wartawan singgalang

Kamis, 26 Juni 2014

Sepanjang Ramadhan Mushalla Iqra' Sediakan Menu Buka Puasa

Sepanjang Ramadhan Mushalla Iqra' Sediakan Menu Buka Puasa

Lubuak Pandan--Mentari mulai beranjak naik, sehingga panasnya semakin terasa. Abdul Majid baru saja selesai membasuh tikar yang kotor, karena habis dipakai malamnya untuk acara mendoa akhir tahun anak TPA/TPSA Mushalla Iqra' atau Surau Percontohan. Maklum, sebentar lagi puasa akan masuk, jadi semua anak-anak diliburkan untuk mengaji.
    Abdul Majid langsung tinggal di surau yang dibangun kembali oleh seniman dan budayan pascagempa 2009 itu. Dia bersama istrinya Aik berasal dari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Dia ditugaskan sebagai garin oleh budayan Taufik Ismail. Setiap bulan dia menerima honor yang cukup untuk menghidupi dia bersama istri dan seorang anaknya yang masih sekolah TK.
    "Garin di sini dengan di Jawa sedikit berbeda. Di Jawa, garin ya kerja bakti saja. Kalau di sini saya rangkap jabatan. Ya membersihkan surau, tempat wudu', taman, kadang azan dan bisa pula jadi imam, bila muazin dan imamnya berhalangan hadir saat waktu shalat tiba," kata dia saat didatangi Singgalang, kemarin di surau yang terletak di Korong Kiambang, Nagari Lubuak Pandan, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung demikian.
    Sejak surau itu dibangun kembali, mulai puasanya selalu ikut pemerintah. Artinya, memulai puasa kapan pemberitahuan di umumkan oleh Menteri Agama RI. "Puasa tahun lalu, kita menyediakan perbukaan puasa dari kurma, yang langsung dikirim Buk Atik, istrinya Pak Taufik Ismail. Untuk puasa tahun ini, kita juga menyediakan kolak, dan makanan lainnya," kata Abdul Majid.
    "Kita sudah terima permintaan dari Buk Atik, bahwa sepanjang puasa kali ini kita sediakan makanan untuk buka puasa. Makanan ini sengaja disediakan, lantaran kita berada pas dipinggir jalan Padang-Bukittinggi, yang banyak menerima para musyafir," ungkapnya.
    Menurut dia, seperti biasa tiap malam Mushalla Iqra' selalu mengadakan santapan rohani, yang penceramahnya bergiliran. Mereka ada yang ustad, tuanku atau guru agama di Padang Pariaman ini. Paling tidak, setiap penceramah dapat tiga kali giliran ceramah selama bulan puasa ini. Jadwalnya sudah oke, dan penceramahnya pun sudah di sesuaikan jadwalnya.
    Surau yang cukup rancak itu memang membuat jamaah merasa sejuk. Halamannya penuh dengan taman, yang setip hari selalu dirawat oleh Abdul Majid. "Pokoknya, tiap shalat lima waktu selalu saja ada orang yang numpang shalat. Bahkan, tak jarang Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni dan sejumlah pejabat lainnya di Sumbar, acap berhenti dan shalat sambil istirahat di sini," sebutnya.
    Sementara, lanjut Abdul Majid, tiap hari ada sekitar 50 an anak-anak TPA/TPSA yang ngaji. Mereka diajarkan oleh dua orang guru. Yang satu ngajar Iqra' dan Quran, dan seorang lagi khusus irama dan tajwid. Sejak hari ini, anak-anak sudah libur. Mereka kembali nanti untuk mengaji, sesuai mulai tahun ajaran baru sekolah.
    Meskipun tak lagi mengaji, bagi anak-anak yang dekat rumahnya dari surau ini, tetap pula ikut shalat Tarawih tiap malamnya saat puasa. Sebab, mereka punya tugas dari sekolahnya, untuk mencatat ceramah Ramadhan. (damanhuri)

Minggu, 22 Juni 2014

Kenangan Indah Dari Kota Solo, Jawa Tengah

Kenangan Indah Dari Kota Solo, Jawa Tengah

    Tahun 2004 akhir, menjelang tsunami di Aceh dan setelah Pileg serta Pilpres aku dan Rahmat Tuanku Sulaiman berangkat ke Solo, Jawa Tengah untuk menghadiri Muktamar NU ke-31. Aku dan Rahmat merupakan dua peserta peninjau dari PCNU Kabupaten Padang Pariaman. Kami berangkat menggunakan PO Transport, naik di fullnya Lubuk Alung. Saat itu aku masih tinggal di Surau Kampuang Paneh, Ulakan. Sedangkan Rahmat adalah anggota KPU Padang Pariaman, yang ketuanya Wirya Fansuri. Peserta Muktamar lima orang tiap kabupaten/kota. Dua diantara lima itu disebut peserta peninjau. Namun, fasilitas muktamar semuanya sama. Muktamar dibuka secara resmi Presiden SBY yang baru terpilih, dan ditutup Wapres Jusuf Kalla. KH. Hasyim Muzadi terpilih untuk peride kedua menjadi ketua umum PBNU dalam muktamar demikian.
    Perasaian aku dan Rahmat yang naik mobil waktu itu lumayan juga saat sampai di Jakarta, setelah sekian lama dalam perjalan darat. Koper yang ditarok diatas tenda bus basah. Jadilah semua persediaan pakaian yang dibawa basah-basah. Dua malam kami numpang nginap di rumah mande Rahmat yang jualan nasi. Setelah itu, datanglah peserta yang di ketuai Amiruddin Tuanku Bagindo bersama Ali Nurdin M. Nur. Kami bertemu di kantor PBNU yang terletak di Kramat Raya Jakarta Pusat. Sorenya, kami naik bus tujuan Solo yang langsung diantarnya ke Asrama Haji Donohudan, Boyolali. Sore naik bus yang cukup mewah, jelang Subuh masuk kami sudah sampai di arena muktamar. Langsung registrasi dan mendapatkan tas yang Berisi bahan muktamar, serta sejumlah buku.    
    Para peserta daerah lainnya di Sumatera Barat pun tampak sudah merebahkan badannya, istirahat karena pagi besok Presiden SBY akan membuka hajatan lima tahun sekali tersebut. Muktamar selama empat hari tiga malam itu penuh dengan dinamika. Maklum, persaingan kandidat ketua umum yang cukup sengit. Sebelum pulang dari muktamar, kami sedikit dikasih uang yang langsung dibagikan Firdaus Djafri, sekretaris PWNU Sumbar waktu itu. Dari Solo kami naik bus ke Jakarta yang langsung turun di Kramat Raya, kantor PBNU. Sampai disitu, kami semua berpisah, malapehan untuang surang-surang saja lagi.    
    Amiruddin masih di Solo karena ingin ke rumah anaknya di Semarang. Ajo Ali Nurdin pergi ke rumah dunsanaknya di Bogor. Rahmat langsung pulang naik pesawat. Aku ke tempat Zal dan Iton, warga Padang Toboh yang jualan nasi di Jakarta Barat. Dia menjemput aku pakai motor yang jauhnya minta ampun. Susah juga dia mencari alamat yang aku berikan di PBNU. Namun, sorenya bersua dan langsung ke tempat dia. Ada dua malam aku di tempat dia dan semalam di tempat Atiak Win dan kawan-kawan alumni Lubuk Pandan. Akhirnya aku pulang dengan bus Lampung Jaya dari Rawamangun, Jakarta. Meskipun pulang pergi naik bus, itulah muktamar yang paling berkesan yang pernah aku ikuti, dari sekian acapnya muktamar dan kongres. Ada pengayaan ke-NU-an yang aku dapatkan selama mengikuti acara itu.    
    Banyak buku-buku berbau NU yang aku bawa pulang dari Solo. Dan itu pertama kalinya aku menempuh kota Solo. Tergelincirnya pesawat Lion Air di Solo membuat muktamar ikut berduka. Prof. Maidir Harun ikut cidera dalam pesawat itu. Ada peserta muktamar dan petinggi NU yang meninggal akibat kecelakaan tersebut. Selama muktamar tiap pagi kami disuguhi koran Kompas dan banyak koran daerah lainnya. Bagiku, semua bacaan dalam muktamar itu dibawa semuanya pulang sebagai kenangan dalam mengikuti ajang nasional.
    Kongres GP Ansor 2005 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta merupakan periode terakhir bagi sahabat Saifullah Yusuf untuk menjabat ketua umum. Bersamaan dengan itu, diapun baru jadi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden SBY, yakni Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal RI. Dinamika kongres tak begitu terasa, karena pemiliha ketua umum hanya lewak aklamasi. Kongres dibuka secara resmi Menteri Pemuda dan Olahraga Adiaksa Daut. Saya ikut kongres sebagai peserta penuh karena menjabat sekretaris PC Ansor Kabupaten Padang Pariaman, yang ketuanya Afredison. Dari daerah ini ikut empat orang; Afredison, A. Damanhuri, Sudirman dan Bustanul Arifin. Berangkat dari Padang naik Batavia Air dari Bandara Tabing.
    Itu pertama kalinya aku naik pesawat. Kongres yang berlangsung tiga hari dua malam disamping membahas laporan pertanggungjawaban pengurus PP Ansor yang dibawah pimpinan Saifullah Yusuf, dalam forum tertinggi lima tahun sekali itu juga dibuat rekomendasi, dan program kerja lima tahun kedepan. Meskipun ketua PW Ansor Sumbar, Rahmatullah Azis waktu itu, tetap saja yang punya kendali Khusnun Azis, mantan ketua sebelumnya yang juga kakak kandung Rahmatullah Azis. Sehabis kongres, aku lebih duluan pulang. Sementara teman lainnya masih di Jakarta menemui familinya. Maklum, kesempatan ke Jakarta sangat jarang sekali adanya.    
    Tahun 2005 itu menjelang aku bergabung dengan Tabloid Publik dan akhir kerja di Media Sumbar. Pada tahun itu juga, aku ikut Muktamar II PKB yang diadakan di Semarang, Jawa Tengah. Dari Padang Pariaman yang ikut; Usman Fond, Ali Amat Tuanku Sidi, Zulhelmi Tuanku Sidi dan aku sendiri. Muktamar yang penuh dinamika itu memenangkan Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy sebagai ketua umum dan sekjend DPP PKB. Berangkat dari BIM dengan Lion Air sampai ke Semarang. Sementara pulangnya, aku ikut rombongan yang naik bus ke Jakarta. Dari Jakarta aku terus ke Bandung, karena istriku Mahbubatus Salmi pergi ketempat adiknya untuk sebuah keperluan. Waktu itu aku sudah tidak lagi tinggal di surau. Waktu di Bandung bertambah lagi beberapa harinya. Setelah lama juga jalan-jalan di Bandung, aku dan istri pulang naik ANS, karena harga tiket pesawat saat itu lumayan mahal, sehingga diputuskan naik mobil saja.
    Tahun itu juga bersamaan dengan Pilkada di Padang Pariaman, yang PKB juga ikut hiruk-pikuknya suasana politik kala itu, yang akhirnya memenangkan pasangan Muslim Kasim-Ali Mukhni jadi bupati dan wakil bupati yang diusung PAN dan PDI Perjuangan. Saat muktamar PKB hanya ada kisruh lantaran Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf masuk kabinet KIB I, sehingga kubu dua tokoh itu tak berani melawan Gus Dur yang memberhentikannya dari PKB. LPJ Ketua umum disampaikan Mahfud MD yang saat itu menjabat Plt Ketua Umum menggantikan Alwi Shihab yang masuk kabinet, karena posisi PKB dalam Pilpres putaran kedua netral. Saifullah Yusuf akhirnya diberhentikan dari kabinet, setelah dua setengah tahun menjabat. Dia digantikan Lukman Edy yang masih menjabat sekjend DPP PKB. Sedangkan waktu yang sama, Alwi Shihab juga digantikan posisinya dari Menko Kesra oleh Aburizal Bakrie. Alwi selanjutnya menjabat utusan khusus presiden untuk Timur Tengah. Sedangkan Saifullah Yusuf ikut Pilkada Jawa Timur yang mendampingi Sukarwo yang maju jadi calon Wagub-nya. Pasangan Pakde Karwo-Gus Iful ini akhirnya menang. Bahkan, pasangan ini terus berlanjut untuk periode kedua 2013-2018.

Selasa, 10 Juni 2014

Dampak Dari Kerasnya Pengajaran Abak

Dampak Dari Kerasnya Pengajaran Abak

    Pendidikan keluarga dari kecil sangat aku rasakan dampaknya setelah menginjak dewasa, terutama pendidikan yang diberikan Amak dan Abak. Abak punya tipikal yang lumayan keras dan kuat. Sebagai anak tua dari Abak, aku merasakan betul kerasnya pendidikan yang diberikannya ke aku. Berkali-kali aku dipaksa makan sahur, saat awal-awal aku belajar puasa. Saking susahnya aku dibangunin, Abak tak sungkan-sungkan memainkan kakinya ke pinggul aku. Itu terjadi saat aku tidur di Surau Koto Runciang.
    Memang, dari kecil aku belajar ngaji dan banyak menghabiskan waktu di kampung bako aku tersebut. Malam ngaji, siang membantu Abak kerja tani sambil juga gembala sapi sama kakak aku Afrizal yang lain Abak dengan aku. Kalau tidak ada kerjaan tukang rumah di rumah orang, Abak melakukan kerja di sawah milik surau itu, karena dia seorang labai, jadi punya setumpak atau dua tumpak sawah yang digarap untuk kehidupan keluarga.
    Ada banyak sawah wakaf milik surau yang digarapnya bersama Ajo Mansur, seorang ulama yang lama tinggal di Surau Koto Runciang. Disamping Abak dan Amak bertanam padi, juga ada bertanam cabai. Sebab, model sawah di kampung itu harus diselingi. Sekali padi, sekali dengan tanaman lain. Saat bertanam cabai, Abak sering kongsi dengan Apak Ali Munir, seorang Kepala Dusun di kampung itu. Panen cabai dua kali seminggu; Jumat dan Selasa. Aku acap ikut mengambil cabai demikian. Boleh dibilang, disamping padai tukang rumah, Abak juga seorang petani.
    Kalau tukang rumah, agaknya itu kepandaian Abak yang langsung Diajarkan oleh ayahnya; Labai Sirin. Saat Abak dinobatkan jadi labai di Surau Koto Runciang, menggantikan Apak Labai Usin yang meninggal dunia, aku masih sangat kecil. Belum sekolah, tapi aku sudah tahu, dan ikut melihat prosesi itu di kampungnya, Koto Runciang. Namun sangat disayangkan, kelak aku tak pandai bertani dan tukang. Aku melihat, Abak tak ingin anaknya susah menjalani hidup, seperti yang sudah dialaminya.
    Abak pernah terjatuh saat memasang atap rumah orang. Untuk ini, aku tak pernah diajarkan untuk pandai menjadi tukang itu pula. Malah setamat sekolah dasar, aku diserahkan melanjutkan pendidikan ke pesantren. Saat aku kecil, kampung Koto Runciang yang saat itu bagian dari Desa Guguak masih terbilang ramai. Kawan sepermainan banyak. Sambil menggembalakan ternak, aku juga sering main karet, main gambar. Kalau malam main endap-endapan di surau itu. Main bola di halaman surau atau ditengah sawah yang habis dipanen juga acap kami lakukan. Sekarang, aku lihat Koto Runciang semakin sepi. Apalagi surau milik kaum Suku Sikumbang itu dipindahkan ke Kajai, kampung kecil dalam Koto Runciang yang berbatasan dengan Desa Padang Bungo, karena di situ banyaknya rumah penduduk.    
    Pernah Abak mengajak aku bekerja di rumah orang, tapi tak sering. Hal itu saat aku pulang kampung dari pesantren Padang Magek dan Lubuk Pandan. Kekerasan didikan Abak yang aku rasakan, kalau yang kita buat tak diingininya, dia marah mintak ampun. Lain pula dengan didikan yang Amak berikan ke aku dengan berjualan sebelum sekolah. Kekerasan Abak ke aku mulai berkurang, saat aku sudah belajar di pesantren.
    Dalam masa pendidikan demikian, Abak malah banyak mengajak aku pergi wirid mingguan di surau yang tiga di Tigo Jurai tersebut. Kadang-kadang ada pula Abak mengajak aku saat orang kampung mengaji ka puaso dan mengaji kematian. Kalau saat wirid pengajian, aku sering disuruh ceramah. Apalagi kalau Ajo Mansur lagi tak ditempat, sehingga yang memberikan pengajian itu kami yang pulang dari pesantren tersebut. Itu cara Abak membesarkan aku untuk bisa hidup dan berkembang ditengah masyarakat.