wartawan singgalang

Senin, 20 Januari 2020

Jejak Langkah Tuanku Bagindo Lubuak Pua Ulama yang Punya Banyak Pengaruh dan Ketinggian Adab

Nama Lubuak Pua sangat populer. Saking terkenalnya, nama kampung kecil itu mampu mengalahkan induknya, Nagari Balah Aie Utara. Ketika menyebut Lubuak Pua, orang lebih cepat menangkapnya ketimbang menyebut Balah Aie. Era 1980 an, Lubuak Pua ini dipersingkat lagi dengan sebutan Lupus.
"Dima sikola, tanya seseorang kepada anak SMAN I VII Koto Sungai Sariak. Anak itu langsung menjawab, di SMA Lupus, Pak," katanya menjawab. Lupus artinya Lubuak Pua Sekitarnya. SMA itu terletak di Lubuak Pua, maka dijawabnya di Lupus. Belakangan, nama Lupus mulai menghilang. Tetapi nama Lubuak Pua tetap mentereng, dan masih tetap di atas nama Balah Aie Utara sebagai nama Pemerintahan Nagari kampung tersuruk, Lubuak Pua ini.
Di samping berdirinya SMA di era Orde Baru, nama Lubuak Pua sebenarnya telah tenar juga lantaran pengaruh besar Surau Pekuburan. Surau yang terletak di pinggir Sungai Batang Mangoi ini pada zaman dulu punya pengaruh yang amat luar biasa. Kebesaran surau Kaum Suku Jambak itu hampir sama besarnya dengan ketokohan Tuanku Bagindo Lubuak Pua.
Ulama yang memiliki nama Muhammad Umar, hidup dari 1875 - 1955 M ini punya pengaruh dalam mengembangkan ilmunya di tengah masyarakat. Boleh dikatakan, para tukang bangunan yang jaya pada Orde Lama dan Orde Baru berguru kepada Tuanku Bagindo Lubuak Pua ini. Begitu juga orang yang akan jadi labai dalam kaumnya di VII Koto Sungai Sariak juga berguru dan mendatangi Tuanku Bagindo dulunya.
Di samping sebagai ulama yang punya banyak jemaah dan pengikut, Tuanku Bagindo juga tokoh niniak mamak dalam kaumnya Suku Jambak Lubuak Pua. Tak heran, dunsanaknya banyak yang memanggil dia dengan sebutan Mak Wan atau Mek Uma. Khusus panggilan Mek Uma ini, mungkin dari orang-orang yang tagak samo tinggi, duduak samo randah dengan beliau. Disebut sebagai Tuanku Bagindo Lubuak Pua, karena dia mengembangkan ilmu di Surau Pekuburan Lubuak Pua, sejak awal pulang dari menuntut ilmu, hingga dia wafat pada tahun 1955 M.
Beliau adalah ulama kharismatik, berpengaruh dan dihormati oleh jemaah dan murid-murinya. Tuanku Bagindo juga terkenal ketaatan dan keshalihannya. Dalam beribadah dan kepiawaian mengajak masyarakat untuk mangaji ke surau, dia tidak memilih-milih dalam mempergauli masyarakat. Baik orang kecil maupun orang besar, orang surau ataupun preman dalam pandangannya sama, sehingga masyarakat sangat dekat dengannya.

Mengaji di Tanjuang Ampalu

Kebesaran nama Tuanku Bagindo yang dirasakan masyarakat saat berkiprah di Surau Pekuburan yang sejak 1991 M bernama Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum tersebut, tak terlepas dari ayahnya; Bagindo Etong, seorang pekerja keras yang tidak kenal lelah. Bekerja mati-matian, demi
menghidupi keluarga dan anaknya agar menjadi orang yang berguna bagi agama dan negara.
Ketika Tuanku Bagindo sudah mulai beranjak dewasa, diantarkan oleh kedua orangtuanya pergi mengaji ke Koto Tujuah, Kabupaten Sijunjung. Tepatnya ke Tanjung Ampalu untuk menimba ilmu agama bersama seorang ulama yang terkemuka pada saat itu. Banyak santri yang belajar di Tanjung Ampalu yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya Syekh Muhammad Yasin yang sampai sekarang selalu diziarahi oleh jemaah makamnya, baik dari Padang Pariaman maupun dari daerah lainnya setiap Bulan Rajab dan Sya’ban.
Menurut cerita Kapalo Mudo Mak Aciak, Tuanku Bagindo mangaji di Koto Tujuah salama 12 tahun. Kemudian dia disuruh oleh gurunya mengulang
kaji atau melanjutkan pengajian dengan Tuanku Padang Gantiang atau Syekh Talawi di Batusangkar. Setelah itu, Tuanku Bagindo balik kembali ke Koto Tujuah untuk memutuskan kajinya bersama Syekh Muhammad Yasin.
"Sepulangya mangaji di Koto Tujuah, Tuanku Bagindo menetap dan tinggal di Surau Pekuburan Lubuak Pua. Dia mulai mengajarkan pengajian Thariqat Shattariyah yang didapatnya dari Syekh Muhammad Yasin," cerita mendiang Mak Aciak yang disampaikan kepada Afrizal Arif Tuanku Mudo, ulama muda asal Lubuak Pua yang juga terbilang kemenakan oleh Mak Aciak tersebut pada saat dia masih hidup.
Makin lama Tuanku Bagindo di Surau Pekuburan, semakin dikenal pula oleh masyarakat. Banyak orang yang memintak Tuanku Bagindo untuk tinggal di surau kampung lain. Tunku Bagindo juga dikenal peduli terhadap kebutuhan masyarakat. Dia tidak hanya memperhatikan keadaan agama tetapi juga kebutuhan sosial masyarakat lingkungannya.
Dengan ini, tradisi indang , randai, silek termasuk acara yang digemarinya. Dia bisa berhabis waktu tatkala menyaksikan kesenian yang populer di Kabupaten Padang Pariaman tersebut. Makanya pada saat ada acara berkumpul di laga–laga, membicarakan pembangunan atau membuat acara di laga-laga, Tuanku Bagindo kadang-kadang lebih duluan datangnya. Tidak sekedar datang, dia menyumbang pula untuk pembangunan laga–laga yang sedang terbengkalai atau rusak. Perlakuan seperti, membuat mudahnya ia bisa mengajak masyarakat untuk terus berbuat baik.

Tak ada surau dan masjid yang terbengkalai, dan sejarah Irigasi Ujuang Gunuang

Mendengarkan kaji yang akan disampaikan Tuanku Bagindo di suatu tempat, masyarakat langsung berbondong-bondong meramaikan surau atau masjid tempat pengajian akan digelar. "Sudah menjadi buah bibir di tengah masyarakat, bahwa Tuanku Bagindo terkenal dengan sebutan tuanku yang selalu memyelesaikan pembangunan masjid dan surau yang sedang terbengkalai. Dan itu terbukti, tidak sedikt masjid yang selesai pembangunannya berkat adanya Tuanku Bagindo," cerita Mak Aciak lagi.
"Kalau ada masjid atau surau yang sudah lama tidak selesai-selesai pembangunannya, Tuanku Bagindo tinggal di surau itu lalu mengadakan pengajian di sana. Para jemaahnya akan berbondong-bondong datang ke surau. Infaq dan sedekah jemaah yang terkumpul dari hasil pengajian itu dia serahkan kepada panitia pembangunan surau yang terbengkalai, tanpa mengambil seperserpun untuk pribadinya," ulas Mak Aciak.
Mak Aciak menyebutkan pengalamanya yang lama bergaul dengan Tuanku Bagindo, surau yang tercatat pernah dihuni dan dibangun oleh Tuanku Bagindo adalah Surau Gadang Ampalu, Masjid Lubuak Bareh, Masjid Sungai Ibua, Masjid Sungai Durian, Masjid Bisati, Masjid Pincuran Sonsang dan
masih ada yang lainnya.
Menurut Mak Aciak, Tuanku Bagindo adalah penggagas dan pencetus pembuatan banda irigasi dari Ujuang Gunuang sampai ke Limau Hantu untuk mengaliri sawah masyarakat. Pembuatan banda air yang kemudian dikenal dengan Irigasi Ujuang Gunuang itu dilakukannya bersama masyarakat sekira tahun 1915 M. Dia langsung yang mengatur giliran goro bagi masyarakat yang akan mendapatkan manfaat air dari banda tersebut. Banda itu siap tahun 1930 M.
"Kalau orang tahu Tuanku Bagindo telah pergi ke lokasi pengerjaan irigasi itu, maka orang banyak pada berlarian mengikutinya. Begitu tingginya penghormatan orang dulu pada ulama yang juga pemimpin di tengah masyarakat," sebut Mak Aciak.
Tuanku Bagindo punya istri di Tanah Pahlawan Bisati, melahirkan anak yang bernama; Pondik, Tirawi dan Sarima. Di Kampung Piliang Bisati, Tuanku Bagindo menikah dengan Hj. Pinuik dan mempunyai anak, H. Pakiah, H. Kisah, Mali, H. Dayang. Di Sungai Karuah dengan Sarijam yang melahirkan Ahmad Yasin, Mariani dan Mansuwir. Di Padang Kandang istrinya Hj. Sori. Di Sungai Ibur dengan Johari, melahirkan anak yang bernama Jamaris dan Tuanku Bahar.

Penghormatan ala ulama kaum sufi, saling hormat-menghormati

Tuanku Bagindo Lubuak Pua sezaman dengan Tuanku Shaliah Kiramaik Sungai Sariak. "Suatu kali Tuanku Shaliah mau mandi di Sungai Batang Mangoi yang airnya sealiran dengan sungai yang melintasi Lubuak Pua. Namun ia tertegun dan berhenti seolah-olah menunggu seseorang. Padahal waktu itu tidak terlihat ada orang di Batang Mangoi tersebut. Bertanya seseorang, menunggu siapa Buya? Tuanku Shaliah menjawab, menunggu Rang Gaek Tuanku Bagindo yang sedang mandi di baruah," kata Mak Aciak.
Saling menghormati ala kaum sufi. Ini barangkali yang terlihat saat itu. Sebab, Tuanku Shaliah ingin mandi di Batang Mangoi di bagian atas, agak sedikit jauh dari kediaman Tuanku Bagindo di Lubuak Pua. Tuanku Shaliah kediamannya di Pasa Panjang, yang sekarang masuk Nagarai Lareh Panjang Sungai Sariak, berjarak sekitar lima kilometer kalau ditelusiri sungai itu dari Lubuak Pua ke Pasa Panjang. Secara kasat mata, sama sekali tak kelihatan dua tokoh ulama tersebut. Namun, pandangan batin Tuanku Shaliah tembus dan dia melihat langsung Tuanku Bagindo sedang mandi pula. Tembus pandangan itulah Tuanku Shaliah disebut ulama karamah, yang di Piaman populer dengan sebutan "kiramaik".
Penghormatan Tuanku Shaliah ke Tuanku Bagindo ini menjadi amalan oleh pengikutnya. Buktinya, sepanjang sejarah dan setiap agenda tahunan Maulid Nabi Muhammad SAW di tempat Tuanku Shaliah, selalu yang membaca doa-nya Tuanku Bagindo Lubuak Pua. Menurut H. Labai Zarkasi, sudah menjadi acara tahunan di Surau Pasa Panjang setiap merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, selalu manyembelih seekor kerbau untuk jamuan makan bersama selesai acara itu.
"Kita tunggu dulu Tuanku Bagindo Lubuak Pua yang membacakan doa," kata Tuanku Shaliah, seperti diceritakan kembali oleh Labai Zarkasi kepada Afrizal Arif Tuanku Mudo. Yang dimaksud tunggu di sini, tak mesti Tuanku Bagindo Lubuak Pua hadir dalam acara Maulid itu. Bahkan acap dan sering doa dibacakan secara jarak jauh. Dan itu tentu yang memahaminya ulama yang berdua itu. Hanya dia berdua yang sama-sama ulama tembus pandang atau melihat secara batin. Artinya, bisa jadi Tuanku Bagindo hanya membacakan doa dari Lubuak Pua, dan Tuanku Shaliah bersama masyarakat mengaminkan dari Pasa Panjang.
Sebagai ulama besar yang mahir zahir batin, asuhan Tuanku Bagindo pun banyak yang jadi ulama. Ada muridnya yang mahir dan pandai pengajian thariqat, dan banyak pula yang mampu mengembangkan kajian kitab kuning. Di antara murid-muridnya itu, tersebutlah Tuanku Tatin Bisati, Tuanku Topong Lohong, Tuanku Na’ali Lohong, Tuanku Mirin Lubuak Pua, Tuanku Pono Lubuak Pua. Sedangkan ulama yang sering mengulang pengajian dengannya Tuanku Surau Duri atau Tuanku Juwin, Tuanku Palo Banda, Tuanku Mek Aya Sungai Tareh dan sejumlah ulama lainnya.
Meskipun banyak masyarakat yang belajar dan ulama yang mengulang pengajiannya dengan Tuanku Bagindo di Lubuak Pua, tak membuat beliau fokus menghadapi orang banyak saja. Sesekali dia juga pergi pula keluar Lubuak Pua untuk mengulang kajinya ke ulama yang dianggapnya lebih pandai dan lebih senior. Sesekali dia pergi ke Ampalu Tinggi. Bersua dengan Syekh Muhammad Yatim atau yang populer dengan sebutan Tuanku Ampalu. Begitu juga ke Bintuang Tinggi dengan Syekh Bintungan Tinggi, Tuanku Bagindo juga menjadikan ulama itu sebagai gurunya.
Tuanku Buyuang Laut Andenai, satu dari sekian banyak anak asuhan Tuanku Bagindo punya pengalaman tersendiri dengan gurunya itu. "Di usia Tuanku Bagindo yang telah lanjut, saya sering disuruh mengurut kakinya. Dan pernah ikut menggotongnya untuk pergi ke suatu tempat untuk memberikan pengajian," kata Tuanku Buyuang Laut Andenai suatu ketika.
"Meskipun sudah usia senja, semangat masyarakat untuk mendengar petuah dan pengajian dari Tuanku Bagindo tidak pernah kendur. Bagi masyarakat, yang penting TUanku Bagindo harus hadir dan memberikan pengajian di tempatnya. Makanya, satu-satunya jalan, ya Tuanku Bagindo harus kita gotong pakai tandu secara bersama untuk sampai ke tempat tersebut," ujarnya.

Lautan masyarakat ikut mengantar jenazah Tuanku Bagindo

Ketinggian ilmu, banyaknya jemaah dan ulama yang menjadi pengagum Tuanku Bagindo, membuat ulama itu semakin dicintai oleh masyarakat. Tak heran, di akhir hayatnya, masyarakat mengalami kedukaan yang amat mendalam. Hanya kabar dari mulut ke mulut, pada saat dia meninggal dunia, ribuan jemaah, ulama, tokoh masyarakat, santri dan orang kebanyakan ikut larut dalam memberikan penghormatan terakhir kepada Tuanku Bagindo. Kala itu tahun 1955 M, Tuanku Bagindo mengalami sakit karena usia lanjut. Tak lama, ajalpun datang.
Saking banyaknya masyarakat yang datang, jenazah Tuanku Bagindo dimandikan di atas anjung Surau Pekuburan, tempat dia berbaring saat sakit. Untuk mengangkut ke kuburan yang lokasinya tak begitu jauh dari surau, orang tak perlu berjalan. Cukup dibentuk barisan tanpa ada komando, lalu jenazah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, hingga sampai di kuburan. Artinya, tak butuh tandu untung mengangkut jenazah Tuanku Bagindo, saking banyak dan padatnya lokasi Surau Pekuburan oleh masyarakat yang datang melayat.
Pasca wafatnya Tuanku Bagindo, niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai dan pemuka masyarakat melakukan musyawarah mufakat. Hasil kesepakatan bersama, maka ditunjuklah kemenakan Tuanku Bagindo sebagai khalifahnya, yakni Tuanku H. Bimba, yang pada saat Tuanku Bagindo meninggal, Tuanku H. Bimba ini masih berusia 14 tahun. Khalifah ini dipegang oleh Tuanku H. Bimba selama 35 tahun. Hanya ajal yang memisahkan dia dengan jabatannya.
Rabu, 16 Februari 2000, Tuanku H. Bimba perpulang ke Rahmatullah di rumah istrinya di Bisati. Ke khalifahan tak boleh putus dan berhenti. Untuk ini, tongkat estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh kemenakannya. Tuanku H. Kadai namanya. Hanya berselang 10 tahun, tepatnya, Senin 9 Januari 2012, Tuanku H. Kadai pun meninggal dunia. Hasil kesepakatan niniak mamak, ke khalifahan dilanjutkan oleh H. Amir Mibat. Namun, yang bersangkutan tak tinggal di kampung. Dia seorang perantau yang tinggal dan berusaha di Jakarat. Maka, ditunjuklah H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi, yang sejak 1991 memimpin Pesantren Madrasatul 'Ulum untuk menjalankan ke khalifahan tersebut.