wartawan singgalang

Rabu, 29 Agustus 2012

Ditangan Ajo Manih Ular Itu Bisa Jinak

Ditangan Ajo Manih Ular Itu Bisa Jinak

Sungai Limau---Kebanyakan orang sangat takut dan galinggaman melihat ular. Maklum, binatang yang satu ini sangat membahayakan. Tetapi tidak bagi Fendi. Dia bisa menjinakkan ular. Sudah banyak ular yang besar-besar yang dia tangkap, dan dipeliharanya dengan baik, layaknya memelihara binatang yang paling disenangi.
    Sabtu (25/8) lalu, Ajo Manih, begitu Fendi akrap disapa rekan sejawatnya memainkan ular Sipatin ditengah ramainya pengunjung Pantai Arta Sungai Limau, Padang Pariaman. Dia menari dan bergoyang, sambil menggalungkan ular Sanca yang beratnya mencapai 32 kilogram, dengan panjang sekitar tiga meter. Sesaat ketika anak nan jolong gadang sedang asik bergoyang bersama sebuah orgen tunggal yang dimainkan di pantai itu, secara mengejutkan Ajo Manih menyelinap datang, dengan memainkan ular, sesekali mulut ular itu dia masukkan kedalam mulutnya.
    Ajo Manih mengaku telah bermain bersama ular selama 30 tahun. Tak heran, ketika dirumah masyarakat ada seekor ular, Ajo Manih selalu dipanggil untuk menangkapnya. Baginya, ular adalah binatang yang bisa juga mengerti dengan bahasa manusia. Untuk itu, setiap kali menangkap ular, pria berusia 48 tahun ini tidak merasa kesulitan. Banyak sudah ular yang dia tangkap. Ada yang dijual, ada juga yang dilepaskan kembali. "Tergantung ularnya. Kalau masih kecil, itu kita lepaskan kealamnya, biar bisa hidup dan berkembang biak," kata dia.
    Menurut dia, ular sangat berpantangan dengan anak bayi, dan dukun. Untuk itu, ketika dia memelihara ular, tidak boleh anak bayi yang datang, dan keluarganya pun dilarang untuk membawa dukun kerumah. "Kadang-kadang dukun itu banyak juga yang berulah. Kalaulah berulah dukun, maka ular yang dipelihara sering melawan ke kita. Pada saat kita mengasih makan, selalu ingin menggigit tangan kita. Itu risikonya," cerita Ajo Manih yang didampingi Walinagari Kuranji Hilia, Firdaus Khatab dan Heri Bongkar, salah seorang tokoh masyarakat setempat.
    Ular yang lebih populer dengan sebutan ular Sanca itu sama sekali tidak membahayakan bagi Ajo Manih. Dia bukan dukun dan bukan pula tukang jualan obat. Tetapi bisa berteman dengan ular. Dia melihat ular jenis itulah yang paling banyak di kampung ini. Ular itu sering masuk ke kandang ayam, dan memakan ayam tersebut. Ular yang sedang dia permainkan itu ternyata telah berumur sembilan tahun. Dia tangkap pas sudah memakan dua ekor ayam milik masyarakat Sungai Paku.
    Bagi Ajo Manih, tidak ada ular jadi-jadian, seperti yang sering diperbincangkan banyak orang di sudut-sudut kampung. Ular, ya binatang yang juga makhluk Tuhan. Butuh hidup dan berkembang biak. Dia merasa kasihan sekali, ketika ada orang lain yang dengan senangnya membunuh ular. Awal puasa kemarin Ajo Manih merasa sedih, ketika ular tangkapannya lepas begitu saja. "Biasanya, ada datang mimpi. Sebab, ular yang sudah ditangkap itu, mulutnya langsung dikasih plester, agar tidak mengeluarkan racun. Dengan pakai itu ular akan susah untuk makan. Nah, biasanya datang mimpi, lalu dicari ketempat yang ditunjukkannya, insya Allah ularnya ketemu lagi," ujar dia.
    Lewat kesenangan dengan ular itu pula, Ajo Manih ingin membuat pertunjukkan akrobat, agar pengunjung Pantai Arta Sungai Limau lebih banyak lagi. Dia bermimpi akan membuat tarian dan joget dengan ular, sehingga mampu mendatangkan banyak pengunjung lagi. Soal ularnya itu gampang. Penarinya juga banyak yang lihai dalam masalah itu. Tinggal lagi kemauan dan dukungan dari masyarakat Sungai Limau, selaku pemilik Pantai Artai. Sebab, objek wisata yang dibangun sejak tahun 80 an ini, sangat menarik bagi banyak pengunjung. Untuk itu butuh hiburan yang lebih menarik lagi. (damanhuri)

Monumen Tugu Perjuangan Rakyat Sintuak yang Terlupakan

67 Tahun Kemerdekaan RI
Monumen Tugu Perjuangan Rakyat Sintuak yang Terlupakan

Sintuak---Pembangunan tugu monumen perjuangan rakyat Sintuak telah dimulai pada 2001 silam. Namun, setelah batu pertama dimulai, tidak ada lagi kelanjutannya. Mungkinkah itu batu pertama, sekaligus batu terakhir? Tugu itu dibangun di komplek Surau Batu, Korong Simpang Tigo, Nagari Sintuak, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, Padang Pariaman. Pembangunan tugu sebagai monumen perjuangan rakyat Sintuak itu, erat sekali kaitannya dengan peristiwa berdarah Surau Batu yang terjadi pada Selasa 7 Juni 1949, empat tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
    Dalam buku Peristiwa Surau Batu Sintuak, Sejarah yang Terlupakan, yang ditulis oleh panitia pembangunan monumen perjuangan Sintuak, 2001 silam tercatat, bahwa peristiwa Surau Batu adalah sejarah kelam perjuangan urang awak untuk mengusir penjajah Belanda, pasca kemerdekaan RI 1945. Sebanyak 40 pejuang, termasuk juga TRI/TNI yang ikut didalamnya, tahun 1949 itu ditembak oleh Belanda. Mereka ditembak dari belakang secara bersama didepan Surau Batu.
    Menurut catatan buku tersebut, rencana pembangunan tugu monumen tersebut adalah bagian dari menghargai dan menghormati perjuangan zaman dulunya. Namun, entah dimana letak lemahnya, hingga saat ini sudah 67 tahun pula Indonesia meredeka, tugu itu tak juga kunjung selesai. Dan Surau Batu pun, sebagai saksi bisu atas keganasan pasukan Belanda, juga telah rata dengan tanah, akibat dihoyak gampo pada akhir 2009 lalu.
    Kronologi kejadian berdarah Surat Batu Sintuak, seperti yang tertulis dalam buku itu, pada pagi Selasa 7 Juni 1949, satu kompi serdadu Belanda sesudah hujan reda melakukan penyisiran kearah barat Lubuk Alung, tepat Pungguang Kasiak, Sintuak, Pakandangan, Toboh Gadang, Bintuangan Tinggi, Pauh Kambar. Operasi itu langsung dipimpin oleh Kapten Backer. Komando Markas Teritorial Belanda itu langsung menyisir kampung tersebut.
    Hasil penyisiran itu, Belanda menangkap setiap laki-laki dewasa yang ditemuinya. Ada ratusan orang yang ditangkap, dan dikumpulkan di Sintuak, dan dibagi per kelompok. Sebagian kelompok ada yang disuruh pulang kembali, dan sebagian ditahan. Nah, yang ditahan itu dibawa ketepi Sungai Batang Tapakih, tepatnya didepan Surau Batu. Mereka semua dituduh pengkhianat, gerilya, dan tuduhan lainnya oleh Belanda. Lalu, yang ditangkap sebanyak 40 orang itu disuruh menghadap sungai, dan ditembak dari belakangnya. Dari 40 itu, 3 orang diantaranya setelah mendengar tembakan, langsung menceburkan diri ke sungai, dan selamat lah mereka dari tembakan.
    Dalam buku itu juga ditulis, diantara 40 pejuang yang ditembak Belanda tersebut; Tengkarangan Datuak Sati dari Toboh Olo, Babot Datuak Tuah dari Toboh Kandang Gadang, Juri asal Toboh Apa, Hamid (TNI) asal Sintuak, Yusuf Jalang asal Sintuak, Nazir Labai Itiak asal sintuak, dan nama-nama lainnya. Mereka semua adalah pejuang yang terlupakan sejarahnya oleh perjalanan waktu.
    Sebenarnya pihak Belanda telah lama mengetahui, bahwa di Sintuak dan sekitarnya itu banyak pemuda pemberani, tangguh dalam perjuangan. Seperti pejuang Datuak Siam, Buyuang Kaliang, Karim Naum, Buyuang Dullah, dan pejuang Sintuak lainnya. Makanya, Belanda membuang sebagian orang itu ke Digul, dan sebagian ada yang tertanggap, seperti Buyuang Kaliang ditangkap oleh Belanda di halaman Masjid Raya Lubuk Pandan. Dan saat ini telah berdiri kokoh tugu perjuangan dihalaman Masjid Raya Lubuk Pandan tersebut, sebagai buah dari mengenang jasa Buyuang Kaliang, yang sebelum ditangkap dan dibunuh Belanda, berhasil membunuh Komandan Operasi Teritorial Belanda, Letnan De Haas dengan tusukkan pisaunya.
    Melihat tugu perjuangan di depan Masjid Raya Lubuk Pandan, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung itu, tampak sebuah pisau pada bagian atasnya. Dan tugu itu selalu dirawat dan diperbaiki oleh masyarakat nagari Lubuk Pandan. Sedangkan, di Sintuak tugu yang direncanakan itu, yang dimulai peletakkan batu pertamanya oleh H. Sudirman Gani, yang saat itu (2001) menjabat Sekdakab Padang Pariaman, hingga saat ini tak jelas lagi ujung pangkalnya.
    Agaknya, tugu perjuangan Surau Batu Sintuak sangat penting artinya. Panitia pembangunannya pada 2001 silam telah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mewujudkan tugu monumen dimaksud. Namun, belum kesampaian. Sebagai bangsa yang besar, para petinggi di Nagari Sintuak harus proaktif lagi, untuk mewujudkan tugu tersebut. Anggota dewan Padang Pariaman asal nagari itu harus berjibaku, agar pembangunan monumen itu bisa dirampungkan, lewat anggaran APBD.
    Orang dulu telah membuat sejarah. Mereka berjuang tidak saja dengan kekuatan yang ada, tetapi juga dengan nilai-nilai kebersamaan dan doa. Tanpa perjuangan yang mereka lakukan, mustahil kehidupan saat ini kita dapati. Mereka yang gugur, ditembak secara menggenaskan itu harus dikenang, sebagai penghargaan kita kepada mereka. Walaupun mereka berjuang dulunya tidak minta dihargai, dan dihormati. Tetapi, sebagai generasi pelanjut, kita harus merawat dan mengisi kemerdekaan itu dengan baik. (damanhuri)

Kamis, 23 Agustus 2012

Tradisi Mambatai Adat Masih Dipertahankan

Idul Fitri di Padang Pariaman
Tradisi Mambatai Adat Masih Dipertahankan

Pariaman---Ada satu kekuatan adat bagi sebagian masyarakat di Padang Pariaman pada momen Idul Fitri. Mambantai adat namanya. Hal ini nyaris berlaku disetiap kampung. Namun, tatacara pelaksanaannya yang berbeda. Yang paling sakral dan kental nuansa adatnya ada di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis. Disana dilakukan penyembelihan kerbau secara serentak sehabis shalat Id.
    Diperkirakan ratusan kerbau yang didabiah. Bertambah banyak penduduk, maka bertambah pula kerbau yang di 'bunuh' untuk santapan rayo. Hebatnya di Ulakan itu, setiap masyarakat korong menyembelih dalam satu tempat, yakni di tanah lapangan pakudoan, Kampuang Galapuang. Uang untuk pembeli kerbau itu diangsur oleh masyarakat kepada orang yang dituakan dalam satu korong. Dibuat kesatuannya disetiap surau.
    Menjelang shalat Id, semua kebutuhan masyarakat terhadap daging telah dilunasinya. Daging dibagi secara berumpuk-umpuk. Satu umpuknya senilai Rp80 ribu. Masyarakat membelinya sesuai kebutuhan. Setiap kerbai itu disembelih oleh orang siak yang ada di surau dimaksud. Para pemuda kampung mengerjakannya secara sukarela.
    MZ. Datuak Bungsu, salah seorang tokoh adat di Nagari Ulakan menyebutkan mambantai adat ini telah berlangsung lama. Bahkan tercatat sejak sebelum Syekh Burhanuddin datang mengembangkan agama Islam. "Boleh dikatakan kegiatan itu adalah tradisi orang Hindu dulunya, yang diteruskan hingga saat ini. Namun, pelaksanaannya tentu dengan syariat agama Islam itu sendiri," kata dia.
    "Disebut mambatai adat, karena yang menyelenggarakannya itu adalah kaum adat, yang yang terdiri dari para niniak mamak, atas restu para ulama, yang dulunya oleh Syekh Burhanuddin itu sendiri. Hal ini boleh dibilang sebagai acara 'bancakkan binatang', yang kalau didaerah lainnya banyak juga dilakukan. Seperti kita lihat di Kalimantan bancakkan kerbau, sama juga dengan di Ulakan ini. Sedangkan disebagian daerah Tapanuli sana disebut dengan bancakkan babi," ujarnya.
    Menurut Datuak Bungsu, tidak kurang dari 300 ekor yang disembelih setiap tahunnya. Kegiatan ini juga sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat Nagari Tapakis dan Nagari Ketaping, karena tiga nagari itu merupakan Nan Sabaris lama. Khusus untuk Nagari Ulakan, tidak boleh masyarakat korong yang menyembelih di suraunya. Melainkan harus dilakukan disatu tempat. Itu berlaku sejak zaman saisuak.
    Jadi, katanya, dalam kegiatan mambantai adat itu tak seorang pun dilokasi pemantaian orang yang berjualan daging. Kalau pun ada, itu tidak laku, karena semua masyarakat telah punya daging yang dibelinya secara bersama. Uangnya dikumpulkan untuk satu dua ekor kerbau di setiap surau yang ada.
    Hal yang sama juga terjadi di Nagari Sintuak, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang. Untuk tahun ini ada 15 ekor kerbau yang disembelih. Tiga ekor diantaranya disembelih oleh masyarakat sehari sebelum shalat Is, atau pada saat melihat bulan akhir Ramadhan. Yang tiga ekor itu, di Surau Tembok, Surau Batang Tapakih dan Surau Toboh Baru.
    Menurut Zeki Ali Wardana, salah seorang panitia penyembelihan, yang tiga ekor itu telah berlangsung sejak lama. Namun, secara adatnya tetap tercatat dalam kenagarian. Mereka tetap membayar uang adatnya, seperti kerbau lainnya yang disembelih dilokasi Pasar Sintuak pada saat usai Shalat Id. (damanhuri)

Meneladani Perjuangan Rasul

Lelaki itu memandang ufuk senja di Aleppo, 1183 M. Kilau redup pedang panglima perang ini seakan mengabarkan padanya bahwa kaum Muslimin tengah mengalami kelesuan setelah hampir seabad berperang tanpa tahu kapan akan berakhir. Yerusalem masih dal...am kekuasaan pasukan Salib. Ia mendengar cerita dari para leluhurnya bahwa, semasa Perang Salib I, dalam waktu 2 hari 2 malam, 40.000 kaum Muslim dan Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak, di Yerusalem tewas dibantai oleh pasukan Salib dengan bantuan para Ksatria Templar. Kini perang telah memasuki fase ke III. Namun pasukan Muslimin sedang letih. Apa yang mesti dilakukannya sebagai panglima perang tertinggi untuk membangkitkan semangat juang kaum Muslim yang sudah menguasai Mesir, Turki, Syiria dan kawasan Mesopotamia? Kekhalifahan telah berhasil ia satukan; ia merasa kini saatnya merebut kembali

Yerusalem, salah satu tanah suci kaum Muslimin, yg sedang berada cengkeraman pasukan Salib. Ia tertunduk, merenungkan kembali kisah peperangan yang dilakukan junjungan kaum Muslimin, Muhammad Rasulullaah SAW, mengingat kembali perang-perang dahsyat pada zaman beliau: Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk.... dan ia ingat pada kecintaan para sahabat yang tanpa memikirkan diri dan keluarganya, maju ke medan laga mendampingi nabi demi membela Dinul Islam yang diancam eksistensinya oleh kaum kafir Quraisy. Tafakurnya membuatnya sadar: ya, Kecintaan pada Rasulullah itulah yang menyebabkan para sahabat rela mengorbankan segalanya. Cinta mereka kepada Rasulullah telah mengakar begitu dalam hingga ke bagian terdalam dari jiwa dan ruh mereka. Salahuddin al-Ayyubi, kini menegakkan kepala, telah mengambil keputusan penting yang akan memengaruhi sejarah peradaban Islam hingga saat ini ...

Atas persetujuan Khalifah an-Nashir, maka pada bulan Haji 579 H (1183), Shalahudiin, sebagai penguasa Haramayn, mengeluarkan perintah kepada seluruh jamaah haji, agar saat mereka pulang ke kampung halaman, mereka harus mensosialisasikan instruksi agar mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat juang dan kecintaan umat Islam kepada Rasulullah SAW. Salah satu agenda yg dilakukan adalah mengundang seluruh ulama dan sastrawan untuk festival menyusun syair dan pujian kepada Rasulullaah -- dan salah satu pemenangnya adalah Syair karya Ja'far al-Barzanji yg tersohor itu. Hampir setahun lamanya kaum muslimin mendengarkan syair-syair indah yang mengisahkan perjalaanan hidup Rasulullah: mulai dari kelahirannya, akhlaknya, perjuangannya, mukjizat2nya dan lain sebagainya.

Karena syair-syair itu disusun dari orang-orang yang hatinya dipenuhi oleh Cinta kepada Rasulullaah, efeknya sungguh luar biasa: barokah Rasulullah seolah-olah mengalir melalui syair-syair semacam Barzanji itu. Para pemuda Muslim sadar kembali betapa junjungan mereka adalah pahlawan sejati yang tangguh di segala bidang kehidupan, tangguh dan cakap mulai dari soal urusan rumah tangga, dakwah, akhlak, hingga ke medan perang. maka, ribuan pemuda Muslimin mendaftar menjadi tentara Shalahuddin al-Ayyubi. Sejak itu wilayah kekuasaan Shalahuddin semakin luas. Pada 1187, setelah dirasa cukup kuat, Shalahuddin memimpin langsung pasukannya untuk membebaskan Palestina. Benteng Yerusalem dikepung oleh puluhan ribu tentara dengan persenjataan yang canggih untuk ukuran zamannya.

Sementara itu, penguasa Nasrani di Yerusalem tengah terlibat friksi dan intrik internal yang melemahkan posisi mereka. perang dahsyat terjadi. Pasukan Salib terdesak. Kaum Nasrani di Yerusalem dilanda ketakutan hebat, takut kalau-kalau Shalahuddin membalaskan dendam atas pembantaian 40.000 kaum Muslimin pada masa penaklukan Yerusalem oleh pasukan Salib pada Perang Salib I. Maka Panglima Yerusalem keluar menemui Shalahudiin untuk merundingkan gencatan senjata. Shalahuddin menawarkan agar kaum Nasrani menyerah dan keluar dari Yerusalem, dan mereka semuanya tanpa kecuali akan dijamin keselamatannya oleh Shalahudiin. Panglima Salib kaget, dan ia pun bertanya: "Mengapa" "Karena aku adalah Shalahudiin," jawab Sang Panglima Muslim sambil tersenyum... sebuah jawaban yang penuh makna bagi mereka yang punya mata hati....

Demikianlah, seluruh kaum Nasrani dan Yahudi keluar dari Yerusalem dengan aman, dan Shalahudiin masuk ke Yerusalem. Ia membersihkan kota, memperbaiki bangunan-bangunan dan masjid-masjid. Salahuddin sama sekali tidak meluluhlantakkan bangunan ibadah nasrani dan Yahudi, bahkan ia memerintahkan bangunan ibadah mereka itu ikut diperbaiki. Konon, saat masuk ke sebuah gereja besar, ia melihat salib jatuh tergeletak di lantai. Shalahuddin memungutnya, dan meletakkan kembali salib itu di atas meja persembahyangan kaum Nasrani...

Ya, Shalahudiin benar-benar berjuang demi Islam, bukan demi balas dendam. dan ia berjuang dan berperang tidak sembarangan: ia mengikuti perintah junjungan dan kekasih hatinya, Rasulullah SAW, yang pernah memerintahkan sahabatnya bahwa dalam peperangan diharamkan membunuh orang-orang yang tak terlibat dalam peperangan (penduduk sipil. anak dan wanita), tidak boleh merusak rumah penduduk, bangunan tempat ibadah, bahkan tidak boleh merusak tanaman dan menyakiti hewan. Jatuhnya Yerusalem ke tangan Shalahudiin menggemparkan eropa. Paus Gregory VII memerintahkan penyiapan pasukan perang untuk merebut kembali Yerusalem.

Dan kelak, sejarah akan menyaksikan pertempuran yang fair dan elegan antara dua ksatria perang salib yg paling terkenal: Shalahuddin al-Ayyubi melawan King Richard the Lionheart.... Perayaan Maulud Nabi, salah satu warisan Shalahuddin, masih lestari hingga kini. KItab-kitab Maulid dan syair2 pujian semacam Barzanji, Maulid Diba', Simtud Durror, dan lain sebagainya, telah mengilhami ribuan ulama yg saleh, membangkitkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad 'adada ma fi ilmillahi shalatan da'imatan bidawami mulkillahi Allahumma shalli ala nuril anwari wa siriil asrari wa tiryawil aghyari wa mifathi babil yasari sayyidina Muhamadinil mukhtari wa alihil athhari wa ashhabihi akhyari adada ni'amillahi wa ifdhalih. Allahumma shalli wa sallim wa barik alaih... , Menjelang Peringatan Kelahiran Rasulullah.

Catatan Setahun Pascagempa 2009

Korong Kuburan Massa
Pulau Aie Belum Bangkit


Pariaman---Setahun sudah berlalu gempa bumi yang sangat dahsyat itu terjadi. Sebanyak 46 Kepala Keluarga (KK) di Korong Pulau Aie, Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman hingga kini masih setia menempati shelter yang dibuatkan oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT). Pulau Aie, merupakan satu korong yang mengalami longsor akibat gempa diakhir September 2009 lalu. Dikampung itu juga dikuburkan sejumlah anggota masyarakat secara massal di dua tempat, yang pascalongsor itu sangat tidak memungkinkan untuk digali lagi.    Pulau Aie ini bertetangga dengan Korong Cumanak, yang juga kampung yang ikut tenggelam. Banyak cerita dari kampung yang mayoritas masyarakat bertani itu mengalir dari satu mulut kemulut lainnya. Hingga saat ini, gempa dan longsor bagi masyarakat tersebut adalah sebuah cerita, kisah sedih yang tidak akan pernah terlupakan. Apalagi saat ini, cerita kelam yang ditinggalkan oleh gempa, adalah hancurkan sumber perekonomian masyarakat. Dua irigasi, yakni Banda Baru I dan II, yang sebelum gempa terjadi berfungsi untuk mengaliri sawah masyarakat. Sejak kejadian itu tidak lagi berfungsi. Bantuan yang datang pascagempa dari berbagai pihak, merupakan setitik air yang turun ditengah padang sahara, yang sangat gersang.    Sebanyak 178 rumah masyarakat yang ikut hancur, rusak berat dan tenggelam bersama penghuninya, hingga kini belum ada yang bangkit. Bagi masyarakat, bantuan shelter yang diberikan ACT, sungguh tiada ternilai harganya. Rumah berupa pondok dari kayu, yang tersusun berjejeran dengan rapi, yang dilengkapi dengan sarana ibadah, olahraga, sekolah itu menjadi tempat pertama bagi masyarakat, setelah 15 hari tinggal dengan apa adanya.    Ali Azwar, salah seorang keluarga korban longsor yang masih hidup saat ini, melihat peristiwa demikian sungguh sebuah cobaan yang maha dahsyat, yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya. Saat kejadian naas tersebut, Ali Azwar tidak sedang berada dikampung. Dia tengah melakukan sebuah keperluan ke negara tetangga, Malaysia. Nun jauh disana. Dia menyimak peristiwa demi peristiwa itu lewat layar kaca, yang sengaja dia tonton. Saat menyaksikan hal itu, hatinya sangat galau. Dia ingin cepat-cepat pulang. Kalau saja tiket yang telah dia pesan itu bisa dipercepat pas setelah melihat tayangan TV itu, otomatis dia langsung terbang dari Kuala Lumpur ke Ketaping, Kecamatan Batang Anai, tempat BIM beroperasi.    Memang selama dia melihat apa yang ditayangkan TV, tak satupun yang menyebut nama tujuh anggota keluarganya yang ikut tenggelam. Istri serta empat anaknya yang masih kecil-kecil, ibu dan ayah mertuanya ikut menjadi maut. Dan diantara sebanyak itu ada yang terpaksa dikuburkan secara massal, lantaran tidak lagi mungkin untuk terus digali saat itu. Kini, Ali Azwar yang juga putra Lubuk Alung itu, masih merasakan betapa gelak dan tawa manja anak-anaknya, saat dia pulang bekerja, begitu memanggil-manggil ayahnya. "Suara itu seakan-akan masih menghimbau saya. Apalagi tatkala saya menziarahi makam mereka. Kenangan manis dan pahit, hidup bersama keluarga sekian tahun sangat susah untuk dilupakan," ceritanya.    Rivai Marlaut, selaku walikorong di kampung itu agaknya orang yang paling super sibuk. Walikorong yang dikenal dengan jujur, dekat dengan masyarakat itu memang menjadi tulang punggung bagi masyarakat yang tersisa di Pulau Aie tersebut. "Saat kejadian Rabu menjelang magrib itu, saya baru saja usai mencukur rambut di pasar Tandikek. Suara pekikan histeris saling bersahutan dari warga yang tinggal di komplek pasar tradisional itu. Pandangan tertuju pada pohon kelapa, yang dilihat banyak orang bagaikan terbang disebelah barat pasar Tandikek. Suara gemuruh memecahkan kampung, yang selama ini terkenal dengan aman, nyaman dan penuh dengan kedamaian telah meluluh-lantakkan dan membenamkan sejumlah perkampungan," ujarnya.    Pertolongan pertama yang dicari Rivai Marlaut selaku pemimpin ditengah masyarakat, adalah kantor polisi. Pria kurus itu langsung mandacak hondanya dengan cigin ke Sungai Sariak, tepatnya Kapolsek VII Koto Sungai Sariak, sebagai aparat keamanan yang menaungi tiga kecamatan, yang dulunya satu kesatuan. Dia melihat pemandangan yang maha mengejutkan. Banyak orang berkendaraan menuju arah kampungnya, bila dibandingkan kendaraan yang menuju Sungai Sariak tersebut. Dia tidak menghiraukannya. Baginya penyelamatan masyarakat adalah paling utama. Sesampainya di kantor Polsek itu, hanya betemu dengan seorang petugas yang sedang piket. Dia langsung meninggalkan nomor hp nya pada petugas tersebut, dan langsung balik ke Pulau Aie, melihat dari dekat kondisi sanak kemenakan dan masyarakatnya sendiri.    Rivai merasa bersyukur dengan adanya kesehatan yang prima yang dia punyai. "Selama 15 hari, siang dan malam, nyaris tidak tidur. Sibuk kesana kemari, bekerja menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Aparat yang pertama kali masuk kekampungnya, yang berada di kaki Gunuang Tigo itu, adalah Brimob dari Palembang, Sumatra Selatan. Mereka itulah yang pertama kali melakukan evakuasi mayat, yang masih bisa diselamatkan. Dan seterusnya, berbagai elemen masyarakat LSM, pemerintah dalam dan luar negeri yang datang sangat cepat.    "Bantuan yang diberikan berbagai pihak di Pulau Aie, memang terasa banyak. Tetapi yang namanya bantuan, tetap saja tidak sanggup untuk membangkitkan masyarakat secara utuh. Buktinya, hingga saat ini belum satupun masyarakat yang bisa membangun kembali rumah tempat tinggalnya. Kini tengah berjalan bantuan rumah dari Kanada, yang telah dialokasikan untuk 110 rumah, yang terserak dalam tiga kampung di Korong Pulau Aie ini, yakni Kampuang Palak, Mudiak Balai dan Sialangan. Rumah bantuan itu saat ini masih dalam tahapan pengerjaan. Kita berharap rumah itu segera dihuni oleh masyarakat," ungkap Rivai.    Menurut dia, sebagai tempat yang sangat bersejarah, kuburan massal yang ada di Pulau Aie itu akan dibuatkan tugunya, sebagai tempat duka nestapa yang pernah dialami masyarakat Pulau Aie. Upaya untuk mewujudkan itu masih disimpan begitu saja, lantaran belum waktunya dibuka dalam rapat-rapat bersama masyarakat. "Apalagi ditengah perekonomian masyarakat yang saat ini tidak jalan, tentu sangat tidak layak hal demikian dibicarakan bersama. Tetapi yang jelas, keinginan untuk itu menjadi sebuah keharusan nantinya, untuk dikenang bagi generasi yang akan mewarisi kampung yang cukup subur ini," kata Rivai bercerita.    Penanganan Korban Gempa    Penangan korban gempa yang dilakukan Pemkab Padang Pariaman selama setahun ini penuh dengan dinamikanya. Banyak pihak menilai, bahwa penanganan gempa di Padang Pariaman penuh dengan carut marut. Suara-suara sumbang ditengah masyarakat, hingga saat ini masih saja bersileweran. Suasana buncah terhadap hal itu, persis seperti pembagian Uang Lauk Pauk (ULP) diawal-awal kejadian gempa dulu. Tim fasilitator gempa yang ditempatkan di seluruh nagari, telah menjadi problem tersendiri.    Padahal, anggota dewan terhormat bersama sebagian aparat terkait lainnya telah melakukan studi perbandingan penangan gempa yang terjadi di daerah lainnya, di nusantara ini. Tetapi yang namanya penanganan gempa di Padang Pariaman tetap saja dinilai banyak pihak tidak tepat sasaran. Mulai dari pemotongan uang korban gempa, yang dilakukan oknum camat, disebagian kecamatan, pemotongan uang ini dan itu, yang sampai detik ini masih menimbulkan kontroversi didaerah yang baru saja usai melakukan Pilkada itu.    Begitu juga bantuan yang meresahkan terhadap aqidah masyarakat, juga masih mewarnai di sejumlah perkampungan. Anehnya, yang jadi korban iming-iming bantuan dari Bank Dunia, rampasan perang dan lain sebagainya itu banyak dari kalangan induak-induak. Ratusan kaum hawa di Padang Pariaman, menurut kajian yang dilakukan pihak berkopeten, dinilai tengah terancam. Bagi kebanyakan perempuan Padang Pariaman, bantuan yang tengah dijanjikan dengan nilai ratusan juta itu sangat penting artinya. Tak peduli, apakah bantuan itu memang ada, atau hanya sekedar menpengaruhi masyarakat itu sendiri.

Catatan Dua Tahun Pascagempa 2009

Dua Tahun Gempa 2009
Masih Ada Masyarakat yang Mendiami Rumah tak Layak Huni

Tandikek---Batuan gempa 2009 dari pemerintah bagi masyarakat yang pernah mendiami kampung yang telah dicap sebagai zona merah, seperti di Korong Lareh Nan Panjang, Lubuak Aro dan Pulau Aie dalam Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman agaknya belum punya arti apa-apa. Betapa tidak, masyarakat kampung lain, bantuan sebanyak Rp15 juta itu bisa merehab dan membangun lagi sebagian rumahnya. Namun, bagi masyarakat disana justru untuk melunasi beli tanah, karena mereka tidak boleh lagi mendiami kampung yang bernama Cumanak tersebut.
    Apakah semua masyarakat sisa korban longsor itu yang mampu beli tanah ? Tidak. Buktinya, hingga kini telah dua tahun sudah gempa akhir 2009 berlalu, masih ada diantara mereka yang rela mendiami rumah yang tidak layak huni. Menurut Ardi Bastian, Walikorong Lareh Nan Panjang, sebagian masyarakat sisa korban longsong dikampungnya, disamping ikut beli tanah, juga ada yang pindah tinggal dikampung lainnya, bahkan diluar Padang Pariaman, seperti ke Bukittinggi, ikut bersama keluarganya.
    "Soal tempat tinggal, walaupun ada sebagian kecil yang masih setia dengan rumahnya yang dinilai tidak layak huni, Alhamdulillah, semua masyarakat telah punya rumah kembali. Namun, persoalan ekonominya sama sekali tidak ada. Bagi yang tua-tua, untunglah punya anak yang tinggal dirantau, yang punya kepedulian pula, sehingga sesekali dikirimin uang. Mereka tinggal ditempat yang baru, tentu tidak bisa mendapatkan uang, seperti dilahan mereka sendiri," cerita Ardi Bastian.
    Sebagai seorang pemimpin ditengah masyarakat, Ardi Bastian sejak kejadian gempa dan longsor dua tahun yang silam, hingga kini terus dengan kesibukkannya mengurusi masyarakat. Belakangan, dia juga ditunjuk menjadi tim dalam soal bantuan rumah sederhana dari Genesis, sebuah NGO dari Kanada. Ada 890 rumah yang dia kelola, tersebar di Kenagarian Tandikek, dan sebagian di Nagari Batu Kalang, Kecamatan Padang Sago. Rumah demikian sangat dirasakan masyarakat, ditengah sulitnya membangun rumah pascagempa.
    Selama ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Padang Pariaman untuk membuat sebuah rumah butuh waktu lama, dan dengan julo-julo. Artinya, dibuat kelompok yang diisi sekitar 40-50 anggota. Setiap bulan dilakukan iyuran, dan bergiliran menerimanya. Ada yang dinamakan dengan julo-julo semen. Setiap bulan, anggota mengeluarkan uang serharga semen saat anggota lain menerimanya. Itulah tradisi kebersamaan yang sudah lama tertanamnya dikalangan masyarakat perkampungan daerah itu.
    Ardi Bastian melihat perlu pendampingan bagi masyarakat. Sebab, lahan sawah dan ladang yang selama ini mereka garap, kini sudah tidak bisa lagi. Untuk itu, butuh pendampingan dalam membangun kembali perekonomian masyarakat. Apalagi, kondisi irigasi tak lagi mengalir seperti biasanya. Ini tentu sangat memprihatinkan.
    Sementara, mantan Walikorong Pulau Aie, Rivai Marlaut justru menginginkan adanya pembangunan industri kecil yang difasilitasi oleh pemerintah. "Masyarakat yang tidak lagi dibolehkan tinggal dilahannya, telah tinggal berpencar-pencar. Mereka merasa kehilangan arah, untuk mencari sumber kehidupan barunya. Untuk itu, butuh pendampingan, sehingga mereka bisa kembali membangun masa depan yang lebih baik lagi," kata dia.
    Memang, kata Rivai, soal rumah tempat tinggal, walaupun kondisinya saat ini masih dalam suasana mencicil tanah yang belum lunas, sudah bisa dikatakan oke, dan bisa dianggap aman bagi mereka bila dimalam hari. Masyarakat memberanikan diri untuk beli tanah dengan cara mencicil, karena tidak ada kepastian yang jelas soal transmigrasi lokal yang didengung-dengungkan pemerintah.
    "Sebenarnya, kalau ada sosialisasi transmigrasi lokal itu terhadap masyarakat, kita yakin sebagian masyarakat akan menerima dengan senang hati. Tetapi hal itu belum pernah terjadi. Termasuk juga perlakukan khusus yang akan diberlakukan bagi korban longsor Tandikek, sampai saat ini juga tidak terwujud," sebut Rivai.
    Disamping itu mereka berpendapat, untuk membangkitkan kembali gairah perekonomian masyarakat agaknya butuh irigasi yang sehat. Dikampung itu hanya ada sawah dan ladang sebagai ekonomi andalan masyarakat. Sejak longsor, irigasi tak lagi berfungsi. Seiring dua tahun perjalanan gempa dan longsor, saatnya pemerintah membangun fasilitas yang bisa memajukan sumber kehidupan itu lagi.
    Memang, membangkitkan masyarakat yang tidak lagi mendiami kampung asalnya, butuh waktu panjang, dan banyak proses yang harus dilakukan, bila dibandingkan dengan membangkitkan masyarakat Padang Pariaman di kenagarian lainnya. Masyarakat korban gempa yang tinggal jauh dari lokasi longsor, boleh dikatakan tidak ada lagi persoalan, selain dari pencairan bantuan gempa bagi yang belum menerimanya sampai saat ini. Tetapi, bagi mereka yang disebut sebagai sisa longsor, harus tinggal dilokasi baru, memulai kehidupan baru, yang tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi tempat tinggal yang baru itu tidak disediakan pemerintah, atau pihak yang peduli, seperti LSM dan NGO yang sering memberikan berbagai bantuan pada saat gempa dulu. Mereka tinggal dikampung, tetapi harus menyewa atau dengan terpaksa mencicil uang untuk mendapatkan tanah buat bangun rumah, karena ada masyarakat yang punya lahan luas, dan mau menjual sebagian lahannya dengan cara mencicil, pun dengan harga yang sangat manenggang.     Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Padang Pariaman, Anwar ketika dihubungi menilai persoalan transmigrasi lokal memang lokasi daerahnya telah ditentukan, yakni Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Dharmasraya. "Namun, kapan waktunya masyarakat akan dipindahkan, kita masih menunggu keputusan pemerintah pusat. Sebanyak 600 KK lebih dari daerah ini telah kita usulkan untuk tinggal didaerah transmigrasi demikian," kata Anwar.
    "Menurut informasi dari pihak provinsi, untuk tahun ini ada jatah 100 KK yang akan ditransmigrasikan, namun hal itu belum tahu, apa ada jatah Padang Pariaman atau tidak, belum ada kepastian. Sebab, hal itu jatah untuk Sumatra Barat. Yang jelas, prosedural masyarakat yang akan dipindahkan, mengingat kultur kampungnya yang tidak lagi layak dihuni, telah kita selesaikan dengan baik dan benar," ujarnya. (damanhuri)

Rabu, 15 Agustus 2012

Zikir yang Baik

Al-hafiz Imam Al-Mundzirily dalam kitab Attarghiib wat Tarhiib menuliskan faedah-faedah berdzikir itu seperti berikut:-

1. Orang yang berdzikir itu diliputi oleh rahmat dan 'inayat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan dzikir kita menunjukkan sangka baik kita terhadap Allah disertai amal sholih yang tekun dan rapi.

2. Allah menyebut nama orang yang berdzikir itu dalam udara yang tenang di hadapan hamba-hambanya yang suci dan ikhlas.

3. Orang yang berdzikir itu senantiasa menyibukkan dirinya dan hatinya dengan Allah. (Lidahmu selalu basah karena menyebut Allah.)

4. Memingit diri untuk berdzikir kepada Allah itu lebih afdhal daripada infaq yang banyak dan daripada membela tanah air, tanpa ikhlas.

5. Dzikrullah merupakan perbentengan dari was-was setan, dan pertahanan yang kuat daripada jatuh ke dalam kemaksiatan.

6. Dzikrullah salah satu dari empat perkara yang dapat menarik kepada kebahagiaan dunia dan akhirat dan yang memberikan kepada orang yang berdzikir itu kepercayaan yang sempurna, dan menghiasinya dengan sifat istiqamah dan kebaikan dan ketepatan pada amalnya serta kebenaran pada cara berfikirnya.

7. Dzikrullah itu menyinari hati dan membersihkannya dari kotorannya dan menuntunnya ke arah jalan yang besar dan menjadikannya hidup. Sedang orang yang tidak berdzikir hatinya rusak dan gelap, sedang dia dianggap mati.

8. Orang yang berdzikir telah mengikuti perintah-perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mendapat kebahagiaan dari kebahagiaan.

9. Orang yang berdzikir itu datang di hari kiamat secara terhormat, dibesarkan dan dimuliakan.

10. Orang yang tidak berdzikir itu menyesal dan merasa susah kerana menyia-nyiakan dzikir.

11. Allah merasa bangga dengan orang-orang yang berdzikir itu di hadapan para malaikat-Nya.

12. Orang yang berdzikir itu adalah ahli kebaikan, pemilik kebahagiaan dan penghimpun dan pelaksana kebajikan.

13. Orang yang berdzikir itu menjamin keampunan dan meyakini ridha Allah Jalla wa'Ala dan mereka tidak akan berpaling dari berdzikir, melainkan apabila telah penuh lembaran-lembaran mereka dengan kebaikan-kebaikan, dan menampakkan Allahd engan pemberian nikmat atas mereka.

14. Dzikir-dzikir itu adalah ibarat phon kayu besar, buahnya sangat nikmat.

15. Dzikir mewariskan sifat kasih sayang yang merupakan ruh Islam, kutub pusaran agama dan tempat bererdarnya kebahagiaan dan kemenangan. Allah telah menjadikan segala sesuatu ada sebabnya, dan sebab kasih sayang ialah terus menerus berdzikir.

16. Dzikir mewariskan keperihatinan, tergolong ihsan.

17. Dzikir mewariskan inabah, iaitu kembali kepada Allah 'Azza wa Jalla. Orang yang selalu kembali kepada Allah dengan berdzikir menyebabkan hatinya selalu kembali kepada Nya dalam segala situasi dan kondisi. Allah tempat kembalinya, tempat perlindungannya dan kiblat hatinya ketika ditimpa malapetaka atau cobaan-cobaan.

18. Dzikir mewariskan selalu dekat kepada Allah. Menyebabkan lidah selalu sibuk dengan mengingat Allah, karena itul idah tidak akan terlibat lagi dalam pergunjingan, kedustaan, kata-kata yang kotor dan yang bathil.

19. Orang yang menangis kerana berdzikir di tempat yang sepi nanti akan dilindungi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hari kiamat di bawah lindungan 'Arasy-Nya. Sedang orang banyak berada di bawah sengatan matahari yang panas.

20. Dzikir adalah ibadat yang termudah, tetapi yang terbesar dan yang lebih afdhal karena gerak lidah adalah gerakan anggota badan yang paling ringan dan paling mudah.

21. Dzikir itu adalah tanaman syurga. Menurut Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa yang mengucapkan subhaanalaahi wa bihamdihi (Maha suci Allah dengan memujiNya) akan ditanamlah untuknya pohon kurma di dalam syurga.

22. Dzikir itu adalah puncak kesyukuran keapda Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidaklah dianggap bersyukur orang yang tidak berdzikir.

Anjuran Untuk Membaca Alquran

Syahdan tersebutlah Seorang kakek tua tinggal di sebuah perkebunan di sebuah desa yang cukup terpencil bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian sambil menghangaatkan diri membaca Al-qur’an. Sang cucu ingin menjadi seperti kakeknya dan memcoba menirunya seperti yang disaksikannya setiap hari.

Suatu hari ia bertanya pada kakeknya : “ Kakek, aku coba membaca Al-Qur’an sepertimu tapi aku tak bisa memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca Al-quran jika tak memahami artinya ?

Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian, memjawab pertanyaan sang cucu : “Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”

Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakeknya tertawa dan berkata, “Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali “.

Kakek itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.

Dengan terengah-engah dia mengatakan kepada kakeknya, tidak mungkin membawa sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti keranjangnya.

Kakeknya mengatakan : ”Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ” dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi. Pada saat itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan habis sebelum sampai di rumah. Anak itu kembali mengambil / mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata : ”Kakek, ini tidak ada gunanya. Sia-sia saja”.

Sang kakek menjawab : ”Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu .”

Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang yang bersih, luar dan dalam. ” Cucuku, apa yang terjadi ketika kamu membaca Qur’an ? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari kamu akan berubah, luar dan dalam.

Menjadikan Sabar Sebagai Penolong

Kita sering mengasosiakan khusyu' dengan kontemplasi, semedi atau meditasi yang biasa dilakukan dalam praktek ritual agama lain. Kita menjadi lupa untuk menggali bagaimana Al Qur'an menjelaskan mengenai khusyu' itu.

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS Al Baqarah [2] 45-46).

Dari kedua ayat tersebut, dapat disimpulkan khusyu' bukanlah konsentrasi, tetapi keyakinan sedang menghadap Allah.
Keyakinan sangat mempengaruhi sikap seseorang. Orang yang yakin di pohon kamboja ada hantunya, maka dia akan ketakutan jika malam-malam lewat di bawahnya. Sebaliknya, jika orang tersebut berkeyakinan pohon kamboja adalah pohon yang indah, maka orang tersebut justru menemukan kesenangan di bawahnya. Dia akan memungut bunga-bunga yang berguguran untuk diselipkan ditelinga, dibuat rangkaian bunga atau diletakkan mengapung diatas kolam air.

Dalam beberapa hadits, tampak bahwa Nabi menjaga sikapnya ketika sedang shalat. Beliau berpendapat ketika shalat sesungguhnya orang sedang berhadapan dengan Allah, seperti halnya ketika Beliau mi’raj. Karena itu, Beliau melarang orang yang sedang shalat meludah ke depan, memberi tanda batas tempat shalatnya (sutrah) dan mencegah orang melewatinya.

Allah Ta'ala tetap (senantiasa) berhadapan dengan hambaNya yang sedang shalat dan jika ia mengucap salam (menoleh) maka Allah meninggalkannya. (HR. Mashobih Assunnah)
Nabi juga telah mengajarkan caranya agar kita dapat “menemui” dan “kembali” kepada Allah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Al Baqarah 46. Petunjuknya dikemas ringkas dalam doa iftitah yang dibaca setelah takbiratul ihram. Jadi ketika kita baru memulai shalat, kita selalu diingatkan Beliau tentang apa yang harus dilakukan di dalam shalat agar kita menjadi orang yang khusyu’.

Aku hadapkan wajahku kepada wajah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri .
Sesungguhnya ibadahku, shalatku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam ..
Kita hanya perlu memiliki sangkaan/keyakinan sehingga bisa bersikap untuk menghadapkan diri kita kepada Allah dengan sadar dan rela mengembalikan seluruh jiwa raga kita kepada Allah. Karena itu, menurut saya, lebih tepat jika arti khusyu’ dalam Al Baqarah ayat 46 diatas diterjemahkan sebagai :

Orang-orang yang (bersikap) seolah-olah, mereka sedang menemui Tuhannya, dan seolah-olah mereka sedang kembali (berserah diri) kepada-Nya.
Kata khusyu' sendiri disebutkan di dalam Al Qur'an pada 16 ayat 2. Makna bahasanya berkisar pada hina/menunduk, rendah/ tenang, ketakutan, kering/mati, seperti:
1. Hina dan menunduk
"Banyak muka pada hari itu tunduk terhina". (QS. Al Ghaasyiyaah [88]:2).
"Pandangannya tunduk". QS. (An-Naazi'aat [79]: 9).
"Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan" QS. (Al Qamar [54]: 7).

2. Rendah dan tenang
". Dan merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja". (QS. (Thaahaa [20]: 108).
3. Merendahkan dan menundukkan diri

"Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir". (QS. Al Hasyr [59] : 21).
"(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera". (QS. Al Qalam [68] : 43).

4. Kering dan mati
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaaan-Nya (ialah) bahwa engkau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air diatasnya, niscaya ia bergerak dan subur". (QS. Fushshilat [41]: 39).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, maka untuk mendapatkan rasa khusyu’ kita hanya perlu bersikap seolah-olah ketika shalat kita sedang berhadapan dengan Allah dan berserah diri kepada Nya. Sikap yang patut kita lakukan ketika menghadap Allah adalah tenang, menundukkan pandangan dan merendahkan diri serendah-rendahnya. Sikap yang sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba yang hina dihadapan Tuhan semesta alam, Tuhan Yang Maha Agung. Seperti sikap bumi yang kering kerontang dimusim kemarau mengharapkan pertolongan dari Allah swt dalam bentuk curahan hujan agar dapat kembali subur makmur

Selasa, 14 Agustus 2012

Surau Balenggek Telah Melahirkan Ratusan Ulama dan Intelektual Islam

Lewat Kajian Kitab Kuning dan Thariqat
Surau Balenggek Telah Melahirkan Ratusan Ulama dan Intelektual Islam

Lubuk Alung---Surau Balenggek di Balah Hilia, adalah sama kedudukannya dengan Surau Gadang di Koto Buruak, Singguliang dan Sungai Abang. Cuma bedanya, di Surau Balenggek tempat mencetak ulama dan intelektual Islam dulunya. Sedangkan di Surau Gadang hal itu tidak ada. Sangat banyak ulama Padang Pariaman yang lahir di surau itu. Mereka belajar agama langsung dengan ulama besar, Buya H. Yusuf namanya. Bahkan, berdirinya MAN Lubuk Alung bermula dari Surau Balenggek demikian. Di Surau Balenggek itulah dimulainya sekolah 'Persiapan IAIN', yakni MAN sekarang.
    Menurut sejarahnya, Surau Balenggek didirikan tak lama setelah berdirinya Masjid Raya Ampek Lingkuang. Artinya, Surau Balenggek sudah ada paling tidak sejak 80 tahun yang silam. Ikut mewarnai percaturan dunia Islam di zamanya. Buya H. Yusuf dikenal dengan ulama ahli thariqat Syatthariyah. Beliau bekerja di Mahkamah Syariah (sekarang Pengadilan Agama). Tak heran, asuhan Buya H. Yusuf ini banyak yang jadi pegawai di zamanya.
    Buya H. Yusuf adalah orang Ulakan. Santrinya banyak bedatangan dari berbagai daerah dan wilayah di Padang Pariaman. Disamping diajarkan kitab kuning, dari berbagai bidang studi, seperti fiqh, tafsir, nahwu, sharaf dan lainnya, para santri Surau Balenggek juga dimatangkan dengan kajian tasawuf, yang dikenal dengan Thariqat Syatthariyah.
    Ketua KAN Lubuk Alung, Suharman Datuak Pado Basa melihat fungsi Surau Balenggek sangat besar zaman saisuak. Dinamakan Surau Balenggek, karena surau itu bertingkat dua. Lantai satu untuk shalat berjamaah, dan lantai atas untuk mengaji kitab gundul dan thariqat. "Boleh dikatakan ratusan ulama yang lahir di surau itu. Buya H. Yusuf sendiri sudah merasa orang Lubuk Alung. Sejak dia memulai mengajar, hingga wafat dan dimakamkan di komplek Surau Balenggek itu sendiri," kata dia.
    "Hingga kini, Surau Balenggek telah berkali-kali mengalami renovasi. Namun, kondisi pembangunan surau tidak pernah berubah dari berlantai dua. Semua orang tahu, kalau pengaruh Surau Balenggek, Balah Hilia, Lubuk Alung sejak dulunya sangat besar. Tetapi, sepeninggal Buya H. Yusuf, nama besar Surau Balenggek pun mulai berkurang. Khalifah Buya H. Yusuf ada. Sebut saja Tuanku Syukur, orang Sungai Asam. Setelah Tuanku Syukur wafat dan dimakamkan di kampungnya, Sungai Asama, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung, Surau Balenggek dikendalikan oleh khalifah berikutnya, Tuanku Malin," kata Datuak Pado Basa.
    Setahunya, Tuanku Malin putra Lubuk Alung asli, dan sempat lama mengembangkan kajian thariqat yang dia dapatkan di Surau Balenggek tersebut, dan akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di komplek surau itu. Selanjutnya, Tuanku Bonjo. Orang Sungai Limau yang pernah jadi santri Buya H. Yusuf. Tuanku Bonjo sempat kawin dengan orang Lubuk Alung. Tak lama mengembangkan ilmu di Surau Balenggek, akhirnya beliau wafat dan dimakamkan juga di komplek makam Surau Balenggek.
    Kini, Surau Balenggek dikendalikan oleh Tuanku Syamsu, orang Pauah, Sicincin yang punya hubungan guru dan murid juga dengan Buya H. Yusuf itu sendiri. Dari sekian banyak khalifah yang mengembangkan ilmunya di Surau Balenggek hingga saat itu, dinilai tak lagi membawa kebesaran nama Surau Balenggek yang dikenal gadang dan hebat pada zaman dulu. Sebab, disamping adanya perbedaan dalam pengembangan kajian, juga pengaruh kebesaran seorang ulama zaman dulu yang tak bisa diturunkan kepada santri atau muridnya.
    Menurut Datuak Pado Basa, saat ini Surau Balenggek hanya berfungsi sebagai tempat anak-anak mengaji Quran, dan menjelang serta selama bulan puasa dilakukan acara ritual sembahyang 40 hari. Disamping juga ada acara ritual mingguan, seperti wirid pengajian, dan peringatan hari besar Islam. Kajian kitab kuning tak ada lagi. Pendalaman kajian thariqat mungkin sudah terbatas, dan tak sehebat dulu lagi.
    "Kita sangat merindukan peran Surau Balenggek seperti dulu. Waktu dulu orang belum seberapa. Tetapi mampu mengisi kekosongan yang terjadi dalam membangun dunia intelektual Islam. Sekarang malah sebaliknya. Orang semakin banyak. Pertumbuhan penduduk semakin kencang, namun pengaruh ulama semakin redup pula. Agaknya ini perlu jadi kajian tersendiri oleh seluruh pihak dalam Nagari Lubuk Alung. Kini, Surau Balenggek sudah ditinggalkan banyak orang. Bahkan, letaknya saja membuat kita ngeri. Lihatlah, bila musim kemarau, debu memenuhi surau, yang membuat surau kumal dan kotor. Kalau musim hujan, lumpur sampai kehalaman surau, karena letak surau yang berpas-pasan dengan pintu keluar masuk mobil pengangkut galian C," ujarnya. (damanhuri)

Selasa, 07 Agustus 2012

Zulkarnaen Dajabar yang Hobi Main Domino

Zulkarnaen Dajabar yang Hobi Main Domino

Sicincin---Acara Lawyer Club yang ditayangkan TV One dua malam yang lalu, membahas masalah korupsi kitab suci Alquran membuat masyarakat Sicincin tambah tapurangah. Zulkarnaen Djabar tersangka persoalan itu, adalah orang Sicincin asli, bersuku Sikubang. Bagi masyarakat Sicincin, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung, seorang Zulkarnaen Dajabar merupakan anak yang telah lama hilang dari kampung halaman. Dia baru muncul kekampung sejak tiga tahun terakhir, terutama sejak gempa melanda daerah ini 2009 silam.
    "Dia dilahirkan di kampung. Sama sekolah dan sepermainan dengan Alwi Datuak Garang, yang kini jadi Walinagari Sicincin. Di Surau Lubuak Dukuang, yang merupakan surau kaum Suku Sikumbang itulah Zulkarnaen Djabar mengajinya waktu ketek dulu. Namun, sejak dia duduk di DPR RI pada Pemilu 2009 dari daerah pemilihan Jawa Barat, saya yang paling banyak dihubunginya. Terutama bila dia pulang kampung, malapehkan taragak main domino," cerita Zaiful Leza, salah seorang tokoh pemuda Sicincin yang ditemui Singgalang kemarin.
    Kondisi sebagai tersangka kasus pengadaan kitab suci umat Islam yang melibatkan dirinya, dilihat oleh Zaiful Leza sebagai pukulan yang sangat berat bagi masyarakat Sicincin itu sendiri. Sebab, walapun Zulkarnaen Djabar tidak mewakili daerah Sumatra Barat, perhatiannya kekampung halaman sangat tinggi. Bahkan, seluruh surau dan masjid yang ada di Sicincin akan dibantunya sebanyak Rp50 juta. "Dia paling senang main domino dan main musik. Karena waktu kecil dulu, Zulkarnaen itu adalah anak orkes musik. Pintar juga dia bernyanyi," ujar anggota DPRD Padang Pariaman dari PDI P ini.
    Zaiful Leza melihat semua keluarganya, baik yang di Sicincin, maupun keluarga urang rumahnya di Koto Mambang, Nagari Sungai Durian, bahkan masyarakat Padang Pariaman sangat merasakan duka yang sangat mendalam. "Untuk diketahui, jebolnya pembangunan asrama haji di Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai, adalah hasil kerja Zulkarnaen Djabar, karena dia duduk di Komisi VIII DPR RI. Anda lihat sendirilah, Bupati Ali Mukhni, Kepala Kemenag, Taslim Mukhtar yang disebut-sebut orang paling dekat dan dipercayai oleh Zulkarnaen, merasakan betul dampak yang menimpa diri dan anak Zulkarnaen itu," sebutnya.
    "Kini, apa yang hendak dikata. Kita orang kecil ini tak bisa berbuat apa-apa. Orang kampung ketika mendengar dan melihat di media massa seorang Zulkarnaen Dajar tersangkut kasus korupsi hanya terpana dan terkesima. Ooo, kan anak sianu, yang rumah rang gaeknya dibelakang terminal bus Sicincin itu kan? Hanya itu omongan yang bersilewaran disudut-sudut lapau kopi. Rumah yang dibelinya sejak beberapa bulan belakangan dipinggir jalan Sicincin-Bukittinggi, tepatnya didepan Restoran Sudimoro, kabarnya juga telah didatangi petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Memang, rumah yang harganya sekitar Rp1,5 miliar untuk ukuran kampung sudah rumah mewah," ungkap Zaiful lagi.
    Saat ini, tambah Zaiful, orang Sicincin hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga Tuhan melindunginya. Terjual habispun telon asin Sicincin tak akan mampu menolong Zulkarnaen Djabar.
    Kepala Kemenag Padang Pariaman, H. Taslim Mukhtar yang merupakan dunsanak Zulkarnaen Djabar saat dihubungi mengaku rencana  pembangunan asrama haji di Sungai Buluah tetap ok. Tidak ada hubungannya dengan persoalan yang kini menimpa Zulkarnaen itu. "Anggaran Rp15 miliar dari pusat telah dialokasikan untuk bangunan tersebut. Memang, pembangunan itu hasil kerja keras yang dilakukan bersama antara Pemkab Padang Pariaman dengan seorang Zulkarnaen yang duduk di Komisi VIII, membidangi persoalan haji," kata Taslim.
    Salah seorang keluarga istri Zulkarnaen yang enggan ditulis namanya mengaku syok terhadap kasus yang menimpa rang sumandonya itu. "Walau bagaimanpun perhatian terhadap Padang Pariaman dari seorang Zulkarnaen sangat tinggi, jauh melebihi perhatian yang dilakukan oleh anggota DPR RI yang berasal dari Piaman sendiri. Semua orang tahu itu. Kini, kita dari Koto Mambang bersama memberikan dukungan moril ke Jakarta," kata dia dari balik ponselnya. (damanhuri)

Malamang Untuk Mengaji ka Puaso Itu

Malamang Untuk Mengaji ka Puaso Itu

Pariaman---Sejak semalam kemarin, Mariani sibuk menyiapkan lamang. Karena malam ini dia mengadakan tradisi mengaji ka puaso dirumahnya sendiri. Lamang yang dia masak sejak pagi kemarin, rupanya harus dipersiapkan sejak malamnya, sehingga pagi tinggal lagi memasaknya dengan api yang dipajang disamping rumahnya.
    Ditemani sejumlah tetangga dan dunsanaknya, tampak Mariani sangat serius dengan pembuatan lamang demikian. Baginya, dan masyarakat perkampung Padang Pariaman lainnya, sebulan menjelang puasa masuk, adalah tradisi mengaji ka puaso, dimana hal itu hampir dilakukan disetiap rumah penduduk. Tak heran, bulan Sya'ban saat ini, di Piaman dinamakan dengan 'bulan lamang'. Rupanya, ibu yang berusia sekitar 64 tahun itu selalu membuat acara tersebut di rumahnya, Lapau Kandang, Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis.
    Bagi dia, terasa asing kalau tidak diadakan mengaji diatas rumah menjelang bulan puasa masuk. "Menurut yang tua-tua dulunya, tanah yang kita pakai saat ini adalah hasil kerja keras orangtua, dimana yang bersangkutan telah mendahului kita. Untuk itu, kita merasa berkewajiban mendoakannya, agar dia selalu bersenang-senang ditempatnya," ujar Mariani.
    "Lamang yang dimasak hari ini, disamping disuguhkan dalam suasana mengaji bersama urang siak, juga diperuntukkan buat ipar bisan, andan-pasumandan, dan karib-kerabat lainnya, yang dianggap punya hubungan dengan kita. Lamang ini adalah beras pulut yang diberi santan kelapa, lalu dikasih bumbu lainnya, lalu dimasukkan kedalam buluah, dan dimasak sampai matang. Biasanya, sampai matang itu akan memakan waktu yang cukup panjang. Ada agak setengah hari lamanya," ceritanya.
    Menurut Mariani, dia mendapat giliran terakhir untuk mengaji ka puaso tahun ini. Dikampungnya itu rumah cukup banyak. Urang siak yang terdiri dari labai, khatib, imam, dan lainnya selalu tiap malam mengaji di rumah masyarakat. Batas terakhirnya, adalah pada saat malam orang melihat bulan. Setelah itu tidak adalagi mengaji ka puaso, karena sudah berada dalam bulan puasa. "Setahu ambo, dulu urang siak tu bisa mengaji pada tiga sampai lima rumah setiap malamnya. Sekarang telah berkurang, karena orang yang pandai membuat lamang semakin banyak yang meninggal dunia, dan kepandaian membuat lamang tersebut tak tersalurkan kepada generasi saat ini," ungkapnya.
    Katanya lagi, lamang harus dimasak secara tradisional. Tukang masaknya harus banyak sabar, dan sungguh dalam memasak. Kalau saja tidak demikian, maka lamang yang dimasak akan rusak sendirinya. Seperti rasanya yang kurang lamak, dan lain sebagainya. Bagi Mariani dan ibuk-ibuk lainnya di Piaman, membuat lamang untuk keperluan mengaji ka puaso adalah bagian tradisi dan budaya yang sudah didapatkannya dari orangtuanya zaman saisuak.
    Menurut banyak pihak didaerah itu, tradisi malamang dilakukan oleh masyarakat, disamping sebulan menjelang puasa masuk, juga selama bulan maulid, dan mengaji pada saat adanya peristiwa kematian diatas rumah masyarakat, yang dimulai pada peringatan tiga hari, hingga 100 hari meninggal. Peristiwa membuat lamang itu erat pula kaitannya dengan pengembangan Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin dulunya, dimana sebelum itu masih kuat pengaruh Hindu dan Budha ditengah masyarakat.
    Seperti diketahui, dalam mengajak orang beragama, Syekh Burhanuddin banyak memakai jalur tradisi yang berkembang sebelum dia datang. Nah, supaya makanan yang disuguhkan tidak bercampur dengan makanan masyarakat, yang kala itu masih bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka Syekh Burhanuddin mau makan, apabila makanannya dimasak lewat buluah. Itulah yang dinamakan dengan lamang. Akhirnya, tradisi itu berkembang sampai sekarang. Kini, ditengah era globalisasi, tradisi malamang sedikit mulai tergerus, karena tidak ditopang oleh berbagai motivasi. Hal itu tumbuh sendiri, yang pada akhirnya bisa hilang dengan sendirinya pula. (damanhuri)

Sudah 20 Tahun Kundua Mengidap Penyakit

Sudah 20 Tahun Kundua Mengidap Penyakit

Nan Sabaris---Mawardi (38) menderita penyakit bintik-bintik disekujur tubuhnya. Penyakit itu dideritanya sejak 20 tahun yang silam. Hingga kini, bintik-bintik bagaikan bisul yang menyatu dengan kulitnya itu tak sembuh-sembuh. Seiring dengan itu, badannya semakin mengecil. Untuk mengantisipasinya, seminggu sekali dia datang ke Puskesmas Pauh Kambar, di Pinang Gadang, Kecamatan Nan Sabaris, Padang Pariaman untuk mendapatkan obat gratis.
    Anak nomor satu dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Nurdeli dengan Syafruddin Teja ini mengaku hanya mampu berobat ke Puskesmas. Pihak Puskesmas telah berkali-kali menyuruhnya untuk berobat ke dokter spesialis kulit. Namun, apa hendak dikata kedua orangtuanya tak punya banyak pitih. Dia pun tak punya pekerjaan, sejak pulang dari Medan setahun yang lalu.
    Menurut Kundua, begitu putra lajang ini akrap disapa, penyakit itu mulai tumbuh dipangkal pahanya. Setiap hari bintik-bintik itu semakin banyak, dan kini seluruh badannya telah dipenuhi oleh hal demikian. "Anehnya, bengkakkannya terasa keras bagaikan kulit. Tidak gatal-gatal. Tumbuh hanya dibagian kulit yang tidak ditumbuhi rambut. Pertamakali tumbuhnya, saat saya masih tinggal di Medan. Karena banyak orang yang merasa kasihan melihatnya, lalu saya disuruh pulang kampung," ujar dia saat ditemui dirumah orangtuanya, Korong Kampuang Tangah, Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris.
    Dan sejak penyakit itu pula, Kundua sering mengalami sesak nafas. Dia tidak kuat untuk berjalan jauh. 100 meter saja berjalan, itu terasa berat dan letih. "Pernah beberapa kali saya berhenti meminta obat, lantaran tidak ada ongkos ojek ke Puskesmas. Sedangkan berjalan tak kuat pula, karena sesak nafas tersebut," ujarnya.
    Orangtuanya yang hanya sebagai petani kampung sama sekali tak kuat untuk membiayai pengobatan anak sulungnya itu. Dari sebanyak itu dia beradik kakak, hanya seorang yang tamat SMA, yaitu adiknya yang nomor dua. Selebihnya, termasuk Kundua itu sendiri tak tamat SD, dan malah ada yang tidak bersekolah sama sekali. Kini, Kundua kehidupannya hanya dari lapau-kelapau. Waktu sedang ada keberuntungan, ada orang yang iba melihatnya, dikasihlah duit, dibayarkan minumannya di lapau kopi.
    Karena penyakit kulit yang disertai sesak nafas itulah Kundua tak kuat pula untuk menolong orangtuanya turun ke sawah. Hatinya ingin sekali bekerja, seperti yang pernah dia kerjakan dirantau, Medan dulu. Tapi apa hendak dikata. Kekuatannya untuk bekerja keras itu benar yang tak bisa. Dia merasa senang, ketika ada orang lain mengasihnya makan, minum, uang dan pakaian. Apalagi, dikampung itu ada tempat ziarah, yang sewaktu-waktu banyak orang lain yang datang kekampung itu melakukan ziarah.
    "Awak ingin bana cegak. Berobat ke dokter spesialis kulit seperti yang disuruh oleh bidan Puskesmas itu. Ingin kulit awak ini bersih, tanpa adanya bintik-bintik seperti bagaikan dilahirkan dulu. Awak pun tak tahu persis, apa namanya penyakit yang awak tanggung ini. Aneknya, penyakit itu tidak menular kekeluarga lainnya. Hanya awak yang mengidap penyakit ini. Amak jo Abak dan semua adik-adiknya biasa-biasa saja kulitnya," ungkapnya sedih. (damanhuri)

Masjid Raya Ampek Lingkuang, Sejarah Nagari Lubuk Alung

Masjid Raya Ampek Lingkuang, Sejarah Nagari Lubuk Alung

Lubuk Alung---Masjid Raya Ampek Lingkuang merupakan masjid tertua di Lubuk Alung. Dibuat pertama kali pada 1415 M. Berdiri dilokasi perempatan empat sudut kampung sejarah dari Lubuk Alung itu sendiri. Dinamakan Ampek Lingkuang, karena empat kampung, masing-masing Koto Buruak, Singguliang, Sungai Abang dan Balah Hilia yang punya masjid itu. Jadi, boleh dikatakan, bahwa Masjid Raya Ampek Lingkuang adalah sejarah berdirinya Lubuk Alung, yang dimulai dari empat kampung tersebut.
    Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Lubuk Alung, Suharman Datuak Pado Basa menilai masjid itu belum pernah direnovasi total. Kecuali diperbaiki disana-sininya. Arsitektur bangunannya tetap utuh seperti pada awal dibangun dulunya. Di masjid itulah tempat dipadukannya kekuatan syarak dan adat dalam nagari. Segala keputusan syarak atau agama dan adat oleh basa barampek, pucuak baranam harus melalui sidang dan mufakat di masjid tersebut.
    Sekaitan namanya Masjid Ampek Lingkuang, maka labai atau ulama yang memegang kekuasaan dibidang syarak dalam masjid itu juga berempat. Disebut juga 'labai lingkuang yang empat'. Setiap peristiwa penting yang berhubungan dengan persoalan agama ditengah masyarakat Lubuk Alung, seperti memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan, seluruh labai yang bertugas di seluruh surau-surau harus tunduk dan patuh, serta berada dibawah kekuasaan labai yang berempat tersebut.
    Pada zaman saisuak, masjid itu terbilang ramai oleh jamaah, terutama pada momen-momen tertentu yang sedang dibuat dalam masjid. Didepan masjid itulah dulunya Pasar Lubuk Alung, yang sekarang lokasi pasar lama itu telah beralih fungsi menjadi pandam pakuburan masyarakat Ampek Lingkuang. Di pusara itulah dikuburan masyarakat enam suku; Sikumbang, Jambak, Panyalai, Tanjung, Guci dan Suku Koto yang meninggal dunia.
    Menurut Datuak Pado Basa, Lubuk Alung adalah kepunyaan dari masyarakat enam suku demikian. Dari suku itu pula niniak mamak nagari atau orang yang 10, yakni basa barampek, pucuak baraman berasalnya. Sebelum tahun 1900 M, rel kereta api telah dibangun. Dan setelah tahun itu pula pasar nagari yang tadinya didepan Masjid Ampek Lingkuang dipindahkan oleh orang yang 10 ke luar, tepatnya dekat rel kereta api. Dan disanalah pasar Nagari Lubuk Alung hingga sekarang. Lokasi pasar sekarang itu adalah ulayat Datuak Marajo.
    Sebagai masjid kepunyaan orang dalam kampung yang empat tersebut, maka semua kampung itu diberikan kedudukan yang sama. Duduak samo randah, tagak samo tinggi. Masing-masing kampung punya peran dan fungsi tersendiri dalam masjid itu. Imam masjid diambilkan dari orang Singguliang, bilal, alias tukang azan berasal dari Sungai Abang. Sedangkan khatib alias tukang baca khutbah Jumat berasal dari Koto Buruak, dan Tuanku Khadi dari Balah Hilia.
    Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Lubuk Alung, Zainal Tuanku Mudo menyebutkan pihaknya sering menggunakan masjid tertua itu sebagai tempat muzakarah ulama. Melakukan diskusi, membahas persoalan aktual yang sedang berkembang ditengah masyarakat. Acara itu dilakukan secara berkesinambungan sebulan sekali, atau kadang-kadang dua minggu sekali. Ada juga majelis taklim melakukan kegiatan rutinnya dalam masjid tersebut.
    Setahu Zainal, dulu masjid itu hanya digunakan untuk shalat Jumat. Baru belakangan mulai dilakukan shalat Tarwih setiap malam bulan puasa, dan kegiatan lainnya. Tatacara praktek keagamaan dalam masjid itu masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi awal masjid itu ada.
    Artinya, azan untuk shalat Jumat dua kali, khutbah dengan bahasa Arab, menggelar kegiatan peringatan maulid secara tradisional. Semua kegiatan tersebut tetap dipegang teguh oleh orang yang punya peran dalam masjid tersebut. Namun, yang perlu jadi perhatian, adalah semakin berkurangnya jamaah yang melakukan shalat jumat, dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Dan lagi, masjid tidak hanya sebuah. Ada banyak masjid yang berdiri diluar Masjid Ampek Lingkuang dalam Nagari Lubuk Alung itu. (damanhuri)

Memahami Karya Syekh Burhanuddin

Memahami Karya Syekh Burhanuddin

Pariaman---Banyak kisah menarik yang dituturkan oleh pengikutnya tentang kemampuan Syekh Burhanuddin berinteraksi dalam suatu pergaulan yang memuaskan semua lapisan masyarakat tanpa canggung. Pendekatan sosial yang diterapkan beliau sangat efektif bagi masyarakat yang memang sudah mengalami kemajuan berpikir yang baik dan memadai dengan adat dan budaya yang dimiliki setiap orang Minang.
    Dia menyampaikan Islam secara perlahan-lahan dan mencari persesuaian antara norma-norma agama dengan kultur masyarakat. Gerakkannya dalam penobatan gelar setiap pemegang kekuasaan agama dalam masyarakat adalah bentuk nyata dari usaha beliau ke arah harmonisasi hubungan di dalam masyarakat, bahkan sampai sekarang kesan positifnya masih dirasakan.
    Hasil dari gerakkan tersebut terlihat dari tumbuhnya ratusan ulama (imam, khatib, labai dan tuanku) yang akhirnya memberikan corak tersendiri bagi struktur budaya dan kultural, serta nuansa Islam di Minangkabau. Gerakkan ini sekaligus mendorong timbulnya beratus-ratus ribu surau, masjid dan rumah ibadah. Dan kemudian institusi ini menjadi cikal bakal dari lembaga pendidikan Islam dan kajian ke-Islaman lainnya di bawah pimpinan ulama. Hampir setiap Jorong, (sekarang dusun), Desa (dulu korong), dan Nagari memiliki surau berikut dengan ulama yang memimpinnya.
    Paham dan Karya Syekh Burhanuddin
    Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jaringan intelektual Syekh Burhanuddin sejak dari guru pertamanya; Syekh Abdullah Arif (lebih populer dengan panggilan Syekh Madinah) di Tapakis Ulakan sampai belajar dengan Syekh Abdurrauf di Aceh masih berasal dari rumpun yang sama. Kedua guru ini sama-sama belajar dengan Syekh Ahmad Qusyasi di Madinah. Ulama Madinah ini merupakan tokoh yang menjadi sentral dalam jaringan Ulama Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18 M. Sebab memalui Ahmad Qusyasilah para ulama nusantara menemukan warisan intelektual Islam Fiqh, Tafsîr, tak terkecuali juga tasawuf baik yang sudah melembaga menjadi tarekat, maupun yang masih menjadi anutan dari pribadi muslim.
    Satu di antara murid Ahmad Qusyasi yang dikenal luas dalam jaringan ulama nusantara, adalah Abdurrauf al-Sinkili. Nama lengkapnya Amin al-Din Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili. Ia lahir diperkirakan sekitar tahun 1024/1615 M. disebuah kota kecil di pantai Barat pulau Sumatra. Ia berasal dari keluarga ulama, ayahnya Syekh al-Fansuri adalah seorang Arab yang mengawini seorang wanita setempat dari Fansur (Barus) dan bertempat tinggal di Singkil, di mana Abdurrauf dilahirkan.
    Sistem dan pola pemikiran Syekh Burhanuddin tidak dapat ditunjukkan secara konkrit, karena tulisannya yang dapat dijadikan acuan tidak ditemukan. Meskipun ada dua manuskrip yang oleh pengikutnya dikaitkan dengan Syekh Burhanuddin dan disebut sebagai karya Syekh Burhanuddin, tetapi manuskrip ini hanyalah merupakan mukhtasar (ringkasan) dari beberapa kitab tasawuf yang disebut pada penutup manuskrip itu.
    Pertama, manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqîq (Kitab Hakikat). Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuniang, khalifah yang ke-42, bertempat di Surau Syekh Burhanuddin, Tanjung Medan, Ulakan. Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning, lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4 abad (zamannya Syekh Burhanuddin).
    Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab Tahqîq tersebut tidak bisa dilihat oleh sembarang orang, dan juga tidak boleh dibawa keluar dari surau, karena hal itu merupakan amanah. Demikianlah seperti dikemukakan oleh khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian pendahuluan kitab Tahqîq, penulis dengan jelas menyatakan bahwa kitab ini (Mukhtasar) diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf yang populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.
    Kemudian kitab-kitab sumber tersebut oleh penulis dituliskan nama-namanya saja, seperti Kitab Tuhfah al-Mursalah ila ruhin Nabi, Kitab al-Ma`lumatt, Kitâb al-Jawahir al-Haqaiq, Kitab al-Mulahzhah, Kitab Khatimah, Kitab Fath al-Rahman, Kitab Maj al-Bahraiin, Kitab Mi`dan al-Asrar, Kitab Fusus al-Ma`rifah, Kitab Bayan al-Allah, Bahr al-Lahut, Asrar al-Shalah, Kitab al-Wahdah, Kitab Futuhat, Kitab Syarh al-Hikam, Kitab al-Asrar al-Insan, Kitab al-Anwar al-Haqaiq, Kitab al-Baitin, Kitab Tanbih al-Masyi’ dan  Kitab Adab ‘Asyik wa Khalwat.
    Memperhatikan kitab sumber yang dipakai oleh penulis kitab Tahqiq, dapat dipastikan bahwa kitab ini merupakan manuskrip tasawuf yang menjadi paham keagamaan yang dianut oleh penulisnya. Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab Melayu terdiri dari lima kitab yang juga tidak dicantumkan nama penulisnya. Kitab ini lebih sedikit maju karena dicantumkan masa penulisannya. Pada bahagian akhirnya tertulis, Alhamdulilah tamatlah kitab ini ditulis pada hari Selasa bertepatan dengan tahun 1223 hijriah Nabi Muhamad SAW bersamaan dengan 1788 M.
    Jelaslah bahwa kitab ini ditulis setelah satu abad Syekh Burhanuddin wafat. Kitab ini sekarang dipegang oleh Khalifah Syekh Burhanuddin yang berada di Sikabu, Ulakan melalui Tuanku Karimun, yaitu Tuanku Ali Bakri, Alumni S.1 Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sekarang tinggal di Jakarta. Buku ini dapat dipinjamkan dan perlihatkan kepada pihak lain tanpa harus melalui tata cara ibadah zikir seperti buku Tahqiq yang dipegang Syahril Lutan Tuanku Kuniang tersebut di atas. Buku ini oleh khalifah yang lain termasuk oleh Tuanku Kuniang Syahril Luthan dikatakan ditulis oleh Syekh Abdurrahman, khalifah Syekh Burhanuddin ketiga, dan buku itu tidak lengkap dan bukan buku asli dari Syekh Burhanuddin.
    Tuanku Ali Bakri yang memegang buku kedua saat ini menceritakan, bahwa buku ini diperolehnya dari gurunya yang bernama Tuanku Karimun Ulakan. Pada saat gurunya akan meninggal, ia berwasiat agar buku ini harus dipegang oleh orang yang tahu dengan kitab, maka Ali Bakri kemudian ditunjuk karena dialah murid sekaligus kemenakannya yang relatif bisa membaca kitab. Jadi, buku tersebut juga amanat yang mesti dijaga dan rasanya sulit untuk diserahkan kepada pihak lain.
    Buku  ini terdiri dari lima kitab yang digabung dalam satu buku yang cukup tebal dengan jumlah 315 halaman, diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan tulisan dalam bentuk esei panjang. Tiga dari kitab itu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab murni dan dua yang lain ditulis dengan huruf Arab Melayu. Kitab pertama ditulis dengan bahasa Arab berisikan ringkasan dari Kitab Tanbih al-Masyi, buah karya Syekh Abdurrauf al-Sinkili ini dicantumkan secara jelas.
    Empat kitab sesudahnya tidak diterangkan dari kitab apa diringkas dan siapa pengarangnya pun tidak dinukilkan. Dari isinya dapat ditangkap isyarat bahwa kitab ini jelas memiliki hubungan yang erat dengan kajian tasawuf, khususnya tarekat Syatthariyah. Misalnya pada kitab ketiga ada ungkapan yang menjelaskan hubungan murid dengan guru. Hubungan murid dengan guru itu laksana mayat di tangan orang yang memandikannya. Murid harus patuh terhadap semua perintah guru, kepatuhan murid pada guru itu haruslah ikhlas. (damanhuri)

Perjuangan dan Gerakkan Dakwah Syekh Burhanuddin

Perjuangan dan Gerakkan Dakwah Syekh Burhanuddin

Pariaman, Singgalang
    Berbicara tentang perjuangan Syekh Burhanuddin dalam Islamisasi di Minangkabau terlebih dahulu harus dipahami bagaimana perjalanan sejarah dakwah Islamiyah di ranah yang terkenal dengan adat dan istiadatnya yang bersandar pada alam takabambang jadi guru. Beberapa ahli dan penulis sejarah selalu mengklasifikasikan perkembangan Islam pada masyarakat Minangkabau menjadi dua tahapan.
    Pertama, melalui saudagar Arab dan India yang berkunjung untuk berdagang rempah-rempah dengan orang-orang di pulau Sumatra. Pada umumnya mereka beragama Islam dan pada saat yang sama mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat. Mereka menyiarkan Islam belum lagi secara terencana, tetapi masih bersifat perseorangan dengan cara sembunyi-sembunyi.
    Kedua, melalui pengaruh kerajaan Aceh yang memiliki pengaruh cukup luas di daerah pesisir barat pulau Sumatra. Tak terkecuali daerah Minangkabau, daerah yang mendapat pengaruh langsung dari Aceh, misalnya Pelabuhan Laut Tiku, Pariaman, Padang, dan Pesisir Selatan. Pengaruh kerajaan Aceh ini telah terjadi jauh sebelum Syekh Burhanuddin berkunjung untuk belajar ke Aceh. Sebab, kejayaan Aceh telah ada sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin belajar kepada Syekh Abdurrauf.
    Amir Azli dalam tulisannya yang berjudul, 'Pariaman Erat dengan Aceh Diperkirakan Berusia 420 Tahun' dalam Harian Haluan, Kamis 16 Januari 1992 mengungkapkan bahwa Pariaman dalam kajian sejarah sekurang-kurangnya mempunyai tiga peranan penting pada zaman dahulu.
    Pertama, sebagai basis kekuatan militer, kedua sebagai pusat perdagangan dan ketiga sebagai pusat pengembangan agama Islam di pesisir pantai barat Sumatra.
    Sebagai bagian dari basis kekuatan armada laut, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa ketika Aceh menyerang Portugis pada bulan Oktober 1556 M (di masa pemerintahan Sultan al-Kahhar) mengalami ketidak-berhasilan, maka putra Husein kemudian bergelar Sultan Ria’yat Syah meminta bantuan ke Pariaman, yang ketika itu diperintah oleh Sultan Sri Alam. Setelah ia wafat diganti oleh Zainal Abidin yang juga terbunuh tanggal 5 Oktober 1579 M.
    Kemudian A.I.Mc.Gregor yang mengutip 'Vida de Mathias de Albuer-querquer' dalam buku Seaflight near singapore in the 1570’s menyebutkan bahwa tanggal 1 Januari 1577 M telah terjadi pertempuran antara armada Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Serimaharaja berkekuatan 10.000 prajurit dan banyak meriam dengan Portugis di Selat Malaka. Pada pertempuran tersebut ikut juga Raja Ali Ria’yat Syah dari Pariaman. Diberitakan, pihak Portugis mempunyai 12 kapal perang, 1 batalion, 2 geleses, 3 geliot dan 3 briganyines.
    Pariaman sebagai pusat perdagangan rempah-rempah menurut catatan dan laporan dari pelaut Inggris Sir James Lancaster bahwa penghormatan yang diterimanya dari Raja Aceh adalah sangat memuaskan, sebagai tanda bahwa orang Aceh adalah orang sopan dan suka pada tamu. Penghormatan ini dilakukan dengan memberikan jamuan yang terhidang dari bejana emas.
    Selain itu, Sir Jame Lancaster pernah meminta kesempatan untuk membeli langsung lada ke Pariaman. Ia minta agar Sultan memberinya surat untuk dibawa ke Pariaman dengan mengunakan kapal Susanna. Surat tersebut masih tersimpan dalam Boendalan Library Oxford, bernomor M.S e.4 ditandatangani dan dicap dengan huruf Arab; Assultan Alauddinsyah Bin Firman.
    Sedangkan peranan Pariaman sebagai pusat pengembangan agama Islam dapat disimak dari tulisan DR. Schrieke dengan judul, 'Atjehasche Invioed was dan ook niet te onderschatien'. Pengaruh Aceh di pantai barat tidaklah dapat dipandang kecil. Daghregister 1661, 1663 dan 1664 M mencatat pengaruh itu di beberapa tempat, diantaranya jelas di Pariaman, Pauah, dan Ulakan yang merupakan pusat pengembangan agama Islam.
    Hampir semua penulis sejarah sepakat, bahwa masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau melukiskan betapa pesisir barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman sampai Indrapura telah berada dibawah pengaruh Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang pada waktu itu mencapai puncak kejayaannya dengan menguasai pantai Sumatra dari barat sampai ke timur.
    Dari penjelasan sejarah di atas dapat dicatat, bahwa jauh sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan, pengaruh Aceh  bersamaan dengan pengembangan Agama Islam sudah berjalan juga, meskipun itu baru sebatas masyarakat pedagang dan orang-orang pesisir pantai saja.
    Sedangkan dalam catatan H.B.M Leter, Pono yang kemudian namanya diganti oleh Syekh Abdurrauf dengan Burhanuddin baru pulang ke Minangkabau tepatnya ke Ulakan pada tahun 1069 H/1649 M pada masa pemerintahan Aceh di bawah Raja Sultanah Tajul Alam Safyatuddin (1641-1675 M).
    Dalam kondisi keagamaan sudah mulai terbentuk di Ulakan, Syekh Burhanuddin memulai perjuangannya menegakkan Islam melalui pendekatan persuasif dengan menggunakan lembaga surau yang didirikan oleh sahabatnya; Idris Khatib Majolelo di Tanjung Medan.
    Perjuangan Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan Islam melalui surau dibantu oleh empat orang teman dekatnya, yang dulu sama-sama belajar dengannya di Aceh. Keempat orang inipun dibuatkan pula surau untuk mempercepat proses pendidikan dan penyebaran Islam bagi masyarakat sekitarnya.
    Kegigihan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam di tengah masyarakat yang masih buta agama menjadi buah bibir dan catatan sejarah bagi pengikutnya dikemudian hari. Ada beberapa cara yang ditempuh Syekh Burhanuddin dalam meneruskan perjuangan agama bagi masyarakat; pertama, mengislamkan anak-anak dan remaja melalui permainan anak nagari yang masyhur dikala itu, antara lain main kelereng, gundu, main patuk lele (terbuat dari kayu yang dipukul dalam sebuah lobang, kemudian dilempar lagi untuk masuk ke lobang tersebut), dan main layang-layang.
    Setiap kali main, Burhanuddin selalu menang dan akhirnya pemuda bertanya bagaimana caranya beliau main, sehingga selalu menang. Burhanuddin menjelaskan dengan membaca bismillah setiap akan main. Melalui permainan ini ia diterima oleh anak-anak dan remaja atau pemuda dan pada gilirannya mereka inilah yang mengajak orangtuanya masing-masing untuk belajar ke surau. Karena memang surau dalam tradisi di Minangkabau, bahkan sampai saat ini masih berfungsi utuh sebagai pusat pembinaan pemuda sekaligus tempat tidur mereka.
    Kedua, mengikuti permainan anak nagari, seperti main layang-layang dan main lainnya dengan tidak merusak nilai-nilai agama yang dimilikinya. Melalui permainan itu ia dapat memasuki semua lapisan masyarakat tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Demikian sekilas catatan yang disampaikan oleh Prof. Duski Samad, dalam seminar sehari tentang Syekh Burhanuddin, beberapa waktu lalu di Pariaman. (525)