wartawan singgalang

Senin, 07 Mei 2012

Dakwah Syekh Burhanuddin Dari Pacu Sampan Hingga Pemberdayaan Baruak

Dakwah Syekh Burhanuddin
Dari Pacu Sampan Hingga Pemberdayaan Baruak

Pariaman---Badan Pemberdayaan dan Pengembangan Kawasan Makam Syekh Burhanuddin (BP2KMSB) Ulakan mencatat peran dakwah yang dilakukan penyebar agama Islam itu cukup banyak. Terutama dakwah bil hal, atau dakwah lewat perilaku yang dicerminkan dari tingkah lakunya sendiri. Hebatnya, dakwah tersebut berkembang dengan berbagai aspek kehidupan serta pemberdayaan manusia itu sendiri.
    "Seperti diawal-awal sepulangnya Syekh Burhanuddin dari Aceh. Pasca itu mashur di pantai Ulakan, Padang Pariaman olahraga selaju sampan. Boleh dibilang kegiatan olahraga selaju sampan yang kini dipopulerkan di Kota Padang tersebut, bermula dari ajaran Syekh Burhanuddin itu sendiri, pada saat puluhan sampan yang menjembut dia dari pantai Pariaman ke Pulau Angso," cerita MZ. Datuak Bungsu, Ketua BP2KMSB.
    Menurut dia, pada saat orang yang menjemput Syekh ke Pulau Angso berserabut untuk supaya maha gurunya itu bisa menaiki sampannya masing-masing, Syekh BUrhanuddin tidak ingin diskriminasi. Semua penjemput dia berlakukan sama. Artinya, dari sekian banyak sampan, yang saat itu masih didayung, disuruh berbaris-baris, dan selajutnya bisa bersamaan sampai ditepi.
    "Allah, kata pendayung sampan yang satu. Allah, sahut yang lain. Maka dimulailah mendayung sampan, dari Pulau Angso menuju pantai Ulakan. Selama dalam perjalanan membawa Syekh Burhanuddin demikian, semua pendayung sampan itu selalu meneriakkan Allah. Akhirnya, khalimat demikian dijadikan untuk berzikir. Pemandangan yang terlihat kala itu, pas bagaikan orang yang sedang berpancu sampan. Dan memang, pasca demikian sempat populer acara pacu sampan. Namun tak berlangsung lama, lalu menghilang," ujarnya.
    Itu salah satu dakwah bil hal yang dipopulerkan Syekh Burhanuddin dalam melakukan Islamisasi, yang dimulai dari Ulakan. Dia mengajak umat untuk menganut Islam tidak dengan cara kekerasan. Melainkan dengan menghargai tradisi dan budaya yang berkembang saat itu. Budaya dan tradisi itulah yang dia perbaiki, sehingga sesuai dengan ajaran Islam rahmatal lilalamin, lewat kajian Tariqat Syatthariyah.
    Saat ini selaju sampan banyak dipopulerkan di daerah Riau. Terutama pada saat pesta Muharam, serta menyambut bulan puasa. "Dan historisnya perkembangan selanju sampan yang kini juga dilakukan masyarakat Mahek, Kabupaten LImapuluh Kota, dilakukan dari tradisi yang awalnya dimulai dari Syekh Burhanuddin tersebut. Pertautannya sangat jelas, karena sebagian diwilayah Riau yang melakukan hal itu, juga melakukan ziarah ke makam Syekh Burhanuddin pasa saat-saat tertentu. Begitu juga masyarakat Limapuluh Kota," terangnya.
    Disamping itu, Syekh Burhanuddin dianggap ulama yang berhasil melepaskan perbudakkan terhadap manusia. Dulu, yang memajat kelapa di seantero Padang Pariaman adalah orang. Belum tersebut monyet alias baruak untuk hal itu. Dengan kekuatan orang, memang banyak dan cepat kelapa jatuhnya.
    "Melihat kondisi demikian, Syekh Burhanuddin tidak tahan hati. Ditemukanlah seekor binatang. Dia sendiri yang ikut mengajari binatang demikian untuk bisa memanjat pohon kelapa. Lama kelamaan, binatang yang dikenal oleh rang Piaman bernama baruak itu diberdayakan. Secara perlahan, regenerasi orang pun berkurang untuk memanjat kelapa, baruak pun berkembang," sebut Datuak Bungsu.
    Syekh Burhanuddin, lanjut Datuak Bungsu, ingin manusia berbuat sesuai kesanggupannya. Termasuk sekalian dalam menjalankan ajaran agama yang dia kembangkan. Dan sekali-kali tidak boleh manusia itu mengerjakan hal yang dianggap mematikan diri. Sebab, ketinggian pohon kelapa akan sangat mengancam jiwa seseorang dari kesematan hidup. "Kita ingin, kegiatan yang mempunyai nilai historis itu bisa dikembalikan. Dan itu merupakan bagian dari upaya pengembangan makam Syekh Burhanuddin ini dimata pengunjungnya yang berdatangan setiap saat. Kita telah coba lakukan pacu sampan. Namun, karena kurang dapat sambutan dari pemerintah, hal itu tak bisa berkembang kembali. Begitu juga pemberdayaan baruak. Kita coba pula lomba panjat kelapa oleh baruak-baruak," ungkapnya. (damanhuri)
 

Lubuk Alung, Kekuasaan Basa Barampek Pucuak Baranam

Lubuk Alung, Kekuasaan Basa Barampek Pucuak Baranam

Lubuk Alung---Kenagarian Lubuk Alung, Padang Pariaman dikenal sebuah nagari besar dan padat penduduk. Masyarakatnya sangat heterogen. Dengan itu pula berbagai perkembangan nagari strategis itu sangat cepat. Nagari itu telah berkali-kali melahirkan anak atau dimekarkan. Konon kabarnya, Kasang, Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai merupakan dua nagari yang menjadi wilayah kekuasaannya Lubuk Alung zaman dulunya. Hal itu terbukti, betapa orang-orang yang tergabung pada Ikatan Keluarga Lubuk Alung (IKALA) disejumlah perantauan, ada juga anak nagari dari Kasang dan Sungai Buluah demikian.
    Terakhir, Lubuk Alung kembali melahirkan empat pemerintahan nagari lagi. Cuman, pemekaran kali ini tidak seperti pemekaran yang pernah dilakukan pada zaman saisuak. Seperti Nagari Pasie Laweh, Aie Tajun, Pungguang Kasiak dan Sikabu, tetap nama Lubuk Alung menempel dibelakang nama kenagarian tersebut. Artinya, adat salingka nagari tetap berada dibawah kendali KAN-nya Lubuk Alung.
    Lubuk Alung juga dikenal nagari yang dilahirkan oleh niniak mamak yang 10, dengan rinciannya, basa barampek, pucuak baranam. Adapun basa barampek; Datuak Pado Basa, Datuak Marajo, Datuak Rajo Basa dan Datuak Batuah. Sementara, pucuak baranam; Datuak Rangkayo Mulie, Datuak Rangkayo Basa, Datuak Rangkayo Basa Jambak, Datuak Alat Cumano, Datuak Rajo Nan Sati dan Datuak Rajo Magek. Artinya, secara hukum adat, Lubuk Alung milik dari orang yang 10 demikian. Makanya, setiap kali prosesi KAN, orang yang akan jadi Ketua KAN tidak pernah lepas dari basa barampek, pucuak baranam.
    Dulu, cerita Suharman Datuak Pado Basa yang kini kembali memimpin KAN Lubuk Alung, nagari ini dipatok sangat luas. Dimudiak (utara) kekuasaan nagari ini sampai ke aka tagantuang di Asam Pulau. Hilia (selatan) sampai ke anak aie Sikayan Duo. Lauik (Barat) sampai ke banto buayo, dan darek (timur) sampai ke Kabupaten Solok.
    "Siapanpun yang akan jadi panghulu dalam kenagarian itu, harus ada rekomendasi dari basa barampek, pucuak baranam. Istilahnya, pusek jalo pumpunan ikan di Lubuk Alung terletak pada orang yang 10. Itu berlaku sejak nagari ini ada dan berkembang hingga saat ini," kata Datuak Pado Basa ketika ditanya Singgalang.
    Galian C
    Saat ini, Lubuk Alung membawahi enam korong. Masing-masing; Korong Koto Buruak, Singguliang, Pasa Lubuk Alung, Balah Hilia, Sungai Abang dan Korong Salibutan. Sungai Batang Anai yang melintasi nagari itu merupakan sumber kekayaan tersendiri. Galian C merupakan potensi terbesar. Namun, potensi itu tak selamanya membuat masyarakatnya senang dan nyaman. Buktinya, akibat penggarukkan yang dilakukan pihak penambang, menyebabkan Lubuk Alung terancam tenggelam.
    Walinagari Lubuk Alung, Harry Subrata mengakui nagari yang dia pimpin banyak potensi galian C. Namun, kekayaan berupa galian itu tak ada yang diketahui oleh pihak nagari. "Ada enam sumber galian diwilayah Lubuk Alung. Empat di Balah Hilia, satu di Kampuang Koto, Koto Buruak dan satu lagi di Salibutan. Itu merupakan penambang kelas besar. Kita telah mengajak para penambang itu untuk melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh truk yang mengangkut galian keluar. Tetapi, sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak penambang," kata dia.
    Memang, galian C di Lubuk Alung adalah problema tersendiri. Berbagai pihak arus bawah yang lahir dari anak nagari, telah melakukan bagaimana hal itu dieliminasi. Termasuk juga mendatangi Bupati Padang Pariaman, agar hal itu ditertibkan dengan baik dan benar. Agaknya hal itu tidak bisa disalahkan pihak penambang. Ada permainan mata juga dengan berbagai pihak dinagari itu, terhadap kenyamanannya mengambil kekayaan demikian.
    Kampung orang hebat
    Nagari yang memiliki penduduk sekitar 21 ribu jiwa atau sekitar 10 ribu kepala keluarga itu tak bisa dipungkiri, telah banyak melahirkan orang-orang hebat di percaturan Sumatra Barat, bahkan ada yang telah ikut menentukan arah kebijakan pada tingkat nasional.
    Sebut saja Prof. Azyumardi Azra yang pernah menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Bahkan, tokoh yang satu ini dikenal sebagai seorang cendikiawan Muhammadiyah, banyak melahirkan karya buku. Pada awal-awal reformasi, dia sempat disebut-sebut akan dijadikan Menteri Agama. Prof. Maidir Harun Datuak Sinaro. Disamping pernah menjadi Rektor IAIN Imam Bonjol, Padang, Maidir Harun juga satu dari sekian banyak niniak mamak Lubuk Alung. Sempat menjadi Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatra Barat, dan kini salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
    Disamping itu, Prof. Duski Samad Tuanku Mudo yang kini menjabat Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Prof. Isril Berd dan Prof. Mansyurddin, juga rang Lubuk Alung yang beraktivitas di Unand, Padang. Sementara, Dr. Irwandi Sulin, rang Lubuk Alung yang pernah menjadi Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa, Padang. Dan masih banyak lagi para tokoh, pimpinan partai politik yang berasal dari kampang itu.
    Walinagari
    Menyimak perkembangan yang terjadi di Lubuk Alung, ternyata tak seorangpun walinagarinya yang sampai satu periode. Sejak kembali ke pemerintahan nagari, Lubuk Alung termasuk nagari yang punya banyak walinagari. Pertama kali sebagai Pjs. Walinagari Lubuk Alung, AM Datuak Rangkayo Basa. Pjs tersebut yang menyelenggarakan Pilwana perdana, yang saat itu terpilih H. Sudirman Nazar.
    Tokoh yang dikenal sebagai pengusaha PO Transport itu hanya dua tahun lebih memimpin Lubuk Alung. Dia mundur, karena lebih memilih menjadi Ketua partai, ketimbang walinagari. Kemudian diangkat Harissuddin Alm, sebagai Pjs walinagari berikutnya. Dilakukan pemilihan walinagari, terpilih Jon Serli Datuak Marajo sebagai walinagari devenitif. Salah seorang niniak mamak Lubuk Alung ini akhirnya diberhentikan ditengah jalan, dan selanjutnya nagari itu dijabat oleh Nurhedi.
    Kini, Lubuk Alung dipimpin oleh Harry Subrata. Seorang anak muda punya banyak terobosan baru. Dia dilantik dua bulan yang lalu, untuk periode 2011-2017. Melihat kenyataan yang ada, Harry Subrata merupakan generasi muda pertama yang terpilih menjadi Walinagari Lubuk Alung.

Tugas dan Peran Niniak Mamak Lubuk Alung Zaman Saisuak

Lubuk Alung---Berbagai pameo atau kakobeh yang terlahir ditengah masyarakat, adalah cerminan dari perilaku masyarakat itu sendiri. Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman adalah sebuah nagari besar dan heterogen sejak dulunya, dikenal punya banyak pameo. Seperti Singguliang dikenal dengan pabisiak, bana lai picayo indak. Artinya, setiap kali ada keputusan ditengah masyarakat nagari, rang Singguliang membenarkan, tetapi tidak langsung mempercayainya. Diantara mereka selalu berbisik-bisik menanggapi keputusan dimaksud.
    Sementara, Balah Hilia dikenal dengan sambun saka. Sombong, kadang-kadang tidak perlu mufakat. Sungai Abang, sato ndak sato. Kasudahannyo sato juo (Ikut tak ikut, akhirnya ikut juga). Koto Buruak dikenal pacumbuan, dek ulah bisiak-bisiak rang Singguliang. Pasie Laweh huru-huru atau kompak. Salibutan terkenal galombangnya. Ondoh hilia ondoh mudiak, tidak tahu ujung pangkalnya. Padang Baru terkenal kusuik rambuik. Obatnya basikek atau bersisir. Gantiang disebut tampaik batanyo. Banyak urang nan cadiak. Surantiah ibarat karanjang kuman. Tiap sebentar berpenyakit.
    Lubuk Alung adalah nagari yang memiliki basa barampek, pucuak baranam, jirek barampek dan tiga letbi atau perwakilan. Basa barampek bertugas mengulayati diulayatnya masing-masing, tentang pusako dalam ulayatnya. Baik yang bergerak/sanak kamanakan, maupun yang tidak bergerak/tanah menurut sepanjang adat yang berlaku di nagari itu. Sementara, pucuak baranam bertugas melestarikan hukum adat terhadap sanak kamanakan, dan sako adat (panghulu/kebesaran) disetiap sukunya masing-masing.
    Sementara, jirek yang barampek bertugas menjaga adat dan pusako diwilayahnya yang berkedudukan, dan bekerjasama dengan basa adat. Letbi adalah perwakilan niniak mamak. Mereka berkedudukan di Pungguang Kasiak, Buayan dan Sikabu. Adapun letbi yang bertiga itu; Datuak Panyalai bersuku Panyalai berkedudukan di Sikabu. Datuak Rangkayo Basa bersuku Tanjung, bertugas di Pungguang Kasiak dan Datuak Rajo Lelo, suku Lubis memerintah di Buayan.
    Adapun wilayah basa nan barampek; Datuak Pado Basa suku Jambak. Wilayah kekuasaannya Koto Buruak. Mulai dari Bukit Ujuang Guguak, sampai ke Anak Aie Sakayan Batu, bersapadan dengan Sungai Buluah. Sementara, Datuak Marajo suku Panyalai, berkuasa diwilayah Balah Hilia. Mulai dari Masjid Ampek Lingkuang, sampai ke Batuang Basurek di Kasang. Datuak Batuah suku Sikumbang. Dia memiliki wilayah kekuasaan adat di Sungai Abang. Mulai dari jembatan Sungai Abang sampai ke Aie Tajun bersapadan dengan Nagari Ketaping. Selanjutnya, Datuak Rajo Basa suku Koto. Yang satu ini berkuasa diwilayah Singguliang. Mulai dari Ujuang Sungai Abang sampai ke Lundang Bajawek, bersapadan dengan Nagari Parit Malintang, dan kamudiaknya berbatasan dengan Asam Pulau (Batang Sangkir).
    Sementara, pucuak baranam punya wilayah dan tempat tersendiri pula, melakukan apa yang telah menjadi wilayah kekuasaannya. Mereka adalah; Datuak Rajo Nan Sati suku Panyalai, bertempat di Singguliang. Berikutnya Datuak Rangkayo Basa, suku Jambak di Koto Buruak, Datuak Rajo Magek suku Sikumbang di Koto Buruak. Terus Datuak Rangkayo Basa, suku Koto di Sungai Abang, Datuak Rangkayo Mulie suku Tanjung di Singguliang dan Datuak Alat Cumano, suku Guci di Balah Hilia.
    Selain itu, jirek nan barampek juga mempunyai wilayah tugas tertentu. Mereka itu; Datuak Putiah suku Sikumbang di Pasie Laweh. Dia manjago aie kagadang. Datuak Ambasa, suku Sikumbang di Salibutan. Beliau bertugas manjago gunuang jan karuntuah. Selanjutnya, Datuak Ampono, suku Tanjung di Rimbo Panjang. Ini manjago laut kagambuang, dan Datuak Bungsu, suku Panyalai di Sungai Buluah. Dia majago pasang kanaiak. Kesemua niniak mamak di Lubuk Alung tempo dulu mencapai 125 orang.
    Pada tahun 1888 suku Mandahiliang (Lubis, Batubara, Nasution dan Siregar) mangisi adat ke Nagari Lubuk Alung. Korong Buayan yang mereka huni itu dulunya, merupakan ulayat Balah Hilia. Artinya, sabalah ka hilia. Kampung itu berbatasan dengan Anak Aie Kasang. Di Buayan tersebut pusako turun kapada anak, dengan letbinya Datuak Rajo Lelo, membawahi empat niniak mamak, yakni Datuak Rajo Mambang, Datuak Parhuman, Datuak Rajo Mandambin dan Datuak Rajo Lelo.
    Sedangkan pada 1928, Pungguang Kasiak belum satu nagari dengan Lubuk Alung. Pungguang Kasiak ini dikenal dengan adat diguguang dibao tabang, bermamak ke Lubuk Alung. Masuak bapalacuik, kalua bapahalau, dengan letbinya, Datuak Indo Marajo, serta 12 niniak mamakanya. Masing-masing; Datuak Parmato Mudo, Datuak Saih, Datuak Simarajo, Datuak Kando Sutan, Datuak Indo Marajo, Datuak Kando Marajo, Datuak Sinaro, Datuak Basa, Datuak Rangkayo Mulie, Datuak Mangguang dan Datuak Rangkayo Basa.
    Di Aie Tajun, yang kini juga telah jadi unit pemerintahan nagari yang setara pula dengan nagari lainnya di Padang Pariaman terkenal dengan niniak mamak nan baranam. Masing-masing; Datuak Mangguang Majolelo, Datuak Parpatiah, Datuak Bandaro Putiah, Datuak Rangkayo Batuah, Datuak Rangkayo Bungsu dan Datuak Simarajo.
    Sedangkan di Salibutan punya niniak mamak nan 10. Mereka adalah, Datuak Ambasa, Datuak Angkai Sati, Datuak Bandaro Putiah, Datuak Batuah, Datuak Maninjun, Datuak Marajo, Datuak Saripado, Datuak Mangkudun, Datuak Panghulu Basa dan Datuak Sirajo. Sedangkan Sikabu tersebut dengan niniak mamak nan baranam, yakni, Datuak Panyalai, Datuak Piliang, Datuak Pahlawan, Datuak Bandaro Sati, Datuak Rajo Mangkuto dan Datuak Simarajo.
    Teristimewa Pasie Laweh. Wilayahnya ini punya 21 niniak mamak. Mulai dari Datuak Putiah, Datuak Gindo I, Datuak Gindo II, P. Basa, Datuak Panghulu Kayo, Datuak Angkai Sati, Datuak Lelo Marajo, Datuak Cilangik, Datuak Talanai, Datuak Majo Basa, Datuak Bandaro Basa, Datuak Sari'an, Datuak Mudo, Datuak Sati, Datuak Bangso, Datuak Angkai, Datuak Rajo Bulan, Datuak Rajo Endah, Datuak Maninjun, Datuak Panduko Sinaro dan Datuak Panghulu Basa.
    Sedangkang Sungai Abang dibeking oleh sembilan niniak mamak. Mereka; Datuak Rajo Sampono, Datuak Gadang, Datuak Sirajo, Datuak Saripado, Datuak Batuah, Datuak Angkai Balai, Datuak Bangso Dirajo, Datuak Nando dan Datuak Batuah. Singguliang juga punya sembilan niniak mamak. Yakni, Datuak Siama, Datuak Majo Datuak, Datuak Putiah, Datuak Lelo Dirajo, Datuak Gindo Marajo, Datuak Angkai Jalelo, Datuak Majo Basa, Datuak Mangkudun dan Datuak Rajo Basa.
    Sementara, di Koto Buruak tersebut dengan niniak mamak nan 10. Mulai dari Datuak Basa, Datuak Amputiah, Datuak Nan Bareno, Datuak Tumangguang, Datuak Sari'an, Datuak Kando, Datuak Gadang, Datuak Angkai Mudo, Datuak Mulie dan Datuak Pado Basa. Hal yang sama dengan Koto Buruak, Balah Hilia juga punya kekuatan niniak mamak nan 10. Mereka, Datuak Kayo Tanjung, Datuak Kayo Jambak, Datuak Kayo Panyalai, Datuak Batuah, Datuak Tianso, Datuak Rajo Magek, Datuak Bungsu, Datuak Sinaro, Datuak Batuah dan Datuak Marajo.
    Lain lagi di Sungai Buluah. Ulayat ini punya niniak mamak nan 16. Masing-masing, Datuak Lembang, Datuak Sati Kapalo Banda, Datuak Sati Kampuang Apa, Datuak Talanai, Datuak Malano Basa, Datuak Mangkuto Sati, Datuak Mangguang Sati, Datuak Tampanghulu, Datuak Rirumah, Datuak Batuah, Datuak Mangkudun, Datuak Kando Marajo, Datuak Bangso, Datuak Putiah, Datuak Bungsu dan Datuak Hitam.
    Tulisan ini diambil dari berbagai nara sumber yang ada di Lubuk Alung, yang sempat diwawancarai Singgalang beberapa waktu lalu, bersama Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) setempat, Ruswan Tanjung. (damanhuri)

Minggu, 06 Mei 2012

Menjadikan Padang Pariaman Sebagai Kabupaten Gotong Royong

Menjadikan Padang Pariaman Sebagai Kabupaten Gotong Royong

Pariaman---Bagi masyarakat Padang Pariaman tak ada karuah nan tak kajaniah, dan tak ada pula kusuik nan tidak ka terselesaikan. Artinya, itu cerminan dari kebersamaan masyarakat dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi. Hal tersebut tumbuh dan berkembang, karena kuatnya budaya gotong royong, dan rasa memiliki terhadap kampung dan nagari oleh masing-masing individu.
    Dulu, untuk membuat rumah masyarakat tidak merasa kesulitan, dan bahkan tidak membutuhkan pitih yang banyak. Orang perkampungan mampu menyudahkan sebuah rumah hanya dengan sistem kongsi atau julo-julo. Ada namanya julo-julo semen, emas, beras dan lainnya. Artinya, seluruh kebutuhan masyarakat, mulai dari yang besar, seperti rumah, sampai kepada yang sekecil-kecilnya, dipersamakan oleh masyarakat lewat kegiatan yang namanya julo-julo.
    Peredaran zaman dan peralihan masa, budaya seperti demikian tak lagi punya sakral. Kalau pun ada, hanya sebagian kecil masyarakat yang membuat rumah dengan cara itu. Kesan yang terlihat, masyarakat sudah individualis. Kurang peka lagi terhadap sosial kemasyarakat. Akibatnya, terjadilan gep. Ada yang kaya, dan tak sedikit pula yang miskin. Yang kaya dengan mudahnya membangun rumah. Yang miskin semakin susah membuatnya.
    Berangkat dari keadaan yang semakin mengkhawatirkan tersebut, agaknya Bupati Padang Pariaman, H. Ali Mukhni kembali membangunkan masyarakatnya yang tidur pulas dalam soal semangat gotong royong. Bersama aparatur Pemkab, Ali Mukhni berkeliling kampung dan nagari. Menggalakkan budaya gotong royong yang dinilainya telah punah. Secara perlahan-lahan tapi pasti, semangat gotong royong mulai dirasakan masyarakat. Semua orang, ketika kampungnya menerima 'arisan' gotong royong pun berlomba-lomba untuk ikut. Laki-laki membawa cangkul, yang ibuk-ibuk membawa makanan apa adanya untuk dimakan saat istirahat.
    Ditengah plus minusnya budaya gotong royong yang terus diikuti bupati pilihan masyarakat 2010 itu, tampak bergema. Disamping gotong royong tingkat kabupaten yang digelar sebulan sekali, masyarakat nagari juga membuat kegiatan yang sama ditengah masyarakat korongnya, yang dipergilirkan setiap korong yang ada dalam kampung terkait. Bahkan, dalam waktu dekat ini akan ada kegiatan gotong royong tingkat nasional di Padang Pariaman. Artinya, program ini dilihat dan diikuti langsung oleh sejumlah Menteri yang duduk di Jakarta sana.
    Walaupun ada sejumlah orang yang melecehkan program demikian, karena dasar rang Piaman suka mancimeeh, kegiatan itu punya ciri khas tersendiri bagi Ali Mukhni. Kegiatannya kecil, tapi dampaknya luar biasa dirasakan masyarakat. Lihatlah, berbagai akses jalan perkampungan terbuka, saluran irigasi pun lancar, jalan tani diwujudkan dan sejumlah pembangunan lainnya terlihat nyata.
    Nampaknya, dalam membangun Padang Pariaman, Ali Mukhni tak ingin hanya cerita belaka. Dia ingin pembuktian yang nyata. Merajut kebersamaan masyarakat yang dulunya pernah ada, harus dikembalikan. Satu-satunya jalan, adalah gotong royong. Membangun berbagai hal yang bermanfaat bagi banyak orang. Kalaulah rasa memiliki tumbuh, kebersamaan terajut kembali, pembangunan besar, kesejahteraan masyarakat akan dengan mudahnya diwujudkan.
    Ali Mukhni pun telah mengkampanyekan, bahwa Padang Pariaman adalah kabupaten gotong royong. Hal itu telah disosialisasikan. Baik terhadap stakeholders yang ada dikampung halaman, maupun terhadap perantau yang ada diseluruh perantauan. Nagari-nagari yang ada pun dilacut dengan lomba tergiat dan teraktif melakukan gotong royong. Bagi nagari yang berhasil, tentu diberikan penghargaan, agar semangat ini terus tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. (damanhuri)

Gadis Cantik yang Ulet Nasib Desi Sekeras Batubata

Gadis Cantik yang Ulet
Nasib Desi Sekeras Batubata

Parit Malintang---Desi Mardiani, 18, sudah merasakan kerasnya hidup. Siswi kelas 1 SMAN 1 Kecamatan Enam Lingkung itu harus membiayai hidupnya sendirian. Sepulang sekolah dia bekerja mencetak batubata alias tembok, untuk biaya sekolahnya. Bahkan juga biaya keluarga yang hingga kini hidup dalam kemiskinan.
    Bagi Desi Mardiani, sekolahnya harus berlanjut dan tak boleh putus. Tidak tanggung-tanggung, anak nomor dua dari tujuh bersaudara, buah hati pasangan Buyuang Adiak dengan Martinis alias Upiah itu ingin jadi dokter. Semua keluarganya tak satupun yang berlanjut sekolahnya. Paling hanya tamat SMP, lalu berhenti, lantaran tak kuat lagi ibu bapaknya membiayai sekolah yang semakin mahal.
    Kalau lagi libur sekolah, Desi mampu menyelesaikan 2.000 buah batubata sehari. Tapi, kalau setengah hari atau sepulang sekolah, hanya bisa sekitar 600 sampai 800 buah batubata yang dia cetak. Desi selalu memanfaatkan waktunya untuk mencetak batubata ditungku milik Usman Fond, di Korong Pauah, Nagari Parit Malintang, Padang Pariaman.
    Setiap satu buah batubata, Desi diupah seharga Rp40. Semakin banyak dia menyelesaikan batubata, semakin banyak pula pitih yang dia dapatkan. Bagi Desi, anak gadis manis nan jolong gadang ini, tak ada istilah gengsi dalam mencari uang. Disamping membiayai sekolah sendirian, bahkan juga biaya dapur rumah orangtuanya, Desi juga mengambil sebuah motor secara kredit. Nah, dengan hasil mencetak batubata itulah dia kembangkan hidupnya, meraih cita-cita dia yang sangat tinggi, menjadi dokter yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
    Saat bertemu dengan Singgalang, Kamis kemarin, tampak Desi sedang asik mencetak batubata. Apalagi saat itu musim panas. Dengan lincahnya tangan Desi memasukkan tanah yang sudah dilunyah kedalam cetakan batubata. "Lah lamo awak karajo mambuek tembok ko pak. Semenjak SD dulu. Untuk masuk SMP, orangtua tak ingin lagi melanjutkan sekolah, karena tidak ada uang untuk itu. Tapi, karena kemauan saya untuk terus bersekolah, saya sendiri yang datang melamar ke sekolah," kata dia.
    Selesai SMP pun orangtua sudah melarang, agar jangan lagi menyambung sekolah. Namun, karena Desi punya kerjaan sendiri mencetak batubata, tersimpan uang untuk bisa masuk SMA. Kini pun Desi bertekad untuk terus sekolah, dan cita-cita untuk masuk perguruan tinggi harus tercapai.
    Agaknya, Desi Mardiani satu dari ribuan perempuan remaja yang gigih. Tidak menggantungkan hidupnya kepada orangtua, ditengah perempuan sebaya dia itu masih belum bisa dilepaskan dari sumber kehidupan orangtuanya sendiri. Apalagi dikampungnya, Padang Toboh, Nagari Parit Malintang banyak perempuan seangkatannya yang tidak mampu bersekolah lanjut. Paling tinggi hanya tamat SMP.
    "Alhamdulillah, dengan adanya usaha mencetak batubata ini, belum pernah tunggakan kredit motor yang macet. Dan semoga saja kredit itu bisa diselesaikan sampai akhirnya. Sekolah juga berlanjut, sampai pada tercapainya impian," kata dia.
    Bagi Desi, perempuan tak boleh cengeng yang hanya merengek kepada orangtua. Sejak dini harus mampu mandiri, melahirkan kreativitas yang membuat masa depan bagus, sebagaimana diajarkan oleh RA Kartini, tokoh perempuan yang mampu mengangkat emansipasi wanita. (damanhuri)

Jumat, 04 Mei 2012

Tidak Digaji, Erianto Tetap Senang Mengajar Mengaji

Tidak Digaji, Erianto Tetap Senang Mengajar Mengaji

Parit Malintang---Ditengah trik matahari yang mulai reda, puluhan anak-anak Korong Pauah, Nagari Parit Malintang sore itu kembali mendatangi gurunya ke surau. Mereka mengaji setiap sore, sehabis shalat Asar, dibawah asuhan seorang guru bernama Erianto. Ada sekitar 30 anak yang dia asuh setiap harinya di Surau Pauah itu. Semuanya adalah anak-anak yang orangtuanya pekerja buruh kasar di tungku batubata yang terdapat disekeliling surau demikian.
    Eriato telah mengajar sejak tiga bulan belakangan dikampung itu. Sebelumnya, Buya, begitu sapaan akrab Erianto mengajar dikampungnya sendiri, Masjid Nurul Hidayah, Tanjuang Basuang I, Kenagarian Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman. Baginya, mengajar mengaji adalah sebuah amalan yang sudah biasa dilakukan dengan ikhlas.
    Sejak dulu dia mengajar anak-anak untuk pandai mengaji, tak satu sen pun upah yang dia dapatkan dari masyarakat. Hanya pahala disisi Tuhan yang dia harapkan. Walaupun demikian, Buya tak pernah bosan mengajar anak-anak. Setiap hari dia kerjakan kegiatan rutinitasnya. Sekalian dia menetap dalam sebuah pondok, yang dibangun masyarakat Pauah didepan surau itu.
    Meskipun jarang sekali masyarakat yang datang ke surau untuk shalat berjamaah, Buya tetap setiap waktu mengumandangkan suara azan, memanggil orang untuk menunaikan kewajibannya, shalat lima waktu sehari semalam. "Tak satu sen pun anak-anak yang dipungut iyuran minyaknya. Semua mengaji secara gratis. Kita pun mengajarnya dengan tulus ikhlas. Disamping ada anak-anak yang mengaji surat Iqrak, juga ada sebagiannya yang telah mengaji Alquran," cerita Buya saat ditanyai Singgalang, Minggu (22/4).
    "Walaupun tidak digaji ambo mengajar, Tuhan punya cara tersendiri dalam menghidupi saya. Buktinya, belum pernah saya merasa kelaparan sejak mulai mengajar di Pauah ini. Ada satu keistimewaan tinggal di surau tuo dalam Nagari Parit Malintang ini, dimana ada sebuah kuburan keramat, yang diyakini masyarakat Parit Malintang punya keistimewaan tersendiri. Dikuburan itu hampir setiap hari ada saja orang yang datang untuk mendoa, melepaskan nazarnya serta kegiatannya," kata dia.
    Dulu, kata Buya, sebelum dia tinggal disitu sangat susah masyarakat yang akan mendoa dikuburan keramat itu untuk mencari urang siak yang akan membaca doa. Semenjak dia tinggal disitu, masyarakat pun dengan mudahnya melepaskan hajatnya. "Nah, selesai nazarnya ditunaikan semua yang dibawa masyarakat dari rumahnya ditinggalkan di surau ini. Bahkan, saking banyaknya orang yang datang, banyak pula nasi yang tak termakan surang," ujar Buya.
    Memang, aku Buya, anak-anak yang datang mengaji ke Surau Pauah ini banyak dari kalangan keluarga miskin. "Bagi kita yang mengajarnya untuk pandai mengaji, jelas ini sebuah amalan yang sangat besar pahalanya disisi Tuhan. Disamping diajarkan kaji yang berhubungan dengan kitab suci ummat Islam, anak-anak juga diajarkan bernyanyi dan berlagu nuansa Islam. Sebelum pengajian dimulai, anak-anak dengan entengnya menyanyikan lagu yang telah diwajibkan," ungkap Buya.
    Disamping mengajar mengaji setiap harinya di Surau Pauah, Buya juga diberi pangkat dan jabatan oleh masyarakat kampungnya, Tanjuang Basuang I sebagai kapalo mudo. Artinya, ketika ada acara adat dan syarak ditengah masyarakat, Buya yang masih lajang ini punya peran yang sangat strategis. Tanpa kehadirannya dalam acara manjapuik marapulai, tak akan jadi acaranya berlangsung. Gagallah marapulai mempersunting anak daro. Prosesi baralek, baik dirumah pengantin pria, maupun pengantin perempuan, tugas kapalo mudo sangat menentukan. Itu undang-undang adat yang berlaku di seantero Padang Pariaman. (damanhuri)

Toboh Ketek Tetap Mempertahankan Aturan Lama Sebagai Kekuatan Nagari

Toboh Ketek Tetap Mempertahankan Aturan Lama Sebagai Kekuatan Nagari

Enam Lingkung--Lain lubuak lain pula ikannya. Lain kampung, tentu berbeda pula adat, kurenah dan kakobeh masyarakatnya. Di Nagari Toboh Ketek, Kecamatan Enam Lingkung, Padang Pariaman misalnya. Ada sebuah aturan yang diputuskan sejak nagari itu ada, dan berlaku hingga saat ini. Yakni, kalau seorang labai atau ulama kampung itu tidak melakukan shalat Jumat di masjid nagari tersebut, tanpa adanya pemberitahuan kepada ulama lainnya, maka dikenakan denda sebanyak 100 lepat.
    Zulhelmi Tuanku Sidi, salah seorang tokoh masyarakat Toboh Ketek yang pernah menjabat walinagari dikampung itu menceritakan, pemberlakukan denda semacam itu dikarenakan sedikitnya orang zaman dulu. Sebab, untuk keabsahan shalat Jumat harus diikuti 40 orang. Kalau kurang dari jumlah itu, tentu shalat Jumat tidak sah, dan harus diulang dengan shalat Zuhur.
    "Nah, untuk menguatkan demikian, agar tidak kurang jamaah shalat Jumat, maka dibuat aturan. Tetapi aturan demikian hanya diberlakukan bagi orang yang menyandang pangkat labai dalam kaumnya. Denda atau hukuman bagi urang siak yang seperti itu dibayarkan oleh sanak kemenakannya, pada shalat Jumat depannya, dan dimakan oleh banyak orang dalam masjid tersebut. Aturan itu tetap dipertahankan, dan dianggap sebagai kekuatan nagari," kata anggota Komisi II DPRD Padang Pariaman ini.
    Memang, Toboh Ketek itu sesuai namanya, jumlah masyarakatnya dulu saketek pula. Toboh Ketek, sepengetahuan Zulhelmi artinya perkumpulan orang-orang yang jumlahnya sedikit. Dan tidak ada kaitannya dengan Nagari Toboh Gadang, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang. Toboh Ketek satu dari enam nagari, atau yang disebut dengan Enam Lingkung, sebelah hilir dari 2 X 11 Enam Lingkung. Dengan demikian, Toboh Ketek telah ada sejak lama, yang setara dengan Nagari Pakandangan, Parit Malintang, Sungai Asam, Lubuk Pandan dan Koto Tinggi dalam ulayat Enam Lingkung.
    Katanya, di Toboh Ketek tinggal masyarakat yang terhimpun kedalam Suku Guci, Panyalai, Tanjuang, Koto dan Jambak. Dari lima suku masyarakat, dipimpin oleh 11 niniak mamak. Masing-masing; Datuak Alat Cumano (Guci), Datuak Mangkudun, Datuak Marajo (Panyalai), Datuak Rajo Mangkuto, Datuak Tulabiah, Datuak Sinaro, Datuak Rajo Khatib (Tanjuang), Datuak Sinaro, Datuak Basa (Jambak), Datuak Tumangguang dan Datuak Sinaro (Koto). Masing-masing kaum, disamping punya niniak mamak, juga punya 11 labai. Artinya, diantara niniak mamak punya hubungan yang erat dengan labai demikian. Niniak mamak memimpin dibidang adat istiadat, dan labai memimpin bidang syarak atau agama.
    Nagari yang membawahi Korong Simpang Tigo, Parit Pontong, Labuah dan Korong Tanjuang Baringin itu pada saat era kembali kenagari 2002 silam, adalah nagari percontohan. Hal itu berlaku, karena hanya mengembalikan namanya saja, dari Desa Toboh Ketek ke Nagari Toboh Ketek. Dengan itu, tidak ada konflik tatkala kebijakan tersebut ditetapkan pada Toboh Ketek. Kini, nagari yang sebelah utara berbatasan dengan Nagari Sungai Asam, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung, selatan dan timur dengan Nagari Pakandangan, serta barat dengan Nagari Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak itu memiliki penduduk sekitar 1.556 jiwa lebih, tergabung kedalam 400 kepala keluarga lebih.       
    Menurut Zulhelmi, Toboh Ketek yang luasnya mencapai 3,53 kilometer persegi saat ini dipenuhi oleh banyak gudang batubata alias tembok. Hal itu sangat memungkinkan, karena banyaknya lahan perbukitan yang layak dibuat batubata. Diantara pengusaha batubata dari kampung itu, juga tidak sedikit pula pengusaha batubata yang datang dan menyewa lahan tersebut dari berbagai perkampungan di Padang Pariaman. "Ada sekitar 200 tungku batubata yang kini beroperasi diatas lahan sekitar 100 hektare. Ini tentunya menjadi lapangan pekerjaan tersendiri bagi sebagian masyarakat Toboh Ketek itu sendiri," kata Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Padang Pariaman ini.
    Ada dua korong yang mayoritas dipenuhi oleh tungku batubata. Yakni, Korong Labuah dan Tanjuang Baringin. Sebelum adanya kebijakan bulan bakti gotong royong yang ditetapkan sebulan sekali oleh Pemkab Padang Pariaman, Nagari Toboh Ketek telah memulainya. Dengan gotong royong seluruh masyarakat yang dipergilirkan disetiap korong tersebut, telah berhasil membuka jalan sepanjang 2,5 kilometer. Walaupun jalan itu belum diaspal hingga saat ini, dianggap telah mampu membuka keterisoliran masyarakat.
    Zulhelmi melihat, sebelum jalan itu dibuka secara bersama, masyarakat petani sangat susah untuk mengeluarkan hasil pertaniannya. Sekarang tidak lagi. Jalan yang akan dilalui mobil sudah terbuka. Mobil bisa langsung menjemput padi yang selesai dipanen. Hal itu terwujud, tentu adanya kebersamaan dari seluruh lapisan masyarakat Toboh Ketek. Sebelum Zulhelmi menjabat walinagari, Toboh Ketek dipimpin oleh Bukhari (alm), yang memimpin nagari demikian semenjak dari desa dulu. Saat ini, Toboh Ketek dipimpin oleh Afdinar, salah seorang tokoh pemuda dikampung itu. (damanhuri)

Nagari Koto Dalam Barajo ke Mufakat

Nagari Koto Dalam Barajo ke Mufakat

Padang Sago---Menyebut Nagari Koto Dalam, tidak bisa dipisahkan dari tujuh nagari dulunya dalam satu kesatuan, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak. Sebab, yang disebut VII Koto; Sungai Sariak, Sungai Durian, Tandikek, Batukalang, Koto Baru, Koto Dalam dan tujuh dengan Ampalu. Namun, Koto Dalam yang saat ini termasuk kedalam Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman berbeda sendiri. Nagari itu tidak barajo ke daulat, tetapi barajo ke mufakat.
    Artinya, dalam memutuskan persoalan adat dan syarak, Nagari Koto Dalam tidak menunggu keputusan Rajo VII Koto. Seperti dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan misalnya, masyarakat Koto Dalam tidak perlu menunggu keputusan dari Masjid VII Koto yang terletak di Ampalu, untuk memulai puasa dan berhari raya. Atau menunggu bunyi meriam Ambung Kapur, yang dibunyikan setelah ada perintah dari Tuanku Kadhi VII Koto. Koto Dalam berdiri sendiri dibidang itu. Adat salingka nagari berlaku di nagari demikian.
    Kencak Rizal, salah seorang tokoh masyarakat Koto Dalam melihat keputusan mutlak dibidang tersebut, bukan berarti Koto Dalam tidak bagian dari VII Koto. Tetapi itu adalah kekuatan tersendiri dalam Nagari Koto Dalam, yang tentunya diputuskan lewat berbagai proses dulunya oleh pendiri nagari itu sendiri. Orang pertama kali merambahi kampung itu, diyakini bernama Kapusak suku Koto dan Jamboani suku Piliang.
    "Dua suku itulah yang disebut suku asal di Nagari Koto Dalam. Menurut cerita yang tua-tua dulunya, pada saat Jamboani datang kekampung itu, ternyata dia menemukan sudah adanya perkampungan yang dibuat Kapusak tersebut. Melihat asap yang menggepul dari dalam lurah, maka terucaplah kata koto didalam tu ? Tanya Jamboani, untuk memastikan ada atau tidaknya orang didalam lurah. Koto artinya kampung. Iyo koto didalam mah, jawah orang yang sedang dalam lurah, yang tak lain adalah Kapusak," kata Kencak Rizal, Minggu (25/3).
    Nagari yang luasnya mencapai 17,98 kilometer tersebut, cerita Komisaris PT BPR LPN Koto Dalam ini terkenal juga dengan istilah baulayat laweh, balauik leba dan bapelang gadang. Datuak Sati dikenal baulayat laweh, Pamuncak tersebut balauik leba dan Datuak Bandaro terkenal dengan pabelang gadang. "Artinya, salaweh-laweh ulayat Datuak Sati hanya saleba lauik Pamuncak, dan sagadang bapelang Datuak Bandaro. Ketiga orang itu duduak samo randah, tagak samo tinggi," ujar Kencak Rizal.
    Menurut dia, Datuak Sati adalah panghulu dalam suku Koto. Pamuncak panghulu dalam suku Tanjuang dan Datuak Bandaro panghulu dikaumnya, suku Piliang. Sebagai suku asal di Koto Dalam, Koto terbagi empat. Masing-masing, Jangguik Jarang, Majo Garang, Angkai Tuo dan Joameh. Tiga itulah panghulu gadang ditengah masyarakat Koto Dalam. Ketiganya itu pula yang membawahi 16 niniak mamak lainnya, yang juga disebut sebagai andiko. Diantaranya, Nankodo Basa, Datuak Batuah, Datuak Tanameh, Datuak Bandaro Panjang, Datuak Rangkayo Itam, Datuak Kinayan, Datuak Mudo dan datuak lainnya.
    Koto Dalam yang memeliki penduduk sekitar 4.112 jiwa lebih atau sekitar 2.175 kepala keluarga itu termasuk satu dari sekian nagari tertinggal di Padang Pariaman. Untuk itu, dari sekian kepala keluarga, 602 kepala keluarga diantaranya termasuk kategori keluarga miskin. Lima dari enam korong yang ada di nagari itu terletak dalam lurah, sangat jauh dari kemajuan. Masyarakatnya tak punya akses jalan dan jembatan yang representatif untuk mendukung kemajuan perekonomian masyarakat. Korong yang terletak jauh dari pusat kecamatan; Rukam Pauah Manih, Sungai Pua Tanjung Mutuih, Buluah Apo, Batang Piaman dan Padang Bungo. Sementara, Korong Kampuang Lambah satu-satunya korong di Koto Dalam yang letaknya di pusat Kecamatan Padang Sago.
    Umumnya, masyarakat yang tinggal jauh dalam lurah demikian harus sekolah dikampung tetangga, seperti SMP V Koto Timur yang terletak di Nagari Kudu Gantiang. Karena sekolah itulah yang dekat dari Batang Piaman, Rukam, Sungai Pua Tanjung Mutuih. Kalau mereka paksakan untuk sekolah di SMP Padang Sago, terpaksalah mereka harus kos atau tinggal di Padang Sago. Begitu juga ke Pasar Padang Sago, masyarakat dibagian bawah itu harus melewati Kota Pariaman, atau kalau mempersingkat jalan, harus mendaki bukit yang cukup tinggi. Habislah energi.
    Kencak Rizal mencatat, orang yang pernah menjadi Walinagari Koto Dalam sejak dulu, diantaranya; Palo Samaik, Khatib Ya'kub, Labai Jonsan, Ali Akbar, Alfa Edison, dan kini Nagari Koto Dalam dipimpin oleh Darwis. Saat ini pemerintah berencana membuka keterisoliran nagari itu. Wacana pembangunan jembatan yang nantinya akan menghubungkan masyarakat Sungai Pua dan Tanjung Mutuih, dan masyarakat Batang Piaman menuju Padang Sago, akan diwujudkan.
    Wacana demikian dilontarkan sejak Muslim Kasim berkuasa di Padang Pariaman. Kini wacana tersebut dilanjutkan oleh bupati Ali Mukhni. Sebab, pemerintah ingin hasil bumi Koto Dalam bisa cepat keluar, yang pada akhirnya mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Sebagai besar masyarakat Koto Dalam bergantung pada sektor pertanian. Disamping menggarap sawah, hamparan kebun kelapa juga luas dikampung itu. Tak heran, penjual kelapa banyak terkenal diwilayah demikian.
    Nagari itu sebelah utara berbatasan dengan Nagari Tandikek, Kecamatan Patamuan, selatan dengan Nagari Lurah Ampalu, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, timur dengan Batukalang dan barat degan Kudu Gantiang, Kecamatan V Koto Timur. Koto Dalam juga terkenal dengan penghasil kopra terbesar. Namun, akhir-akhir ini pohon kelapa berangsur-angsur habis, karena ditebangi buat memperbaki rumah masyarakat yang punah oleh gempa akhir 2009 lalu. Kelapa pun berganti dengan tanaman kakao. (damanhuri)