wartawan singgalang

Kamis, 29 Mei 2014

Jadi Guru Ngaji

Jadi Guru Ngaji

    Lazim bagi tamatan pesantren tradisional di Sumbar adalah jagi guru ngaji, atau menunggui surau. Aku sehabis tamat di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan juga sempat jadi guru ngaji. Pertama kali diminta, adalah di Kandis, Duri, Provinsi Riau. Waktu itu aku baru saja kawin. Ada seorang pemilik rumah makan di Duri. Dia orang Kayutanam. Rumah makannya besar, tempt berhenti bus jurusan Dumai-Pariaman dan bus Pekanbaru-Medan. Nama bapak itu aku lupa. Dia minta seorang guru untuk ngajar ngaji di surau kecil samping rumah makan itu ke Lubuk Pandan.
    Oleh Buya Marzuki aku yang diutus. Karena suasana besing, ramai setiap saat, cuma bertahan sebulan aku disitu. Aku permisi pulang kampung, dan tak pernah balik kesitu lagi. Habis dari situ, aku diminta tinggal di kampung, yakni Surau Ampang Tarok. Sebelumnya, aku dan Ajo Mansur melakukan wirid pengajian disitu seminggu sekali. Asyik juga aku tinggal di kampung, Ambung Kapur. Disamping ngajar ngaji siang jelang sore, juga mengaktifkan shalat berjamaah tiap waktu, terutama aku sedang di surau. Lama juga aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Dan selama tinggal di kampung, banyak wirid Ajo Mansur yang aku menjalankannya. Seperti di Surau Mandiangin, Surau Kampung Tangah Barangan, dan lain sebagainya.     Sempat pula membawa jamaah Ambung Kapur ziarah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dan ke Ulakan, sebagaimana lazimnya wirid Tuanku Sidi Tukang yang dijalankan Ajo Mansur. Ada dua tahun lebih aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Banyak kesan, dan tentunya banyak Pula dukanya. Namanya saja tinggal di kampung sendiri. Dari kampung aku pindah ke Surau Kampung Paneh, Padang Toboh Ulakan. Disana aku lima tahun lamanya. Semasa aku di kampung, kerja sambilan adalah mengantarkan koran Padang Pos, yang Pak Amir kepala perwakilannya di Pariaman. Aku punya sebuah sepeda motor cup 70. Mengantar koran seminggu sekali, sambil pandai juga jadi wartawan. Pindah ke Padang Toboh juga mengajar anak-anak kampung belajar ngaji.
    Di Ulakan itu aku mulai tahun 2000 sampai tahun 2005. Dan itu pula surau terakhir yang aku tunggui. Namun, ketika di Ulakan aku diperkenankan membawa urang rumah, dan disediakan tempat tinggal yang lumayanlah, yakni surau kayu lama yang dibuatkan sebuah kamarnya. Memang, kalau untuk mencari sumber kehidupan tidak bisa diandalkan hanya tinggal di surau, yang honornya dikasih masyarakat. Kadang ada diberi, kadang sudah tiga bulan tak nerima honor. Honorpun tak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Tapi itu semua hanya diterima apa adanya dengan baik, Lillahi ta'ala. Tinggal di surau, apalagi itu surau milik masyarakat, ya honor hanya sebagai sedekah saja. Walapun demkian, orang ngajar ngaji di surau itu tak pula pernah mogok ngajar atau melakukan demo.    
    Selama di Ulakan, aku dan keluarga yang belum punya anak juga mempunya sejumlah ternak itik. Tiap pagi sehabis shalat Subuh aku acap mencari keong untuk makanan itik. Dari hasil penjualan telor itik itulah aku dapat tambahan biaya keseharian, disamping juga seminggu sekali ngantar koran alias jadi loper Padang Pos. Berbagai kemampuan dan kesanggupan, aku kerahkan untuk melakukan yang terbaik di tengah masyarakat Padang Toboh. Apa yang menjadi kebiasaan masyarakat selalu aku ikuti dengan baik. Seperti wirid bergiliran di empat surau yang ada di desa itu. Satu hal yang menjadi sejarah kepenulisan aku, di Padang Toboh itu berita pertama aku muncul di SKM Padang Pos, tahun 2000. Dan saat tinggal disitu pula aku dapat penghargaan sebagai loper terbaik satu SKM Padang Pos, saat HUT pertama tahun 2000, yang diadakan di Hotel Pangeran.        
Kepala Desa Padang Toboh Syahiruddin, dan sekretarisnya Syahayar sangat mendukung aku atas pemberitaan demikian. Waktu itu ada anak KKK dari Unand Padang yang melakukan jejak pendapat tentang perlu atau tidaknya mendirikan masjid di Padang Toboh. Ternyata banyak yang menginginkan pendirin masjid itu. Namun, keinginan itu dilawan oleh Sudirman Rangkayo Rajo Mangkuto, yang menguasai ulayat Sigimba Panjang. Berita itu jadi headlenews di Padang Pos. Kemudian, bersama ulama Padang Toboh, aku dianggap duduak samo randah, tagak samo tinggi dibidang apapun juga. Mulai dari peringatan maulid nabi di Sigimba Panjang, sampai alek baralek di tengah masyarakat.
    Apapun tradisinya, selalu aku ikuti dengan baik. Bahkan, aku sepat ikut julo-julo tukang di Padang Toboh, yang ketuanya waktu itu Labai Siri. Tapi, karena belum membangun, aku hanya menerima uangnya saja. Sempat lama aku ikut julo-julo tukang, yang setiap anggota yang menerima selalu melakukan kerja di rumah yang bersangkutan. Aku pergi dari Padang Toboh secara baik-baik. Tidak sanggup lagi menjalankan tugas, karena semakin sibuk di dunia wartawan. Menjelang keluar di situ, aku menjadi wartawan Media Sumbar. Setahun menjelang pindah ke rumah mertua, aku sempat ke Malaysia dan Singapura, serta ikut Muktamar ke-31 NU di Solo, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar