wartawan singgalang

Sabtu, 05 Desember 2015

Melihat Tradisi Membuat Juadah yang Hampir Punah

Melihat Tradisi Membuat Juadah yang Hampir Punah

    "Bilo pajatu baralek? Kok ndak nampak juadah naiak ka rumah rang gaeknyo"? Kata-kata ini jadi pameo dulunya di daerah Padang Pariaman. Artinya, kalau masyarakat melakukan alek mempelai laki-laki, itu akan ada juadah datang ke rumah orangtuanya saat baralek dari rumah pengantin perempuan.
    Juadah ini merupakan antaran khas dalam setiap acara perkawinan. Biasanya, antaran ini disusun dalam talam-talam yang besar. Untuk membawanya pun ada yang menggunakan becak, dipikul oleh beberapa pria, atau dibawa dengan kendaraan. Antaran ini akan jadi makanan pelengkap di pesta perkawinan di rumah mempelai pria.
    Juadah ini menggunakan talam yang bertingkat-tingkat. Yang paling atas diisi kue bolu, lalu berturut-turut di talam bawahnya ada bubik, pinyaram, juadah tukua, jala bio, kue sangko, kipang, nasi manis, dan kanji. Selain kue bolu, bahan pembuat makanan dalam antaran ini adalah olahan dari beras dan beras ketan.
    Misalnya, kanji, yang mirip dengan gelamai. Makanan ini terbuat dari tepung beras ketan yang dicampur dengan larutan gula merah yang ditambah santan. Adonan ini dimasak lama dalam kuali besar hingga kental dan berminyak. Lalu dituangkan ke papan cetakan.
    Jenis makanan lain yang terbuat dari tepung ketan adalah pinyaram, jala bio, dan bubik. Pinyaram ini seperti kue cucur. Bahannya dari tepung beras yang dicampur dengan cairan gula merah, lalu digoreng dalam kuali yang langsung menjadi cetakannya. Mirip kue cucur, tapi dalam bentuk yang lebih besar.
    Nah, dalam antaran ini, terdapat beberapa jenis penganan khas Padang Pariaman. Penganan ini dibuat dalam ukuran yang besar, tapi nantinya dipotong kecil-kecil saat akan dihidangkan. Layaknya jajanan pasar, penganan ini punya cita rasa beragam: ada yang gurih, manis, dan legit.
    Sedangkan jala bio dan bubik terbuat dari tepung beras ketan dan santan. Dicetak dengan seng berbentuk jeruji, lalu digoreng. Rasanya gurih dan seperti kerupuk. Bentuknya juga unik, seperti jeruji, atau banyak dikenal sebagai kue kembang goyang. Sedangkan bubik mirip dengan adonan jala bio yang diberi inti dengan sekeping gula merah dan kelapa, lalu digoreng.
    Makanan yang terbuat dari beras ketan antara lain nasi manis atau nasi haru, kipang, dan kue sangko. Nasi manis mirip wajik dengan warna cokelat. Terbuat dari beras ketan yang dikukus, diberi gula merah, lalu dicampur dengan santan dan garam secukupnya. Prosesnya, santan dan gula merah dimasak di kuali hingga berminyak, lalu dimasukkan beras ketan yang sudah dikukus, lalu diaduk di kuali hingga kering. Kemudian dipadatkan di cetakan kayu, lalu dipotong-potong.
    Yulisni, seorang Bundo Kanduang di Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris menilai tradisi juadah sampai sekarang masih kuat, meskipun manfaatnya tak begitu kentara lagi. "Dulu, juadah boleh dibilang sebagai alat penjemput pengantin pria. Rombongan pengantin pria belum bisa sampai ke rumah pengantin perempuan, dalam bentuk pasumandan, sebelum juadah dari rumah pengantin perempuan tiba di rumahnya," ujar Yulisni.
    Menurut dia, hakikah juadah adalah hubungan tali silaturrahim diantara kedua belah pihak pengantin, serta masyarakat sekampung. Sebab, sesampainya juadah demikian, tuan rumah tidak akan sanggup menghabiskannya surang. Tak heran pula, orang yang sehabis baralek pengantin pria itu selalu membagi-bagikan juadah ke tengah masyarakat. Apakah itu ke surau, warung kopi, sampai ke acara-acara keraiaman yang diadakan di tengah masyarakat dalam suatu ketika yang berbetulan dengan acara baralek.
    Sebagai seorang perempuan yang aktif di tengah masyarakat, Yulisni ingin adanya pemikiran yang seimbang dalam hal itu. Artinya, melihat azas manfaat. "Kita bukan tidak menghargai tradisi itu. Namun, yang paling penting jangan terlalu mubazir yang terjadi di tengah masyarakat. Sedangkan modal untuk membuatnya saja lumayan mahal," kata dia.
    Dengan banyaknya jenis makanan saat ini, juadah akan lama parkirnya dalam sebuah kedai kopi tempat kaum laki-laki banyak nongkrong. "Nah, yang demikian itu akan jadi mubazir. Agaknya, perlu pengurangan pembuatannya, agar bisa cepat habis di makan oleh banyak orang," ujar dia.
    Lain pula halnya dengan Kartini. Seorang ibu rumah tangga di Sungai Geringging ini melihat tradisi membuat juadah bagi pengantin perempuan gadis atau janda yang akan kawin lagi, tetap dilanjutkan dengan segala dinamikanya. Kartini merasakan, kurangnya semangat gotong royong dalam pembuatan juadah saat ini, saking mudahnya mendapatkan juadah itu.
    "Dulu, untuk membuat juadah butuh banyak tenaga dengan cara gotong royong para pemuda kampung. Boleh dibilang, empat hari menjelang hari H pesta, itu sudah ramai dengan kesibukan. Mulai dari tagak pondok, membuat juadah oleh generasi muda, sampai ke persoalan baretong seusai alek telah selesai dilakukan," ungkapnya.
    Sekarang, semua itu kalau tidak boleh dibilang hilang atau hampir punah, ya jauhlah berkurangnya, bila dibandingkan dengan zaman saisuak. Termasuk sekalian budaya mengantarkan juadahnya pun sekalian mulai agak hilang dari peredaran. "Kalau mau baralek pengantin perempuan, sudah ada juadah yang tinggal beres. Itu di Simpang Juadah, Kamumuan, Kecamatan Sungai Limau. Kapanpun kita inginkan juadah, akan selalu tersedia dengan cepat," ujar Kartini.
    Dengan harga yang terjangkau, jelas akan mampu menumbuh-kembangkan usaha pembuatan juadah demikian bagi si pelakunya. Buktinya, saking banyaknya yang membeli juadah, sampai-sampai persimpangan tempat lokasi pembuatannya itu dinamakan dengan "Simpang Juadah" oleh masyarakat secara umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar