wartawan singgalang

Jumat, 12 Juli 2019

Kisah Dua Santri KH. Hasyim Asy’ari, Bersahabat hingga Akhir Hayat


Ilustrasi foto: www.google.com
Sahabat adalah orang yang hadir dan mendampingi kita saat suka maupun duka. Dalam perjalanan panjang Nahdlatul Ulama, ada dua orang sahabat yang dikenang sepanjang masa oleh banyak kaum nahdliyin. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Keduanya berasal dari Kota Santri Jombang dan santrinya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Meskipun Kiai Bisri lahir di Jawa Tengah, tepatnya di sebuah desa yang bernama Tayu Wetan, Pati pada 05 dzulhijjah 1304 H atau 23 Agustus 1887 M. Namun hingga akhir hayatnya, Kiai Bisri tinggal di Jombang. Sedangkan Kiai Wahab dilahirkan di Tambakberas pada tanggal 31 Maret 1888.
Pertemuan mereka berdua terjadi pada tahun 1906, saat itu Kiai Abdul Wahab melanjutkan belajar ke Syaikhona Kholil Bangkalan. Ia belajar Ilmu Nahwu, Shorof dan ilmu-ilmu lainnya. Hal yang sangat istimewa ketika menimba ilmu di Syaikhona Kholil adalah pertemuan dan persahabatannya dengan KH. Bisri Syansuri.
Dalam catatan Gus Dur (Cucu Kiai Bisri), jalinan persahabatan inilah kemudian menjadi tonggak paling penting bagi tumbuh dan perkembangan ajaran agama Islam Indonesia. Bahkan kelak, beberapa puluh tahun selanjutnya dua santri ini mewarnai penyebaran ajaran Islam nusantara di negeri tercinta ini.
Kiai Bisri sangat menghormati Kiai Wahab sebagai seorang sahabat. Hal ini tampak dari tidak sungkannya Kiai Bisri mengkritik Kiai Wahab saat berpendapat di forum seperti Batsul Masail dan rapat Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini membuat suasana rapat dan internal NU lebih hidup dengan pemikiran segar. Karena selain Kiai Bisri jarang ada yang berani mengomentari Kiai Wahab. Kiai yang biasa disapa Mbah Wahab ini merupakan keluarga besar Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, sehingga saat itu sedikit sekali yang berani beradu argument dengannya.
Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
“Kiai Wahab dan Kiai Bisri ini sahabat ideal, kadang saling mengkritik tapi juga mendukung,” kata Humas Pondok Pesantren Bahrul Ulum KH. Jauharuddin Al-Fatich, Rabu (10/7).
Setelah mondok beberapa tahun di Syaikhona Kholil, Kiai Bisri Syansuri melanjutkan pengembaraan ilmunya di salah satu Pesantren di Sarang, Rembang dan berguru kepada KH. Umar bin Harun, Kiai Syuaib, Kiai Kholil Kasingan. Disinilah Pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar itu menghafalkan ilmu gramatika bahasa arab bernama Alfiyah Ibnu Malik. Ia juga sempat mengkhatamkan kitab Fathul Wahab dan Fathul Mu’in di sini.
Selanjutnya, sekitar tahun 1908 Kiai Bisri kembali ke Jawa Timur. Kali ini menuju Pesantren Tebuireng Jombang untuk belajar kepada Hadratussyaikh M. Hasyim Asy’ari. Pada masa itu, ada keyakinan ulama tanah Jawa bahwa seseorang yang ingin menjadi ulama besar harus belajar ke Kiai Hasyim dulu. 
Dibawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari, dua sahabat ini kembali dipertemukan. Kedekatan yang sudah dibangun saat di Pulau Madura kembali terjalin rapat diantara keduanya. KH. Wahab lebih dahulu datang ke Tebuireng. Di Tebuireng, keduanya belajar Ilmu Ushul Fiqh, Fiqh, Hadist, dan Tafsir. Di Pesantren ini juga kedua tokoh ini mengalami kematangan keilmuan agama dan organisasi. Pemikiran Kiai Hasyim banyak mempengaruhi keduanya.
“Bisa dikatakan saat itu, Kiai Wahab dan Kiai Bisri adalah bintangnya Tebuireng,” tambah Ketua RMI-NU Jombang ini.
Di Tebuireng pertemanan Kiai Bisri dan Kiai Wahab semakin terbina matang pula, sikap saling menghormati dan mendukung diantara keduanya sudah tumbuh sejak sama-sama menjadi santri di Kiai Kholil Bangkalan. Meskipun begitu, diantara keduanya punya gaya berpikir yang berbeda. Kiai Wahab dalam mengambil keputusan sering kali berdasarkan kaidah Ushul Fikh. Sedangkan Kiai Bisri seorang yang memegang Ilmu Fikh yang kuat.
Dalam pengembaraan ilmu di Tebuireng, Kiai Bisri dan Kiai Wahab semakin menunjukkan sifatnya masing-masing, Kiai Bisri terkenal di kalangan santri sebagai seorang yang kuat pendiriannya dan kekokohannya didalam memegang fiqih dan tidak bisa diganggu gugat dalam segala keputusannya. Seakan melengkapi, Al-Maghfullah Kiai Wahab Hasbullah dikenal lentur dalam segala pandangannya dalam memutuskan berbagai masalah.
“KH. Hasyim mendidik dua sahabat ini, jadi wajar saat pendirian NU maka yang sering turun ke daerah-daerah adalah dua tokoh ini,” beber Pengasuh Ribath Al-Ghozali Bahrul Ulum ini.
Saking dekatnya Kiai Wahab dan Kiai Bisri, pada tahun 1913 dua karib ini izin ke Kiai Hasyim Asy’ari untuk melanjutkan pendidikan ke Makkah bersama. Berbekal pengalaman dan ilmu yang diperoleh selama dididik di bawah gemblengan langsung Kiai Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab dan Mbah Bisri tidak kesulitan mengikuti pelajaran di tanah suci.
Selama belajar di Mekkah, kedua sahabat karib ini mengaji kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Said Yamani, Syaikh Ibrahim Yamani dan Syaikh Jamal Maliki. Mereka berdua juga berguru kepada guru dari guru-guru Kiai Hasyim Asy’ari seperti Kiai Khatib Al-Padangi, Kiai Syuaib Dinastani, dan Kiai Mahfudz At-Termasi.
Sementara itu, Ketua PCNU Jombang KH. Abdul Nashir Fattah mengatakan pernah mendapat cerita dari ayahnya, Kiai Abdul Fattah yang juga keponakan Kiai Wahab Hasbullah sekaligus menantu Kiai Bisri Syansuri. Suatu waktu pada forum bahtsul masail di tentang hukumnya drum band, Kiai Wahab dan Kiai Bisri berdebat begitu kerasnya sampai-sampai Kiai Bisri menggebrak meja. Tak mau kalah, Kiai Wahab pun menggebrak juga, bahkan dengan kaki. Orang-orang ketakutan dan sangat khawatir bahwa Nahdlatul Ulama akan pecah hanya gara-gara hukumnya drum band. Siapa sangka, ketika waktu jeda tiba, keduanya justru berebut melayani satu terhadap yang lain dalam jamuan makan.
Muktamar NU ke-25 di Surabaya, 1971. Kiai Wahab, saat itu menduduki Rais ‘Aam, keadaan fisiknya sangat sepuh dan dalam keadaan sakit hingga tak mampu bangkit dari pembaringan-ia akhirnya wafat hanya beberapa hari seusai muktamar tepatnya 29 Desember 1971. Suasana Muktamar didominasi oleh kehendak suksesi. Dapat dipastikan seluruh muktamirin tanpa kecuali menginginkan Kiai Bisri tampil sebagai Rais ‘Aam yang baru.
Bahkan boleh dikata, beliau sudah menjadi Rais ‘Aam de facto. Muktamar hanya formalitas pengesahan saja. Siapa sangka, sebelum palu diketuk, Kiai Bisri berdiri dihadapan sidang untuk menyampaikan sikapnya yang tak dapat ditawar oleh siapa pun juga dengan harga apa pun juga:
“Saat itu Mbah Bisri mengatakan, selama masih ada Kiai Wahab, saya hanya bersedia menduduki jabatan dibawah beliau,” ungkapnya.
Puncak persahabatan kedua karib ini sebenarnya terjadi pada saat Kiai Wahab berusaha menarik Kiai Bisri dalam keluarganya dengan cara menjodohkannya dengan sang adik bernama Nur Khodijah. Ini menunjukkan bahwa Kiai Wahab tidak mau berpisah dengan sahabatnya.
Niat baik Abdul Wahab direspons dengan baik pula sehingga perjodohan antara Nur Khodijah dengan Bisri Syansuri berjalan dengan lancar. Setelah menikah dengan Khodijah, hubungan Kiai Wahab dan Kiai Bisri semakin dekat dan intens. Kiai Bisri diberikan tanah di Desa Denanyar dan akhirnya didirikan Pesantren Mamba’ul Ma’arif. Mereka juga bahu membahu membesarkan NU. Berkat perjuangan kedua sahabat ini, NU bisa menjadi ormas terbesar di Indonesia. Dua insan ini menjadi contoh persahabtan ideal bagi semua orang di Indonesia. Karena bersahabat tanpa syarat.
Selamat haul KH. Abdul Wahab Hasbullah ke-48

Pewarta: Syarif Abdurrahman
Publisher: RZ

Rabu, 03 April 2019

Pilpres 2019: Pertarungan Putra Terbaik Bangsa

Kita boleh kecewa pada Jokowi, boleh pula tak percaya pada Prabowo. Tapi kita harus akui, faktanya mereka adalah 2 orang putra terbaik bangsa.
Jokowi, adalah kisah nyata seorang rakyat biasa yang bisa menjadi manusia luar biasa. Impian banyak anak desa, doa dari semua orang tua untuk anaknya. Ini bukan sinetron dan dongeng, ini nyata, seorang anak pinggir kali, yang harus pindah rumah berkali-kali karena tak mampu bayar sewa juga kena penggusuran dari angkuhnya kehidupan kota.
Beliau lahir dari anak tukang kayu, pembelajar keras yang akhirnya mengantarkan dirinya masuk ke Jurusan Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), salah satu kampus terbaik yang tak semua orang mampu meraihnya. Beliau bukan aktivis mahasiswa, tak punya nama di zamannya. Jokowi memilih menepi dari politik kampus, ia lebih suka naik gunung di akhir pekan, hingga akhirnya secara bertahap merintis bisnis dan menjadi pengusaha mebel di Surakarta. Ya doa jutaan orang tua, "bapak kuli, semoga kamu bisa jadi insinyur".
Jokowi adalah kisah nyata perjuangan anak miskin yang mengangkat derajat keluarganya melalui pendidikan dan kerja keras. Jokowi bukan kader asli yang dibesarkan partai, ia awalnya diminta menemani F.X. Hadi Rudyatmo (PDIP) yang enggan maju sebagai walikota Solo karena khawatir dengan isu agama dan memilih menjadi wakil Jokowi yang diprediksi lebih bisa diterima publik Solo karena seorang muslim.
Jokowi menghadirkan kepemimpinan gaya baru di Solo, berdialog dengan masyarakat yang akan di relokasi, menggusur dengan sangat manusiawi, bahkan dengan PKL dikirab layaknya festival budaya, dikawal satpol PP layaknya pejabat. Tak ada kekerasan, pengggusuran itu dibuat menyenangkan. Tak heran, ia menang mutlak dalam periode kedua kepemimpinanannya di Solo. Kecemerlangannya dalam memimpin mengantarkan beliau  menapaki jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta (2012) hingga menjadi Presiden RI (2014).
Prabowo, adalah putra mahkota dalam berbagai kisah. Putra terbaik dalam segala aspek. Kakeknya adalah Pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo, beliau juga Anggota BPUPKI dan Ketua DPAS pertama. Ayahnya adalah begawan ekonomi legendaris republik ini, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang namanya diabadikan menjadi nama gedung di Kementerian Keuangan. Sumitro juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Menristek, Menteri Perindustrian dan Perdagangan di Era Soekarno dan Soeharto.
Soemitro juga terkenal sebagai kritikus yang berani dengan keras menentang kebijakan-kebijakan ekonomi Soekarno dan Soeharto yang dianggap tidak pro rakyat. Bahkan pernah menjadi buron ke luar negeri di masa pemerintahan Soekarno karena dianggap terlalu vokal dan berbahaya.
Saat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Sumitro pernah "didiamkan" tak disapa Bu Tien Soeharto selama setahun karena menolak memberikan hak istimewa dalam perdagangan. Prabowo lulus sekolah menengah di usia 16 tahun, lebih muda dari sebayanya. Di usia 17 tahun, Prabowo bersama aktivis legendaris Soe Hok Gie mendirikan LSM Pembangunan, yang fokus pada pembangunan desa dan merupakan LSM Pertama di Indonesia.
Di tengah keluarga intelektual, ia justru memilih jalan berbeda menjadi prajurit bangsa. Prabowo adalah lulusan Akademi Militer tahun 1974. Meski di militer, Prabowo tetap mewarisi tradisi intelektual ayahnya. Beliau terkenal sebagai tentara yang paling rajin membaca dangan koleksi buku yang sangat banyak dan menguasai 4 bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, dan Jerman.
Prabowo berkali-kali dikirim mengikuti pelatihan dan kursus di luar negeri tahun 1974, 1975, 1977, 1981. Beliau juga pernah mengenyam pendidikan _Counter Terorist Course Gsg-9_ di Jerman dan _Special Forces Officer Course_ di Fort Benning USA. Beliau bersama Putra Raja Yordania menjadi lulusan terbaik dari pendidikan militer yang diikutinya di Amerika.
Percayalah, isu Jokowi akan membangkitkan PKI dan Prabowo akan mendirikan Khilafah hanyalah permainan _buzzer_ untuk menakut-nakuti kita. Jokowi jelas masih berusia 5 tahun saat PKI dibubarkan, ayahnya pun jelas bukan intelektual PKI, hanya tukang kayu yang tak tahu urusan politik PKI.
Prabowo, meski diidentikkan dengan ABRI Hijau dan sangat dekat dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) milik B.J. Habibie di tahun 1998, nyatanya ibu dan adik Prabowo adalah seorang nasrani. Prabowo dan ayahnya muslim. Saat natal maupun lebaran, mereka merayakan bersama-sama. Begitulah keberagaman dan toleransi yang hidup di keluarga Prabowo.

Prestasi Jokowi dan Prabowo

Jokowi pernah dinobatkan sebagai salah satu walikota terbaik dunia, pun begitu dengan Prabowo yang mampu meraih banyak prestasi saat memimpin kopassus dan membuat kopassus menjadi salah satu satuan elit terbaik di dunia dan pasukannya memiliki kesejahteraan di atas rata-rata. Jokowi sukses dengan Asian Games, kita semua dibuat terpesona dengan upacara pembukaan dan penutupan yang luar biasa. Tapi jangan lupakan bahwa medali terbanyak yang mengatrol peringkat Indonesia adalah cabor Pencak Silat yang dibina oleh Prabowo sebagai ketua IPSI.
Akuilah, mereka berdua ada putra terbaik bangsa. Hanya berbeda gaya bahasa, Jokowi yang orang Solo tulen khas dengan keramahan dan suara lembutnya, gaya yang santai dan banyak bercanda. Kita semua tentu senang dengan gaya kepemimpinan yang asik dan merakyat. Beliau membawa gaya baru dalam definisi pemimpin di Indonesia.
Prabowo setengah Banyumas (Ayah) dan setengah Minahasa (Ibu). Banyumas memang ibarat Bataknya Jawa. Gaya Banyumasan lebih tinggi nada suaranya, sedikit ceplas ceplos dan terbuka dibanding jawa bagian Joglosemar (Jogja Solo Semarang) dengan tata bahasa krama inggil. Ditambah ibu yang dari Sulawesi dan latar bekalang militer. Wajar gaya bicaranya tegas dan berapi-api. Tapi tentu kita semua bangga jika punya pemimpin yang mampu berorasi dengan lantang dengan bahasa inggris yang fasih dalam memperjuangkan Palestina dan negeri tertindas lainnya di depan rapat PBB dan forum-forum internasional.
Jadi, baik gaya yang santai ataupun berapi-api ini hanya masalah selera pemilih saja, yang terpenting adalah keberpihakannya pada rakyat. Jika Jokowi bukan orang yang baik tidak mungkin Prabowo memperjuangkannya untuk maju sebagai Gubernur DKI, dimana dulu Megawati hampir tidak merestui, tapi Prabowo yang memperjuangkan.
Sebaliknya, anda yang meyakini Jokowi adalah orang baik, artinya harus juga meyakini Prabowo adalah orang baik. Karena munculnya Jokowi ke Jakarta tak lepas dari perjuangan Prabowo dan adiknya yang menyokong dana kampanye Jokowi. Jadi, stop terbawa arus informasi yang menghayutkan kita menjelek-jelekkan personal Capres. Kita harus kritis terhadap kebijakan dan program para Capres, tapi bukan menjatuhkan personalnya.
Kritik kebijakan dan programnya, bukan personalnya atau latar belakang keluarganya. Tugas kita berikutnya adalah mempelajari program yang ditawarkan dan mengenali siapa-siapa saja yang berada dibalik Sang Capres pilihan. Karena kita telah sepakat keduanya orang baik, tinggal kita menilai orang-orang di sekitar mereka.
Bagi yang tetap ingin menyerang personal Jokowi dan Prabowo, pertanyaan sederhananya:
Apakah anda sudah lebih baik dari Jokowi dan Prabowo?

*Salam kampanye sejuk!*
*Pemilu damai!*
*dan 17 April nanti,*
*selamat memilih salah satu diantara 2 putra terbaik bangsa.*

Rabu, 27 Maret 2019

Mnjelaskan Informasi yang Benar Kepada Masyarakat

Kabupaten Padang Pariaman di samping terkenal dengan nilai-nilai adat dan budaya, juga dikenal banyak menyimpan ulama. Sampai saat ini pesantren tradisional tempat mencetak kader ulama tetap utuh serta berkembang dengan nuansa yang cukup signifikan. Begitu juga para pengunjung ziarah dari berbagai daerah di Ranah Minang ini ke makam para ulama terdahulu cukup meningkat setiap tahunnya. Di samping mengunjungi makam Syekh Burhanuddin di Ulakan, para peziarah juga banyak mengunjungi makam ulama lainya, seperti makam Tuanku Shaliah di Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto.
Tuanku Shaliah adalah satu dari sekian ulama yang terkenal dengan keramat, banyak meninggalkan hal-hal yang menjadi penarik para pengagumnya. Saking keramatnya ulama yang satu ini, di sejumlah nagari di Padang Pariaman banyak ditemukan gubahnya. Menurut cerita masyarakat dulunya, bahwa yang dikuburkan di sejumlah tempat itu adalah rambutnya, kukunya sehingga banyak ditemukan gubahnya. Padahal yang jasadnya dimakamkan di Nagari Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto. Ulama yang wafat pada 1975 M itu juga mengeluarkan fatwa yang sulit dijawab pada zamanya. Sehingga untuk menjawab fatwanya itu butuh waktu. Bahkan ada jawabanya itu yang langsung dengan membuat sebuah benda yang tidak terjangkau oleh akal fikiran manusia. Seperti misalnya membuat sebuah kincir di atas bukit pada zaman dulu. Menurut logika masyarakat saat itu, kincir  mau hidup, apabila dibuat di sebuah sungai, karena kincir tidak akan hidup melainkan dengan adanya aliran air yang cukup deras.
Di zaman yang sarat dengan segala macam kesusahan itu, belum ada yang namanya huller untuk menggiling padi yang telah dipanen, seperti yang ditemukan pada zaman sekarang. Waktu itu yang ada hanya kincir. Nah, jawaban kincir yang dibuat Tuanku Shaliah di atas bukit itu, menurut masyarakat yang mengerti akan perilaku Tuanku Shaliah ini, adalah bakal banyaknya bertebaran huller atau kincir yang canggih, guna menggiling padi masyarakat dengan lebih cepat. Hal itu pun terbukti, beberapa tahun setelah Tuanku Shaliah membangun kincir di Nagari Ambung Kapur Sungai Sariak itu, banyak ditemukan huller di sekitar daerah tersebut.
Bagi masyarakat pengagum Tuanku Shaliah, banyak memajang foto beliau di rumah, warung serta tempat lainya. Kalau kita makan di rumah makan milik urang awak yang ada di Jakarta, Bandung, Semarang serta sejumlah daerah lainya di nusantara ini, banyak ditemukan para penjual nasi tersebut memajang foto Tuanku Shaliah. Ketika ditanya, mereka mengakui hanya sekedar melihat temanya yang lain memajang, maka dia pun melakukan hal yang sama. Kemudian juga menjadi sebuah kebanggaan bagi urang awak, karena hal itu menurutnya sebuah bentuk penghormatan kepada sang ulama yang bersangkutan.
Di saat Tuanku Shaliah meninggal dunia tahun 1975 M, banyak menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Terutama di kalangan masyarakat pengagumnya/jamaahnya. Seperti adanya timbul kabar pasca wafatnya ulama keramat itu, hilangnya jasad beliau ketika dimasukkan ke dalam lahatnya. Dan masih banyak lagi cerita yang timbul setelah ulama itu dikuburkan. Yang namanya berita, tentu dari satu sumber ke sumber satunya lagi menjadi bertambah-tambah ketika telah sampai di tengah masyarakat. Apalagi kala itu, media massa belum sebanyak zaman sekarang, sehingga tingkat kebohongan informasi sangat tinggi. Untuk mendapatkan informasi yang valid sangat susah.
Fenomena itu barangkali mutlak terjadi. Sebab, yang namanya ulama, tentu punya banyak jamaah serta masyarakat pengagum. Namun, kalaulah sampai kepada hal-hal yang ujungnya pengkultusan seseorang, ini tidak baik artinya. Hal itu juga berakibat merusak aqidah serta keyakinan seseorang dalam beragama.
Di sinilah Hadratus Syekh H. Abdullah Aminuddin, sang guru besar pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan meluruskan apa yang telah terjadi sebenarnya ketika peristiwa wafatnya Tuanku Shaliah tersebut. "Tidak benar jasadnya hilang. Saya ikut melihat, bahkan saya salah seorang yang masuk ke dalam kuburan untuk mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir. Saya sendiri yang membuka kapan bagian wajahnya, ketika telah sampai di dalam lahat," kata Abdullah Aminuddin saat menjelaskan peristiwa tersebut di tengah masyarakat Nagari Ulakan, kurang lebih setahun setelah Tuanku Shaliah Sungai Sariak meninggal.
Menurut Abdullah Aminuddin, selaku masyarakat yang beragama, kita jangan sampai terjebak kepada hal-hal yang tidak pernah terjadi. Sebab, hal itu akan merusak aqidah kita sendiri. Semua kita sama ketika telah berhadapan dengan Allah Swt, yang membedakan cuma tingkat ketaqwaan dari masing-masing kita terhadap-Nya. Menghormati ulama boleh. Bahkan dianjurkan dalam agama, tetapi fanatik kepada ulama, sampai kepada pengkultusan, ini sekali-kali jangan kita lakukan. Itulah pandangan Abdullah Aminuddin, terhadap fenomena yang terjadi pasca wafatnya sang ulama keramat tersebut.

Jumat, 15 Februari 2019

Aku Ingin Pulang

Tidak hanya Lubuk Pandan yang kehilangan, Padang Pariaman, bahkan Sumatra Barat juga kehilangan atas meninggalnya Hadratus Syekh H. Abdullah Aminuddin, Sabtu 2 November 1996 di RS. Ibnu Sina Gunuang Pangilun Padang. Ada satu cita-citanya yang masih tersisa. Apa gerangan?
Pondok Pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan yang biasanya sibuk dengan kegiatan pengajian, siang itu penuh sesak oleh banyaknya masyarakat, alumni, santri/wati serta para pelayat dari berbagai pesantren berbaur dalam suasana duka. Banyak yang datang jauh-jauh dari luar daerah, seperti dari Solok, Sawahlunto, Sijunjuang, Bukittinggi, Tanah Datar serta daerah lainya untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada Abdullah Aminuddin, pemilik pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum.
Sebagai salah satu pemuka agama yang disegani di daerah ini, kepergianya menyisakan rasa duka yang mendalam. Abdullah Aminuddin masuk rumah sakit karena menderita penyakit besar buah-buah, sehingga sewaktu datang sakitnya, sangat sulit untuk menahan. Penyakit tersebut dideritanya sejak usia kecil. Karena lamanya penyakit itu dideritanya, di usia lanjut penyakit itu tetap menjadi beban. Sebelum dirawat terakhir di Ibnu Sina Padang, penyakit tersebut di operasi pada tahun 1994. Sehingga buah-buah yang begitu besar, berkurang dan sakitnya pun tidak seperti semula. Hanya dua tahun setelah dioperasi, rasa sakit kembali merasuki tubuhnya, sehingga sulit untuk menahan. Setelah dipanggil bidan Eli Vambo, seorang bidan desa yang bertugas di Pakandangan mengobatinya, ternyata bidan desa itu merasa kesulitan. "Buya harus langsung dibawa ke Padang, karena harus dirawat secara intensif di rumah sakit," kata bidan Eli Vambo. Pagi Senin, di akhir bulan Oktober 1996, para anak buya serta santri ikut mengantarkannya ke Padang, Rumah Sakit Islam Ibnu Sina. Kendatipun sakit yang dideritanya sedemikian berat, yang namanya shalat berjamaah tidak pernah ditinggalkannya. Selama dirawat di rumah sakit, setiap kali waktu shalat masuk, salah seorang santri diminta mengimami shalatnya dalam keadaan tidur.
Begitu juga wirid-wirid yang lazim dibaca ketika masih sehat, tetap saja menjadi menu selama dia dipembaringan rumah sakit Islam itu. Setelah empat hari dirawat, Abdullah Aminuddin  minta pulang dari rumah sakit. Infus yang melekat di tanganya nyaris ditanggalkannya, lantaran tidak ingin lagi dirawat. Namun, karena dia selalu dalam pengawasan tim dokter dan para santri yang datang dan pergi silih berganti, Abdullah Aminullah berhasil ditenangkan, sehingga tidak jadi dibawa pulang saat itu.
Sebagai seorang ulama yang ‘alim, kata-kata "aku ingin pulang" yang sering dilontarkannya selama dirawat, ini jelas mengandung makna yang mendalam. Namun, tidak banyak yang tahu waktu itu. Karena anak dan santrinya sama-sama mempunyai optimis, bahwa Abdullah Aminullah harus hidup sekian tahun lagi. Untuk itu butuh perawatan dari seorang dokter. Tak seorang pun dari santri dan para keluarganya menginginkan beliau wafat saat itu.
Barangkali beliau ingin menghembuskan nafas terakhir dikelilingi oleh banyak santri, tapi apa boleh buat tidak ada yang berpandangan demikian saat itu. Rahasia itu diketahui saat beliau telah tiada, yakni Sabtu pagi sekitar pukul 08.00 WIB. Setelah mendengar berita itu, maka keputusan segera diambil santri dan keluarga yang menunggui. Sebagian disuruh duluan pulang untuk memberitahu pimpinan dan santri yang ada di pesantren. Selanjutnya dibagi tugas untuk menyampaikan berita duka tersebut. Maklum, waktu itu informasi dan komunikasi belum secanggih saat ini. Bagi keluarga yang tinggal di Jakarta, dikirim kabar dengan menggunakan telepon.
Tidak sampai satu jam santri yang duluan pulang tiba di pesantren, mobil ambulance milik RS Ibnu Sina telah meraung-raung di halaman pesantren. Aktivitas belajar mengajar saat itu terhenti. Ruangan aula di lantai dua sengaja dikosongkan setelah mendapatkan kabar. Rungan sangat sederhana itu telah dipenuhi tikar. Waktu terus berjalan, orang pun semakin banyak yang datang.
Di Minangkabau telah menjadi falsafah kehidupan, kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahambauan. Artinya, apabila mendengar berita kematian, apalagi yang meninggal itu seorang ulama yang disegani, punya banyak santri, maka masyarakat di lingkungan tempat ulama itu mengabdi akan berdatangan, menyaksikan wajah gurunya yang terakhir. Belum lagi karib kerabat beliau, yang juga menjadi ulama besar, turut hadir. Seperti tampak Syekh Ali Imran Hasan, pemilik pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan, Pakandangn, H. Zubir Tuanku Kuniang, pimpinan pesantren Nurul Ikhlas Pakandangan, serta sejumlah ulama lainya.
Seiring dengan perjalanan waktu, dimana menurut pengajian di kalangan kaum sarungan, kalau seseorang meninggal pagi, jangan tunggu mayatnya sampai siang, dan kalau meninggal siang jangan tunggu sampai sore. Artinya, karena Abdullah Aminuddin meninggal pagi, maka paling lambat usai shalat Zuhur jasadya harus dimakamkan. Proses demi proses terus berlanjut, seperti menggali kuburan di lokasi yang telah disediakan almarhum sebelum dia wafat. Yakni telah dikerangkakannya gubah yang berpas-pasan dengan mihrab pesantren Madrastul ’Ulum terus berlanjut. Untuk menggali kuburan tidak perlu lama-lama, lantaran banyaknya santri, alumni serta masyarakat yang bergantian. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kuburan serta lahatnya yang cukup dalam itu selesai dikerjakan.
Begitu juga proses memandikan dilangsungkan secara bersama-sama. Ketika tiba giliran menshalatkan, maka banyak pihak mengkawatirkan akan runtuhnya lantai dua bangunan pesantren Madrasatul ’Ulum dengan banyaknya orang yang ikut menshalatkan. Lantai dua terbuat dari kayu yang telah lama dibangun. "Kira-kira dengan keadaan anjungan ini, sanggup ndak menampung jamaah sebanyak ini," kata AB. Datuak Rajo Api, tokoh masyarakat Lubuk Pandan kepada Afredison, AR. "Insya Allah sanggup Pak. Sebab, anjungan ini cukup kuat, dan tonggaknya pun banyak yang menahan di bawah," jawab Afredison.
Shalat dipimpin anak kandung beliau yang tua, Amiruddin Shaleh. Menjelang beliau dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir, pesan bagi orang yang hidup disampaikan oleh khalifanya, H. Marzuki Tuanku Nan Basa. Sekitar pukul 14.00 WIB, Abdullah Aminuddin selesai dikuburkan. Tinggallah para pewaris yang hidup bercerita tentang suka duka yang dihadapi selama Abdullah Aminuddin sakit. Begitu juga cerita tentang minta pulang dari rumah sakit, menjadi cerita sejarah yang tidak akan dilupakan oleh santri yang menyaksikan langsung saat beliau dirawat di rumah sakit.
Usaha keras yang telah dilakoni Abdullah Aminuddin, membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Selain mengasuh pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum, dia juga sempat beraktivitas di organisasi Islam PERTI. Setidaknya, jalur organisasi yang pernah menjadi partai politik yang dimasukinya sejak muda itu telah menunjukan hasilnya. Terakhir kali beliau mengikuti kegiatan PERTI adalah saat Musda PERTI Sumatera Barat di Payakumbuah pada 1993. Kematangannya di organisasi ini, juga dibarengi dengan seorang kadernya yang cukup potensial; H. Buchari Rauf. Politisi yang memilih aktif di PPP ini sempat mewarnai percaturan politik di tingkat Sumatera Barat.
Ketika duduk di DPRD Sumbar periode 1992-1997, Buchari Rauf dikenal vokalis, idealis sehingga disebut-sebut waktu itu salah seorang penghalang tidak dibangunnya jalan menuju pesantren Madrasatul 'Ulum. Maklum, waktu itu siapa yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah, alias tidak mau masuk Golkar, jangan harap akan ada perbaikan infrastruktur menuju lembaga yang terafiliasi ke partai selain Golkar. Termasuk jalan menuju rumah Buchari Rauf sendiri, baru era reformasi ini diaspal. Padahal jalan lain telah duluan diaspal. Cuma jalan yang satu itu, bahkan nampak disengaja untuk ditinggalkan.
Kini, nama Abdullah Aminuddin tinggal sebuah kenangan. Penyakit besar buah-buah telah membetotnya dari keluarga, santri, alumni dan masyarakat ini kepangkuan-Nya. "Penyakit itu kan dari Allah dan yang menyembuhkannya, ya hanya Allah, jadi ngapain lama-lama dirawat. Kalau bisa dirawat di rumah, ya di rumah saja," begitu ungkapannya saat dirawat di rumah sakit.
Jadi, cita-cita beliau ingin pulang kepada Sang Khalik-Nya di hadapan santri dan di atas surau yang beliau bangun tidak kesampaian. Itu barangkali cita-cita beliau yang tidak kesampaian. Sementara, usaha untuk menghidupkan pesantren sepeninggal beliau, telah diwariskan kepada orang yang pernah menjadi santrinya di era 1970-an.

Kamis, 14 Februari 2019

Mengapa Usaha Pemisahan Agama dan Politik akan Selalu Gagal?

Telepon berdering. Sebuah pesan masuk. Saya membukanya. Sebuah teks segera menyembul di layar ponsel. Sebuah pesan dari seorang kawan. Bunyi pesannya seperti ini: apakah politik harus dipisahkan dari agama?

Saya menutup pesan itu. Saya tidak langsung mengirimkan jawaban. Saya harus putuskan untuk terlebih dahulu memelajari arah, maksud, dan juga corak pertanyaan itu. Bukan apa-apa, sebab beberapa kali saya terjebak pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya bukan ditujukan dan dimaksudkan untuk beroleh jawaban, namun lebih kepada semacam tes pandangan dan sikap semata.

Biasanya, jika jawaban yang saya kasih itu sama dan cocok dengan keinginan penanya, maka ia hanya akan membalas dengan seutas senyum berwujud emoticon. Sebaliknya jika jawaban yang saya lemparkan berbeda dengan pendapatnya maka arsenal-arsenal pertanyaannya membombardir saya. Perang argumentasi pun tak bisa dihindari sampai kemudian kita sama-sama bersepakat untuk melakukan gencatan senjata dan mengakhiri peperangan.

“Berdebat itu capek,” kata seorang teman. Saya setuju. Rasa capek, Anda tahu, adalah sejenis penyakit yang bisa begitu saja ditimbulkan oleh setidaknya dua hal. Pertama fisik. Kedua psikis atau pikiran.

Orang bisa saja seharian melongo di depan komputer di tengah tumpukan tugas dan beban kerjaan yang semakin bejibun. Tak ada yang ia perbuat selain membayangkan betapa tugasnya sangat berat, semakin berat, seolah tiada yang lebih berat. Membayangkan pekerjaan dan tugasnya yang rumitnya

masya Allah itu saja sudah capek, apalagi benar-benar mengerjakannya. Dari sanalah ada sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa orang-orang yang sibuk dalam pikiran itu juga memiliki potensi capek yang sangat tinggi, sama tingginya dengan potensi capek yang dialami oleh pekerja bangunan misalnya.

Kembali ke pesan pendek dia atas. Setelah saya renungkan, saya menemukan jawaban yang tentu saja saya kirimkan dengan penuh rasa kehatia-hatian.

“Tidak,” demikian jawaban yang saya kirimkan. Tidak perlu menunggu waktu lama. Sekejap kemudian kawan saya itu mengirimkan balasan “Lho, kok

bisa? Kegaduhan Negara kita akhir-akhir ini kan disebabkan karena politik dicampuradukkan dengan agama,” tulisnya.

Saya putuskan tidak menjawab gugatan itu. Saya hanya membalasanya dengan ingatan saja. Saya membayangkan betapa ngerinya jika benar politik itu

dijauhkan dari agama. Al-Ghazali, sufi, mistikus, sekaligus pemikir besar pernah bilang dalam opusnya Ihya Ulumuddin “agama dan kekuasaan adalah

saudara kembar. Agama adalah pondasi, sedangkan penguasa adalah penjaganya. Dan apa-apa yang tidak ada pondasinya maka ia akan runtuh. Demikian juga apa-apa yang tidak memiliki penjaga maka dia akan lenyap.”

Pangkal soal dari kegaduhan politik akhir-akhir ini saya pikir bukan pada campuraduknya agama dengan urusan politik. Sama sekali bukan. Saya

memandang justru kedangkalan pemahaman dan keringnya penghayatan pemeluk agamalah yang menyebabkan kita menjadi gaduh, rewel, cerewet , dan cenderung anti perbedaan.

Jika benar demikian pangkal soalnya, tentu saja pertanyaan kawan di atas yang saya yakin diilhami dari pernyataan Presiden Jokowi di Barus,

Tapanuli Tengah beberapa waktu lalu itu kurang tepat. Sebab urusan politik itu tentu saja akan beres jika pemeluk agamanya beres dengan urusan dirinya sendiri dahulu.

Agama itu religi, lalu kita akan kelimpungan jika ditanya, di bagian mana pada kehidupan itu yang tidak berdimensi religi? Semuanya. Semuanya

mengandung aspek religiositas. Tinggal bagaimana kita menyikapi, mengambil pelajaran, dan terus belajar. Untuk sebuah peristiwa yang dianggap jorok dan tabu dibicarakan di depan khlayak misalnya berak, apakah berak religious ataukah tidak?

Bagi kita yang cerdas dan mendayagunakan akal dengan jernih maka akan mendapatkan jawaban dan kesimpulan bahwa berak adalah peristiwa religius.

Sebab dengan menghayati keutuhan peristiwa berak mulai mekanisme sampai proses pengelolaannya, kita akan memiliki kesempatan dan potensi untuk

menjadikannya sebagai bahan bakar dan pelajaran agar kita menjadi lebih dekat dan ingat kepada kekuasaan Tuhan.

Sebaliknya, bagi orang-orang yang cekak dan cupet cara berpikirnya, ia pasti akan mengatakan bahwa peristiwa berak itu tidak boleh dihubungkan

dengan kebesaran Tuhan. Sebab Tuhan tidak boleh dihubungkan dengan peristiwa-peritiwan yang jorok. Itu perbuatan yang merendahkan Tuhan. Menistakan dan menurunkan derajat kemuliaan Tuhan.

Kepada mereka, ingin sekali saya katakan bahwa hidup itu bukan soal apa yang kita hadapi dan berada di depan mata kita. Hidup itu soal bagaimana

cara kita memandang dan menghadapi perkakas dan persoalan yang ada di depan hidung kita. Hidup bukan soal apa, tapi soal bagaimana. Kalau kita

hanya berkonsetrasi kepada apa, maka selamanya tinja itu tetaplah tinja. Namun sebaliknya jika kita berpikiran bagaimana, maka tinja itu dimensinya menjadi luas. Tergantung kreativitas cara berpikir kita.

Orang Indonesia, berdasarkan penelitian terbaru, katanya tingkat religiositasnya tinggi. 98% bilang bahwa agama penting. Oleh sebuah penelitian,

Indonseia masuk menjadi jajaran negara dengan tingkat religiositas penduduk yang jempolan. Saya agak ragu dan menaruh rasa curiga kepada penelitian itu.

Kadar religiositas itu ukurannya bukan pada ucapan, tapi pada tindakan. Kita kerap keliru mengukur religiositas dari input bukan dari output.

Misalnya kita gegabah menyimpulakn orang itu alim dan religius sebab saban hari pergi ke masjid, jamaahnya tidak pernah telat, jidatnya hitam

karena saking seringnya sujud. Padahal puncak serta produk (output) dari shalat adalah tercegahnya dari perbuatan nahi dan munkar. Alat ukur yang

keliru, tentu saja menyebabkan kesimpulan yang keliru. Kesimpulan yang keliru akan menyebabkan virus pemahaman yang keliru.

“Rata-rata kita, orang yang mengaku beragama, baru bisa membaca syahadat. Sebagai pemeluk agama, kita belum pernah benar-benar bersyahadat bahwa

Tuhan itu ada dan Muhammad itu utusan-Nya yang harus kita teladani,” kata seorang bijak.

Membaca syahadat dengan bersyahadat adalah dua hal yang berbeda. Kalau orang sudah benar-benar bersyahadat maka ia akan religius dan agamis.

Kalau orang sudah agamis maka ia akan memiliki rambu-rambu dalam dirinya yang berfungsi untuk memberi petunjuk mana perbuatan yang baik dan mana yang patut ditinggalkan.

Agama dalam konteks seperti ini tidak boleh dipisahkan dengan politik. Entah dan beda lagi misalnya jika yang dimaksudkan adalah agama sebagai

institusi atau industri, barangkali keduanya harus bukan saja dipisahkan dari politik dan kekusaan, tapi mungkin juga harus enyah dari muka bumi ini.

Menangislah Jika Agama Berada di Tangan Orang yang Tidak Berkompeten

Pada akhir tahun 1995, para santri dan santriwati yang menjadi marapulai tafsir/kelas tujuh di pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan, selesai melakukan tugasnya selaku marapulai tersebut. Akhir tahun pelajaran pun segera tiba, mengingat suasana bakal memasuki bulan Ramadhan pada tahun itu. Lazim setiap santri yang tamat marapulai melakukan acara kenduri/do’a keselamatan yang dipimpin oleh buya, dengan menghadirkan sejumlah undangan dari masyarakat setempat,  keluarga di kampung santri dan seluruh alumni pesantren yang tersebar di beberapa nagari di Minangkabau. Saat kenduri itulah sang buya memberikan sebuah ijazah kepada santri yang telah menyelesaikan tugasnya sebagai marapulai.
Sebelum acara kenduri dilangsungkan, datanglah salah seorang keluarga santri yang akan menamatkan marapulai menemui Buya Abdullah Aminuddin. Kedatangan keluarga yang merupakan orangtua dan beberapa orang mamak dari santri, biasanya di saat Buya Abdullah Aminuddin tengah istirahat usai melakukan shalat Zuhur. Dalam pertemuan mereka dengan Buya Abdullah Aminuddin tidak banyak yang dibicarakan, hanya mereka minta satu kepada buya, agar anaknya yang akan menamatkan marapulai tahun itu diberikan gelar tuanku.
Buya yang didampingi pimpinan pesantren, H. Marzuki Tuanku Nan Basa, setelah mendengarkan permintaan dari tamu yang hadir, lalu menjawab dengan bahasa yang sangat sederhana sekali. Di Madrasatul ‘Ulum tidak ada istilah titik dari langit. Yang ada hanya bosek dari bumi. Mendengar jawaban seperti itu, sang tamu yang merupakan keluarga dari santri yang akan menamatkan marapulai tersebut, kurang memahami maksud dan tujuan dari jawaban Abdullah Aminuddin. Marzuki sebagai pendamping Buya Abdullah Aminuddin menerjemahkan apa maksudnya. Artinya di Lubuk Pandan tidak ada selama ini buya yang memberikan gelar tuanku kepada santrinya. Cuma yang ada, gelar tuanku itu diberikan oleh keluarga dari santri yang bersangkutan.
Mendengar jawaban dari pimpinan itu, keluarga santri yang bersangkutan melakukan rembuk dengan sang pimpinan. Setelah terjadi pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya santri yang akan menamatkan marapulai itu, tetap juga diberikan gelar tuanku. Namun, gelar yang diajukan tetap pemberian dari keluarganya. Apapun gelar tuanku yang akan diberikan kepada santri, Buya Abdullah Aminuddin tidak sedikitpun melakukan intervensi kepada keluarga santri dimaksud.
"Silakan gelar siapa di antara mamak, atau ayah dari santri yang akan dipakainya. Sebab, persoalan itu yang paling tahu dan merasakan adalah keluarga santri itu sendiri. Termasuk soal sudah cocok atau belumnya santri tersebut diberikan gelar tuanku, itu semua terpulang kepada keluarganya," kata buya meyakinkan tamu dari keluarga santri yang ingin meminta gelar tuanku.
Kenapa pendiri Madrasatul ‘Ulum, Abdullah Aminuddin yang lazim dengan panggilan Tuanku Shaliah oleh masyarakat itu tidak mau memberikan gelar tuanku kepada santrinya? Tidak ada santri yang mengetahuinya. Begitu juga para alumni, tidak banyak yang tahu. Barangkali karena beliau tidak juga diberikan gelar oleh gurunya setelah menamatkan studinya di MTI Jaho, Padang Panjang dulunya. Gelar yang dia pakai, murni pemberian masyarakat yang melihat dan menyaksikan beliau sejak kecil selalu taat melakukan amalan-amalan yang berkaitan dengan hablum minallah. Mungkin itu salah satu alasan yang menyebabkan beliau tidak pernah memberikan gelar tuanku kepada santrinya.
Madrasatul ‘Ulum sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu nahwu sharaf (tata bahasa Arab). Artinya, dalam hidup bermasyarakat nantinya di saat santri telah berada di lingkungan masyarakat, tidak perlu yang namanya penampilan, tetapi yang dibutuhkan adalah kemahiran dan ke’aliman, sehingga mampu mengajak masyarakat menuju kebaikan dan mencegah kepada perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma agama.
Begitu juga seseorang bisa dikatakan ulama, dalam pandangan masyarakat memiliki kualifikasi tersendiri. Menurut Chumaidi Syarief Romas, kiai dalam pandangan masyarakat Islam merupakan tokoh spiritual yang sederhana, jujur, tulus dan berdedikasi tinggi dalam mengajarkan agama, tanpa pamrih dan zuhud. Oleh sebab itu pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mampu mengisi kekosongan spiritual dan meningkatkan gairah beragama bagi santri. (Lebih lanjut lihat buku Kekerasan Dalam Kerajaan Surgawi). 
Soal kepribadian dan kepiawaikan dalam mendidik, cukup masyarakat yang melakukan penilaian. Itu haknya masyarakat. Sementara santri dituntut hanya mengabdikan diri, mengembangkan ilmu yang telah dituntut selama di pesantren. Ilmu apabila diajarkan, maka kepandaian  akan semakin bertambah dan bertambah. Tetapi kalau usai mengaji, tidak melakukan pengembangan terhadap ilmu yang telah dipelajari dengan mengajar, maka tunggu sajalah dalam waktu sekejab seluruh ilmu itu akan hilang sendirinya, kata Abdullah Aminuddin suatu ketika.
Sang guru besar pesantren ini sangat menekankan kepada para lulusan Madrasatul ‘Ulum untuk selalu dalam keadaan mengajar. Sebaik-baik untung urang siak (sebuatan lain bagi orang yang bergelar tuanku, labai serta pendampingnya di Pariaman) adalah kalau dia mau mengajar nantinya, dikala dia tidak lagi aktif di pesantren tempat dia menuntut ilmu. Ulama malinnya dek anak sasian. Artinya, seorang ulama itu dianggap ‘alim, manakala dia memiliki santri yang banyak. Sebuah pesantren yang memiliki santri ratusan orang, maka pengasuhnya/ulama yang mendidik di situ boleh dikatakan pintar/’alim dalam berbagai disiplin ilmu yang tersebar dalam kitab kuning.
Kesungguhan Abdullah Aminuddin untuk selalu mengajak para santrinya agar tidak merasa bosan nantinya dalam melakukan pendidikan terhadap santri, dibuktikan sendiri oleh beliau. Di mana dia sepanjang hayatnya hanya menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengajar. Di dunia pesantren, mengajar penting artinya, mengingat meningkatnya ilmu yang telah kita peroleh. Kemudian, agar jangan sampai agama ini dipegang oleh yang bukan ahlinya, seperti apa yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, melalui hadistnya : "Janganlah menangis selagi urusan agama masih di tangan para ahlinya, tetapi menangislah jika agama berada di tangan orang yang tidak berkompeten".
Inilah yang sebenarnya yang ditakutkan oleh Abdullah Aminuddin, di kala santri/para lulusan/hasil didikannya, banyak yang tidak melakukan aktivitas pendidikan surau/pesantren. Makanya, walaupun usianya telah tua, dan khalifahnya juga telah ada, saat masyarakat meminta santrinya untuk mengajar di suraunya, beliau langsung yang mengantarkan santri yang mau pergi mengajar di sebuah surau yang diminta oleh masyarakat tersebut.
Mengantarkan santri ke tempat pengabdian itu penting bagi Abdullah Aminuddin. Sebab, ada sejumlah pesan yang disampaikannya langsung kepada santri bersangkutan, agar jangan sampai mencemarkan nama baik Madrasatul ‘Ulum di lingkungan tempat santri itu mengembangkan ilmunya. Selain itu juga nasehat disampaikan saat menyerahkan santri kepada masyarakat. Kehadiran santrinya di lingkungan masyarakat tersebut, merupakan wakil dari Abdullah Aminuddin sendiri serta wakil Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan, sebagai lembaga pendidikan. Di mana santri tersebut dibesarkan dengan berbagai ilmu dan tradisi ke-Islam-an.
Demikian antara lain perbedaan antara pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan dengan pesantren salafiyah lainnya di Padang Pariaman, dalam memberikan gelar tuanku kepada santrinya. Begitu juga di antara sesama alumni Madrasatul ‘Ulum, jarang memanggil tuanku, kecuali dengan panggilan yang biasanya mereka pakai dulunya semasa jadi santri, yakni dengan panggilan 'guru tuo'. Panggilan tersebut merupakan dinamika pesantren salafiyan di daerah ini, di antara yang senior dengan yuniornya. Artinya, yang yunior selalu memanggil seniornya dengan panggilan guru tuo.

Sabtu, 02 Februari 2019

Mubes Alumni dan Masa Depan Madrasatul ‘Ulum

Kalau memang ada untungnya untuk perkembangan pesantren, sebaiknya organisasi alumni dibentuk. Tetapi kalau hanya sekedar membuat nama yang tidak ada kontribusinya kepada pesantren, sebainya tidak usah kita buat organisasi alumni tersebut. Demikian antara lain pernyataan Ketua
Umum pengurus pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan, Drs. H. Buchari Rauf Sabtu 14 Juli 2007, ketika memberikan tanggapan tentang perlu atau tidaknya dibentuk organisasi alumni saat Musyawarah Besar (Mubes) I alumni Madrasatul ‘Ulum.
Pernyataan Buchari Rauf itu memang benar adanya. Dulu diawal kepemimpinan H. Marzuki Tuanku Nan Basa pernah juga dibuat kelompok alumni, tetapi setelah terbentuk tidak ada yang dilakukan oleh kelompok alumni, terutama yang berhubungan dengan kemajuan pesantren. Padahal waktu itu struktur organisasinya lengkap dengan lembaga, yang kalau diatas kertas bakal mampu menopang kemajuan yang terus dilakukan oleh pesantren. Kenyataanya organisasi alumni hanya sekedar nama, sementara yang menggerakkan roda pesantren tetap saja pimpinan bersama majelis guru yang ada.
Kini, dengan semangat kebersamaan serta persatuan dan kesatuan, dari seluruh alumni yang hadir saat Mubes I tersebut sepakat/setuju membentuk persatuan alumni yang diberi nama Ikatan Alumni Pondok Pesantren Madrasatul ‘Ulum (IAPPMU). Dalam pemilihan yang memakai sistim
formatur, terpilih Latiful Kabir Tuanku Kaciak sebagai Ketua Umum dan H. Zulkifli Zakaria sebagai Sekretaris Umum untuk periode 2007-2010. Dalam sambutan singkatnya, Latiful Kabir mengajak seluruh pengurus yang telah terbentuk untuk bersama-sama membangun organisasi yang telah dibentuk bersama.
"Kedepan kita jadikan Madrasatul ‘Ulum memiliki ciri khas tersendiri yang mampu menggaet santri sebanyak mungkin. Seperti mengembalikan pesantren ini kepada asalnya, dimana sewaktu pesantren itu masih dikelola oleh buya Abdullah Aminuddin dulu pernah memecahkan rekor sebagai
pesantren yang terkenal dengan nahwu sharaf. Kemudian juga akan kita jadikan Madrasatul ‘Ulum ini sebagai tempat hafiz Al-Quran, sehingga nantinya lembaga ini mampu melahirkan para hafiz dan hafizah," kata pengusaha rumah makan pondok baselo Lubuk Idai itu dengan semangat yang
menggebu-gebu.
Mungkinkah impian itu terwujud? Tergantung dari pengurus IAPPMU yang telah terbentuk. Sejauh mana mereka mampu mengelola organisasi dengan baik. Memang membuat program dalam sebuah organisasi sangat gampang, tetapi menjalankannya tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi sebuah program dalam tubuh organisasi sosial kemasyarakatan yang pakai bendahara, tetapi tidak ada sumber dana yang jelas. Kemudian kepedulian dari seluruh pengurus terhadap kemajuan organisasi juga menjadi sebuah keharusan. Sebab, dalam berorganisasi yang perlu diterapkan adalah, bagaimana mampu menghidupkan organisasi, tidak dengan bagaimana kita bisa hidup dalam organisasi bersangkutan.
Berorganisasi memang harus mau dan mampu berkorban. Apakah itu materi, pemikiran, tenaga dan waktu yang dalam dunia bisnis sangat bertentangan. Berorganisasi sama dengan berjuang yang tidak ada harapan yang bisa diperoleh, selain dari pengabdian kepada sebuah organisasi yang
mungkin Tuhan akan memberikan ganjaran setimpal dengan amal perbuatan yang dilakukan dalam organisasi.
Alumni yang tergabung dalam mengelola IAPPMU, nampaknya telah memperlihatkan komitmennya untuk bersama-sama mengelola organisasi tersebut. Begitu juga harapan dari pimpinan pesantren, Marzuki terhadap IAPPMU sangat mengharapkan adanya kontribusi pemikiran terhadap kemajuan pesantren tersebut dimasa mendatang. Sebab, selama ini Marzuki merasa berjalan sendirian, tanpa adanya teman dalam berbagi suka dan duka membangun serta melanjutkan apa yang telah digariskan oleh pendahulunya.
Memang mewujudkan sebuah kemajuan di Madrasatul ‘Ulum, membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Sebutlah pemerintah, alumni, orangtua santri serta masyarakat. Dengan lahirnya IAPPMU, setidaknya mampu memberikan warna tersendiri dalam menggapai kemajuan yang diharapkan bersama.
Organisasi alumni juga diharapkan mampu menghimpun seluruh alumni yang tersebar diberbagai daerah di Sumbar ini. Kalau seluruh kekuatan alumni telah bersatu, tidak tertutup kemungkinan seluruh cita-cita akan terwujud dengan sendirinya. Kita tahu, betapa banyak alumni pesantren ini yang melakukan berbagai aktivitas, bila disatukan bakal menjadi kekuatan yang akan menopang kemajuan Madrasatul ‘Ulum. Alumni merupakan sebuah benang merah yang akan menentukan sebuah kemajuan, baik itu kemajuan fisik maupun kemajuan peradaban pesantren itu sendiri, dalam membentuk karakteristik ulama yang mumpuni. Sebab, yang namanya alumni banyak melihat/mengamati perkembangan pendidikan diluar. Berdasarkan itulah mereka memberikan masukan terhadap kemajuan untuk almamaternya.
Dengan adanya wadah alumni, juga diharapkan mampu mempopulerkan Madrasatul ‘Ulum di kalangan eksternal. Soal baik buruknya sebuah lembaga, tentu orang yang pernah dididik dan dibesarkan di lembaga yang bersangkutan cukup tahu. Banyak cara yang harus di lakukan untuk mempopulerkan pesantren tersebut. Seperti dengan melakukan ekspos, memberikan suppor kepada para mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi agar mengambil skripsi/tesis tentang pondok pesantren salafiyah. Tinggal lagi kemauan serta kemampuan dari alumni yang bersangkutan untuk melakukan hal itu. Dan juga tidak tertutup kemungkinan dengan membentuk lembaga penelitian dan pengembangan pada IAPPMU, dengan menempatkan mereka yang mampu terhadap hal itu.
Saat ini betapa banyak pihak lain, seperti mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi yang melakukan penelitian tentang pesantren. Kebanyakan hasil penelitian yang dilakukan pihak luar itu, kurang terekspos apa sebenarnya yang ada di pesantren. Nah,
penelitian yang semacam itu, akan lebih baik dan sempurna apabila dilakukan oleh alumni atau orang yang pernah mondok dulunya.
Menurut Fahmi Arif El Muniry, saat ini banyak sekali penelitian-penelitian yang mengungkap tentang fenomena pesantren. Mulai dari "anarkisme" yang ada di dalamnya, atau wacana "terorisme" yang lagi mengemuka. Tentu, kenyataan ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang masih sangat minim tentang penelitian-penelitian yang "berbau" pesantren. Namun, dari sekian banyak penelitian-penelitian yang disajikan, sangat sedikit yang dilakukan sendiri oleh "orang dalam" dari pesantren itu sendiri. Kebanyakan, kalau mau menyebut tidak ada, penelitian-penelitian itu
dilakukan oleh "orang luar". Pesantren masih menjadi maf’ul, belum melangkah menjadi fa’el. Padahal, kondisi seperti ini tidak diterima oleh pesantren itu sendiri.
"Tentu, fenomena seperti ini sangat disayangkan. Pesantren belum mengatakan bahwa "inilah saya". Pesantren belum menyuarakan jati dirinya. Misterius. Implikasi dari semua ini, analisis dan penelitian yang mengemuka, menjadi temuan yang hambar dan kering, belum mengungkap
dari akar-akar permasalahan yang sebenarnya," kata Fahmi Arif yang juga alumni pondok pesantren Futuhiyah Mranggen, Demak, Jawa Tengah ini. (Lihat Fahmi Arief dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, Edisi II Tahun IV 2006 hal. 74).

Dilahirkan dari Seorang Ulama

Nagari Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung terkenal dengan "Serambi Mekkah"-nya Padang Pariaman. Betapa tidak, di nagari inilah terlahir ribuan ulama yang tersebar di Ranah Minang ini. Hal itu tentu dengan banyaknya berdiri pesantren yang mengembangkan kitab kuning, guna mencetak kader intelektual dan ulama di nagari itu. Abdullah Aminuddin yang lazim disebut dengan Tuanku Shaliah Pengka oleh masyarakat itu, juga dilahirkan di Pakandangan pada 1908 M, dari pasangan Syekh Mukaddam seorang ulama besar di Sungai Rotan, Pariaman di zamanya dengan Hj. Tiambun asal Jambak, Pakandangan.
Kebesaran Syekh Mukaddam ini di zaman yang dikenal dengan Kolonial Belanda itu, cukup terkenal di Sungai Rotan yang sekarang telah menjadi wilayah Kota Pariaman. Banyak para santri yang belajar menuntut ilmu di Sungai Rotan kala itu dari Syekh Mukaddam ini. Bahkan ayah Buya Hamka, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah yang populer dengan panggilan Syekh Haji Rasul pernah belajar di sana sebelum belajar ke Makkah Al-Mukarramah, (baca buku Ulama-ulama Oposan). Disaat itulah Syekh Mukaddam mengembangkan lembaga pendidikan ala surau hingga dia memperoleh keturunan seorang anak yang diberi nama Abdullah Aminuddin, yang kelak juga mendirikan pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum di Nagari Lubuk Pandan, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung.
Sebelum Abdullah Aminuddin mendirikan Madrasatul ‘Ulum pada 1940 M, ia telah mengembara kesana-kemari mencari berbagai ilmu yang kelak beliau kembangkan di pesantrenya itu. Begitu juga suka duka untuk mendirikan sebuah lembaga, tentu banyak dialami pemuda Abdullah Aminuddin. Maklum, waktu itu masih dalam suasana upaya mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Namun, berkat kerja sama yang baik dari semua pihak, baik masyarakat Lubuk Pandan, maupun santri yang ada waktu itu, Madrasatul ‘Ulum berdiri dengan sangat sederhana.
Salah seorang alumni Madrasatul ‘Ulum, Drs. H. Buchari Rauf menyebutkan, peranan santri sangat menonjol dalam pembangunan sarana pesantren ini. Sehingga santri berfungsi ganda waktu itu. Di satu sisi sebagai seorang santri yang tengah menuntut ilmu, dan di sisi lain juga sebagai pengurus yang harus memikirkan serta mengerjakan, bagaimana bangunan pesantren yang sederhana bisa terwujud. Sebab, sebelum adanya bangunan milik pesantren, para santri harus numpang di surau-surau milik masyarakat. Kendati pun demikian, keduanya tetap sukses, sesuai dengan citi-cita dan harapan dari santri yang datang ke Lubuk Pandan.
Banyak suka duka yang dialami ketika mencari dana pembangunan pesantren ini. Walau pun surat yang kita buat sampai ditandatangani oleh Gubernur Sumatra Barat waktu itu, tetapi yang namanya rintangan dan tantangan tetap juga ditemui di lapangan. Itulah sebuah risiko untuk melakukan perjuangan. Tugas mencari donator, memang banyak saya yang menangani. Sebab, saya sebagai Sekretaris bangunan pesantren waktu itu, dan juga buya hanya banyak mempercayai masalah mencari dana ini kepada saya. Disamping upaya mencari donator ke berbagai daerah, mencari uang dengan cara bersama, yakni ketika bulan Syafar, dimana masyarakat muslim banyak yang melakukan ziarah ke Ulakan. Nah, kita atas nama santri Madrasatul ‘Ulum minta izin kepada masyarakat Nan Sabaris, untuk menstop mobil-mobil yang lewat, guna dimintai sumbangan untuk pembangunan pesantren dimaksud, kata Buchari Rauf.
Dengan kepiawaian itu, buya tidak mau melepaskan saya sebagai pengurus pembangunan pesantren, sampai-sampai saya menjadi anggota DPRD Padang Pariaman (1977-1982), tetap saja menjadi pengurus pembangunan. Sebagai seorang anggota dewan, saya tetap memperjuangkan pembangunan gedung milik pesantren itu. Namun, disini yang dapat nama itu adalah Iskandar Tuanku Mudo (Alm), karena dia kala itu yang mendampingi buya dalam proses belajar mengajar di pesantren. Terakhir, bantuan saya yang berkesan dibidang pembangunan, ketika saya duduk di DPRD Sumbar pada 1992-1997, diakhir tugas saya selaku wakil rakyat, anggaran pembangunan pesantren Madrastul ‘Ulum berhasil dimasukkan ke dalam APBD Sumbar, sehingga berhasil mendapatkan dana sebanyak Rp7 juta. Untung saja waktu diberikan kepada saya tidak berupa uang, melaikan berupa ceks, sehingga uang yang sebanyak itu utuh sampai di pesantren, dan berhasil membangun lokal sebanyak dua lokal dengan bangunan permanen dan bertingkat, yang insya Allah bangunan itu bisa ditingkatkan mencapai empat lantai, lanjut Buchari Rauf. (Wawancara dengan H. Buchari Rauf, Sabtu (4 Februari 2006, di kediamannya, Ringan-Ringan, Pakndangan). 
Untuk menjadi seorang ulama tidak mudah. Banyak onak dan duri yang harus dilalui, perlu menuntut ilmu kepada banyak ulama, sehingga kelak memiliki referensi yang banyak dalam menghadapi tantangan zaman. Agaknya prinsip ini yang dipakai Abdullah Aminuddin sebelum mendirikan lembaga pendidikan agama, pondok pesantren yang menurut banyak pihak merupakan lembaga pendidikan tertua di nusantara ini. Di usia 8 tahun ia telah meninggalkan kampung halamanya Pakandangan, untuk menuntut ilmu Al-Quran ke Nagari Ulakan dengan seorang ulama yang bernama Tuanku Bonta. Selesai di Ulakan, ia melanjutkan studinya tentang ilmu Sharaf dengan Tuanku Angin di Koto Tangah, Padang pada 1918 M.
Kurang lebih dua tahun di Padang, Abdullah Aminuddin melanjutkan pendidikannya ke Nagari Bintungan Tinggi, Kecamatan Nan Sabaris Padang Pariaman dengan Tuanku Abdurrahman yang dikenal dengan Syekh Bintungan Tinggi, guna mendalami ilmu fiqh (hukum Islam). Merasa kurang puas di Bintungan Tinggi, Abdullah Aminuddin kembali ke Ulakan, untuk mendalami ilmu fiqh tersebut. Kemudian setelah bumi Padang Panjang digoyang gempa pada 1926 M, Abdullah Aminuddin melanjutkan studinya ke Kamumuan Kecamatan Sungai Limau dan Manggopoh, Kabupaten Agam dengan Tuanku Muaro yang cukup memiliki kharisma.
Ilmu semakin dituntut, maka semakin terasa pula kekurangan yang dimiliki seseorang. Dengan semangat demikian, Abdullah Aminuddin setelah di Manggopoh, kembali mendalami ilmu yang tersebar di dalam kitab kuning itu ke Ampalu Tinggi, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman dengan Syekh Muhammad Yatim atau yang dikenal dengan Tuanku Mudiak Padang. Selama tiga tahun ia di Ampalu Tinggi, lalu pindah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dengan seorang ulama, yakni Syekh Tuanku Aluma (kakek dari Ismed Ismael Tuanku Mudo, anggota DPRD Sumbar 2004-2009).
Selesai di Koto Tuo, Abdullah Aminuddin melanjutkan studinya secara formal ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Jaho Padang Panjang bersama Syekh Muhammad Djamil Jaho, salah seorang ulama pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang terkenal dengan sebutan Inyiak Jaho. Pada bulan Rabi’ul Akhir 1315 H atau 26 Agustus 1932 M, Abdullah Aminuddin menyelesaikan studinya di Jaho tersebut.
Dengan telah selesainya melakukan pendidikan di Jaho, mandat pertama yang diterima Abdullah Aminuddin dari Inyiak Jaho adalah pergi mengajar ke Sasak, yang saat ini telah menjadi Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar). Sebagai seorang santri, tentu Abdullah Aminuddin tidak mampu menolak perintah gurunya. Sebab, di dunia pesantren perintah guru merupakan sesuatu yang harus ditaati, dan tidak boleh dibantah. "Bisuak angku pai ka Sasak. Nanti ada orang dari sana yang menjemput," kata Inyiak Jaho kepada Abdullah Aminuddin, seperti yang pernah diceritakannya. Tidak begitu lama Abdullah Aminuddin di Sasak, lalu ia dipindahkan ke Koto Laweh, Padang Panjang, juga atas restu Inyiak Jaho tersebut, setelah sebelumnya sempat pulang kampung dan mengajar di surau Jambak Pakandangan, dimana dulunya Abdullah Aminuddin dilahirkan pada 1908 M. Merasa kurang puas dengan mengajar di surau milik masyarakat, di tahun 1940 M, di atas tanah yang diwakafkan oleh masyarakat Lubuk Pandan, Abdullah Aminuddin mendirikan sebuah pondok, yang kelak diberi nama dengan pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum.
Dalam sejarah hidupnya, Syekh H. Abdullah Aminuddin pernah mempunyai lima orang istri. Istrinya yang pertama bernama Siti Arapah melahirkan seorang putra bernama AH. Datuak Sinaro Nan Panjang. Kemudian beliau kawin dengan seorang perempuan bernama Siti Nidar, tetapi dengan perempuan yang satu ini beliau tidak mendapatkan keturunan.
Dengan istrinya yang ketiga bernama Jawani, Abdullah Aminuddin mendapatkan dua orang anak, Muhammad Ramli (Alm) dan Abdul Rahman. Sementara dengan istrinya Nurullah terlahir lima orang putra-putri, Drs. Amiruddin Shaleh, Abdul Majid (Alm), Aisyah, Zainab dan Zubir (Alm). Dan dengan istrinya terakhir, Hj. Gadis beliau mendaptkan sembilan keturunan, Maimunah, Abdul Gafar, Afasah, Abdullah (Alm), Tarmizi, Halimatus Sya’diyah, Yusuf, Muhammad (Alm) dan Fatimah.

Fiqh Mengajarkan Kita Disiplin dan Teliti

Setiap pondok pesantren salafiyah memiliki ciri khas tersendiri dalam menjabarkan berbagai disiplin ilmu yang terangkum dalam kitab klasik. Seperti misalnya di salah satu pesantren yang paling menonjol hanya kajian tasawuf saja, atau ilmu nahwu sharaf (gramatika) saja. Tetapi bukan kajian lain tidak dipelajari di pesantren yang bersangkutan. Semua kitab yang menjadi pelajaran pokok, pasti dipelajari. Cuma, di setiap pesantren itu paling satu bidang studi yang paling menonjol, sehingga untuk mendalami ilmu lain, seorang santri harus pindah ke pesantren lain.
Begitu pula pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan ketika dipimpin Abdullah Aminuddin. Yang paling menonjol adalah kajian gramatikan dan kajian fiqh (hukum Islam), sehingga kajian tasawuf atau kajian thariqat tidak begitu menonjol di Madrasatul ‘Ulum. Hal itu terbukti, mayoritas lulusan pesantren ini tidak begitu terkenal kajian tasawufnya. Santri dan alumni Madrasatul ‘Ulum tidak mewarisi silsilah guru, seperti yang diajarkan oleh kalangan thariqat.
Bagi ulama yang mendalami thariqat sebelum mengajarkan ilmu itu kepada santrinya, terlebih dahulu dia menjelaskan hubungan dia dengan gurunya sampai jenjang sahabat Nabi, bahkan sampai kepada Nabi Muhammad saw. Penjelasan dari guru ke guru yang lainya sampai ke atas itu menjadi sebuah keharusan di kalangan kaum thariqat. Tak mengherankan kalau banyak kaum thariqat ini melakukan kunjungan yang dikemas ke dalam bahasa "ziarah" ke makam-makam ulama yang dianggap ada pertaliannya dengan guru yang mengajarkan mereka ilmu, terutama ilmu thariqat. Kemudian memajang foto-foto para ulama terdahulu, yang punya pertalian dengan gurunya, menjadi kebanggaan tersendiri. Hal itu mengingat, agar santri yang sama sekali tidak melihat wajah gurunya, bisa mengenali guru-gurunya sampai ke atas. Di kalangan kaum thariqat, guru merupakan faktor utama yang harus dicontoh dalam kehidupan sehari-hari, serta berkat gurulah kita mampu mencapai puncak, ma'ripatullah dalam mengamalkan ilmu thariqat tersebut.
Abdullah Aminuddin yang membina dan mendirikan Madrasatul ‘Ulum dari 1940 M sampai 1996 M, lebih mengutamakan ilmu yang berkaitan dengan hukum Islam, yang merupakan pakaian sehari-hari mutlak didalami setiap umat Islam. Setiap yang kita lakukan selalu ada kaitannya dengan ilmu fiqh yang tersebar di sejumlah kitab kuning yang ditulis oleh ulama-ulama yang tidak diragukan lagi kematangan ilmunya di bidang fiqh tersebut.
Namun, bukan berarti Abdullah Aminuddin tidak memiliki ilmu thariqat. Bagi ulama yang satu ini, thariqat adalah sebuah ilmu yang harus disejalankan dengan kajian hukum, sehingga bisa disingkronisasikan dalam melakukan amalan sehari-hari. Kemudian untuk mendalami ilmu thariqat tidak begitu sulit, bila dibandingkan dengan ilmu fiqh. Untuk ilmu fiqh ini perlu penafsiran yang matang dan didukung dengan banyak referensi dari ilmu gramatika, sehingga fiqh itu mampu dibaca dan dipelajari tanpa harus dibimbing oleh guru.
Salah seorang alumni Madrasatul ‘Ulum, Marulis Tuanku Mudo menyebutkan, selama Abdullah Aminuddin membina santri dan santriwati tidak pernah mengajarkan ilmu thariqat kepada santrinya. Begitu juga kegiatan ziarah tidak pernah beliau agendakan di pesantren ini. Tetapi dia tidak pernah melarang santrinya untuk melakukan ziarah ke makam ulama-ulama terdahulu. Kemudian dia paling tidak suka tangannya dicium oleh santrinya ketika melakukan salaman. Artinya, dalam diri Abdullah Aminuddin tersirat, bahwa dia tidak ingin dikultuskan oleh santri dan masyarakat.
Kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkannya akibat dari mendalami ilmu fiqh, adalah selalu melakukan shalat yang lima diawal waktu serta berjemaah. Kemana pun dia pergi, pasti membawa salah seorang santri, guna membantu beliau dalam mengerjakan shalat di perjalanan nantinya. Pengalaman saya ketika dibawa ke Tiku, Kabupaten Agam, untuk memenuhi undangan masyarakat setempat dalam memperingati israk mi’raj. Dalam perjalanan dengan menaiki mobil umum dari Pauah Kamba ke Tiku, dengan menaiki mobil jurusan Padang-Lubuk Basung, ketika sampai di Sungai Limau, waktu shalat 'Asar telah masuk. Hal itu ditandai dengan banyaknya suara azan yang berkumandang di sejumlah masjid dan surau. Otomatis dia minta turun di Sungai Limau, guna melakukan shalat. Di sini terjadi adu argumen dengan sang sopir. Sopir tidak mau menurunkan beliau, dengan alasan jangan sampai penumpang yang terus ke Lubuk Basung kemalaman sampai di tujuan. Dan lagi ini mobil terakhir berangkat dari Padang ke Lubuk Basung, kalau bapak turun di sini, nanti mobil yang terus ke Lubuk Basung tidak ada lagi, kata sang sopir kepada Abdullah Aminuddin. Dengan kuatnya komitmen yang dipegang Abdullah Aminuddin, dia tetap turun di Sungai Limau menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
Kami turun dan terus ke masjid untuk selanjutnya melakukan shalat 'Asar dengan berjemaah. Sekitar 50 meter mobil tadi berjalan setelah kami turun, ternyata mobil tersebut mengalami pecah ban, sehingga awak mobil sibuk membuka ban dan memasang ban yang baru. Dan kami pun telah usai melakukan shalat. Akhirnya, kami tetap menaiki mobil yang tadi untuk terus ke Tiku. Banyak para penumpang yang membicarakan kami di atas mobil selama dalam perjalanan sampai di Tiku. Ada yang mengatakan, bahwa bapak ini tidak sembarang orang, bisa jadi dia seorang yang "keramat", tetapi kami tidak mempedulikan pembicaraan itu sampai kami turun di Tiku tempat tujuan awal, kata Marulis.
Abdullah Aminuddin menganjurkan kepada para santri yang pernah beliau didik, untuk lebih mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kecerdasan intelektual para santri setelah keluar dari pesantren itu, seperti tauhid (teologi), tajwib (tata cara membaca Al-Quran dengan baik), ilmu falak (astronomi), nahwu sharaf (gramatika), mantiq (logika) serta sejumlah ilmu lainya, ketimbang mengajarkan ilmu thariqat tersebut. Sebab ilmu thariqat akan lebih mudah dipelajari, apabila kita telah duluan mendalami ilmu fiqh.
Pentingnya mengutamakan kajian fiqh ini bagi Abdullah Aminuddin, terlihat sehari-hari dia selalu berhati-hati dalam melaksankan ibadah yang berhubungan dengan Tuhan. Mulai dari pelaksanaan wudhu’ misalnya ketika akan shalat. Hal itu memakan waktu yang cukup panjang, sehingga untuk hal itu, jauh sebelum waktu shalat masuk, beliau lebih duluan melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan shalat dimaksud, cerita Marulis. (Wawancara dengan Marulis Tuanku Mudo, Jumat 24 Mei 2002, di Koto Buruak, Lubuk Alung, dan Kamis 11 Mei 2006, di Pulau Aie, Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris bersama Afredison, AR). 
Berangkat dari pendalaman ilmu fiqh itu, tercerminlah kedisiplinan dalam diri Abdullah Aminuddin. Sebab, segala sesuatu diatur dalam fiqh dengan teratur nan apik. Untuk melakukan ibadah shalat beliau paling disiplin. Baik waktu pelaksanaan, maupun tata cara pelaksanaan. Dalam mengajar, disiplin waktu yang telah disepakati. Beliau paling duluan hadir di tempat pengajian, sehingga bagi santri yang belajar pagi langsung dengan beliau tidak bisa bersantai-santai. Sangat jarang santri yang menunggu beliau ketika belajar pagi. Maklum para santri sehabis shalat Subuh, banyak yang mengulang tidur, lantaran kurang tidur malamnya.
Kemudian dampak dari mendalami kajian fiqh, Abdullah Aminuddin senantiasa melakukan amalan-amalan tambahan/ amalan sunnah. Seperti mewiridkan membaca bacaan yang memiliki fadhilah/kelebihan di sisi Allah swt, selalu mewarnai kehidupan beliau. Seperti sehabis shalat Maghrib sampai menjelang pelaksanaan shalat ‘Isya, beliau tidak pernah berbicara dengan pembicaraan lain dengan siapa pun, kecuali waktu yang singkat itu dia gunakan untuk melakukan amalan sunnah yang beliau ketahui faedahnya. Kalau ada tamu yang mau berbicara dengan beliau, terpaksa harus menunggu sampai selesai shalat ‘Isya.

Madrasatul ‘Ulum dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat Lubuk Pandan

Keberadaan sebuah lembaga pendidikan pondok pesantren di tengah masyarakat tidak bisa dipungkiri, berdampak positif terhadap pengembangan ekonomi masyarakat sekitar lingkungannya. Tidak terkecuali di kalangan masyarakat Kampung Guci, Lubuk Pandan. Dimana pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat berkembang pesat, dengan keberadaan pesantren Madrasatul ‘Ulum. Sehingga kultur masyarakat Lubuk Pandan menerima kehadiran lembaga yang berbasis surau itu.
Hal itu terbukti, betapa semua kebutuhan santri sekecil apapun, disediakan oleh masyarakat Kampung Guci. Sebut saja menu makanan, yang menjadi kebutuhan harian santri, makanan ringan yang menjadi sarapan pagi menjelang belajar, sampai kepada kebutuhan informasi dan komunikasi seperti TV, semuanya tersedia di rumah dan warung milik masyarakat sekitar pesantren yang didirikan Syekh H. Abdullah Aminuddin ini.
Pada tahun 1993 pernah terjadi polemik antara pihak pesantren Madrasatul ‘Ulum dengan masyarakat sekitar. Polemik bermula dari sebuah persoalan kecil, santri dan majelis guru merasa dilecehkan oleh salah seorang anak pemilik warung masyarakat. Akibat dari persoalan itu, semua santri bersepakat malam hari untuk tidak sarapan pagi di warung yang biasa dijadikan sebagai tempat sarapan pagi itu untuk beberapa hari, sampai ada penyelesaian persoalannya. Santri pindah ke warung minum pagi lainnya. Dengan adanya persoalan itu, otomatis pemilik warung yang dekat pesantren merasa terkejut dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Sebab, semua dagangannya tidak bisa lagi dipergunakan untuk besoknya. Maklum, yang namanya sarapan pagi, ya untuk sekali pagi saja.
Persoalan itu semakin parah dengan berlanjutnya perlawanan yang dilakukan pihak masyarakat dengan cara menanami pohon pisang di tengah jalan menuju pesantren, sehingga mobil yang dikendarai pimpinan, waktu itu H. Iskandar Tuanku Mudo tidak bisa menuju halaman pesantren. Sebagai putra asli Lubuk Pandan, Buya Iskandar tidak merasa senang dengan perlakuan demikian. Akhirnya sang pimpinan mendatangi Kepala Desa Kampung Guci, Ilyas dan diadakan pertemuan antara petinggi pesantren dengan niniak mamak dari pemilik warung, atas prakarsa sang kepala desa. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot dan melelahkan, semua persoalan yang berakibat terpecahnya masyarakat dengan pesantren sepakat untuk dihentikan. Dan para santri kembali seperti sediakala, melakukan sarapan pagi di warung dekat lokasi pesantren itu.
Itulah sebuah peristiwa kecil yang berakibat merosotnya ekonomi masyarakat sekitar selama beberapa hari. Jadi boleh dikatakan, keberadaan Madrasatul ‘Ulum di Lubuk Pandan menjadi sebuah investasi oleh masyarakat sekitar untuk mengembangkan ekonominya. Keberadaan pesantren dan masyarakat boleh dikatakan saling terkait antara yang satu dengan yang lainya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Begitu juga masyarakat petani di Lubuk Pandan ketika musim panen, pada umunya mempergunakan tenaga santri untuk mengangkut padi yang baru saja dituwai keluar dari sawah, yang berjarak cukup jauh. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh santri yang berminat, terutama pada hari Kamis dan Jumat, dimana tradisi di pesantren salafiyah dua hari itu merupakan hari libur besar. Sekaligus untuk menambah biaya melanjutkan kelangsungan belajarnya di pesantren.
Santri Madrasatul ‘Ulum, umumnya dua hari libur itu dipergunakan untuk pulang kampung. Sebagian mempergunakan untuk bekerja di lingkungan masyarakat petani sekitar. Tidak tertutup kemungkinan sebagian kecil dari santri pergi jalan-jalan ke daerah lain untuk meminta belas kasihan dari orang lain (baca ; mamakiah, istilah pesantren). Kegiatan mamakiah yang oleh sebagian masyarakat menyebutnya dengan minta sedekah, ini merupakan sebuah tradisi di kalangan pesantren salafiyah.
Tujuan mamakiah antara lain, menambah biaya belajar di pesantren. Umumnya santri yang datang belajar ke pesantren salafiyah adalah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mamakiah juga sebagai sarana melatih diri menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Orangtua yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke sekolah umum (SD, SMP dan SMA) yang memiliki biaya yang cukup mahal, maka diserahkan ke pesantren. Selanjutnya, melatih santri hidup mandiri, melatih santri menghadapi berbagai tantangan hidup dan sikap masyarakat yang ditemuinya ketika meminta sedekah.
Mamakiah juga merupakan keterampilan yang diwarisi oleh santri dari pendahulunya. Di Madrasatul ‘Ulum tidak menjadi kewajiban mamakiah itu. Bagi yang mau silakan, sang guru tidak menganjurkan dan tidak pula melarangnya.
Pada umumnya santri yang belajar di Pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan, jarang memasak sambal untuk dimakan. Lazim mereka membeli kepada masyarakat sekitar yang sengaja membuat gulai sebanyak mungkin dua kali sehari, pagi dan sore. Tidak heran, ketika nasi selesai dimasak oleh santri yang piket memasak pagi, santri yang baru menjadi langganan pergi membeli gulai sebanyak mungkin. Santri senior/guru tuo biasanya minta tolong dibelikan gulai sama santri yunior. Begitu juga sorenya. Itulah sebuah pemandangan yang terlihat ketika santri pada berlari, saling berkejaran, lantaran takut kehabisan gulai nantinya.
Masyarakat sekitar pesantren juga tidak satu dua orang yang menjual gulai. Malah sampai tiap rumah di sekitar pesantren itu menyediakan gulai untuk dijual. Dari hasil penjualan dagangannya itu, masyarakat sekitar pada umumnya berhasil menjadi kelompok menengah ke atas di bidang ekonomi. Rumah masyarakat Kampung Guci termasuk rumah yang elit, untuk sebuah kampung kecil. Dari fenomena itu, jelas betapa besarnya kontribusi pesantren Madrasatul ‘Ulum terhadap pengembangan ekonomi masyarakat lingkungannya. Tidak bisa dibayangkan, apa kira-kira yang akan terjadi, seandainya pesantren Madrasatul ‘Ulum gulung tikar (hilang) dari peredaran/tidak lagi menjadi tempat lembaga pendidikan, melainkan hanya sebuah bangunan tua yang tidak ada penghuninya. 
Itu barangkali bentuk sumbangsih yang diberikan seorang ulama kepada masyarakat sekitar tempat beliau mengembangkan ilmunya. Bahkan tidak saja berlaku di waktu sang ulama masih hidup, tetapi setelah wafat pun sang ulama masih memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya. Keberadaan sebuah kuburan ulama di tengah masyarakat, juga mendatangkan rezeki bagi orang yang hidup. Lihat saja di Ulakan, dimana sang ulama besar yang terkenal dengan pengembangan Islam di Minangkabau, Syekh Burhanuddin dikuburkan, sampai sekarang tidak terbilang lagi berapa masyarakat yang telah melimpah kekayaannya dengan cara berdagang di sekitar komplek makam tersebut. Adakah rasa terima kasih yang disampaikan oleh masyarakat? Karena berkah adanya kuburan itulah dia bisa hidup, berkembang dengan pesatnya, entahlah. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu semua.
Dulu, apapun yang akan dilakukan masyarakat, selalu mereka mendatangi ulama untuk minta petunjuk. Sebab, seorang ulama di samping ‘alim di bidang agama, juga mengetahui persoalan rumit di kalangan masyarakat. Tidak salah keberadaan seorang ulama di tengah masyarakat menjadi sitawa sidingin bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan ini. Kalau seorang kepala desa/walinagari yang meninggal, yang akan menggantikannya sangat banyak. Bahkan belum meninggal saja sudah banyak yang mau menggantikannya. Tetapi kalau ulama yang pergi untuk selama-lamanya dari hadapan masyarakat, adakah gantinya dalam waktu yang tidak terlalu lama? Sulit sekali untuk mencari gantinya.
Menurut Muh. Hanif Dhakiri, kiai/ulama (baca; Tuanku di Pariaman) kampung merupakan kelompok yang paling cepat mengikuti perkembangan. Tidaklah terlalu sulit untuk dibuktikan karena kiai kampung memiliki tiga kelengkapan sekaligus. Pertama, ilmu pengetahuan agama yang dalam (sebagai hasil dari proses belajarnya yang dilakukan sepanjang masa atau long life education), kedua, pengetahuan tentang persoalan masyarakat yang bersifat menyeluruh (sebagai hasil dari proses interaksi sosialnya yang panjang) dan ketiga, kemampuan untuk meramu pengetahuan agama dan pengetahuan masalah masyarakat (sebagai hasil dari proses pergulatannya dengan berbagai persoalan masyarakat).
"Kehidupan kiai kampung yang dekat dan menyatu dengan masyarakat membuat masyarakat mengetahui kepribadian kiainya luar biasa dan dalam. Hal demikian mengharuskan kiai kampung berperilaku sebagai pihak yang bisa menjadi rujukan, dalam hal konsisten sikap, memberikan contoh yang baik dalam memelopori berbagai perubahan. Kepemimpinan berbasis keteladanan juga mengharuskan seorang pemimpin untuk berbaur dengan masyarakat, mendampingi, menampung berbagai aspirasi dan kepentingan, serta melayani mereka dengan hati yang lapang. Tidak ada motif-motif politik dan ekonomi dalam menjalankan fungsi pelayanan itu," kata Hanif Dhakiri, alumni Pondok Pesanten Sirajul Muhlasin Payaman Magelang yang saat ini jadi Menteri Tenaga Kerja RI ini. (Lihat Muh. Hanif Dhakiri dalam Kiai Kampung dan Demokrasi Lokal).

Belajar Disiplin dari Buya

"Sabiah, Tuak," kata Buya kepada Mansurdin Datuak Panduko usai mengucapkan salam kedua dalam shalat. Dan memang, wirid membaca tasbih, tahmid dan tahlil usai shalat termasuk amalan yang rutin oleh Buya. Membacanya secara berjemaah, dan dipimpin oleh seseorang tidak surang-surang.
Sepertinya, untuk memimpin pembacaan tasbih setelah shalat, Buya lebih mempercayakan kepada Datuak Panduko. "Sabiah, Tuak," uajr Buya. "Datuak ndak ado doh Buya," kata kawan santri yang lain. "Waang, sabiah," lanjut Buya sambil melemparkan alat hitungan tasbih kepada santri yang ditujunya.
Itu pemandangan yang saya saksikan selama saya mengaji di Pesantren Madrasatul 'Ulum (1992-1997). Saya merasa beruntung, masih bisa belajar langsung sama Buya, dan saya salah seorang marapulai tafsir terakhir, yang langsung Buya menyerahkan ijazah setamat marapaulai akhir 1995 lalu. Setahun lamanya tiap pagi mengaji di atas anjung saat jadi marapulai tafsir, sangat banyak rasanya ilmu yang diajarkan Buya.
Selalu ada cerita-cerita tauladan dari ulama dulu yang disebut Buya, manakala pengajian menyangkut seorang ulama. Buya acap menyebut Ungku Mudiak Padang atau Ungku Ampalu (Syekh Muhammad Yatim) yang juga guru beliau semasa di Surau Kalampaian Ampalu Tinggi. Kini telah 22 tahun lamanya Buya tak lagi bersama kita. Adakah kisah menarik dari beliau yang kita sebut-sebut saat ini?
Tentu penyebutan kenangan kita bersama guru, adalah bagian dari sweet memories, karena kita merasakan dampak besar yang amat luar biasa dari berguru ke beliau dulunya. Saya yakin, setiap kita yang pernah bersua dan berinteraksi dengan Buya dulunya pasti punya kenangan tersendiri.
Kurang lebih lima tahun di Lubuk Pandan, banyak rasanya kenangan dan pelajaran yang saya dapatkan. Karena rajin membaca majalah, lantaran adanya majalah Media Dakwah yang menjadi media langganan Madrasatul 'Ulum samasa OSIP dipimpin oleh sahabat Tuo Afredison, dan sesekali saya beli koran Republika, saya terjun ke dunia jurnalistik.
Saya baru tahu, kalau jurnalistik awalnya lahir dari orang pendidikan surau. KH. Sirajuddin Abbas, adalah ulama PERTI yang pernah jadi wartawan, dan karya bukunya jadi bahan bacaan oleh santri dulunya. Buya Hamka, juga seorang ulama yang menjadi wartawan dan mendirikan media cetak. Dan tentunya banyak lagi orang surau lainnya yang suka melakukan dakwah secara tulisan tersebut.
Dunia jurnalistik telah mengantarkan saya melanglang buana ke berbagai daerah di nusantara ini. Dunia jurnailitik bukanlah dunia tempat mencari kekayaan. Sama juga halnya dengan dunia ulama yang ceramah di berbagai mimbar Jumat. Tetapi, lewat profesi dakwah belum terdengar pula ada wartawan dan ulama yang mati kelaparan.
Namun demikian, semuanya terpulang pada niat dan nawaitu kita. Mari kita luruskan niat, bahwa melakukan dakwah adalah untuk menyebar kebaikan, amar makruf nahi mungkar. Kita tiru keikhlasan niat Buya dulunya mendidik santri. Keikhlasan beliaulah menjadikan dia sebagai ulama panutan. Mampu menghadirkan santri dari berbagai belahan penjuru nagari di Minangkabau, bahkan semasa saya di Lubuk Pandan ada santri dari Aceh. Salamuddin namanya.
Disiplin. Dari Madrasatul 'Ulum saya belajar tentang disiplin. Buya sangat disiplin dalam melakukan shalat yang lima waktu dan tak pernah shalat sendirian. Makanya, kemana pun Buya pergi, selalu membawa santri. Saya selama di Lubuk Pandan pernah dua kali mendampingi Buya. Pertama ke Pasar Pauah Kamba, dan kedua ke Masjid Raya Ringan-Ringan pergi Maulid Nabi Muhammad saw. Dalam mengaji pagi mendampingi marapulai, belum pernah saya lihat marapulai yang tiba duluan di atas anjung. Selalu Buya yang duduk duluan di tempat duduknya.
Selamat HAUL XXII Buya, semoga Allah swt meninggikan derajat Buya bersama para Auliya Allah lainnya. Amien. Lahuuu Alfatihah.