagi yang pertama kali melihat gadis rancak dipinggir jalan, apalagi yang bujang-bujang, tentu akan terperdaya sendiri. Namun, apabila dilihatnya dari dekat, rupanya makhluk halus, yang kalau orang kampung bilang, hantu.
    Tetapi, bagi masyarakat Tapakis, Ketaping dan Ulakan yang sudah tahu dengan kondisi demikian bila melihatnya hanya berdoa, dan sekaligus berharap tidak akan terjadi malapetaka pada dirinya. Saat kampung belum lagi dimasuki listrik, peristiwa itu sangat acapkali dilihat orang. "Sejak beberapa bulan belakangan, Kelok Nona sudah rancak. Bangunan megah tempat penggembelengan pelaut handal akan segera hadir. Pelabuhan begitu juga. Tentu kampung yang dulunya sunyi, akan menjadi ramai oleh hiruk-pikuknya aktivitas pendidikan dan perekonomian," sebut Rusli lagi.
    Bagi Rusli dan niniak mamak dalam ulayat yang tiga itu, jelas pembangunan BP2IP punya arti tersendiri. Walapun awalnya sempat terjadi pro dan kontra dalam soal ini oleh sebagian masyarakat. Bupati Ali Mukhni sebagai kepala daerah di Padang Pariaman yang sangat ingin hal itu terwujud, tentu tidak gegabah untuk meletakkan pembangunan BP2IP di kawasan Kelok Nona demikian. Untuk ini, seluruh kekuatan niniak mamak dan masyarakat dijadikannya sebagai penopang pembangunan demikian. Dan yang tidak kalah pentingnya, adalah kiprah yang dimainkan Rangkayo Rajo Sampono, yang juga sebagai juru bicara bagi 10 orang rajo dalam Ulayat Tapakis, Ketaping dan Ulakan dimaksud dalam merampungkan pembangunan BP2IP.
    Tidak kalah serunya, dalam pengecoran Sabtu lalu itu, Bupati Ali Mukhni dapat pujian dan apresiasi yang sangat luas sekali. Sampai-sampai Azwar Anas, mantan Gubernur Sumatra Barat melihat Bupati Ali Mukhni hebat dan pintar melakukan lobi-lobi ke pusat. Begitu juga Gubernur Irwan Prayitno menyebut, kalau bupati dan walikota lainnya pada cemburu, lantaran pembangunan nasional dan Sumbar banyak dilakukan di Padang Pariaman.
    "Bupati Ali Mukhni memang terkenal gigih, dan mau bekerja. Pandai memanfaatkan momen, sehingga proyek nasional bisa jatuh ke Padang Pariaman," kata Irwan Prayitno. (damanhuri)

Jumat, 18 Oktober 2013

Buluah Apo Kampung yang Masih Tertinggal di Padang Pariaman

Buluah Apo Kampung yang Masih Tertinggal di Padang Pariaman

Padang Sago---Buluah Apo, satu dari sekian banyak korong dalam Nagari Koto Dalam yang masih berstatus tertinggal dan terisolir. Disamping terletak dalam lurah, kampung ini masih banyak hutan belantaranya. Meskipun masih jalan tanah, Buluah Apo yang terletak di Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman ini sudah bisa dilewati kendaraan roda empat. Dengan masih banyaknya hutan tersebut, maka banyak pula ditemui binatang buas dalam kampung demikian.
    Dulu, pada tahun 1980 an ada seorang ibu tua yang dimakan harimau disitu. Kejadian ini cukup menggemparkan bagi kampung yang bertetangga dengan Buluah Apo. Wakil Gubernur Sumatra Barat, Muslim Kasim yang sekaligus Ketua Umum Porbi Kabupaten Padang Pariaman tidak salah ketika memilih Buluah Apo sebagai tempat pelantikan pengurus Porbi periode 2013-2017.
    Untuk menuju Buluah Apo ada tiga pintu masuk yang tersedia. Pertama lewat Bungin, Nagari Lareh Nan Panjang. Kemudian, lewat Barangan, terus ke Ambacang Gadang, lalu belok kanan sebelum tiba di Sungai Pua Tanjuang Mutuih. Terakhir, lewat pasar Padang Sago, terus kebawah, yakni ke Batang Piaman Gadang. Namun, yang kurang risikonya untuk kendaraan roda empat, ya lewat Barangan.
    Ketiga jalan pintu masuk demikian masih jalan tanah, yang sebagiannya diberi kerikil. Listrik memang sudah masuk ke kampung itu. Kalau yang menggunakan mobil jenis sedang pergi kekampung itu bisa juga sampai. Tetapi harus eksra hati-hati. Secara kebetulan, Sabtu malam lalu, Singgalang bersama Herman Sikumbang, pemilik Sate Anak Ibu Lubuk Alung datang kesana menggunakan mobil sedan. Dan memang, tak bisa dilarikan kencang mobilnya. Konon ceritanya, setiap kali ada burubabi besar-besaran, selalu Buluah Apo dan Koto Dalam dijadikan tempat sasaran para pecandu olahraga burubabi demikian.
    Ada satu nilai budaya yang melekat di masyarakat Buluah Apo yang hingga saat ini masih berjalan dengan dinamikanya. Yakni budaya gotong royong. Menurut cerita masyarakatnya, anggaran PNPM yang digelontorkan ke kampung itu selalu berlebih. Artinya, partisipasi masyarakat untuk membangun sangat tinggi. Masyarakat dengan senangnya melakukan goro. Mulai dari mengambil pasir dalam sungai, mengangkut pasir gunung yang juga tersedia dalam kampung itu, ketika PNPM akan membangun sebuah jalan kampung misalnya.
    Menurut Alfa Edison, mantan Walinagari Koto Dalam yang kini menjadi caleg DPRD Padang Pariaman dari Partai NasDem, soal budaya goro di Buluah Apo memang tidak ada tandingannya. "Disini, kalau sudah disepakati untuk melakukan goro, masyarakatnya sampai membawa nasi bungkus. Artinya, hari yang sehari akan dihabiskan hanya untuk sosial masyarakat," kata dia.
    Dan hal itu tidak terlihat sekarang saja. Kata Alfa Edison, budaya goro berlangsung sejak kampung itu ada. Untuk Nagari Koto Dalam, Buluah Apo ini paling terkenal, sehingga semasa zaman desa dulu kantor desanya paling rancak. Dibangun dan dirawat dengan budaya goro demikian.
    Untung saja saat ini Wakil Gubernur Sumbar dijabat oleh Muslim Kasim. Kalau tidak, cerita masyarakat, tidak akan ada gubernur atau wakil gubernur yang datang kesana. Muslim Kasim saat melantik Porbi, Sabtu malam lalu sedikit kecewa dan sempat tabik rabo, lantaran tak seorang pun pejabat daerah yang hadir. Bupati Ali Mukhni, Wabup Damsuar tak pula tampak, meskipun secara resmi diundang oleh Porbi untuk hadir. (damanhuri)

Pintar Membuat Kerupuk, Piak Kenek Dapat Upah Rp10 Ribu Sehari

Pintar Membuat Kerupuk, Piak Kenek Dapat Upah Rp10 Ribu Sehari

Sintuak--Tangan Piak Kenek begitu lincah membuat kerupuk ubi. Ubi kayu yang sudah direbus lalu digiling dengan alat penggiling tradisional. Kemudian setelah rata ditancapkan malnya, sehingga jadilah sebuah kerupuk. Dalam waktu sekejap saja, ibu tua berusia sekitar 60 tahun ini bisa membuat makanan demikian dengan banyaknya. Setiap hari dia bekerja membuat kerupuk milik tetangganya itu.
    Artinya, Piak Kenek diupah oleh induk semangnya untuk membuat kerupuk. Kekuatan Piak Kenek lumayan. Untuk sehari, dia mampu menyudahkan sekitar 1.000 kerupuk. Dengan kekuatan seperti itu, dia mendapatkan upah dari induk semangnya sebanyak Rp10 ribu sehari. Dia merasa bersyukur, kalau induk semangnya lagi sedang banyak berproduksi.
    Ketika bersua dengan Singgalang ditempat kerjanya di Korong Balai Usang, Nagari Sintuak, Kecamatan Sintuak Toboh Padang, Padang Pariaman beberapa waktu lalu, Piak Kenek menceritakan kalau mengolah ubi kayu untuk bisa menjadi kerupuk akan memakan waktu sedikitnya tiga hari. Mulai direbus, lalu ditumbuk dan dikasih resep, diolah jadi kerupuk. Kemudian dijemur sampai kering. Kalau sudah kering baru bisa dijual dan digoreng. Kerupuk yang sudah kering itu dijual oleh induk semangnya seharga Rp7.500 untuk 100 buah kerupuk.
    Sedangkan harga ubi mentah yang dibeli induk semangnya, dalam sekarung itu mencapai Rp50-Rp75 ribu. "Kalau kerja ini yang diharapkan, tidak akan mampu menutupi biaya harian. Tetapi ini hanya kerja sambilan. Untung saja lima anak ambo sudah pada lepas. Yang perempuan sudah bersuami, dan yang laki-laki sudah pula beristri, sehingga tidak lagi menggantungkan hidup dengan ambo," kata Piak Kenek.
    Bagi Piak Kenek bekerja membuat kerupuk yang hampir setiap hari dia lakoni, adalah mengisi waktu agar jangan terbuang sia-sia. Tak heran, nyaris setiap rumah di Balai Usang, Sintuak banyak ditemukan sentra pengrajin kerupuk ubi kayu. Kalau orang situ menyebutnya karupuak pancih. Malah sekarang, ubi kayu tidak sekedar untuk dijadikan kerupuk saja. Banyak makanan lainnya yang bisa dibuat dari ubi demikian. Bisa buat kue, tepung, dan lain sebagainya.
    Kerupuk yang banyak ditemukan di Balai Usang ini pun banyak pula yang dikirim ke daerah tetangga, seperti Pekanbaru, Provinsi Riau. Maklum, urang awak banyak yang merantau ke Bumi Lancang Kuning itu. "Sebenarnya, untuk bisnis kerupuk ini yang paling banyak dapat untung itu, ya si penjual kerupuk kuah yang kita temukan di rumah sekolah, atau ditempat dimana anak-anak banyak bermain. Sebab, untuk satu buah kerupuk, ditambah mienya, itu bisa seharga seribu," ungkapnya menceritakan.
    Piak Kenek mengaku sudah lama bekerja membuat kerupuk ini. Saking lamanya, untuk memcetak kerupuk yang banyak dia tak butuh waktu lama. Bayangka saja, seusianya yang sudah kepala enam, mampu menyudahkan 1.000 kerupuk dalam sehari. Menurut dia, pada umumnya kaum perempuan Sintuak ini pandai membuat kerupuk. Lihatlah, hampir satu kampung ini banyak ditemukan kerupuk yang sedang dijemur. (damanhuri)

Tiga Mayor Itu Dikubur Dalam Satu Tempat di Lubuak Kasai

Tiga Mayor Itu Dikubur Dalam Satu Tempat di Lubuak Kasai

Lubuk Alung--Tidak banyak orang yang tahu, kalau di Gamaran, Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman ada kuburan pahlawan. Maklum, generasi sudah banyak yang berganti, sehingga mengaburkan sejarah yang pernah terjadi dalam suatu kampung. Banyak orang bertanya-tanya, kuburan siapa gerangan, tatkala mulai tersingkapnya Air Terjun Nyarai oleh pemuda pelopor, karena diikuti banyak orang kelokasi demikian.
    Nah, kuburan pahlawan itu terletak Lubuak Kasai, Gamaran. Di lokasi itu ada satu kuburan yang diisi oleh tiga orang Mayor TNI. Namanya; Mayor Latif, Mayor Ibrahim dan Mayor Ismael. Itu rekaman sejarah yang didapatkan Syafrizal, warga Gamaran yang saat ini berusia sekitar 62 tahun. "Dulu, di Lubuak Kasai ini adalah markas tentara Pemerintahan Revolisioner Republik Indonesia (PRRI)," cerita dia.
    Singgalang yang datang ke Gamaran bersama Ketua Karang Taruna Lubuk Alung, Jasman Jay, Ketua DPC PAN Lubuk Alung, Hilman H, bertemu langsung dengan Syafrizal yang sewaktu peristiwa PRRI sudah remaja, dan pernah pula menyandang senjata, karena sering bermain dan makan-makan di markas tentara yang terletak diatas rimba belantara tersebut. Syafrizal menceritakan itu dengan Utiah Lipauk, yang juga seangkatan dengannya, dan seorang ketua pemuda Gamaran, Dedi.
    Menurut Syafrizal, ketiga mayor demikian dibunuh atau tertembak oleh tentara pusat. Sebab, sejarah kelam PRRI yang terjadi dalam rentang waktu 1958-1960 ini, adalah perlawanan tentara pusat dan daerah. Artinya, awak sama kita. Ya, karena zaman perang, semuanya serba darurat, maka ketiga mayor itu dikubur saja dalam satu kuburan.
    Secara pastinya, ketiga mayor itu dimana sasok jeraminya, Syafrizal tak tahu banyak. Yang diketahuinya, Mayor Latif orang Padang, dan bergabung kedalam Harimau Kuranji. Pernah suatu ketika anaknya datang ke Gamaran ini melihat kuburan tersebut. Tapi sudah lama, dan sekarang tak ada lagi datang. Masyarakat Gamaran yang ikut dalam markas tersebut ikut memakamkan ketiga tentara urang awak ini.
    "Yang namanya markas, ya banyak tentaranya dulu. Ada mungkin satu kompi. Tetapi, markasnya hanya terbuat dari kayu. Dan itulah situasinya dalam hutan. Sebelum ketiga mayor ini dibunuh, mereka sempat memberikan perlawanan, dan membuang senjatanya ke sungai Batang Gamaran, untuk supaya diselamatkan oleh rekan-rekannya," ungkap Syafrizal.
    Pasca PRRI, banyak yang ganjil-ganjil yang dilihat banyak orang dilokasi yang dijadikan markas oleh tentara demikian. "Kadang-kadang bunyi orang perang. Tiap sebentar bunyi letusan bedil. Itu terdengarnya malam hari. Dan dilokasi lainnya, juga di Gamaran ada pula kuburan tentara, yang tak lagi diketahui namanya. Mungkin karena tidak ada keluarganya yang tahu, sehingga kuburan itu bagaikan kuburan biasa saja, tidak ada bendera Merah Putih yang dipancangkan diatas pusaranya," sebut Syafrizal lagi.
    Jasman Jay, Ketua Karang Taruna Lubuk Alung yang sudah datang langsung kelokasi makam itu, tersentak hatinya untuk membersihkan kuburan itu. Dia bersihkan, dan sekarang sudah ada tandanya, kalau itu kuburan orang yang berjasa terhadap daerah dan bangsa ini. Walaupun itu sejarah kelam, yang tidak boleh terulang lagi.
    Dengan dibukanya objek wisata Air Terjun Nyarai, orang akan banyak datang ke Gamaran. Dengan sendirinya, kuburan itu tentu bisa pula dijadikan objek wisata relegius. Itulah yang sedang diupayakan oleh Karang Taruna Nagari Lubuk Alung, bagaimana sejarah panjang itu ikut pula mewarnai nagari ini. (damanhuri)