wartawan singgalang

Jumat, 11 Agustus 2017

Wisata Rumah Pohon Sungai Buluah Semakin Ramai Dikunjungi

Wisata Rumah Pohon Sungai Buluah Semakin Ramai Dikunjungi

Batang Anai--Edo, laki-laki muda ini tampak bersemangat melangkahkan kaki mendaki menuju rumah pohon. Dia yang mengantarkan saya menuju tempat wisata itu. Rumah pohon dan Air Terjun Sarasah Kuau, merupakan dua destinasi wisata dalam paket ekowisata di Hutan Nagari Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman, Sumatera Barat.
    Sejak Oktober 2016, paket ekowisata ini sudah rilis dan didatangi banyak pengunjung. Edo bilang, selama empat bulan ini pengunjung bisa 300-400 orang setiap hari. "Ramai datang ke sini, sehari bisa sampai 400 orang. Sejak Maret mulai berkurang. Astrid, penyanyi itu pernah datang ke sini," kata dia.
    Menjelang matahari terbenam, kami tiba di rumah pohon. Perjalanan memakan waktu hingga 30 menit. Bermandikan keringat, terbayar dengan suguhan pemandangan luar biasa.
    Jejeran rumah di kelilingi hamparan sawah berselimut hutan hijau, perpaduan apik dan menenangkan. Bosan menghabiskan waktu di rumah pohon, bisa melanjutkan ke Air Terjun Sarasah Kuau dan menikmati kesejukan air yang bersumber dari Hutan Nagari Sungai Buluah ini. Meski berjarak kurang dari dua kilometer, tetapi medan menanjak dan curam membuat deru napas berkejar-kejaran.
    Paket wisata ini bisa dinikmati dengan hanya membeli tiket masuk Rp5.000, jasa pengantar Rp30.000 untuk tujuh pengunjung. Berada tepat di pinggir Kota Padang, hanya memakan waktu sekitar 15 menit dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM), sebenarnya menjadi pilihan wisata mudah dijangkau.
    Beberapa kendala, seperti belum tersedia sarana kamar mandi, cuci dan kakus membuat pengunjung enggan. Ali Azwar Datuak Batuah, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Nagari Sungai Buluah mengatakan, mereka terkendala beberapa fasilitas dalam pengambangan ekowisata ini.
    "Kita belum ada kamar mandi, di rumah pohon itu. Jadi ini merepotkan pengunjung. Dalam waktu dekat ini kita akan membangun dengan duit kas terkumpul," katanya.
    Mereka juga perlu jalan setapak untuk pengunjung. Kalau kondisi hujan, jalan yang ada becek dan susah dilalui.
    Paket ekowisata ini salah satu dari rencana kerja hutan nagari yang sudah terwujud. Ali mengatakan, sejak SK penetapan areal kerja hutan nagari melalui SK nomor 856/Menhut-II/2013 pada 2 Desember 2013, kepada masyarakat Nagari Sungai Buluah seluas 1.336 hektare, mereka gencar mengajukan rencana kerja ke dinas-dinas terkait.
    Kegigihan itu berbuah hasil dengan ada program-program yang berjalan, seperti budidaya jamur tiram, pembibitan gaharu, pengembangan madu lebah dan ekowisata. "Kita memang melakukan program pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan perekonomian. Di sini banyak pemuda tak memiliki pekerjaan tetap," sebutnya.
    Mak Datuak, demikian sapaan akrabnya menceritakan, tak mudah menyakinkan masyarakat akan kehadiran hutan nagari di Sungai Buluah ini. Namun bencana galodo (banjr bandang) pada 2013 membuat masyarakat menyakini hutan bagian dari ekosistem yang amat penting dalam kehidupan.
    Sejak itu, mereka bahu membahu menjaga hutan. Bahkan sejak ada SK pengukuhan hutan nagari, masyarakat bergiliran patroli.
    Sungai Buluah, nagari paling timur di Kecamatan Batang Anai itu berintegrasi langsung dengan hutan lindung di gugus Bukit Barisan. Topografi perbukitan dan kondisi hutan sangat mempengaruhi sistem kehidupan masyarakat.
    Masyarakat nagari itu memang mengandalkan hidup dari pertanian dan perkebunan dengan pengelolaan berbasis agroforest. Karet, buah seperti durian, jengkol petai dan buah-buah lainnya tumbuh baik di kebun-kebun keloaan masyarakat, di kawasan berbukit.
    Hutan di bagian hulu, tak terusik. Hutan di gugus Bukit Barisan ini daerah tangkapan air 14 anak sungai yang mengalir di Sungai Buluah, sebelum menyatu ke Sungai Batang Anai.
    "Dulu kami pengelola hutan nagari dan walinagari pernah menangkap pelaku illegal logging beserta barang bukti kayu dan chainsaw, yang diserahkan ke pihak berwajib," katanya.
    Air yang mengalir di Sungai Buluah ini, merupakan sumber pasokan PDAM untuk ribuan masyarakat Padang Pariaman, termasuk kebutuhan air bersih BIM. Potensi ekowisata amat banyak di Padang Pariaman yang memerlukan sentuhan dan perhatian pemerintah.
    Hasan Basri, anggota Komisi I DPRD Padang Pariaman, mengatakan, selama ini sektor pariwisata dipandang bukan sumber utama pendapatan daerah yang menjanjikan. "Pemerintah harus benar-benar serius memajukan potensi-potensi ekowisata ini, karena banyak sekali yang belum terjamah dan terkelola dengan baik," kata anggota dewan dari PKB ini.

    Mengasuh pohon di hutan nagari

    Program pohon asuh di Sumbar sudah rilis sejak tahun lalu. Ada empat nagari yang memiliki program pohon asuh yaitu Hutan Nagari Sungai Buluh, Sirukam dan Simanau di Solok serta Hutan Nagari Simancuang.
    Program ini dikelola oleh kelompok pengelola hutan nagari (KPHN) di masing-masing nagari, bersama dengan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi. Pohon asuh upaya menjaga lingkungan dan mendukung pembangunan masyarakat nagari.
    Astrid, penyanyi yang berkunjung ke Hutan Nagari Sungai Buluah langsung tertarik ikut mengasuh pohon. Pelantun lagu Jadikan Aku yang Kedua ini memilih langsung pohon di pinggir Air Terjun Sarasah Kuau, yaitu pohon tarok (Arthocarpus walichianus– moraceae).
    Riche Rahma Dewita, Koordinator Regional Warsi Sumbar bilang, mekanisme pengasuhan pohon satu langkah memberikan nilai tambah pada masyarakat atas upaya mereka memelihara hutan. Pemilik pohon memberikan donasi Rp200.000 untuk satu pohon yang diasuh selama satu tahun.
---------------------------------------------------

Patroli Berjalan Penebang Liar Hilang

Batang Anai--Akhirnya penantian panjang masyarakat Nagari Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman membuahkan hasil. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno  menyerahkan Surat Keputusan Hak Pengelolaan Hutan Nagari (HPHN) seluas 780 hektare kepada Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) nagari itu yang diterima langsung Walinagarinya 2014 lalu.
    Dengan SK HPHN, masyarakat Nagari Sungai Buluah secara legal dapat mengelola hutan meraka sesuai dengan dokumen rencana kerja pengelolaan yang telah mereka susun. Penduduk Nagari Sungai Buluah berjumlah 14.672 jiwa yang terdiri dari 3.542 Kepala Keluarga dan luas wilayahnya mencapai 19.250 hektare.
    Masyarakat Sungai Buluah memiliki kearifan lokal dalam membagi peruntukan pemanfaatan lahan. Kawasan yang berada di hulu sungai di tetapkan sebagai hutan larangan, yang tidak boleh dibuka. Ada kawasan hutan cadangan. Ada kawasan olahan untuk perkebunan dan areal persawahan, serta kawasan perladangan yang berada di luar kawasan hutan kesepakatan.
    Kearifan ini menunjukkan kemampuan masyarakat dalam menata rencana pengelolaan terhadap kawasan yang dimiliki. Kawasan hutan yang diajukan sebagai areal kerja hutan nagari merupakan daerah peladangan masyarakat. Peladangan tersebut sudah dilakukan masyarakat sejak 1969 dan masyarakat telah menanami kawasan tersebut dengan tanaman tua seperti petai, jengkol dan durian.
    Areal kerja yang diusulkan terletak di Korong Salisikan dan Korong Kuliek dengan luas 2500 hektare, dengan berbagai jenis kayu-kayuan seperti madang (Lauraceae), surian (Toona Sureni), paniang-paniang (Fagaceae).
    Selanjutnya terdapat juga rotan, manau, bambu dan anggrek. Di lokasi itu juga masih ditemukan hewan seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Capricornis sematraensis), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis), landak (Hystrix brachyura), dan berbagai macam jenis burung.
    Hal yang melatarbelakangi masyarakat mengajukan pengelolaan hutan nagari itu disebabkan keprihatinan terhadap aktifitas penebangan liar yang kerap dilakukan oleh beberapa orang yang berada tidak jauh dari Nagari Sungai Buluah. Aktifitas itu telah menyebabkan terjadinya galodo hampir setiap tahun. Tebing-tebing bukit banyak yang longsor. Walau sudah diperingatkan, namun mereka tetap saja nekat untuk menebangi kayu-kayu yang ada di hutan Bukit Barisan itu.
    Masyarakat Sungai Buluah pada umumnya menggarap lahan pertanian. Untuk melakukan pengagarapan sawah membutuhkan banyak air. Jika tutupan hutan tidak terjaga, bisa saja sawah-sawah masyarakat kekeringan dan dapat berujung pada gagal panen dan sebagainya.
    Pilihan pengelolaan dengan skema hutan nagari yang dipilih merupakan hasil kesepakatan masyarakat nagari dan pengelolaannya pun dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat nagari. Konsep pengelolaan komunal dapat diterapkan dengan skema ini.
    Pada pertengahan 2013, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 856/menhut-II/2013 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Nagari Sungai Buluah seluas 1336 hektare.
    Setelah itu, masyarakat Sungai Buluah bertemu di kantor Walinagari, dengan mengundang pihak kecamatan, Kepolisian, Danramil, Bamus, Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan (Dipernakhutbun) Kabupaten Padang Pariaman, Nagari-Nagari tetangga, termasuk oknum Pelaku Penebangan Liar yang kerap beroperasi di hutan nagari.
    Pertemuan tersebut membahas mengenai penetapan areal kerja yang diberikan oleh Menteri Kehutanan. Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Nagari Sungai Buluah menekankan kepada semua pihak bahwa berdasarkan Surat Keputusan tersebut pihaknya dapat bertindak langsung terhadap pelaku penebangan liar yang berada di kawasan hutan yang diajukan. Rencana kerja disusun, patroli hutan pun dilakukan.
    "Semenjak SK itu keluar, kami sering melakukan patroli di hutan. Pernah suatu ketika saat melakukan patroli, kami menangkap pelaku penebangan liar tengah beroperasi tidak jauh dari hutan kawasan yang kami ajukan, lalu kami menangkapnya, membakar pondok mereka di hutan serta mengamankan alat bukti berupa satu buah mesin chainsaw. Semenjak kejadian itu, hampir tidak pernah ada kegiatan penebangan liar di Sungai Buluah," ucap Syafrizal, Walikorong Kuliek.
    Seperti warga lain, Syafrizal memiliki ladang di lokasi hutan itu, yang ditanami jengkol, durian dan petai. Dengan panen setahun sekali pada kurun Juli – Agustus, mereka dapat memanen sebanyak 20 karung jengkol per harinya, dengan harga Rp400 ribu perkarung. Bahkan di waktu tertentu, harga bisa mencapai Rp1 juta perkarung.
    Di hari-hari biasa, masyarakat Nagari Sungai Buluah tetap melakukan kegiatan pertanian sawah dan mengolah kebun jagung, karet, kakao dan lain-lain. Nagari itu banyak ditumbuhi pohon Asam Kandis yang digunakan untuk memasak gulai, yang dijual seharga Rp5ribu perkilonya. Ekonomi masyarakat bisa tumbuh dengan pengelolaan yang berkelanjutan, baik di ladang dan di hutan, tambahnya.
    Dia mengatakan, setelah banyak industri kayu beroperasi yang mengakibatkan penurunan kualitas hutan. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk menjaga hutan-hutan yang tersisa, sehingga negara bisa memberikan insentif bagi masyarakat yang berbuat.
    "Dalam proses persiapan itu kami datang ke Sumatera Barat, bekerjasama dengan gubernur, bupati dan walikota, untuk mulai mempersiapkan masyarakatnya, sehingga pada saat insentif itu datang, masyarakat mendapatkan langsung manfaatnya," kata William.
    Pada akhirnya secara perlahan masyarakat mengerti keberadaan hutan, sebab tidak hanya kayu yang bernilai ekonomis, melainkan ada jasa ekosistem yang dapat dikembangkan. Keberadaan hutan tersebut juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon.
    Riche Rahma Dewita, Koordinator Program dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI WARSI) mengaku semenjak tahun 2012 melakukan pendampingan dengan mengajak masyarakat untuk mengelola hutan dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
    Selain itu, Warsi juga melakukan penguatan kelembagaan masyarakat pengelola hutan, melakukan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat serta terlibat dalam penyusunan rencana kerja kelompok. Berbagai informasi mengenai pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat, bahkan juga sempat mengirim salah seorang masyarakat Sungai Buluah untuk mengikuti pelatihan pembuatan kerajinan tangan berupa anyaman di daerah Jambi.
    "Kedepan kami akan memfasilitasi masyarakat untuk membuat rancangan tata ruang mikro pengelolaan hutan nagari," ucap Riche.