wartawan singgalang

Kamis, 14 Februari 2019

Menangislah Jika Agama Berada di Tangan Orang yang Tidak Berkompeten

Pada akhir tahun 1995, para santri dan santriwati yang menjadi marapulai tafsir/kelas tujuh di pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan, selesai melakukan tugasnya selaku marapulai tersebut. Akhir tahun pelajaran pun segera tiba, mengingat suasana bakal memasuki bulan Ramadhan pada tahun itu. Lazim setiap santri yang tamat marapulai melakukan acara kenduri/do’a keselamatan yang dipimpin oleh buya, dengan menghadirkan sejumlah undangan dari masyarakat setempat,  keluarga di kampung santri dan seluruh alumni pesantren yang tersebar di beberapa nagari di Minangkabau. Saat kenduri itulah sang buya memberikan sebuah ijazah kepada santri yang telah menyelesaikan tugasnya sebagai marapulai.
Sebelum acara kenduri dilangsungkan, datanglah salah seorang keluarga santri yang akan menamatkan marapulai menemui Buya Abdullah Aminuddin. Kedatangan keluarga yang merupakan orangtua dan beberapa orang mamak dari santri, biasanya di saat Buya Abdullah Aminuddin tengah istirahat usai melakukan shalat Zuhur. Dalam pertemuan mereka dengan Buya Abdullah Aminuddin tidak banyak yang dibicarakan, hanya mereka minta satu kepada buya, agar anaknya yang akan menamatkan marapulai tahun itu diberikan gelar tuanku.
Buya yang didampingi pimpinan pesantren, H. Marzuki Tuanku Nan Basa, setelah mendengarkan permintaan dari tamu yang hadir, lalu menjawab dengan bahasa yang sangat sederhana sekali. Di Madrasatul ‘Ulum tidak ada istilah titik dari langit. Yang ada hanya bosek dari bumi. Mendengar jawaban seperti itu, sang tamu yang merupakan keluarga dari santri yang akan menamatkan marapulai tersebut, kurang memahami maksud dan tujuan dari jawaban Abdullah Aminuddin. Marzuki sebagai pendamping Buya Abdullah Aminuddin menerjemahkan apa maksudnya. Artinya di Lubuk Pandan tidak ada selama ini buya yang memberikan gelar tuanku kepada santrinya. Cuma yang ada, gelar tuanku itu diberikan oleh keluarga dari santri yang bersangkutan.
Mendengar jawaban dari pimpinan itu, keluarga santri yang bersangkutan melakukan rembuk dengan sang pimpinan. Setelah terjadi pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya santri yang akan menamatkan marapulai itu, tetap juga diberikan gelar tuanku. Namun, gelar yang diajukan tetap pemberian dari keluarganya. Apapun gelar tuanku yang akan diberikan kepada santri, Buya Abdullah Aminuddin tidak sedikitpun melakukan intervensi kepada keluarga santri dimaksud.
"Silakan gelar siapa di antara mamak, atau ayah dari santri yang akan dipakainya. Sebab, persoalan itu yang paling tahu dan merasakan adalah keluarga santri itu sendiri. Termasuk soal sudah cocok atau belumnya santri tersebut diberikan gelar tuanku, itu semua terpulang kepada keluarganya," kata buya meyakinkan tamu dari keluarga santri yang ingin meminta gelar tuanku.
Kenapa pendiri Madrasatul ‘Ulum, Abdullah Aminuddin yang lazim dengan panggilan Tuanku Shaliah oleh masyarakat itu tidak mau memberikan gelar tuanku kepada santrinya? Tidak ada santri yang mengetahuinya. Begitu juga para alumni, tidak banyak yang tahu. Barangkali karena beliau tidak juga diberikan gelar oleh gurunya setelah menamatkan studinya di MTI Jaho, Padang Panjang dulunya. Gelar yang dia pakai, murni pemberian masyarakat yang melihat dan menyaksikan beliau sejak kecil selalu taat melakukan amalan-amalan yang berkaitan dengan hablum minallah. Mungkin itu salah satu alasan yang menyebabkan beliau tidak pernah memberikan gelar tuanku kepada santrinya.
Madrasatul ‘Ulum sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu nahwu sharaf (tata bahasa Arab). Artinya, dalam hidup bermasyarakat nantinya di saat santri telah berada di lingkungan masyarakat, tidak perlu yang namanya penampilan, tetapi yang dibutuhkan adalah kemahiran dan ke’aliman, sehingga mampu mengajak masyarakat menuju kebaikan dan mencegah kepada perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma agama.
Begitu juga seseorang bisa dikatakan ulama, dalam pandangan masyarakat memiliki kualifikasi tersendiri. Menurut Chumaidi Syarief Romas, kiai dalam pandangan masyarakat Islam merupakan tokoh spiritual yang sederhana, jujur, tulus dan berdedikasi tinggi dalam mengajarkan agama, tanpa pamrih dan zuhud. Oleh sebab itu pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mampu mengisi kekosongan spiritual dan meningkatkan gairah beragama bagi santri. (Lebih lanjut lihat buku Kekerasan Dalam Kerajaan Surgawi). 
Soal kepribadian dan kepiawaikan dalam mendidik, cukup masyarakat yang melakukan penilaian. Itu haknya masyarakat. Sementara santri dituntut hanya mengabdikan diri, mengembangkan ilmu yang telah dituntut selama di pesantren. Ilmu apabila diajarkan, maka kepandaian  akan semakin bertambah dan bertambah. Tetapi kalau usai mengaji, tidak melakukan pengembangan terhadap ilmu yang telah dipelajari dengan mengajar, maka tunggu sajalah dalam waktu sekejab seluruh ilmu itu akan hilang sendirinya, kata Abdullah Aminuddin suatu ketika.
Sang guru besar pesantren ini sangat menekankan kepada para lulusan Madrasatul ‘Ulum untuk selalu dalam keadaan mengajar. Sebaik-baik untung urang siak (sebuatan lain bagi orang yang bergelar tuanku, labai serta pendampingnya di Pariaman) adalah kalau dia mau mengajar nantinya, dikala dia tidak lagi aktif di pesantren tempat dia menuntut ilmu. Ulama malinnya dek anak sasian. Artinya, seorang ulama itu dianggap ‘alim, manakala dia memiliki santri yang banyak. Sebuah pesantren yang memiliki santri ratusan orang, maka pengasuhnya/ulama yang mendidik di situ boleh dikatakan pintar/’alim dalam berbagai disiplin ilmu yang tersebar dalam kitab kuning.
Kesungguhan Abdullah Aminuddin untuk selalu mengajak para santrinya agar tidak merasa bosan nantinya dalam melakukan pendidikan terhadap santri, dibuktikan sendiri oleh beliau. Di mana dia sepanjang hayatnya hanya menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengajar. Di dunia pesantren, mengajar penting artinya, mengingat meningkatnya ilmu yang telah kita peroleh. Kemudian, agar jangan sampai agama ini dipegang oleh yang bukan ahlinya, seperti apa yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, melalui hadistnya : "Janganlah menangis selagi urusan agama masih di tangan para ahlinya, tetapi menangislah jika agama berada di tangan orang yang tidak berkompeten".
Inilah yang sebenarnya yang ditakutkan oleh Abdullah Aminuddin, di kala santri/para lulusan/hasil didikannya, banyak yang tidak melakukan aktivitas pendidikan surau/pesantren. Makanya, walaupun usianya telah tua, dan khalifahnya juga telah ada, saat masyarakat meminta santrinya untuk mengajar di suraunya, beliau langsung yang mengantarkan santri yang mau pergi mengajar di sebuah surau yang diminta oleh masyarakat tersebut.
Mengantarkan santri ke tempat pengabdian itu penting bagi Abdullah Aminuddin. Sebab, ada sejumlah pesan yang disampaikannya langsung kepada santri bersangkutan, agar jangan sampai mencemarkan nama baik Madrasatul ‘Ulum di lingkungan tempat santri itu mengembangkan ilmunya. Selain itu juga nasehat disampaikan saat menyerahkan santri kepada masyarakat. Kehadiran santrinya di lingkungan masyarakat tersebut, merupakan wakil dari Abdullah Aminuddin sendiri serta wakil Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan, sebagai lembaga pendidikan. Di mana santri tersebut dibesarkan dengan berbagai ilmu dan tradisi ke-Islam-an.
Demikian antara lain perbedaan antara pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan dengan pesantren salafiyah lainnya di Padang Pariaman, dalam memberikan gelar tuanku kepada santrinya. Begitu juga di antara sesama alumni Madrasatul ‘Ulum, jarang memanggil tuanku, kecuali dengan panggilan yang biasanya mereka pakai dulunya semasa jadi santri, yakni dengan panggilan 'guru tuo'. Panggilan tersebut merupakan dinamika pesantren salafiyan di daerah ini, di antara yang senior dengan yuniornya. Artinya, yang yunior selalu memanggil seniornya dengan panggilan guru tuo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar