wartawan singgalang

Rabu, 27 Maret 2019

Mnjelaskan Informasi yang Benar Kepada Masyarakat

Kabupaten Padang Pariaman di samping terkenal dengan nilai-nilai adat dan budaya, juga dikenal banyak menyimpan ulama. Sampai saat ini pesantren tradisional tempat mencetak kader ulama tetap utuh serta berkembang dengan nuansa yang cukup signifikan. Begitu juga para pengunjung ziarah dari berbagai daerah di Ranah Minang ini ke makam para ulama terdahulu cukup meningkat setiap tahunnya. Di samping mengunjungi makam Syekh Burhanuddin di Ulakan, para peziarah juga banyak mengunjungi makam ulama lainya, seperti makam Tuanku Shaliah di Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto.
Tuanku Shaliah adalah satu dari sekian ulama yang terkenal dengan keramat, banyak meninggalkan hal-hal yang menjadi penarik para pengagumnya. Saking keramatnya ulama yang satu ini, di sejumlah nagari di Padang Pariaman banyak ditemukan gubahnya. Menurut cerita masyarakat dulunya, bahwa yang dikuburkan di sejumlah tempat itu adalah rambutnya, kukunya sehingga banyak ditemukan gubahnya. Padahal yang jasadnya dimakamkan di Nagari Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto. Ulama yang wafat pada 1975 M itu juga mengeluarkan fatwa yang sulit dijawab pada zamanya. Sehingga untuk menjawab fatwanya itu butuh waktu. Bahkan ada jawabanya itu yang langsung dengan membuat sebuah benda yang tidak terjangkau oleh akal fikiran manusia. Seperti misalnya membuat sebuah kincir di atas bukit pada zaman dulu. Menurut logika masyarakat saat itu, kincir  mau hidup, apabila dibuat di sebuah sungai, karena kincir tidak akan hidup melainkan dengan adanya aliran air yang cukup deras.
Di zaman yang sarat dengan segala macam kesusahan itu, belum ada yang namanya huller untuk menggiling padi yang telah dipanen, seperti yang ditemukan pada zaman sekarang. Waktu itu yang ada hanya kincir. Nah, jawaban kincir yang dibuat Tuanku Shaliah di atas bukit itu, menurut masyarakat yang mengerti akan perilaku Tuanku Shaliah ini, adalah bakal banyaknya bertebaran huller atau kincir yang canggih, guna menggiling padi masyarakat dengan lebih cepat. Hal itu pun terbukti, beberapa tahun setelah Tuanku Shaliah membangun kincir di Nagari Ambung Kapur Sungai Sariak itu, banyak ditemukan huller di sekitar daerah tersebut.
Bagi masyarakat pengagum Tuanku Shaliah, banyak memajang foto beliau di rumah, warung serta tempat lainya. Kalau kita makan di rumah makan milik urang awak yang ada di Jakarta, Bandung, Semarang serta sejumlah daerah lainya di nusantara ini, banyak ditemukan para penjual nasi tersebut memajang foto Tuanku Shaliah. Ketika ditanya, mereka mengakui hanya sekedar melihat temanya yang lain memajang, maka dia pun melakukan hal yang sama. Kemudian juga menjadi sebuah kebanggaan bagi urang awak, karena hal itu menurutnya sebuah bentuk penghormatan kepada sang ulama yang bersangkutan.
Di saat Tuanku Shaliah meninggal dunia tahun 1975 M, banyak menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Terutama di kalangan masyarakat pengagumnya/jamaahnya. Seperti adanya timbul kabar pasca wafatnya ulama keramat itu, hilangnya jasad beliau ketika dimasukkan ke dalam lahatnya. Dan masih banyak lagi cerita yang timbul setelah ulama itu dikuburkan. Yang namanya berita, tentu dari satu sumber ke sumber satunya lagi menjadi bertambah-tambah ketika telah sampai di tengah masyarakat. Apalagi kala itu, media massa belum sebanyak zaman sekarang, sehingga tingkat kebohongan informasi sangat tinggi. Untuk mendapatkan informasi yang valid sangat susah.
Fenomena itu barangkali mutlak terjadi. Sebab, yang namanya ulama, tentu punya banyak jamaah serta masyarakat pengagum. Namun, kalaulah sampai kepada hal-hal yang ujungnya pengkultusan seseorang, ini tidak baik artinya. Hal itu juga berakibat merusak aqidah serta keyakinan seseorang dalam beragama.
Di sinilah Hadratus Syekh H. Abdullah Aminuddin, sang guru besar pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan meluruskan apa yang telah terjadi sebenarnya ketika peristiwa wafatnya Tuanku Shaliah tersebut. "Tidak benar jasadnya hilang. Saya ikut melihat, bahkan saya salah seorang yang masuk ke dalam kuburan untuk mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir. Saya sendiri yang membuka kapan bagian wajahnya, ketika telah sampai di dalam lahat," kata Abdullah Aminuddin saat menjelaskan peristiwa tersebut di tengah masyarakat Nagari Ulakan, kurang lebih setahun setelah Tuanku Shaliah Sungai Sariak meninggal.
Menurut Abdullah Aminuddin, selaku masyarakat yang beragama, kita jangan sampai terjebak kepada hal-hal yang tidak pernah terjadi. Sebab, hal itu akan merusak aqidah kita sendiri. Semua kita sama ketika telah berhadapan dengan Allah Swt, yang membedakan cuma tingkat ketaqwaan dari masing-masing kita terhadap-Nya. Menghormati ulama boleh. Bahkan dianjurkan dalam agama, tetapi fanatik kepada ulama, sampai kepada pengkultusan, ini sekali-kali jangan kita lakukan. Itulah pandangan Abdullah Aminuddin, terhadap fenomena yang terjadi pasca wafatnya sang ulama keramat tersebut.