wartawan singgalang

Selasa, 22 Januari 2013

Gamaran Kampung Pertama Dalam Nagari Lubuk Alung

Gamaran Kampung Pertama Dalam Nagari Lubuk Alung

Lubuk Alung---Gamaran merupakan kampung yang paling tua dalam Nagari Lubuk Alung. Dari kampung kecil yang dilingkari dengan perbukitan itulah awalnya dibangun dan dihuni kampung lainnya di nagari tersebut. Menurut cerita rakyat yang berkembang di kampung ini, Gamaran asal katanya; Gambaran.
    Artinya, dari Gamaran ini digambar seluruh wilayah yang tampak. Dilayangkan pandangan jauah, ditukiakkan pandangan dakek. Itu yang dilakukan oleh nenek moyang pertama rang Lubuk Alung, hingga akhirnya terjadilah seperti saat sekarang ini. Kemungkinan seperti itu ada juga benarnya. Sebab, Gamaran yang kini berada dalam Korong Salibutan memang berada pada ketinggian. Kemana pun pandangan dilayangkan, semuanyaa akan terlihat dengan jelas hamparan nan landai dan sungai yang mengalir dengan indah dan mempesona.
    Sejak Gamaran itu ada dan dihuni oleh manusia yang turun dari darek, sudah banyak pula pergolakan dan dinamika yang dilaluinya. Dulu, Gamaran bagian dari kampung yang bernama Koto Buruak, juga Nagari Lubuk Alung. Pada 1916, Gamaran dipisah dari Koto Buruak, lantaran penduduk bertambah banyak. Kini, Gamaran adalah sebuah jorong. Induknya Salibutan. Namun, pengaruh dan perannya dalam membuat sejarah Lubuk Alung diakui keberadaannya oleh semua orang di Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman ini.
    Cerita yang berkembang, orang pertama yang menghuni Gamaran bernama Salibutan. Suatu ketika, Salibutan ini mencari ikan di sepanjang sungai, yang saat itu belum bernama Sungai Batang Salibutan. Mungkin masih bernama sungai antah berantah. Dalam mencari ikan, yang kalau di kampung itu disebut lauak, tiba-tiba Salibutan hilang entah kemana rimbanya. Dicari tak bersua. Sampai akhirnya tidak pernah ditemukan orang itu. Akhirnya, untuk mengenangnya, dinamakanlah sungai tempat dia hilang itu dengan sebutan; Sungai Batang Salibutan. Hingga sekarang masih itu nama sungai nan rancak, aianyo janiah, sayaknyo landai tersebut.
    Kapalo Mudo Asri, salah seorang tokoh masyarakat Gamaran mengisahkan kampung Gamaran, nun jauh di bagian ujung timur Lubuk Alung ini. "Sungai Batang Salibutan, adalah karunia terindah oleh masyarakat Garaman dari Yang Maha Kuasa. Dari sungai ini, semua sumber kehidupan masyarakat bermula. Tidak sekedar tempat mandi pagi petang, bermainnya anak-anak kampung, tetapi juga sumber mata pencaharian," ceritanya.
    "Ada pameo yang hingga saat ini masih berlaku. Kalau seseorang sudah terminum air Gamaran, atau pernah mandi di Sungai Batang Salibutan, maka orang itu pasti akan kembali lagi ke kampung kecil yang bernama Gamaran ini. Dan itu tidak satu dua yang mengalaminya. Sudah banyak malah, sehingga dia menjadi cerita rakyat, yang tak bisa dianggap remeh oleh orang lain," ungkap Kapalo Mudo yang sangat terkenal dalam Nagari Lubuk Alung ini.
    Kemudian, sebutnya lagi, gadang Batang Salibutan bisa dinantikan. Anda lihatlah. Air bah yang datang beberapa waktu lalu. Tebing yang setinggi ini, bisa sekitar dua meter air dalam rumah orang, dan bahkan sempat menghanyutkan sebuah rumah. Tetapi aia gadang demikian bisa dinantinkan. Artinya, tidak berlangsung lama. Semua orang tahu, dan sudah menjadi cerita tersendiri dalam kampung.
    Apa makna yang bisa dipetik dari aia gadang, atau musim air bah manakala datang hujan demikian? Bila dalam rumahtangga terjadi cak-cik-cok, alias bertengkar suami dengan istrinya yang orang Gamaran ini, maka itu tak akan berlangsung lama. Kalaupun sempat lari dan hilang urang sumando itu dari rumah bininya, pasti suatu ketika dia akan babaliak pulang kerumahnya itu.
    Kapalo Mudo bersama sejumlah pemuka masyarakat itu juga menyebutkan, kalau Gamaran pernah punya kesenian indang yang sangat terkenal pada zaman saisuak. Indang itu sempat membawa nama Gamaran semakin dikenal banyak orang luar, yang tidak saja di Padang Pariaman. Namun, perjalanan waktu dan zaman, membuat indang ini tak lagi mengaum. Nyanyian indang yang dulunya seolah-olah seirama dengan riak dan perjalanan Sungai Batang Salibutan, tak lagi terdengar.
    Tentu banyak faktor yang menyebakan hilangnya kesenian urang awak demikian. Sebut saja pergeseran nilai-nilai budaya, yang begitu kencang menghantam sisi kehidupan anak muda zaman sekarang. Kemudian yang tak kalah serunya, lantaran semakin tingginya budaya merantau oleh anak muda putus sekolah, atau yang baru selesai sekolah menengah, sehingga anak muda dan remaja yang diasuh untuk ber-indang semakin langka pula. (damanhuri)

Kamis, 17 Januari 2013

Melihat Keindahan Pulau Cingkuak dan Pantai Carocok

Melihat Keindahan Pulau Cingkuak dan Pantai Carocok

Lubuk Alung---Bekerja melayani masyarakat setiap hari memang terasa jenuh juga, karena otak dan pikiran selalu bekerja dan berjalan berputar-putar. Refresing alias jalan-jalan menjadi alternatif yang sangat ampuh dan mujarab untuk melepaskan kepenatan tersebut.
    Sabtu lalu, Musyawarah Pimpinan Nagari (Muspinag) Lubuk Alung dibawah pimpinan Walinagari Harry Subrata memberangkatkan semua personilnya, untuk melepaskan rasa lelah dalam bekerja. Tidak jauh-jauh. Pantai Carocok di Kabupaten Pesisir Selatan sana jadi tujuan perjalannya.
    Rombongannya satu bus. Meminjam mobil Dinas Perhubungan Padang Pariaman, rasa gembira pun diluapkan selama dalam perjalanan dari Lubuk Alung ke Painan. Irama musik yang menjadi hiburan selama dalam perjalanan, sama sekali tak menghalangi anggota rombongan, yang didalamnya juga ada Ketua KAN, Ketua Bamus, Ketua LPM dan seluruh walikorong yang ada di nagari yang terkenal panasnya itu, untuk tetap berbagi cerita dan parasaian, serta membicarakan pembangunan untuk Lubuk Alung masa depan.
    Tidak terasa lama, mobil pun masuk lokasi Pantai carocok. Perjalanan dilanjutkan dengan naik feri, menuju Pulau Cingkuak. Perjalanan laut sekitar 10 menit itu jadi mengasikkan. Maklum, di Lubuk Alung tak ada laut. "Iko iyo raso di Lombok awak ko. Baru jalan-jalan namanya," kata Harry Subrata sesaat sebelum makan siang bersama di Pulau Cingkuak.
    Saking lamanya dalam perjalanan. Baik darat maun jalan laut, perut pun sangat terasa lapar. Anggota rombongan dari kaum hawa pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Setelah meminjam sebuah tikar, nasi bungkus pun disantap dengan lahapnya. Ada yang sampai tiga bungkus seorangnya menghabiskan, lantaran kelaparan. Asyik lah.
    Permainan sebagai tujuan untuk hiburan pun jadi agenda selanjutnya. Naik jet sky sekali dua orang pun jadi idola. "Melihatnya bak raso-raso ka lasuah mambaonyo. Tanpa basa-basi yang panjang, Harry Subrata bersama Nasrizal pun menaiki kendaraan demikian, yang dipandu langsung oleh yang punya. Walaupun acap terjatuh dalam laut, tapi seru juga lah," ceritanya.
    Sehabis itu, rombongan kembali ke tepi dengan menaiki feri tadi. Naik bus, melanjutkan tujuan ke Bukit Langkisau, yang tak jauh dari Pantai Carocok. "Baru lengkap wisata kita. Perjalanan darat, laut dan udara dengan melihat dan menyaksikan permainan paralayang," ungkap seorang anggota.
    Hikmah dari perjalanan sebagai pelepas penat, tentu tidak semata raun panik saja. Ada banyak nan racak, yang bisa pula di kembangkan di Lubuk Alung nantinya. Apalagi Lubuk Alung juga punya banyak lokasi wisata, namun belum bisa dijadikan seperti ramainya kunjungan wisatawan ke Pantai Carocok.
    Sebut saja Tapian Puti, Bendungan Anai dan tempat lainnya di Lubuk Alung yang tak kalah mengasikkan manakala dikelola dan dibuat dengan baik. Itulah tugas bersama Muspinag kedepannya, dalam melihat arti penting pengembangan wisata di Lubuk Alung. (damanhuri)

Rabu, 16 Januari 2013

Cerita Dibalik Tragedi Pasa Usang Iya Taragak Bana Sobok Jo Mak Uwo

Cerita Dibalik Tragedi Pasa Usang
Iya Taragak Bana Sobok Jo Mak Uwo

Batang Anai---Teti, Iya taragak bana sobok jo Mak Uwo. Itu ucapan yang paling mengesankan dari Iya, sapaan akrap Laura Sintia, seorang korban yang meninggal ditempat dalam kecelakaan maut, Selasa lalau di Talang Jala, Sungai Buluah. Erniwati nama Mak Uwonya, adalah kakak kandung dari ibu Laura, tinggal di Ujuang Gunuang, tak jauh dari tempat kejadian kecelakaan tersebut. Kata-kata taragak itu acap kali disampaikan mendiang kepada kakaknya, Pepi yang bekerja di Kantor Camat Batang Anai.
    Laura Sintia, siswi kelas IX SMP N 1 Batang Anai itu sejak enam bulan terakhir sudah dibawa pindak oleh kedua orangtuanya; Elwisda dan Raswin Rasyid di Pulai, Tabing, Kota Padang, dimana kedua orangtuanya itu menyewa sebuah rumah. Tak heran, setiap pagi Laura Sintia selalu naik oplet Kuala atau Kopaba untuk bisa sampai di sekolahnya di Pasa Usang, tanah kelahirannya sendiri.
    "Barangkali kata-kata ingin sobok sama Mak Uwo itu, bagian dari permintaan terakhir almarhumah, lantaran sudah lama pula tidak bersua dengannya. Dia dikenal anak yang sangat lincah. Bergaul dengan banyak kawan. Kalau dia sudah tahu seseorang itu dunsanaknya, dia pun tak segan-segan minta ini dan itu dari orang tersebut," cerita Mak Uwo Laura Sintia, Erniwati saat ditemui di rumahnya; Ujuang Gunuang, kemarin.
    Laura Sintia, merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Erniwati, sang Mak Uwo, barulah malam sehabis almarhumah dimakamkan dapat cerita demikian. "Sabana luntuah hati ambo ko. Dan sehabis dari Puskesmas Pasa Usang, mayatnya langsung di semayamkan di rumah ini. Dia mayat yang terakhir sebelum sopir dikeluarkan dari mobil," ungkap Erniwati lagi.
    Saat Singgalang takziah ke rumah Erniwati bersama Agusta Alidin, seorang pemuda Pasa Usang, yang masih terbilang mamak oleh mediang itu, tampak rasa duka masih menyelimuti keluarga besarnya. Kejadian naas yang ikut merenggut nyawa dara manis nan jolong gadang itu, membuat semua keluarganya yang tinggal diperantau pun harus pulang kampung. Bupati Padang Pariaman, H. Ali Mukhni bersama Kapolres dan polisi lainnya menyempatkan hadir dan membezuk di rumah Erniwati, tempat Laura Sintia di semayamkan terakhir itu.
    Syamsulrizal pemuda nan elok
    Sang sopir Kuala, Syamsulrizal yang ikut pula meninggal ditempat kejadian, adalah warga Kabun, Nagari Sungai Buluah. Pemuda 30 an tahun itu dikenal elok laku. Dia anak yatim yang ditinggal ayahnya karena meninggal dunia. Anak tertua pula. Tak heran, Syamsulrizal ini juga tulang punggung oleh keluarganya sendiri untuk mangurehkan hidup ibu dan adik-adiknya.
    "Sopir itu sabana elok urangnyo. Kalau mobilnya penuh, saat kita stop, dia tetap menghentikan mobilnya, dan bilang, uni, oto ambo panuah. Kalau naik mobilnya, kita sangat senang. Tidak pernah ngebut. Tidak terdengar musik yang keras-keras," cerita Sinet, seorang ibu rumahtangga yang sering naik mobil almarhum dari Pasa Usang ke Lubuk Alung dan sebaliknya setiap minggunya.
    Itu pula sebabnya, hampir setiap hari mobil yang dikendarai Syamsulrizal selalu penuh oleh penumpang. Dan dikabarkan pula, para guru dan pelajar yang tinggal di Kasang dan Padang untuk menuju Pasa Usang selalu menunggu mobilnya. (damanhuri)

Selasa, 15 Januari 2013

Tangis dan Pekikkan Membahana di Pasa Usang

Tangis dan Pekikkan Membahana di Pasa Usang

Batang Anai---Tangisan buncah di Pasa Usang. Pekikkan histeris terdengar membahana, melihat darah berserakan akibat kecelakaan maut antara oplet jurusan Lubuk Alung-Padang, BA 2892 FE dengan travel L-300, BB 1130 FD dari Padang Sidempuan, Sumatra Utara menuju Padang. Antrian panjang pun tak terelakkan pagi hingga siang kemarin. Banyak orang melihat pada meneteskan air mata.
    Kejadian sekitar pukul 07.15 pagi Selasa itu disebutkan karena laju kendaraan travel ini lumayan kencang. Sedangkan oplet ini juga sarat dengan muatan, melaju dengan kencang pula, karena mengejar jam sekolah, karena penumpangnya terdiri dari siswa dan guru yang akan belajar dan mengajar di Pasa Usang dan Lubuk Alung.
    Ditempat kejadian, tewas sebanyak enam orang. Masing-masing; Citra Wulandari, Yunisa Afridisma, Jalimar (siswi dan dua guru SMA N 1 Batang Anai), Laura Sintia (siswi SMP N 1 Batang Anai), Fauzi Agustian (siswa SMA N 1 Lubuk Alung), Syamsulrizal (sopir oplet), dan Gusti Prinanda (siswa SMP N 1 Batang Anai) meninggal di Puskesmas Pasa Usang.
    "Ini merupakan kecelakaan yang paling hebat. Meninggal sekali banyak. Untuk kesekian kalinya jalan raya Padang-Bukittinggi itu menelan korban nyawa banyak orang. Sekitar dua jam habis kejadian maut itu, datang pula hujan lebat, yang seolah-olah turun untuk membasuh dan menghilangkan bau darah mayat di jalan raya tersebut," sebut Agusta Alidin, salah seorang tokoh pemuda Pasa Usang.
    Kepala Dinas Pendidikan Padang Pariaman, Mulyadi, Bupati Ali Mukhni, Kapolres daerah itu, AKBP Amirjan turun langsung, melihat dan ikut merasakan duka yang amat dalam. Dari Puskesmas Pasa Usang, seluruh korban, baik yang meninggal dan luka berat dilarikan ke M. Djamil Padang.
    Rasa duka menyelumiti keluarga korban. Agaknya korban maut dijalanan tidak saja terjadi di kota besar di nusantara ini. Tetapi juga bisa dialami di jalan daerah, seperti Pasa Usang, Nagari Sungai Buluah, Padang Pariaman ini. Tangis sang ibu, setelah tahu anaknya meninggal dalam kecelakaan demikian, tak kemana dikadukannya. Seperti biasa, para pelajar itu tiap pagi selalu menaiki oplet untuk bisa sampai ke sekolahnya. (damanhuri)

Minggu, 13 Januari 2013

Potret Pengrajin di Kasang Menghidupi Anak dan Keluarga Dengan Sapu Lidi

Potret Pengrajin di Kasang
Menghidupi Anak dan Keluarga Dengan Sapu Lidi

Kasang---Untuk membuat sebuah sapu lidi, Erman dan Nurhayati tak butuh waktu lama. Cukup lima menit, selesai sapu lidi yang rancak. Pasangan suami istri ini memang telah lama membuat kerajian demikian. Bahkan, tiga orang putra-putrinya dihidupi dengan sapu lidi tersebut. Saat ini dia mempekerjakan empat orang tenaga kerja di rumahnya, untuk memenuhi kebutuhan pasar sapu lidi.
    Minggu kemarin, Erman dan Nurhayati didatangi oleh mahasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa Padang, guna melakukan praktikum bidang studi kewirausahaan. Rumahnya yang sangat sederhana di Kasang, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman itu penuh sesak. Mereka berdua bagaikan selebritis saja, karena dikerumuni oleh mahasiswa yang berlagak jadi wartawan.
    Menanyakan ini dan itu, sampai kepada rahasia perusahaan yang dijalankan oleh Erman sejak tujuh tahun yang silam itu. Kedatangan mahasiswa itu langsung dipimpin oleh dosennya; Dr. Irwandi Sulin. Nurhayati pun dengan telatennya memperlihatkan cara membuat sapu lidi, membuat simpai atau pengikat sapu tersebut dengan sangat cepatnya. Tak heran, saking cepat dan pintar Nurhayati membuat hal itu, puluhan mahasiswa ini jadi tercengang-cengang melihatnya.
    Ketika ditanya resep dan rahasianya, Nurhayati menjelaskan, bahwa kerjaan yang dilakukannya bersama suami tercintanya itu hanya bermodalkan semangat dan motivasi. "Orang lain bisa, kenapa kita tak pandai. Pokoknya harus bisa," kata dia. Semangat itulah yang membuat ibu muda tiga anak ini tidak pernah berhenti bekerja membuat sapu lidi.
    Lidi yang merupakan rautan dari daun kelapa ini tak pernah putus-putusnya. Pokoknya bahan bakunya sangat cukup. Maklum, Padang Pariaman terkenal dengan daerah penghasil kelapa terbesar di Sumatra Barat. Banyak lidi yang diantarkan oleh pengumpul dari Sungai Geringging, Toboh Gadang dan kampung lainnya.
    "Untuk seikat lidi, kita membeli seharga Rp850. Setelah dia jadikan sapu lidi, harga cukup meningkat. Untuk sekodi sapu lidi dengan ukuran kecil kita jual seharga Rp65 ribu, dan ukuran besar Rp75 ribu. Dalam sehari, bersama istri dan empat orang karyawan mampu menyudahkan 40 kodi sapu lidi," cerita Erman.
    Erman langsung pula mengantarkan sapu lidi yang telah siap itu keluar daerah, atas persetujuan induk semangnya. Sekali bawa dengan sebuah mobil DA. Yang paling acap itu ke daerah Riau. Ada juga sampai ke Lampung. "Sebenarnya permintaan akan sapu lidi ini sangat banyak. Dan menurut saya, inilah pekerjaan yang paling menyenangkan, karena sapu lidi ini barang yang tak pernah punah atau rasan, seperti penjual makanan. Untuk ini pula, setiap hari karyawan tidak pernah berhenti kerja," ujar dia.
    Selama melakukan praktikum, para mahasiswa mendapatkan ilmu yang luar bisa sekali. "Ada semacam motivasi yang kita dapatkan, dari keuletan dan kegigihan ibu ini bekerja dalam menghidupi rumahtangganya. Padahal dia tidak pernah kuliah seperti yang kita lakukan saat ini," sebut Riki Mardianto.
    Irwandi Sulin, selaku dosen yang mendampingi mahasiswa ini minta kepada mahasiswa untuk membuatkan proposal, agar usaha kecil ini bisa dapat bantuan dari pihak lain. Sebab, dalam usaha seperti ini yang paling banyak untung itu adalah penjual. Dan juga yang menjadi keluhan Erman selama ini, adalah kendala modal yang tidak ada. (damanhuri)

Kamis, 10 Januari 2013

Hidup di Pondok tak Berlistrik Keluarga Ratna Juita Sangat Memprihatinkan

Hidup di Pondok tak Berlistrik
Keluarga Ratna Juita Sangat Memprihatinkan

Lubuk Alung---Berdamai dengan hati memang sesuatu pekerjaan yang sangat berat sekali. Tetapi apa hendak dikata. Yahya (55), seorang buruh tani itu harus mampu berdamai dengan hatinya sendiri. Dengan sabar dan telatennya dia melakukan semua kewajiban rumahtangganya. Mulai dari mencuci, memasak, dan tentunya mencari pitih demi kehidupan tiga orang putra-putri dan istrinya yang sakit.
    Istrinya, Ratna Juita (37) hanya bisa diam. Dia mengidap penyakit asam urat dan komplikasi penyakit lainnya yang sudah lama dideritanya. Tiga orang buah hati hasil dari perkawinannya dengan Yahya masih kecil-kecil. Yang paling gadang anaknya baru duduk dibangku SD.
    Pasangan suami istri dan keluarga kecil ini mendiami sebuah pondok, yang dimalam hari hanya diterangi lampu togok. Listrik belum masuk, lantaran tak ada uang untuk membiayai kemasukan listrik tersebut. Mereka tinggal di Kayugadang, Korong Koto Buruak, Nagari Lubuk Alung, Padang Pariaman.
    Camat Lubuk Alung, H. Azminur merasa terenyuh melihat parasaian warganya itu. Apalagi Ratna Juita susah bangat diajak becara, lantaran banyaknya penyakit yang dideritanya. Dari pondok kecil yang belum dialiri listrik itulah Yahya dan Ratna Juita menahan pedih dan kerasnya hidup. Ingin mereka seperti orang kebanyakan dalam wilayah Lubuk Alung, punya rumah sederhana, bisa nonton tv, tapi hanya lewat mimpi.
    Bila pagi hari, Yahya harus melakukan semua pekerjaan yang mesti dilakukan oleh istrinya itu. Dia masakkan pula nasi dulu buat makan anak dan istrinya, barulah dia bisa pergi mencari pitih, bekerja diladang dan sawah orang lain.
    Dengan usianya yang semakin tua, tentu Yahya tak sekuat dulu lagi, yang bisa banyak kerjaan yang bisa dilakukannya. Namun, karena panggilan dan tuntutan hidup, dia sandang terus cangkul di bahunya, menjajakan tenaganya di lahan orang lain yang membutuhkan tenaganya.
    Sedangkan kondisi bininya, Ratna Juita semakin memprihatinkan saja. Tubuh dan anggota badannya semakin mengecil. Rengekkan dan rintihan anaknya, manakala Yahya sedang tidak dirumah, tak bisa dibayangkan. Terpaksalah anak sekecil itu tumbuh dan berkembang dengan apa adanya, mencari mainan dan makan sendirian, tanpa perhatian serius dari orangtuanya yang dirundung kesusahan. (damanhuri)

Rabu, 09 Januari 2013

Pasangan Suami Istri Itu Sudah Tujuh Tahun Sakit dan Tergolek


Pasangan Suami Istri Itu Sudah Tujuh Tahun Sakit dan Tergolek

Lubuk Alung---Syamsir (60) sudah tujuh tahun mengidap penyakit tinggam api. Jari kaki kananya mulai habis, dan sebagian jari tangan juga sudah buntung-buntung. Penyakit itu tibanya sekali tiga hari. Waktu datangnya bagaikan kembang api yang mau meledak. Panasnya minta ampun, yang menusuk ke sekujur tubuhnya. Sedangkan istrinya, Santi alias Lapuang sudah tujuh tahun pula tergolek ditempat tidur dalam rumahnya.
    Lapuang, ibu dari lima orang putra-putri ini, kata bidan mengalami penyakit syaraf urat pinggulnya, karena terjatuh dari motor ketika berboncengan dengan anaknya tujuh tahun yang silam. Lengkaplah sudah penyakit yang ditanggung oleh pasangan suami istri ini. Sejak sakit, Lapuang tak lagi bisa berbuat apapun. Hanya tidur dan makan minum. Sedangkan untuk buang air besar dan kecil, terpaksalah anaknya dengan ikhlas menampung kotoran demikian dari tempat tidurnya itu. "Duduk saja susah," kata dia.
    Jumat sore lalu, Singgalang diajak menjenguk keluarga ini oleh Camat dan Walinagari Lubuk Alung, H. Azminur dan Harry Subrata, serta Sekretaris Bamus Lubuk Alung, Landi Effendi ke rumahnya; Gamaran, Korong Salibutan, Nagari Lubuk Alung, Padang Pariaman, nun jauh diujung timur nagari itu. Untuk sampai rumahnya, mobil dinas camat harus diparkir ditepi jalan, tepatnya ditepi Sungai Batang Salibutan, dan selajutnya berjalan kaki, menempuh pematang sawah sekitar 30 meter.
    Rumahnya berdiri sendiri ditengah sawah kampung itu. Rumah tetangganya agak jauh dari rumah itu. Terkesan, banyak orang di kampung itu tak banyak yang tahu, kalau Syamsir dan Lapuang mengidap penyakit yang sangat akut. Saking lamanya Lapuang tidur di pembaringan, membuat tubuhnya sudah sangat putih, lantaran tidak lagi terkena angin.
    Syamsir menceritakan, kalau penyakit yang dia derita itu namanya tinggam api. Ada juga orang menamakan dengan biriang asok. Itu istilah kampungnya. Sejak penyakit itu dideritanya, Syamsir belum pernah berobat ke rumah sakit. Hanya obat kampung. Itu pun tak berjalan maksimal. Kakak kandungnya juga mengalami penyakit yang sama dengan dia. Usai meletus, jari-jari kaki dan tangannya langsung mengeras. Dia langsung mengabil sebilah pisau yang tajam, lalu diputusnya dengan pisau tersebut.
    Namun, semangat kerja bapak ini tak pernah putus. Dia terus bekerja sebagai petani kampung, menggarap sawah dan ladang. "Dulu sempat berladang. Kini ndak talok doh lai. Hanya sebidang sawah yang digarap untuk makan anak bini. Kalau turun ke sawah terpaksa pakai sepatu, agar tidak hinggap pula penyakit lainnya," ucap dia.
    Dengan penyakit itu pula, Syamsir dan Lapuang sudah pasrah saja menjalani hidup yang semakin keras ini. Tak heran dari sekian banyak anaknya hanya bersekolah sampai tamat SD. Kalaupun ada yang SMP, itu belum ada yang tamat. Bahkan, penyakit itu diketahui, lantaran ada seorang anaknya yang terbilang agak nakal di sekolah. Gurunya pun heran. Rupanya, sang anak tidak mendapatkan perhatian yang serius dirumah, lantaran kedua orangtuanya, Syamsir dan Lapuang sibuk mengidap penyakitnya yang sangat berat pula.
    Sebagain bantuan emergensi, Camat Azminur dan Walinagari Harry Subrata langsung turun tangan. Memberikan sedikit bantuan. Dan selanjutnya, camat menghubungi Kepala Puskesmas Sikabu Lubuk Alung yang tak jauh dari rumah keluarga itu, untuk bisa dicarikan jalan terbaiknya.
    "Bapak ibu harus berobat dan dirawat dengan baik, agar bisa sembuh seperti sedia kala. Sebab, penanganan suatu penyakit dengan medis sangat besar artinya, dalam menjaga dan memastikan penyakit apa yang diderita namanya. Nanti pihak Puskesmas akan memfasilitasinya," kata Azminur dan Harry Subrata. (damanhuri)

Amukan Sungai Batang Anai Rumah Hanimar Nyaris Hanyut

Amukan Sungai Batang Anai
Rumah Hanimar Nyaris Hanyut

Lubuk Alung---Menjelang pergantian tahun baru banyak orang bergembira-ria. Melakukan dan membuat berbagai hal, yang membuat suasa jadi senang. Kalau anak-anak sibuk dengan membunyikan terompet. Bunyinya saling bersahutan antara yang satu dengan lainnya. Setidaknya hal itu terasa sekali, beberapa hari menjelang pergantian tahun baru di Lubuk Alung, Padang Pariaman.
    Sangking gembiranya, hampir semua penduduk sejak beberapa hari lalu hingga Senin malam memadati Lubuk Alung. Dengan semaraknya bunyi-bunyian terompek, agaknya membuat pengendara tidak merasa bosan dengan kemacetan yang sampai berjam-jam harus antri di Lubuk Alung itu.
    Namun, kegembiraan pergantian tahun baru itu tidak bisa dinikmati Hanimar (49), warga Koto Buruak, Lubuk Alung. Betapa tidak, Sabtu (29/12) lalu hujan yang terjadi semalaman membuat ibu tujuh orang
putra-putri ini tak bisa tidur dengan nyenyak. Pukul 03.00 dini hari Minggu dia mendengarkan dentuman runtuhnya tebing Sungai Batang Anai yang cukup kuat disamping pondoknya.
    "Dilihat keluar rumah, rupanya halaman samping rumah sudah hampir habis, karena runtuh oleh terjangan air sungai. Mungkin air bah yang datang malam itu cukup besar, sehingga halamnya yang terban mencapai seluas lima meter. Paginya, awak tidak merasa nyaman. Semua pekerjaan yang telah terbengkalai dengan terpaksa harus ditinggalkan dulu. Bersama anak, ambo kumpulkan semua barang-barang isi rumah," ceritanya sedih.
    Memang, rumah Hanimar, janda beranak banyak yang ditinggal suaminya sejak empat tahun yang lalu, karena meninggal dunia itu terletak dipinggir Sungai Batang Anai. Menurut banyak orang yang datang
kerumahnya, Senin kemarin, kalau terjadi hujan sekali lagi, sempat air gadang pula, maka hanyutlah semua rumah ini. Sebab, kejadian malam Sabtu itu saja sempat menghanyutkan pondok kayu yang terletak di
belakang rumah Hanimar.
    Sedih bagi Hanimar bersama anak dan menatunya belum bisa dicarikan solusinya. Mau tak mau, dia sudah harus meninggalkan rumah pondok kayu yang dihuninya sejak 14 tahun yang silam itu. Kenapa begitu? "Alu dapek tanah lai pak, dima rumah ko ka ditagakkan. Rumah ini pun tanahnya disewa yang dibayar setiap tahunnya. Itulah nasib, kalau tak punya lahan untuk membuat rumah," kenangnya.
    Dalam keseharian, Hanimar mengayuh biduk kehidupan secara sendirian. Hampir setiap hari ibu gigih ini berjualan sayur-sayuran di Pasar Lubuk Alung. Kadang-kadang sampai ke Lubuk Buayo, Kota Padang bagai. "Apo nan dapek se yang dijua pak. Ado jariang, cubadak, pokoknyo sayuran lah. Hanya itu yang bisa dilakukan, terutama untuk membiayai anak yang masih sekolah di SMP dan SD," ungkapnya.
    Walinagari Lubuk Alung, Harry Subrata yang datang kerumahnya bersama Singgalang melakukan gerak cepat. Dia pun menghubungi Camat Azminur dan pihak BPBD Padang Pariaman, karena rumah warganya yang berada pada zona merah itu harus cepat diselamatkan, sebelum terjadi kemungkinan terburuk.
    Setelah berkoordinasi dengan Kepala SD N 05 Lubuk Alung yang terletak didepan rumah Hanimar, Harry Subrata yang juga Ketua Komite SD itu menyuruh Hanimar untuk memindahkan alat peragatnya kedalam sebuah gudang sekolah. Sedangkan untuk tidur dimalam hari, silakan pakai sebuah lokal. Sebab, sekolah lagi sedang libur. (damanhuri)