wartawan singgalang

Kamis, 29 Mei 2014

Jadi Guru Ngaji

Jadi Guru Ngaji

    Lazim bagi tamatan pesantren tradisional di Sumbar adalah jagi guru ngaji, atau menunggui surau. Aku sehabis tamat di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan juga sempat jadi guru ngaji. Pertama kali diminta, adalah di Kandis, Duri, Provinsi Riau. Waktu itu aku baru saja kawin. Ada seorang pemilik rumah makan di Duri. Dia orang Kayutanam. Rumah makannya besar, tempt berhenti bus jurusan Dumai-Pariaman dan bus Pekanbaru-Medan. Nama bapak itu aku lupa. Dia minta seorang guru untuk ngajar ngaji di surau kecil samping rumah makan itu ke Lubuk Pandan.
    Oleh Buya Marzuki aku yang diutus. Karena suasana besing, ramai setiap saat, cuma bertahan sebulan aku disitu. Aku permisi pulang kampung, dan tak pernah balik kesitu lagi. Habis dari situ, aku diminta tinggal di kampung, yakni Surau Ampang Tarok. Sebelumnya, aku dan Ajo Mansur melakukan wirid pengajian disitu seminggu sekali. Asyik juga aku tinggal di kampung, Ambung Kapur. Disamping ngajar ngaji siang jelang sore, juga mengaktifkan shalat berjamaah tiap waktu, terutama aku sedang di surau. Lama juga aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Dan selama tinggal di kampung, banyak wirid Ajo Mansur yang aku menjalankannya. Seperti di Surau Mandiangin, Surau Kampung Tangah Barangan, dan lain sebagainya.     Sempat pula membawa jamaah Ambung Kapur ziarah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dan ke Ulakan, sebagaimana lazimnya wirid Tuanku Sidi Tukang yang dijalankan Ajo Mansur. Ada dua tahun lebih aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Banyak kesan, dan tentunya banyak Pula dukanya. Namanya saja tinggal di kampung sendiri. Dari kampung aku pindah ke Surau Kampung Paneh, Padang Toboh Ulakan. Disana aku lima tahun lamanya. Semasa aku di kampung, kerja sambilan adalah mengantarkan koran Padang Pos, yang Pak Amir kepala perwakilannya di Pariaman. Aku punya sebuah sepeda motor cup 70. Mengantar koran seminggu sekali, sambil pandai juga jadi wartawan. Pindah ke Padang Toboh juga mengajar anak-anak kampung belajar ngaji.
    Di Ulakan itu aku mulai tahun 2000 sampai tahun 2005. Dan itu pula surau terakhir yang aku tunggui. Namun, ketika di Ulakan aku diperkenankan membawa urang rumah, dan disediakan tempat tinggal yang lumayanlah, yakni surau kayu lama yang dibuatkan sebuah kamarnya. Memang, kalau untuk mencari sumber kehidupan tidak bisa diandalkan hanya tinggal di surau, yang honornya dikasih masyarakat. Kadang ada diberi, kadang sudah tiga bulan tak nerima honor. Honorpun tak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Tapi itu semua hanya diterima apa adanya dengan baik, Lillahi ta'ala. Tinggal di surau, apalagi itu surau milik masyarakat, ya honor hanya sebagai sedekah saja. Walapun demkian, orang ngajar ngaji di surau itu tak pula pernah mogok ngajar atau melakukan demo.    
    Selama di Ulakan, aku dan keluarga yang belum punya anak juga mempunya sejumlah ternak itik. Tiap pagi sehabis shalat Subuh aku acap mencari keong untuk makanan itik. Dari hasil penjualan telor itik itulah aku dapat tambahan biaya keseharian, disamping juga seminggu sekali ngantar koran alias jadi loper Padang Pos. Berbagai kemampuan dan kesanggupan, aku kerahkan untuk melakukan yang terbaik di tengah masyarakat Padang Toboh. Apa yang menjadi kebiasaan masyarakat selalu aku ikuti dengan baik. Seperti wirid bergiliran di empat surau yang ada di desa itu. Satu hal yang menjadi sejarah kepenulisan aku, di Padang Toboh itu berita pertama aku muncul di SKM Padang Pos, tahun 2000. Dan saat tinggal disitu pula aku dapat penghargaan sebagai loper terbaik satu SKM Padang Pos, saat HUT pertama tahun 2000, yang diadakan di Hotel Pangeran.        
Kepala Desa Padang Toboh Syahiruddin, dan sekretarisnya Syahayar sangat mendukung aku atas pemberitaan demikian. Waktu itu ada anak KKK dari Unand Padang yang melakukan jejak pendapat tentang perlu atau tidaknya mendirikan masjid di Padang Toboh. Ternyata banyak yang menginginkan pendirin masjid itu. Namun, keinginan itu dilawan oleh Sudirman Rangkayo Rajo Mangkuto, yang menguasai ulayat Sigimba Panjang. Berita itu jadi headlenews di Padang Pos. Kemudian, bersama ulama Padang Toboh, aku dianggap duduak samo randah, tagak samo tinggi dibidang apapun juga. Mulai dari peringatan maulid nabi di Sigimba Panjang, sampai alek baralek di tengah masyarakat.
    Apapun tradisinya, selalu aku ikuti dengan baik. Bahkan, aku sepat ikut julo-julo tukang di Padang Toboh, yang ketuanya waktu itu Labai Siri. Tapi, karena belum membangun, aku hanya menerima uangnya saja. Sempat lama aku ikut julo-julo tukang, yang setiap anggota yang menerima selalu melakukan kerja di rumah yang bersangkutan. Aku pergi dari Padang Toboh secara baik-baik. Tidak sanggup lagi menjalankan tugas, karena semakin sibuk di dunia wartawan. Menjelang keluar di situ, aku menjadi wartawan Media Sumbar. Setahun menjelang pindah ke rumah mertua, aku sempat ke Malaysia dan Singapura, serta ikut Muktamar ke-31 NU di Solo, Jawa Tengah.

Rasa Kebersamaan Lewat Ajaran Shalat Berjamaah

Rasa Kebersamaan Lewat Ajaran Shalat Berjamaah

    Shalat berjamaah, kata ulama pahalanya 27 kali lipat dari shalat sendirian. Sejak di Ponpes Darul 'Ulum Padang Magek sampai ke Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan aku belajar, selalu ada aturan shalat secara berjamaah. Bahkan, sejak awal aku tinggal di Surau Tabiang semua santri diasuh oleh Ajo Maen dan Utiah Zam dengan semua kelengkapan sembahyang. Artinya, seorang santri gantian jadi imam. Nanti membaca tasbih lain pula santrinya. Begitu juga untuk membaca doa, juga digilirkan dari santri yang ada waktu itu. Termasuk juga azan pun harus bergantian lima waktu sehari semalam.
    Dengan terbiasa demikian, aku sangat merasakan dalam diriku betapa indahnya sebuah kebersamaan, saling berbagi dengan teman, dan saling menutupi kelemahan dan kekurangan kawan. Di Surau Tabiang, kedua guru tuo demikian juga memberlakukan sanksi bagi siapa yang melanggar aturan atau tidak ikut shalat jamaah tanpa alasan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan. Hanya boleh bebas dua hari dalam seminggu, yakni Kamis dan Jumat karena dua hari itu merupakan liburan bagi kami yang ngaji di pesantren tradisional. Kalau yang dua hari itu kita tak shalat jamaah, atau shalat jamaah di luar pesantren dianggap bonus atau biasa saja.
    Perjalan minta belas kasihan orang lain pada dua hari tersebut, bukan semata miskinnya santri bersangkutan. Namun, lebih dari itu bagaimana kader ulama itu diterpa dengan kesusahan hidup. Masuk kampung dan nagari sambil pakai sarung, dan sebuah karung tepung dari kain, yang kami sebut buntie. Kami cukup mengucapkan salam kepada pemilik rumah, lalu bagi pemilik rumah yang punya niat ingin bersedekah, ya dikasihnya beras ala kadarnya atau uang. Itulah rezeki kami. Tak jarang, aku dan kawan-kawan yang melakukan itu acap dapat perlakuan kasar selama mamakiah itu dari masyarakat. Cacian dan makian dari segelintir orang, di kejar ajing gila atau di salak ajing penjaga rumah-rumah orang berada misalnya.
    Kata guru tuo kami, itu bagian dari ujian dalam menuntut ilmu agama Islam. Selama lima tahun aku di Padang Magek (1988-1993), boleh dikatakan semua kampung yang ada di Tanah Datar dan Padang Panjang sudah aku rancahi. Ada yang berdua perginya, dan ada pula yang sendirian. Ada pameo yang mahir untuk kawan yang sulit dapat ilmu; mangaji di Padang Magek, mamakiah ka Sitakuak. Bialah kaji ndak dapek, asalkan badan lai gapuak. Tentu, pamoe itu juga pelecut kami untuk terus giat belajar segala ilmu di pesantren tersebut. Memang, ada satu kampung di Tanah Datar itu yang bernama Sitakuak, yakni dekat Sungai Tarab. Begitu juga soal muhadlarah atau latihan dakwah seminggu sekali, juga semua santri dapat giliran.
    Dengan shalat berjamaah, zikir bersama setiap habis shalat serta doa bersama itu pula barangkali terbangunnya rasa sosial kemasyarakatan di tiap-tiap individu santri Padang Magek. Rasa bakawan, rasa berkampung dan rasa bernagari mampu hinggap dalam setiap jiwa. Tak heran, saat lebaran menjelang pergi ke pesantren kembali setelah libur panjang, kami yang di Padang Pariaman saling berkunjung. Aku berkunjung ke Koto Baru, Batang Piaman, Tandikek dan kampung kawan lainnya. Malah sampai bermalam disitu. Begitu juga kawan yang di Batang Piaman dan Koto Baru juga pernah bermalam di rumah orangtuaku, Ambung Kapur. Sewaktu aku di Padang Magek, memang yang paling banyak itu kawan dari Batang Piaman, Koto Baru dan Tandikek. Sedang dari Ambung Kapur dan Sungai Sariak ada pula, tapi tak begitu banyak. Hanya sekarang inilah silaturrahim untuk bertemu sesama teman alumni Padang Magek yang jarang aku ikuti, karena kesibukan jadwal yang kadang-kadang saling berantuk diantara agenda yang satu dengan lainnya. Namun, komunikasi kami masih tetap aktif.

Rabu, 28 Mei 2014

Bupati Ali Mukhni Hadir Atas Kepedulian Marnis Menangis Karena Bahagia dan Terharu

Bupati Ali Mukhni Hadir Atas Kepedulian
Marnis Menangis Karena Bahagia dan Terharu

Lubuk Alung--Marnis tak kuasa menahan tetesan air yang keluar dari matanya yang sudah berkeriput. Ibu berusia 63 tahun ini menangis bukannya karena sakit yang dideritanya sejak tiga bulan terakhir. Dia menangis karena haru dan bahagia.    
    Betapa tidak, saat dia diberitakan Singgalang, Jumat (23/5) lalu, sorenya Bupati Ali Mukhni bersama Ketua BAZ Padang Pariaman Suhatri Bur mendatangi Marnis yang hanya tidur di pembaringan dalam sebuah rumah yang masih terbengkali pula. Marnis sudah tiga bulan tak lagi bisa menggerakkan badannya, lantaran tulang di pangkal pahanya pecah akibat dua kali terjatuh.
    Dalam kesehariannya, Marnis hanya ditemani Dinda, cucu dia sendiri yang saat ini masih duduk di bangku kelas enam SD. Sedangkan tiga anaknya, termasuk orangtua Dinda memilih tinggal di rantau, mengadu nasib karena kerasnya tuntutan hidup di kampung.
    Namun, nasib anaknya itu belum juga bisa berubah, sehingga sang ibu dibiarkan saja bersama anak kecil tinggal di rumah. "Besok bawa ibu ini ke rumah sakit. Semua pengobatannya ditanggung. Anaknya yang di rantau tolong suruh pulang kampung. Dan amak tolong yang banyak makan, dan ikhlaskan hati untuk berobat supaya bisa sembuh," kata Ali Mukhni.
    Kehadiran orang nomor satu di Padang Pariaman ini tentunya atas prakarsa anak muda Lubuk Alung yang tergabung dalam organisasi Karang Taruna pimpinan Jasman Jay, Hilman H, camat Azminur, walinagari Harry Subrata dan sejumlah tokoh lainnya yang sangat peduli terhadap parasaian Marnis, yang hanya pasrah terhadap penderitaan dirinya.
    Ali Mukhni merasa ternyuh melihat penderitaan yang dialami Marnis. Apalagi Dinda yang mengurusnya belum pula cukup usia untuk itu. Kepada Dinda, Ali Mukhni minta untuk taat shalat, rajin belajar dan mengaji. Melalui Karang Taruna, Ali Mukhni dan Suhatri Bur menyerahkan bantuan BAZ dan bantuan pribadinya untuk Marnis sebanyak Rp3,8 juta.
    Dinda termasuk anak kecil yang santun. Anak sekecil dia sudah harus berhadapan dengan kerasnya hidup. Setiap hari kadang ia menjual makanan milik orang lain, untuk memenuhi biaya sekolahnya. Dia tidak cengeng. Sementara, untuk makan dalam keseharian Marnis, ada tetangga yang masih terbilang keluarga oleh Marnis yang bersedia menanakkan tiap hari.
    Ali Mukhni minta BAZ Padang Pariaman menuntaskan kesusahan Marnis demikian. Saat itu juga dia minta Kadis Kesehatan daerah itu untuk bisa memfasilitasi sebuah ambulan pengangkut Marnis ke rumah sakit di Padang. Sebab, kondisi Marnis yang sudah menua, kulit punggungnya yang terkelupas akibat lamanya tidur dan berbaring di tempat tidur, seharusnya diangkut dengan ambulan yang langsung ke rumahnya di Rimbo Panjang, Korong Sungai Abang, Lubuk Alung.
    Sabtu pagi, anak muda Karang Taruna Nagari Lubuk Alung, langsung ikut mengantarkannya ke rumah sakit M. Djamil Padang, untuk pengobatan intensif. (damanhuri)   

Jumat, 23 Mei 2014

Berhasil Dari Piaman ke Sumbar Dari Matang Berorganisasi Hingga Gigih Mencari Suara




Berhasil Dari Piaman ke Sumbar
Dari Matang Berorganisasi Hingga Gigih Mencari Suara

Pariaman--Sejak masuk di DPRD Sumbar tahun 2009, Hj. Sitti Izzati Azis tetap di Komisi IV yang bermitra dengan Kesehatan, Kesra, Pendidikan, Sosial dan Tenaga Kerja. Tak heran, mitra demikian itu membuat perempuan kelahiran 1966 ini mampu berbuat banyak untuk masyarakat konstituennya di Padang Pariaman dan Kota Pariaman.
    Sitti, begitu putri asli Sikumbang Sungai Asam, mambako ke Koto Sicincin, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Padang Pariaman ini akrap disapa kembali terpilih pada Pileg April kemarin. Anak Buya Abdul Azis Tuanku Mudo itu saat ini jadi 'selebritinya' politisi.
    Dari tujuh caleg yang melenggang ke DPRD Sumbar, Sitti merupakan caleg peraih suara terbanyak. Dari 40 ribu lebih suara Partai Golkar, 8.421 suara merupakan perolehan pribadinya. Dan perolehan ini cukup signifikan, meskipun Ketua Fatayat NU Sumbar ini hanya diletakkan oleh Golkar sebagai caleg dengan nomor urut lima.
    Kepada Singgalang, ibu dari empat orang putra ini bertekad lebih banyak lagi berbuat untuk masyarakat. Baik ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Baginya, Pileg April lalu adalah periode kedua jadi wakil rakyat di Sumbar. Sitti terjun ke politik praktis melalui partai berlambang pohon beringin sejak 2000. Dia dipercaya sebagai Wakil Ketua DPD Partai Golkar Sumbar Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Tenaga Kerja.
    Sebelumnya, Sitti dikader lewat organisasi hebat yang telah melahirkan ribuan tokoh hebat di nusantara ini; HMI Cabang Sumbar semasa dia kuliah. Pasca itu, orangtuanya yang ikut membawa NU ke Ranah Minang, Sitti pun melanjutkan kiprahnya di organisasi sayap NU, yakni Fatayat NU yang menggarap para pemudi-pemudi.
    Tak heran, lewat kiprah demikian dia banyak bersentuhan dengan para petinggi NU di pusat sana. Seperti Hj. Kofifah Indar Paranwansa, Hj. Ida Fauziyah, dan lainnya. Hingga saat ini, Sitti masih menjabat sebagai Ketua Fatayat NU Sumbar. "Sekarang sudah periode kedua. Sebentar lagi tentu akan ditularkan kepada kader-kader potensi lainnya," ujarnya.
    Dia menyampaikan terima kasih banyak pada semua masyarakat Padang Pariaman dan Kota Pariaman. "Suara Golkar suara rakyat. Tanpa dukungan itu, perjuangan ini tak ada nilainya. Banyak lagi persoalan kemasyarakatan di Piaman yang mesti kita bicarakan, sekaligus kita tuntaskan di tingkat Sumbar," ungkapnya.

    Eri Zulfian

    Nama Ketua DPRD Padang Pariaman, Eri Zulfian melambung terus. Pertama kali duduk di lembaga wakil rakyat daerah itu berdasarkan PAW periode 1999-2004 dari PBB. Pileg 2004 dan 2009, dia pindah haluan dari PBB ke Partai Demokrat, dan mampu mengantarkan Bendahara V Asosiasi DPRD Kabupaten se Indonesia (ADKASI) ini jadi orang nomor satu di legislatif Padang Pariaman.
    Sebagai anak muda yang getol dan punya prestasi dalam organisasi sosial kemasyarakatan, Pileg April kemarin berhasil mengantarkannya jadi anggota DPRD Sumbar dari Dapil II, Padang Pariaman dan Kota Pariaman.
    "Terima kasih banyak atas dukungan semua masyarakat Piaman. Mari kita rajut kebersamaan, hilangkan semua perbedaan, dan kita lanjutkan membangun Padang Pariaman kedepannya yang lebig baik lagi," kata dia, saat bersua Singgalang, kemarin.
    Karir Eri Zulfian yang pernah jadi Ketua DPD KNPI Padang Pariaman ini, memang selalu mulus tanpa hambatan. Baru saja dipercaya sebagai Ketua DPC Partai Demokrat sebelum Pileg 2009, partai yang kini dipimpin Presiden SBY itu langsung jadi Ketua DPRD daerah itu. Namun, dia mengakui saat itu kemenangan Demokrat 50 persen karena faktor ketokohan SBY.
    Pria kelahiran Lubuk Alung pada 1975 ini memang mahir bercilancar di ranah politik. Dia pernah jadi Wakil Sekjen DPP Pemuda Islam. Organisasi demikianlah yang membuat ayah 4 orang putra-putri ini bisa melenggang ke DPRD Sumbar, meninggalkan banyak saingannya, baik di internal Demokrat, maunpun di luar partai itu.
    Dalam ketetapan KPU Sumbar, Minggu kemarin, Eri Zulfian berhasil dapat kursi kedua, dari tujuh kursi yang diperebutkan. Diatasnya Sitti Izzati Azis dari Partai Golkar.
    Sebentar lagi, tepatnya bulan Agustus nanti Eri Zulfian sudah harus meninggalkan kursi Ketua DPRD daerah itu. Sedangkan hasil Pileg di Padang Pariaman membuat Partai Demokrat pada posisi ketiga perolehan suara. Dengan demikian, kursi Wakil Ketua DPRD menjadi jatah partai ini. Siapa diantara empat kadernya yang akan menduduki itu? "Nanti kita tetapkan," kata dia singkat.

    Jasma Juni

    Jasma Juni Datuak Gadang tampaknya sudah ditakdirkan jadi anggota DPRD Sumbar. Betapa tidak, sudah dua kali dia ikut pusaran politik Pilkada di Padang Pariaman, yakni 2005 dan 2010 sebagai calon bupati, ternyata sang dewi fortuna belum berpihak ke dirinya.
    Namun, Pileg 2014, pria kelahiran 1958 yang senang disapa JJ ini lolos ke DPRD Sumbar dari Dapil II, Padang Pariaman dan Kota Pariaman dari Partai Gerindra. Dia mendapat kursi ketiga, setelah Sitti Izzati Azis (Golkar) Eri Zulfian (Demokrat), berdasarkan pleno penetapan kursi oleh KPU Sumbar, Minggu lalu.
    Bagi JJ berkiprak di partai yang didirikan Prabowo Subianto ini, lantaran masa depan partai ini cukup cerah. Bahkan, Pileg 2009, Ketua Ikatan Suku Jambak Padang Pariaman ini sempat jadi calon anggota DPR RI. Namun, belum nasibnya menjadi wakil rakyat.
    Berkat kegigihan dan kesungguhan, JJ yang sudah malang-melintang di dunia Polisi Mileter di berbagai daerah di nusantara ini, akhirnya meraih dukungan yang signifikan. Karena sudah dua kali maju di Pilkada Padang Pariaman, jelas JJ punya kemampuan yang sangat bisa diandalkan untuk membangkitkan daerah tertinggal demikian.
    Bisa melihat banyak seluk-beluk daerah Piaman. Dengan terpilihnya dia jadi anggota dewan Sumbar, khusus masyarakat kampungnya, Kayutanam tentu menjadi kebanggaan tersendiri.
    Sekarang nama JJ hampir melampaui Partai Gerindra itu sendiri. Hal itu tentu karena banyaknya dukungan masyarakat yang di dapatkannya di Piaman. Boleh dikatakan, marwah Partai Gerindra untuk Sumbar terletak di tangan JJ.
    Kepada Singgalang, JJ menyebutkan bahwa keberhasilan yang diraihnya adalah buah kegigihan. Tak pernah surut dan putus asa dalam berjuang. Kemudian, maju untuk DPRD Sumbar ini juga dorongan kuat dari pendiri Partai Gerindra Prabowo Subianto yang merupakan seniornya.

    Endarmy

    Dari tujuh anggota DPRD Sumbar periode 2014-2019 yang berangkat di Dapil II, Padang Pariaman dan Kota Pariaman dua diantaranya diisi oleh perempuan. Mereka adalah Hj. Sitti Izzati Azis (Golkar) dan Endarmy (NasDem).
    Endarmy merupakan politisi PAN yang hijrah ke partai yang mengusung 'gerakkan perubahan'. Memegang jabatan Bendahara NasDem Sumbar, mampu mengantarkannya ke gedung dewan yang terletak di jalan Khatib Sulaiman Padang itu. Terpilihnya Ketua Dekopinda Padang Pariaman ini sebagai wakil rakyat, adalah buah perjuangan panjang yang dilakukannya di tengah masyarakat Piaman.
    Dikalangan politisi, nama Endarmy sudah tidak asing lagi. Dia termasuk yang menyelamatkan pasangan MK-Ali Mukhni saat Pilkada 2005 lalu bersama PAN daerah itu. Mungkin saat ini, Endarmy lah perempuan politisi sejati yang pernah dipunyai Piaman. Karirnya di politik cukup bagus dan gemilang, meskipun sempat staknan selama lima tahun belakangan karena tak jadi anggota dewan.
    Periode 2004-2009, Endarmy masuk di DPRD Sumbar dari PAN, yang waktu itu Dapil IV, Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Putri Kayutanam ini memang gigih dan senang berorganisasi. Disamping Ketua Dekopinda yang mengurusi koperasi, Endarmy juga Ketua Majelis Taklim Indonesia (MTI) Padang Pariaman.
    Tak heran, kiprah demikian Endarmy mampu meraup suara terbanyak. Dia berhasil menempati posisi keempat, dari tujuh kursi yang tersedia pada Pileg April lalu. Secara kecamatan 2x11 Enam Lingkung lama, sangat diuntungkan dengan terpilihnya Endarmy. Betapa tidak, dari tujuh orang itu, tiga orang diantaranya putra 2x11 Enam Lingkung lama.

    Komi Chaniago Naik Tingkat

    Berhasil terpilih jadi anggota DPRD Sumbar pada Pileg April lalu, Komi Chaniago agaknya representasi dari Dapil I Padang Pariaman. Betapa tidak, hanya dia satu-satu tokoh dari utara daerah itu yang berhasil.
    Dari tujuh anggota dewan Sumbar di Dapil II (Padang Pariaman dan Kota Pariaman) Ketua DPC PBB inilah yang paling beruntung. Hebatnya, hasil Pileg tak satupun kursi PBB di DPRD Padang Pariaman, tapi Komi Chaniago mampu dapat kursi nomor lima untuk DPRD Sumbar. Dari 19 ribuan suara PBB di dua daerah itu untuk Sumbar, 5.600 an merupakan perolehan suara pribadi pria kelahiran Sungai Limau pada 1967 yang sudah dua periode duduk di DPRD Padang Pariaman itu.
    Kepada Singgalang, kemarin, Komi Chaniago tak membuat janji apapun jua dengan masyarakat konstituennya. "Sebagai orang baru pertama kali akan duduk di DPRD Sumbar, tentu kita coba dulu melihat apa pula permainannya. Ada ndak bedanya dengan saat saya dua periode di dewan Padang Pariaman," kata dia.
    Komi Chaniago memulai karir politiknya dari bawah. Reformasi yang melahirkan 48 partai politik 1999, termasuk PBB di dalamnya, Komi telah berkecimpung sebagai Wakil Sekretaris DPAC PBB Kecamatan Sungai Limau.
    Karirnya terus naik. Habis itu, Komi diminta memperkuat pengurus DPC PBB daerah itu dengan jabatan wakil ketua. Setelah itu, Komi Chaniago dua kali menjabat sekretari DPC PBB, sebelum menjabat Ketua DPC PBB saat ini. Masuknya Komi ke PBB, disamping terinspirasi oleh ayahnya; Sidi Dinur yang panatik Masyumi zaman dulu, juga dilatari bagusnya partai itu dilihatnya. Kemudian berkesan karena pidato politik Yusril Ihza Mahendra.
    Selama di DPRD Padang Pariaman, Komi dinilai sukses memimpin partai berazaskan Islam demikian. Pemilu 2004, PBB dapat empat kursi, termasuk dirinya. Namun, Pemilu 2009, kursi PBB hanya tinggal dua; dia dan Dirri Uzzulam. Pileg April, meski tak dapat kursi di Padang Pariaman, dan hanya tiga kursi di DPRD Kota Pariaman, PBB mampu mengantarkan Komi Chaniago ke Jalan Khatib Sulaiman, Padang. "Apa yang bisa kita bawa ke Piaman, dan memungkinkan untuk dikebangkan, ya kita angkut dari Sumbar," katanya.

    Darmon

    Membaca namanya, banyak orang tak percaya bahwa Darmon adalah seorang ustadz. Sebab, ustadz atau buya tentu harus memakai nama yang menjurus ke Arab sana. Tapi itulah kenyataannya. Tidak sekedar ustadz kondang, yang khotbahnya hampir mewarnai di setiap masjid di Padang Pariaman, Darmon juga seorang politikus.
    Reformasi hadir di republik ini, sangat menguntungkan bagi pengagum sosok Amien Rais ini. Dia langsung bergabung dengan PAN, partai poltik yang lahir dari rahim Muhammadiyah. Dua kali putra kelahiran 1972 ini meniti karir politiknya di DPRD Padang Pariaman.
    Namanya kian melambung tinggi, tatkala KPU Sumbar menetapkan namanya sebagai satu dari tujuh orang putra Piaman yang berangkat ke Sumbar. Darmon meraih banyak dukungan, setelah melakukan perjuangan panjang lewat dunia yang digelutinya.
    Dia berhasil menempati urutan keenam, dari tujuh kursi yang tersedia di Dapil II Sumbar (Padang Pariaman dan Kota Pariaman). Sebagai kader yang baik dan mulus, Darmon telah ditetapkan sebagai Kader Amanat Utama. Untuk ini, dia berhak dan punya tanggungjawab pula untuk melakukan kaderisasi di lingkungan PAN Sumatera Barat.
    "Terima kasih atas dukungan dan doa semua masyarakat Piaman. Dukungan masyarakat, besar sekali artinya untuk meraih impian yang telah terwujud ini. Tentu kedepannya, bagaimana kita bisa memberikan yang terbaik buat masyarakat, sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang, sebagai wakil rakyat," kata dia.
    Menjelang dilantiknya anggota dewan hasil Pileg April lalu, nama Darmon mencuat, dan digadang-gadangkan sebagai salah seorang kader PAN yang akan jadi wakil Ketua DPRD Sumbar. "Itu keputusan partai. Hingga sekarang, belum ada keputusan soal itu. Yang jelas, kita ikuti saja dulu aturan main yang berlaku," ujarnya.

Malang Benar Nasib Marnis Tiga Bulan tak Bisa Menggerakkan Badan

Malang Benar Nasib Marnis
Tiga Bulan tak Bisa Menggerakkan Badan

Lubuk Alung--Lengkap sudah penderitaan yang dialami Marnis. Ibu tua berusia sekitar 63 tahun ini telah tiga bulan lebih tidak dapat menggerakkan badannya sejak jatuh lagi untuk yang kedua kalinya.     Punya tiga orang anak, tapi tak seorangpun yang di kampung. Semua anaknya tinggal dan hidup di rantau orang, mengadu nasib. Sehari-hari, Marnis di temani Dinda, cucunya yang saat ini duduk di kelas enam SD.
    Menurut ahli urut, Marnis mengalami pecah tulang pangkal paha. Di usianya yang semakin menua, ditambah hidup miskin pula, Marnis hanya pasrah. Setiap hari Marnis diantarkan nasi buat dimakannya oleh tetangganya, Niyuk yang hidup miskin pula.
    Dinda, cucunya Marnis menceritakan kalau buang air neneknya kadang-kadang bercampur darah. Dinda yang hanya seorang bocah terpaksa harus bekerja keras membersihkan neneknya setiap hari. Sementara, ayah dan ibu Dinda yang merupakan anak menantu oleh Marnis, dari pada pulang kampung melihat orangtuanya, mendingan dikirim saja uang, kalaupun ada pula duit.
    Dalam merawat neneknya, Dinda merasa iba melihat punggung neneknya yang menempel dengan alas tidurnya, saking tidak atau susahnya sang nenek untuk bergerak. Dinda pun tak dapat berbuat banyak. Bocah segedek Dinda memang belum banyak yang pandai dalam mengurus apa saja, apalagi membereskan seorang nenek. Namun, ia tabah dan sabar melakukannya saban waktu.
    Untunglah Niyuk, seorang tetangga Marnis yang merasa iba melihat nasib malang yang dialami Marnis. Tinggal di Rimbo Panjang, Korong Sungai Abang, Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Marnis sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk kesembuhannya.
    Niyuk hanya seorang ibu rumah tangga, yang sehari-hari juga bekerja sebagai pengambil upahan dari mencuci pakaian orang-orang berada dalam kampung Lubuk Alung. Kadang dapat upahan, kadang tidak. Namun, dari pekerjaan demikian dia masih sempat berbagi dengan Marnis, semampunya pula dalam memberi makan tiap hari. (damanhuri)

Minggu, 18 Mei 2014

Pelajaran Hidup Dari Amak

Pelajaran Hidup Dari Amak

    Setiap hari membuat makanan jenis mangkuak, Amak butuh tepung yang diolah dari beras dolok. Beras itu ditumbuk dua kali seminggu. Aku dan adik-adik sama Amak pergi menumbuk beras tersebut di lesung milik Buyuang Katan. Kami membantu menjongkekkan kayu besar, yang alunya memecah beras. Lama di tumbuk, beras yang tadinya kasar jadi halus, lalu di ayak dan jadilah barang itu tepung. Dinamakan tepung beras. Tepung dijemur oleh Amak agar bisa dibikin mangkuak yang rancak. Mangkuak itulah yang aku jual menjelang masuk kelas tatkala sekolah SD dulu. Lama juga numpang numbuk tepung di tempat Buyuang Katan. Kemudian, Abak membuat pondok tempat menumbuk itu, yang lesungnya dibawa dari rumah Amak Uwo. Dengan uang jualan itulah kami membantu kemasukan uang rumah tangga.
    Kadang, pas kami menumbuk tepung, Buyuang Katan sedang menanak garam. Buyuang Katan juga dua kali menanak garam kasar menjadi garam halus dalam seminggu. Dia memasaknya dengan tradisional. Dibentangkan tempat menanaknya dari seng yang agak panjang, lalu dibakar dengan kayu. Selama sehari garam yang tadinya kasar, menjadi garam halus. Bagi masyarakat garam halus buatan Buyuang Katan ini sangat terkenal. Dia jualan PMD di Pasar Ampalu setiap hari Sabtu, di Sungai Sariak hari Rabu dan di Padang Sago hari Senin. Hampir tiap rumah menaruh garam halus demikian. Sebab, manakala garam gulai agak kurang terasa, disitulah gunanya garam halus penambahnya. Buya Lubuk Pandan membiasakan menjilat garam halus itu sebelum dan sesudah makan. Entah apa khasiatnya, aku tak tahu banyak pula soal itu. Kawan menyebutkan, kalau membiasakan makan garam sebelum dan setelah makan itu, insya Allah Tuhan menjadikan mulut kita asin. Artinya pembicaraan kita didengar banyak orang.
    Amak numpang numbuk tepung juga menyewa sama Jinan, kakaknya Buyuang Katan. Tapi sewanya tak begitu mahal. Selain tepung untuk membuat mangkuak, bagi Amak tepung juga bisa untuk memasak goreng pisang. Sesekali aku juga jualan goren. Kadang-kadang jualan tapai ubi bagai. Memang Amak mengajari kami semua anak-anaknya dengan berjualan. Tapi tak ada yang sampai jadi saudagar kaya diantara kami. Memang, apa yang dikatakan banyak orang, bahwa mencari uang harus dengan uang pula. Kalau tak bermodal jangan harap untuk bisa kaya. Ya untuk sekedar menutup biaya harian saja. Tapi, yang jelas Amak telah mengajari anaknya cara hidup mandiri bila dewasa kelak. Dan memang, dari sekian banyak anak Amak tak seorangpun yang dimodalkan pergi ke rantau orang, karena modal itu benar yang tak ada, selain dari pengajaran demikian yang kami jalankan selama sekolah SD di kampung.
    Dengan kemandirin itu, aku tak merasa cangkung menghadapi kehidupan yang kian konflik. Belajar jualan dari kecil itulah aku merasakan, betapa hidup itu indah dan penuh dengan warna. Hanya dengan kesiapan yang matang, kita mampu menjalani hidup dengan baik dan benar. Mungkin nasib yang membuat aku tak jadi seorang pedagang. Tapi aku sempat jadi pengurus HIPMI, alias himpunan pengusaha muda Indonesia Kabupaten Padang Pariaman. Aku merasa tersanjung, tatkala Aljufri, Ketua HIPMI Padang Pariaman memasukkan namaku kedalam pengurus organisasi pengusaha muda tersebut. Hanya berbekalkan cara hidup yang baik dari orangtua itu, aku merasa tak canggung menjalani kehidupan saat ini, meskipun banyak sudah pengalaman hidup yang aku lalui, sebelum berlabuh di dunia jurnalistik. Dan dengan pengalaman itu pula aku mampu menjalankan kepercayaan induk semang dengan baik.     Terbukti, pasca aku keluar di Padang Pos, selalu media yang meminta aku bergabung untuk memperkuat media bersangkutan. Aku tak pandai menonjolkan diri, atau minta kerja di media terkait. Dipinangnya aku oleh banyak media, yang aku rasakan tak lepas dari hasil didikan Pak Infai yang aku terima awalnya di Padang Pos, hingga Media Sumbar. Alhamdulillah, sebanyak itu media mingguan dan harian yang aku masuki, terakhir berlabuh di Harian Singgalang, kepercayaan pimpinan ke aku masih aku pertahankan dengan baik. Dan ini modal didikan Amak, yang mengajari aku dengan kesederhanaan hidup, melihat susah hidup untuk ditiru yang baiknya.

Jumat, 09 Mei 2014

Tinggal di Pondok Darurat Jamarin dan Keluarga Kembali Terancam Berkelam-kelam

Tinggal di Pondok Darurat
Jamarin dan Keluarga Kembali Terancam Berkelam-kelam

Lubuk Alung--Tak banyak orang yang tahu Jamarin dan Zuraida bersama keluarganya kembali mengalami nasib yang malang. Baru seminggu ini pondok daruratnya dialiri listrik, atas kebaikan tetangganya; Nurman yang bersedia diambil arus listrik dari rumahnya. Tuntutan keadaan, sekitar seminggu lagi, Nurman bersama istrinya akan merantau panjang, pergi ke tempat anaknya di Jambi.
    Konon, cerita Jamarin, Nurman akan memutus total aliran listrik ke rumahnya. Bahkan rumahnya pun akan dihabisi, lantaran tak adalagi orang yang menempatinya. Dengan ini, tentu rumah Jamarin kembali berkelam-kelam, seperti yang pernah dialaminya sejak menempati pondok itu.
    Terletak di Rimbo Panjang, Korong Sungai Abang, Nagari Lubuk Alung, Padang Pariaman, pondok yang dihuni Jamarin bersama anak dan istrinya merupakan jasa baik orang Suku Panyalai. Jamarin yang lahir di Jambi tahun 1952 adalah asli Pitalah, Tanah Datar. Sedangkan istrinya; Zuraida adalah perempuan asli Sungai Sirah, Pilubang, Kecamatan Sungai Limau. Karena orang Suku Panyalai iba melihat nasih pasangan keluarga ini, disuruhlah mereka tinggal dalam pondok, sambil mengelola lahan sekitar satu hektare, dan sawah seluas empat petak.
    Kamis, kemarin Singgalang diajak bertandang ke rumah Jamarin oleh Jasman Jay, Ketua Karang Taruna Nagari Lubuk Alung. Tak bisa motor langsung ke rumahnya. Mesti di parkir di jalan yang agak jauh dari rumah Jamarin, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di rumah, Jamarin sendirian. Dia sedang makan pagi. Istrinya lagi sedang keluar rumah.
    Dari lima orang putra-putri pasangan keluarga ini, empat diantaranya masih bersempit-sempit tidur dalam pondok kecil itu. Tiap hari Jamarin mengelola ladang dan sawah. Untuk sawah, dia bisa panen dua kali dalam setahun. "Ada 400 padi sekali panen. Hasil sebanyak itu, seperempatnya untuk sang pemilik. Kalau ladang isinya tanaman tua. Mulai dari pisang, kelapa, durian, kuini dan lainnya," kata Jamarin bercerita.
    Dulu, Jamarin sempat akan dapat bantuan rehap rumah. Namun, apa hendak dikata. Saat bantuan akan dikucurkan oleh pemerintah, pemilik pondok dan tanah tak memberi izin. Dan akhirnya, sampai saat ini Jamarin masih setia dalam pondok tersebut.
    Saat didatangi, Jamarin hanya bisa mengeluh. "Baa aka ko lai Jay. Nurman akan pergi merantau. Tantu tak lagi bisa awak menonton tv. Tapaso baliak pakai lampu togok," ujar dia.
    Lewat lembaga Karang Taruna, Jasman Jay bersama personilnya tengah mengusahakan bantuan listrik untuk rumah tangga miskin. "Ada enam rumah miskin yang mesti diusahakan alat penerangan. Disamping Jamarin, adalagi Saiful Efendi, Basrial, Maizal, Amril, Marin. Semua rumah itu beralamt di Rimbo Panjang," sebut Jasman Jay. (damanhuri)

Rabu, 07 Mei 2014

Pileg Selesai, Nama Pendamping Bupati Ali Mukhni Bermunculan

Pileg Selesai, Nama Pendamping Bupati Ali Mukhni Bermunculan

Padang Pariaman--Seiring selesainya Pileg dengan baik dan aman, sudah jelasnya 40 kursi yang akan diisi anggota DPRD Padang Pariaman lima tahun mendatang, hembusan calon bupati dan calon wakil bupati pun mulai menyeruak di tengah masyarakat. Meskipun Pilkada di daerah itu dilakukan tahun depan, nama-nama yang akan mendampingi Bupati Ali Mukhni paling santer dibicarakan. Dikabarkan pula, Ali Mukhni akan berlawanan dengan wakilnya sekarang; Damsuar Datuak Badaro Putiah. Kalau ini yang terjadi, bisa dibayangkan betapa serunya pesta demokrasi Pilkada di Padang Pariaman.
    Diantara nama-nama yang santer akan menjadi wakil Ali Mukhni nantinya, tampak berkisar di Dapil III dan IV daerah itu. Sebab, Ali Mukhni sendiri di Dapil II. Munculah nama Suhatri Bur. Mantan Ketua KPU Padang Pariaman yang saat ini menjabat Ketua BAZ daerah itu agaknya disebut akan berpasangan dengan Ali Mukhni. Disamping itu, muncul pula nama Dedy Edwar. Anak muda yang saat ini jadi anggota DPRD Sumatera Barat dari Hanura. Suhatri Bur dan Dedy Edwar adalah putra Enam Lingkung, punya nilai jual yang cukup untuk dapat banyak suara nantinya.
    Apalagi dalam Pileg kemarin, hampir 8.000 dukungan suara yang didapatkan cucu Buya Mato Aia ini. Tentunya perolehan demikian akan menjadi nilai tawar, disamping dia juga salah seorang petinggi Partai Hanura Sumbar. Hanura, partai yang ikut mengantarkan pasangan Ali Mukhni-Damsuar bersama Golkar dan PDI Perjuangan. Masih dari Dapil III, juga disebut nama Desril Yani Pasha. Wakil ketua DPRD Padang Pariaman dinilai layak, karena punya kekuatan yang hebat pula. Sudah dua periode di lembaga wakil rakyat.
    Kalau Ketua DPD Golkar daerah itu jadi Ketua DPRD, apa salahnya Sekretarinya, Desril Yani Pasha jadi Wabup. Pantas dan patut bagi partai pemenang di Padang Pariaman agaknya hal demikian. Sementara di Dapil IV Padang Pariaman pun banyak nama-nama yang akan siap mendampingi Ali Mukhni. Tanda-tanda kemenangan dan jadi bupati kembali tampak semakin terlihat dari Ali Mukhni.
    Dia dinilai bupati yang gigih, punya komitmen yang jelas untuk kemjuan daerah. Dengan kerendahan hati, dan sosial masyarakat yang sangat tinggi, semakin jelas dukungan arus bawah akan kembali berpihak pada Ali Mukhni. Mungkin dengan situasi ini pula, bapak tiga orang putra ini dilirik banyak calon pendamping yang akan menggantikan posisi yang saat ini di jabat Damsuar. Meskipun opini yang berkembang di Lubuk Alung dan Dapil IV, bahwa bupati harus putra wilayah ini, tetap saja nama yang merapat ke Ali Mukhni beredar santer.
    Di kalangan elit politik, tersebut nama Joni Amir Datuak Malano. Caleg Sumbar PDI Perjuangan yang tak terpilih ini dianggap punya kemampuan dan punya nilai jual untuk bersanding dengan Ali Mukhni. Apalagi, saat Pilkada 2010 silam, nama bekas pimpinan BUMN ini hampir saja bersama Ali Mukhni. Kemudian nama Januar Bakri juga santer. Namun, politisi Demokrat yang terpilih kembali jadi anggota dewan ini sedikit kalah oleh nama Azminur, Camat Lubuk Alung yang dinilai berhasil dan meraih prestasi dibidang tugas dan jabatannya.
    Disamping itu, nama Walinagari Pasie Laweh Lubuk Alung Adnan juga tak luput dari pembicaraan banyak orang, yang siap mendampingi Ali Mukhni. Siapa yang akan di pilih Ali Mukhni nantinya dari sekian banyak nama? Belum ada yang bisa dipastikan. Kondisi pasca Pileg, hanya memperbanyak nama yang akan diambil Ali Mukhni nantinya. Tentunya terpulang kepada Ali Mukhni, siapa diantara banyak tokoh yang dijadikannya wakil bupati sebagai kelengkapan dari proses Pilkada itu sendiri.
    Satu lagi nama yang santer di tengah politik Padang Pariaman, disebut-sebut paling berpeluang mendampingi Bupati Ali Mukhni dalam Pilkada langsung 2015 nanti. Siapa dia? Masih diseputaran Dapil III daerah itu. Dia adalah Masrizal. Politikus PPP yang saat ini menjabat Wakil Ketua Komisi I DPRD Padang Pariaman.
    Meskipun tidak terpilih dalam Pileg kemarin untuk jadi anggota dewan Sumbar, Masrizal dinilai punya kemampuan lobi dan talenta politik yang bersih di daerah tersebut. Masyarakat Dapil III yang terdiri dari Kecamatan Ulakan Tapakis, Nan Sabaris, Enam Lingkung, 2x11 Enam Lingkung dan Kecamatan 2x11 Kayutanam melihat, dari sekian banyak tokoh di Dapil itu, Masrizal paling pantas dan patut di 'jodohkan' dengan Ali Mukhni.
    Bila dibandingkan dengan ketokohan seorang Indra Khaidir, Masrizal tampak lebih matap. Apalagi posisi dia yang cukup kuat dalam pengurus PPP Sumbar, akan menambah kemantapan pasangan Ali Mukhni-Masrizal untuk bisa melaju membangun Padang Pariaman lima tahun yang akan datang. Kepada Singgalang, Masrizal tak berkomentar banyak. "Belum ada pikiran kesana. Yang jelas, usai Pileg karena sudah tahu tak terpilih, saya ingin membenahi partai berlambang ka'bah ini di Padang Pariaman," kata dia.
    "Sebagai partai yang mengusung motto 'rumah besar umat Islam', keberadaan PPP di daerah ini perlu kita evaluasi, dan dibersihkan, sehingga perjalanannya lima tahun kemudian bisa bagus. Bagi PPP tak akan mungkin sendirian berjalan dalam Plkada tahun depan. Mesti digandeng partai lain, yang punya pula kekuatan yang cukup untuk mengusung bupati dan wakil bupati," kata Masrizal.
    Menurut dia, PPP ingin belajar dari kekalahan Pilkada tahun 2010 lalu. Tentunya hal itu tak boleh lagi terulang dimasa yang akan datang. Soal opini yang berkembang tentang dirinya, itu sebuah kewajaran. Namun, harus ada mekanisme dan tatacara yang akan diputuskan PPP soal itu nantinya.
    Sekarang, perjalan PPP di Padang Pariaman cukup berhasil. Dari dua kursi pada Pileg 2009, menjadi tiga kursi pada Pileg kemarin. Keberhasilan ini harus digenjot terus. Pilkada di Kota Pariaman, PPP punya tempat dan mampu mengantarkan pasangan Mukhlis Rahman-Genius Umar sebagai walikota dan wakil walikota pilihan masyarakat. "Kita juga ingin, kemenangan di Kota Pariaman itu mampu pula tertularkan di Padang Pariaman tahun depan," ungkapnya.
    Masrizal dikenal sebagai vokalis politik. Dia cukup mewarnai perjalanan lembaga wakil rakyat daerah itu selama lima tahun belakangan. Di juga sebagai pengacara yang banyak memperjuangkan hak-hak masyarakat pinggiran. Dia gelisah, manakala orang miskin di telantarkan, wilayah tersuruk tak diacuhkan oleh pemerintah.
    Kata dia, sebagai wacana dirinya sangat menghargai hal itu. Namun, PPP punya cara tersendiri dalam menyorongkan kadernya sebagai bupati atau wakil bupati nantinya. "Masih panjang jalan menuju kearah itu," sebutnya. (damanhuri)