wartawan singgalang

Sabtu, 02 Februari 2019

Fiqh Mengajarkan Kita Disiplin dan Teliti

Setiap pondok pesantren salafiyah memiliki ciri khas tersendiri dalam menjabarkan berbagai disiplin ilmu yang terangkum dalam kitab klasik. Seperti misalnya di salah satu pesantren yang paling menonjol hanya kajian tasawuf saja, atau ilmu nahwu sharaf (gramatika) saja. Tetapi bukan kajian lain tidak dipelajari di pesantren yang bersangkutan. Semua kitab yang menjadi pelajaran pokok, pasti dipelajari. Cuma, di setiap pesantren itu paling satu bidang studi yang paling menonjol, sehingga untuk mendalami ilmu lain, seorang santri harus pindah ke pesantren lain.
Begitu pula pesantren Madrasatul ‘Ulum Lubuk Pandan ketika dipimpin Abdullah Aminuddin. Yang paling menonjol adalah kajian gramatikan dan kajian fiqh (hukum Islam), sehingga kajian tasawuf atau kajian thariqat tidak begitu menonjol di Madrasatul ‘Ulum. Hal itu terbukti, mayoritas lulusan pesantren ini tidak begitu terkenal kajian tasawufnya. Santri dan alumni Madrasatul ‘Ulum tidak mewarisi silsilah guru, seperti yang diajarkan oleh kalangan thariqat.
Bagi ulama yang mendalami thariqat sebelum mengajarkan ilmu itu kepada santrinya, terlebih dahulu dia menjelaskan hubungan dia dengan gurunya sampai jenjang sahabat Nabi, bahkan sampai kepada Nabi Muhammad saw. Penjelasan dari guru ke guru yang lainya sampai ke atas itu menjadi sebuah keharusan di kalangan kaum thariqat. Tak mengherankan kalau banyak kaum thariqat ini melakukan kunjungan yang dikemas ke dalam bahasa "ziarah" ke makam-makam ulama yang dianggap ada pertaliannya dengan guru yang mengajarkan mereka ilmu, terutama ilmu thariqat. Kemudian memajang foto-foto para ulama terdahulu, yang punya pertalian dengan gurunya, menjadi kebanggaan tersendiri. Hal itu mengingat, agar santri yang sama sekali tidak melihat wajah gurunya, bisa mengenali guru-gurunya sampai ke atas. Di kalangan kaum thariqat, guru merupakan faktor utama yang harus dicontoh dalam kehidupan sehari-hari, serta berkat gurulah kita mampu mencapai puncak, ma'ripatullah dalam mengamalkan ilmu thariqat tersebut.
Abdullah Aminuddin yang membina dan mendirikan Madrasatul ‘Ulum dari 1940 M sampai 1996 M, lebih mengutamakan ilmu yang berkaitan dengan hukum Islam, yang merupakan pakaian sehari-hari mutlak didalami setiap umat Islam. Setiap yang kita lakukan selalu ada kaitannya dengan ilmu fiqh yang tersebar di sejumlah kitab kuning yang ditulis oleh ulama-ulama yang tidak diragukan lagi kematangan ilmunya di bidang fiqh tersebut.
Namun, bukan berarti Abdullah Aminuddin tidak memiliki ilmu thariqat. Bagi ulama yang satu ini, thariqat adalah sebuah ilmu yang harus disejalankan dengan kajian hukum, sehingga bisa disingkronisasikan dalam melakukan amalan sehari-hari. Kemudian untuk mendalami ilmu thariqat tidak begitu sulit, bila dibandingkan dengan ilmu fiqh. Untuk ilmu fiqh ini perlu penafsiran yang matang dan didukung dengan banyak referensi dari ilmu gramatika, sehingga fiqh itu mampu dibaca dan dipelajari tanpa harus dibimbing oleh guru.
Salah seorang alumni Madrasatul ‘Ulum, Marulis Tuanku Mudo menyebutkan, selama Abdullah Aminuddin membina santri dan santriwati tidak pernah mengajarkan ilmu thariqat kepada santrinya. Begitu juga kegiatan ziarah tidak pernah beliau agendakan di pesantren ini. Tetapi dia tidak pernah melarang santrinya untuk melakukan ziarah ke makam ulama-ulama terdahulu. Kemudian dia paling tidak suka tangannya dicium oleh santrinya ketika melakukan salaman. Artinya, dalam diri Abdullah Aminuddin tersirat, bahwa dia tidak ingin dikultuskan oleh santri dan masyarakat.
Kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkannya akibat dari mendalami ilmu fiqh, adalah selalu melakukan shalat yang lima diawal waktu serta berjemaah. Kemana pun dia pergi, pasti membawa salah seorang santri, guna membantu beliau dalam mengerjakan shalat di perjalanan nantinya. Pengalaman saya ketika dibawa ke Tiku, Kabupaten Agam, untuk memenuhi undangan masyarakat setempat dalam memperingati israk mi’raj. Dalam perjalanan dengan menaiki mobil umum dari Pauah Kamba ke Tiku, dengan menaiki mobil jurusan Padang-Lubuk Basung, ketika sampai di Sungai Limau, waktu shalat 'Asar telah masuk. Hal itu ditandai dengan banyaknya suara azan yang berkumandang di sejumlah masjid dan surau. Otomatis dia minta turun di Sungai Limau, guna melakukan shalat. Di sini terjadi adu argumen dengan sang sopir. Sopir tidak mau menurunkan beliau, dengan alasan jangan sampai penumpang yang terus ke Lubuk Basung kemalaman sampai di tujuan. Dan lagi ini mobil terakhir berangkat dari Padang ke Lubuk Basung, kalau bapak turun di sini, nanti mobil yang terus ke Lubuk Basung tidak ada lagi, kata sang sopir kepada Abdullah Aminuddin. Dengan kuatnya komitmen yang dipegang Abdullah Aminuddin, dia tetap turun di Sungai Limau menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
Kami turun dan terus ke masjid untuk selanjutnya melakukan shalat 'Asar dengan berjemaah. Sekitar 50 meter mobil tadi berjalan setelah kami turun, ternyata mobil tersebut mengalami pecah ban, sehingga awak mobil sibuk membuka ban dan memasang ban yang baru. Dan kami pun telah usai melakukan shalat. Akhirnya, kami tetap menaiki mobil yang tadi untuk terus ke Tiku. Banyak para penumpang yang membicarakan kami di atas mobil selama dalam perjalanan sampai di Tiku. Ada yang mengatakan, bahwa bapak ini tidak sembarang orang, bisa jadi dia seorang yang "keramat", tetapi kami tidak mempedulikan pembicaraan itu sampai kami turun di Tiku tempat tujuan awal, kata Marulis.
Abdullah Aminuddin menganjurkan kepada para santri yang pernah beliau didik, untuk lebih mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kecerdasan intelektual para santri setelah keluar dari pesantren itu, seperti tauhid (teologi), tajwib (tata cara membaca Al-Quran dengan baik), ilmu falak (astronomi), nahwu sharaf (gramatika), mantiq (logika) serta sejumlah ilmu lainya, ketimbang mengajarkan ilmu thariqat tersebut. Sebab ilmu thariqat akan lebih mudah dipelajari, apabila kita telah duluan mendalami ilmu fiqh.
Pentingnya mengutamakan kajian fiqh ini bagi Abdullah Aminuddin, terlihat sehari-hari dia selalu berhati-hati dalam melaksankan ibadah yang berhubungan dengan Tuhan. Mulai dari pelaksanaan wudhu’ misalnya ketika akan shalat. Hal itu memakan waktu yang cukup panjang, sehingga untuk hal itu, jauh sebelum waktu shalat masuk, beliau lebih duluan melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan shalat dimaksud, cerita Marulis. (Wawancara dengan Marulis Tuanku Mudo, Jumat 24 Mei 2002, di Koto Buruak, Lubuk Alung, dan Kamis 11 Mei 2006, di Pulau Aie, Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris bersama Afredison, AR). 
Berangkat dari pendalaman ilmu fiqh itu, tercerminlah kedisiplinan dalam diri Abdullah Aminuddin. Sebab, segala sesuatu diatur dalam fiqh dengan teratur nan apik. Untuk melakukan ibadah shalat beliau paling disiplin. Baik waktu pelaksanaan, maupun tata cara pelaksanaan. Dalam mengajar, disiplin waktu yang telah disepakati. Beliau paling duluan hadir di tempat pengajian, sehingga bagi santri yang belajar pagi langsung dengan beliau tidak bisa bersantai-santai. Sangat jarang santri yang menunggu beliau ketika belajar pagi. Maklum para santri sehabis shalat Subuh, banyak yang mengulang tidur, lantaran kurang tidur malamnya.
Kemudian dampak dari mendalami kajian fiqh, Abdullah Aminuddin senantiasa melakukan amalan-amalan tambahan/ amalan sunnah. Seperti mewiridkan membaca bacaan yang memiliki fadhilah/kelebihan di sisi Allah swt, selalu mewarnai kehidupan beliau. Seperti sehabis shalat Maghrib sampai menjelang pelaksanaan shalat ‘Isya, beliau tidak pernah berbicara dengan pembicaraan lain dengan siapa pun, kecuali waktu yang singkat itu dia gunakan untuk melakukan amalan sunnah yang beliau ketahui faedahnya. Kalau ada tamu yang mau berbicara dengan beliau, terpaksa harus menunggu sampai selesai shalat ‘Isya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar