wartawan singgalang

Sabtu, 02 Februari 2019

Madrasatul ‘Ulum dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat Lubuk Pandan

Keberadaan sebuah lembaga pendidikan pondok pesantren di tengah masyarakat tidak bisa dipungkiri, berdampak positif terhadap pengembangan ekonomi masyarakat sekitar lingkungannya. Tidak terkecuali di kalangan masyarakat Kampung Guci, Lubuk Pandan. Dimana pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat berkembang pesat, dengan keberadaan pesantren Madrasatul ‘Ulum. Sehingga kultur masyarakat Lubuk Pandan menerima kehadiran lembaga yang berbasis surau itu.
Hal itu terbukti, betapa semua kebutuhan santri sekecil apapun, disediakan oleh masyarakat Kampung Guci. Sebut saja menu makanan, yang menjadi kebutuhan harian santri, makanan ringan yang menjadi sarapan pagi menjelang belajar, sampai kepada kebutuhan informasi dan komunikasi seperti TV, semuanya tersedia di rumah dan warung milik masyarakat sekitar pesantren yang didirikan Syekh H. Abdullah Aminuddin ini.
Pada tahun 1993 pernah terjadi polemik antara pihak pesantren Madrasatul ‘Ulum dengan masyarakat sekitar. Polemik bermula dari sebuah persoalan kecil, santri dan majelis guru merasa dilecehkan oleh salah seorang anak pemilik warung masyarakat. Akibat dari persoalan itu, semua santri bersepakat malam hari untuk tidak sarapan pagi di warung yang biasa dijadikan sebagai tempat sarapan pagi itu untuk beberapa hari, sampai ada penyelesaian persoalannya. Santri pindah ke warung minum pagi lainnya. Dengan adanya persoalan itu, otomatis pemilik warung yang dekat pesantren merasa terkejut dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Sebab, semua dagangannya tidak bisa lagi dipergunakan untuk besoknya. Maklum, yang namanya sarapan pagi, ya untuk sekali pagi saja.
Persoalan itu semakin parah dengan berlanjutnya perlawanan yang dilakukan pihak masyarakat dengan cara menanami pohon pisang di tengah jalan menuju pesantren, sehingga mobil yang dikendarai pimpinan, waktu itu H. Iskandar Tuanku Mudo tidak bisa menuju halaman pesantren. Sebagai putra asli Lubuk Pandan, Buya Iskandar tidak merasa senang dengan perlakuan demikian. Akhirnya sang pimpinan mendatangi Kepala Desa Kampung Guci, Ilyas dan diadakan pertemuan antara petinggi pesantren dengan niniak mamak dari pemilik warung, atas prakarsa sang kepala desa. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot dan melelahkan, semua persoalan yang berakibat terpecahnya masyarakat dengan pesantren sepakat untuk dihentikan. Dan para santri kembali seperti sediakala, melakukan sarapan pagi di warung dekat lokasi pesantren itu.
Itulah sebuah peristiwa kecil yang berakibat merosotnya ekonomi masyarakat sekitar selama beberapa hari. Jadi boleh dikatakan, keberadaan Madrasatul ‘Ulum di Lubuk Pandan menjadi sebuah investasi oleh masyarakat sekitar untuk mengembangkan ekonominya. Keberadaan pesantren dan masyarakat boleh dikatakan saling terkait antara yang satu dengan yang lainya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Begitu juga masyarakat petani di Lubuk Pandan ketika musim panen, pada umunya mempergunakan tenaga santri untuk mengangkut padi yang baru saja dituwai keluar dari sawah, yang berjarak cukup jauh. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh santri yang berminat, terutama pada hari Kamis dan Jumat, dimana tradisi di pesantren salafiyah dua hari itu merupakan hari libur besar. Sekaligus untuk menambah biaya melanjutkan kelangsungan belajarnya di pesantren.
Santri Madrasatul ‘Ulum, umumnya dua hari libur itu dipergunakan untuk pulang kampung. Sebagian mempergunakan untuk bekerja di lingkungan masyarakat petani sekitar. Tidak tertutup kemungkinan sebagian kecil dari santri pergi jalan-jalan ke daerah lain untuk meminta belas kasihan dari orang lain (baca ; mamakiah, istilah pesantren). Kegiatan mamakiah yang oleh sebagian masyarakat menyebutnya dengan minta sedekah, ini merupakan sebuah tradisi di kalangan pesantren salafiyah.
Tujuan mamakiah antara lain, menambah biaya belajar di pesantren. Umumnya santri yang datang belajar ke pesantren salafiyah adalah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mamakiah juga sebagai sarana melatih diri menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Orangtua yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke sekolah umum (SD, SMP dan SMA) yang memiliki biaya yang cukup mahal, maka diserahkan ke pesantren. Selanjutnya, melatih santri hidup mandiri, melatih santri menghadapi berbagai tantangan hidup dan sikap masyarakat yang ditemuinya ketika meminta sedekah.
Mamakiah juga merupakan keterampilan yang diwarisi oleh santri dari pendahulunya. Di Madrasatul ‘Ulum tidak menjadi kewajiban mamakiah itu. Bagi yang mau silakan, sang guru tidak menganjurkan dan tidak pula melarangnya.
Pada umumnya santri yang belajar di Pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan, jarang memasak sambal untuk dimakan. Lazim mereka membeli kepada masyarakat sekitar yang sengaja membuat gulai sebanyak mungkin dua kali sehari, pagi dan sore. Tidak heran, ketika nasi selesai dimasak oleh santri yang piket memasak pagi, santri yang baru menjadi langganan pergi membeli gulai sebanyak mungkin. Santri senior/guru tuo biasanya minta tolong dibelikan gulai sama santri yunior. Begitu juga sorenya. Itulah sebuah pemandangan yang terlihat ketika santri pada berlari, saling berkejaran, lantaran takut kehabisan gulai nantinya.
Masyarakat sekitar pesantren juga tidak satu dua orang yang menjual gulai. Malah sampai tiap rumah di sekitar pesantren itu menyediakan gulai untuk dijual. Dari hasil penjualan dagangannya itu, masyarakat sekitar pada umumnya berhasil menjadi kelompok menengah ke atas di bidang ekonomi. Rumah masyarakat Kampung Guci termasuk rumah yang elit, untuk sebuah kampung kecil. Dari fenomena itu, jelas betapa besarnya kontribusi pesantren Madrasatul ‘Ulum terhadap pengembangan ekonomi masyarakat lingkungannya. Tidak bisa dibayangkan, apa kira-kira yang akan terjadi, seandainya pesantren Madrasatul ‘Ulum gulung tikar (hilang) dari peredaran/tidak lagi menjadi tempat lembaga pendidikan, melainkan hanya sebuah bangunan tua yang tidak ada penghuninya. 
Itu barangkali bentuk sumbangsih yang diberikan seorang ulama kepada masyarakat sekitar tempat beliau mengembangkan ilmunya. Bahkan tidak saja berlaku di waktu sang ulama masih hidup, tetapi setelah wafat pun sang ulama masih memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya. Keberadaan sebuah kuburan ulama di tengah masyarakat, juga mendatangkan rezeki bagi orang yang hidup. Lihat saja di Ulakan, dimana sang ulama besar yang terkenal dengan pengembangan Islam di Minangkabau, Syekh Burhanuddin dikuburkan, sampai sekarang tidak terbilang lagi berapa masyarakat yang telah melimpah kekayaannya dengan cara berdagang di sekitar komplek makam tersebut. Adakah rasa terima kasih yang disampaikan oleh masyarakat? Karena berkah adanya kuburan itulah dia bisa hidup, berkembang dengan pesatnya, entahlah. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu semua.
Dulu, apapun yang akan dilakukan masyarakat, selalu mereka mendatangi ulama untuk minta petunjuk. Sebab, seorang ulama di samping ‘alim di bidang agama, juga mengetahui persoalan rumit di kalangan masyarakat. Tidak salah keberadaan seorang ulama di tengah masyarakat menjadi sitawa sidingin bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan ini. Kalau seorang kepala desa/walinagari yang meninggal, yang akan menggantikannya sangat banyak. Bahkan belum meninggal saja sudah banyak yang mau menggantikannya. Tetapi kalau ulama yang pergi untuk selama-lamanya dari hadapan masyarakat, adakah gantinya dalam waktu yang tidak terlalu lama? Sulit sekali untuk mencari gantinya.
Menurut Muh. Hanif Dhakiri, kiai/ulama (baca; Tuanku di Pariaman) kampung merupakan kelompok yang paling cepat mengikuti perkembangan. Tidaklah terlalu sulit untuk dibuktikan karena kiai kampung memiliki tiga kelengkapan sekaligus. Pertama, ilmu pengetahuan agama yang dalam (sebagai hasil dari proses belajarnya yang dilakukan sepanjang masa atau long life education), kedua, pengetahuan tentang persoalan masyarakat yang bersifat menyeluruh (sebagai hasil dari proses interaksi sosialnya yang panjang) dan ketiga, kemampuan untuk meramu pengetahuan agama dan pengetahuan masalah masyarakat (sebagai hasil dari proses pergulatannya dengan berbagai persoalan masyarakat).
"Kehidupan kiai kampung yang dekat dan menyatu dengan masyarakat membuat masyarakat mengetahui kepribadian kiainya luar biasa dan dalam. Hal demikian mengharuskan kiai kampung berperilaku sebagai pihak yang bisa menjadi rujukan, dalam hal konsisten sikap, memberikan contoh yang baik dalam memelopori berbagai perubahan. Kepemimpinan berbasis keteladanan juga mengharuskan seorang pemimpin untuk berbaur dengan masyarakat, mendampingi, menampung berbagai aspirasi dan kepentingan, serta melayani mereka dengan hati yang lapang. Tidak ada motif-motif politik dan ekonomi dalam menjalankan fungsi pelayanan itu," kata Hanif Dhakiri, alumni Pondok Pesanten Sirajul Muhlasin Payaman Magelang yang saat ini jadi Menteri Tenaga Kerja RI ini. (Lihat Muh. Hanif Dhakiri dalam Kiai Kampung dan Demokrasi Lokal).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar