wartawan singgalang

Sabtu, 02 Februari 2019

Belajar Disiplin dari Buya

"Sabiah, Tuak," kata Buya kepada Mansurdin Datuak Panduko usai mengucapkan salam kedua dalam shalat. Dan memang, wirid membaca tasbih, tahmid dan tahlil usai shalat termasuk amalan yang rutin oleh Buya. Membacanya secara berjemaah, dan dipimpin oleh seseorang tidak surang-surang.
Sepertinya, untuk memimpin pembacaan tasbih setelah shalat, Buya lebih mempercayakan kepada Datuak Panduko. "Sabiah, Tuak," uajr Buya. "Datuak ndak ado doh Buya," kata kawan santri yang lain. "Waang, sabiah," lanjut Buya sambil melemparkan alat hitungan tasbih kepada santri yang ditujunya.
Itu pemandangan yang saya saksikan selama saya mengaji di Pesantren Madrasatul 'Ulum (1992-1997). Saya merasa beruntung, masih bisa belajar langsung sama Buya, dan saya salah seorang marapulai tafsir terakhir, yang langsung Buya menyerahkan ijazah setamat marapaulai akhir 1995 lalu. Setahun lamanya tiap pagi mengaji di atas anjung saat jadi marapulai tafsir, sangat banyak rasanya ilmu yang diajarkan Buya.
Selalu ada cerita-cerita tauladan dari ulama dulu yang disebut Buya, manakala pengajian menyangkut seorang ulama. Buya acap menyebut Ungku Mudiak Padang atau Ungku Ampalu (Syekh Muhammad Yatim) yang juga guru beliau semasa di Surau Kalampaian Ampalu Tinggi. Kini telah 22 tahun lamanya Buya tak lagi bersama kita. Adakah kisah menarik dari beliau yang kita sebut-sebut saat ini?
Tentu penyebutan kenangan kita bersama guru, adalah bagian dari sweet memories, karena kita merasakan dampak besar yang amat luar biasa dari berguru ke beliau dulunya. Saya yakin, setiap kita yang pernah bersua dan berinteraksi dengan Buya dulunya pasti punya kenangan tersendiri.
Kurang lebih lima tahun di Lubuk Pandan, banyak rasanya kenangan dan pelajaran yang saya dapatkan. Karena rajin membaca majalah, lantaran adanya majalah Media Dakwah yang menjadi media langganan Madrasatul 'Ulum samasa OSIP dipimpin oleh sahabat Tuo Afredison, dan sesekali saya beli koran Republika, saya terjun ke dunia jurnalistik.
Saya baru tahu, kalau jurnalistik awalnya lahir dari orang pendidikan surau. KH. Sirajuddin Abbas, adalah ulama PERTI yang pernah jadi wartawan, dan karya bukunya jadi bahan bacaan oleh santri dulunya. Buya Hamka, juga seorang ulama yang menjadi wartawan dan mendirikan media cetak. Dan tentunya banyak lagi orang surau lainnya yang suka melakukan dakwah secara tulisan tersebut.
Dunia jurnalistik telah mengantarkan saya melanglang buana ke berbagai daerah di nusantara ini. Dunia jurnailitik bukanlah dunia tempat mencari kekayaan. Sama juga halnya dengan dunia ulama yang ceramah di berbagai mimbar Jumat. Tetapi, lewat profesi dakwah belum terdengar pula ada wartawan dan ulama yang mati kelaparan.
Namun demikian, semuanya terpulang pada niat dan nawaitu kita. Mari kita luruskan niat, bahwa melakukan dakwah adalah untuk menyebar kebaikan, amar makruf nahi mungkar. Kita tiru keikhlasan niat Buya dulunya mendidik santri. Keikhlasan beliaulah menjadikan dia sebagai ulama panutan. Mampu menghadirkan santri dari berbagai belahan penjuru nagari di Minangkabau, bahkan semasa saya di Lubuk Pandan ada santri dari Aceh. Salamuddin namanya.
Disiplin. Dari Madrasatul 'Ulum saya belajar tentang disiplin. Buya sangat disiplin dalam melakukan shalat yang lima waktu dan tak pernah shalat sendirian. Makanya, kemana pun Buya pergi, selalu membawa santri. Saya selama di Lubuk Pandan pernah dua kali mendampingi Buya. Pertama ke Pasar Pauah Kamba, dan kedua ke Masjid Raya Ringan-Ringan pergi Maulid Nabi Muhammad saw. Dalam mengaji pagi mendampingi marapulai, belum pernah saya lihat marapulai yang tiba duluan di atas anjung. Selalu Buya yang duduk duluan di tempat duduknya.
Selamat HAUL XXII Buya, semoga Allah swt meninggikan derajat Buya bersama para Auliya Allah lainnya. Amien. Lahuuu Alfatihah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar