wartawan singgalang

Jumat, 15 Februari 2019

Aku Ingin Pulang

Tidak hanya Lubuk Pandan yang kehilangan, Padang Pariaman, bahkan Sumatra Barat juga kehilangan atas meninggalnya Hadratus Syekh H. Abdullah Aminuddin, Sabtu 2 November 1996 di RS. Ibnu Sina Gunuang Pangilun Padang. Ada satu cita-citanya yang masih tersisa. Apa gerangan?
Pondok Pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan yang biasanya sibuk dengan kegiatan pengajian, siang itu penuh sesak oleh banyaknya masyarakat, alumni, santri/wati serta para pelayat dari berbagai pesantren berbaur dalam suasana duka. Banyak yang datang jauh-jauh dari luar daerah, seperti dari Solok, Sawahlunto, Sijunjuang, Bukittinggi, Tanah Datar serta daerah lainya untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada Abdullah Aminuddin, pemilik pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum.
Sebagai salah satu pemuka agama yang disegani di daerah ini, kepergianya menyisakan rasa duka yang mendalam. Abdullah Aminuddin masuk rumah sakit karena menderita penyakit besar buah-buah, sehingga sewaktu datang sakitnya, sangat sulit untuk menahan. Penyakit tersebut dideritanya sejak usia kecil. Karena lamanya penyakit itu dideritanya, di usia lanjut penyakit itu tetap menjadi beban. Sebelum dirawat terakhir di Ibnu Sina Padang, penyakit tersebut di operasi pada tahun 1994. Sehingga buah-buah yang begitu besar, berkurang dan sakitnya pun tidak seperti semula. Hanya dua tahun setelah dioperasi, rasa sakit kembali merasuki tubuhnya, sehingga sulit untuk menahan. Setelah dipanggil bidan Eli Vambo, seorang bidan desa yang bertugas di Pakandangan mengobatinya, ternyata bidan desa itu merasa kesulitan. "Buya harus langsung dibawa ke Padang, karena harus dirawat secara intensif di rumah sakit," kata bidan Eli Vambo. Pagi Senin, di akhir bulan Oktober 1996, para anak buya serta santri ikut mengantarkannya ke Padang, Rumah Sakit Islam Ibnu Sina. Kendatipun sakit yang dideritanya sedemikian berat, yang namanya shalat berjamaah tidak pernah ditinggalkannya. Selama dirawat di rumah sakit, setiap kali waktu shalat masuk, salah seorang santri diminta mengimami shalatnya dalam keadaan tidur.
Begitu juga wirid-wirid yang lazim dibaca ketika masih sehat, tetap saja menjadi menu selama dia dipembaringan rumah sakit Islam itu. Setelah empat hari dirawat, Abdullah Aminuddin  minta pulang dari rumah sakit. Infus yang melekat di tanganya nyaris ditanggalkannya, lantaran tidak ingin lagi dirawat. Namun, karena dia selalu dalam pengawasan tim dokter dan para santri yang datang dan pergi silih berganti, Abdullah Aminullah berhasil ditenangkan, sehingga tidak jadi dibawa pulang saat itu.
Sebagai seorang ulama yang ‘alim, kata-kata "aku ingin pulang" yang sering dilontarkannya selama dirawat, ini jelas mengandung makna yang mendalam. Namun, tidak banyak yang tahu waktu itu. Karena anak dan santrinya sama-sama mempunyai optimis, bahwa Abdullah Aminullah harus hidup sekian tahun lagi. Untuk itu butuh perawatan dari seorang dokter. Tak seorang pun dari santri dan para keluarganya menginginkan beliau wafat saat itu.
Barangkali beliau ingin menghembuskan nafas terakhir dikelilingi oleh banyak santri, tapi apa boleh buat tidak ada yang berpandangan demikian saat itu. Rahasia itu diketahui saat beliau telah tiada, yakni Sabtu pagi sekitar pukul 08.00 WIB. Setelah mendengar berita itu, maka keputusan segera diambil santri dan keluarga yang menunggui. Sebagian disuruh duluan pulang untuk memberitahu pimpinan dan santri yang ada di pesantren. Selanjutnya dibagi tugas untuk menyampaikan berita duka tersebut. Maklum, waktu itu informasi dan komunikasi belum secanggih saat ini. Bagi keluarga yang tinggal di Jakarta, dikirim kabar dengan menggunakan telepon.
Tidak sampai satu jam santri yang duluan pulang tiba di pesantren, mobil ambulance milik RS Ibnu Sina telah meraung-raung di halaman pesantren. Aktivitas belajar mengajar saat itu terhenti. Ruangan aula di lantai dua sengaja dikosongkan setelah mendapatkan kabar. Rungan sangat sederhana itu telah dipenuhi tikar. Waktu terus berjalan, orang pun semakin banyak yang datang.
Di Minangkabau telah menjadi falsafah kehidupan, kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahambauan. Artinya, apabila mendengar berita kematian, apalagi yang meninggal itu seorang ulama yang disegani, punya banyak santri, maka masyarakat di lingkungan tempat ulama itu mengabdi akan berdatangan, menyaksikan wajah gurunya yang terakhir. Belum lagi karib kerabat beliau, yang juga menjadi ulama besar, turut hadir. Seperti tampak Syekh Ali Imran Hasan, pemilik pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan, Pakandangn, H. Zubir Tuanku Kuniang, pimpinan pesantren Nurul Ikhlas Pakandangan, serta sejumlah ulama lainya.
Seiring dengan perjalanan waktu, dimana menurut pengajian di kalangan kaum sarungan, kalau seseorang meninggal pagi, jangan tunggu mayatnya sampai siang, dan kalau meninggal siang jangan tunggu sampai sore. Artinya, karena Abdullah Aminuddin meninggal pagi, maka paling lambat usai shalat Zuhur jasadya harus dimakamkan. Proses demi proses terus berlanjut, seperti menggali kuburan di lokasi yang telah disediakan almarhum sebelum dia wafat. Yakni telah dikerangkakannya gubah yang berpas-pasan dengan mihrab pesantren Madrastul ’Ulum terus berlanjut. Untuk menggali kuburan tidak perlu lama-lama, lantaran banyaknya santri, alumni serta masyarakat yang bergantian. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kuburan serta lahatnya yang cukup dalam itu selesai dikerjakan.
Begitu juga proses memandikan dilangsungkan secara bersama-sama. Ketika tiba giliran menshalatkan, maka banyak pihak mengkawatirkan akan runtuhnya lantai dua bangunan pesantren Madrasatul ’Ulum dengan banyaknya orang yang ikut menshalatkan. Lantai dua terbuat dari kayu yang telah lama dibangun. "Kira-kira dengan keadaan anjungan ini, sanggup ndak menampung jamaah sebanyak ini," kata AB. Datuak Rajo Api, tokoh masyarakat Lubuk Pandan kepada Afredison, AR. "Insya Allah sanggup Pak. Sebab, anjungan ini cukup kuat, dan tonggaknya pun banyak yang menahan di bawah," jawab Afredison.
Shalat dipimpin anak kandung beliau yang tua, Amiruddin Shaleh. Menjelang beliau dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir, pesan bagi orang yang hidup disampaikan oleh khalifanya, H. Marzuki Tuanku Nan Basa. Sekitar pukul 14.00 WIB, Abdullah Aminuddin selesai dikuburkan. Tinggallah para pewaris yang hidup bercerita tentang suka duka yang dihadapi selama Abdullah Aminuddin sakit. Begitu juga cerita tentang minta pulang dari rumah sakit, menjadi cerita sejarah yang tidak akan dilupakan oleh santri yang menyaksikan langsung saat beliau dirawat di rumah sakit.
Usaha keras yang telah dilakoni Abdullah Aminuddin, membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Selain mengasuh pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum, dia juga sempat beraktivitas di organisasi Islam PERTI. Setidaknya, jalur organisasi yang pernah menjadi partai politik yang dimasukinya sejak muda itu telah menunjukan hasilnya. Terakhir kali beliau mengikuti kegiatan PERTI adalah saat Musda PERTI Sumatera Barat di Payakumbuah pada 1993. Kematangannya di organisasi ini, juga dibarengi dengan seorang kadernya yang cukup potensial; H. Buchari Rauf. Politisi yang memilih aktif di PPP ini sempat mewarnai percaturan politik di tingkat Sumatera Barat.
Ketika duduk di DPRD Sumbar periode 1992-1997, Buchari Rauf dikenal vokalis, idealis sehingga disebut-sebut waktu itu salah seorang penghalang tidak dibangunnya jalan menuju pesantren Madrasatul 'Ulum. Maklum, waktu itu siapa yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah, alias tidak mau masuk Golkar, jangan harap akan ada perbaikan infrastruktur menuju lembaga yang terafiliasi ke partai selain Golkar. Termasuk jalan menuju rumah Buchari Rauf sendiri, baru era reformasi ini diaspal. Padahal jalan lain telah duluan diaspal. Cuma jalan yang satu itu, bahkan nampak disengaja untuk ditinggalkan.
Kini, nama Abdullah Aminuddin tinggal sebuah kenangan. Penyakit besar buah-buah telah membetotnya dari keluarga, santri, alumni dan masyarakat ini kepangkuan-Nya. "Penyakit itu kan dari Allah dan yang menyembuhkannya, ya hanya Allah, jadi ngapain lama-lama dirawat. Kalau bisa dirawat di rumah, ya di rumah saja," begitu ungkapannya saat dirawat di rumah sakit.
Jadi, cita-cita beliau ingin pulang kepada Sang Khalik-Nya di hadapan santri dan di atas surau yang beliau bangun tidak kesampaian. Itu barangkali cita-cita beliau yang tidak kesampaian. Sementara, usaha untuk menghidupkan pesantren sepeninggal beliau, telah diwariskan kepada orang yang pernah menjadi santrinya di era 1970-an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar