wartawan singgalang

Selasa, 10 Juni 2014

Dampak Dari Kerasnya Pengajaran Abak

Dampak Dari Kerasnya Pengajaran Abak

    Pendidikan keluarga dari kecil sangat aku rasakan dampaknya setelah menginjak dewasa, terutama pendidikan yang diberikan Amak dan Abak. Abak punya tipikal yang lumayan keras dan kuat. Sebagai anak tua dari Abak, aku merasakan betul kerasnya pendidikan yang diberikannya ke aku. Berkali-kali aku dipaksa makan sahur, saat awal-awal aku belajar puasa. Saking susahnya aku dibangunin, Abak tak sungkan-sungkan memainkan kakinya ke pinggul aku. Itu terjadi saat aku tidur di Surau Koto Runciang.
    Memang, dari kecil aku belajar ngaji dan banyak menghabiskan waktu di kampung bako aku tersebut. Malam ngaji, siang membantu Abak kerja tani sambil juga gembala sapi sama kakak aku Afrizal yang lain Abak dengan aku. Kalau tidak ada kerjaan tukang rumah di rumah orang, Abak melakukan kerja di sawah milik surau itu, karena dia seorang labai, jadi punya setumpak atau dua tumpak sawah yang digarap untuk kehidupan keluarga.
    Ada banyak sawah wakaf milik surau yang digarapnya bersama Ajo Mansur, seorang ulama yang lama tinggal di Surau Koto Runciang. Disamping Abak dan Amak bertanam padi, juga ada bertanam cabai. Sebab, model sawah di kampung itu harus diselingi. Sekali padi, sekali dengan tanaman lain. Saat bertanam cabai, Abak sering kongsi dengan Apak Ali Munir, seorang Kepala Dusun di kampung itu. Panen cabai dua kali seminggu; Jumat dan Selasa. Aku acap ikut mengambil cabai demikian. Boleh dibilang, disamping padai tukang rumah, Abak juga seorang petani.
    Kalau tukang rumah, agaknya itu kepandaian Abak yang langsung Diajarkan oleh ayahnya; Labai Sirin. Saat Abak dinobatkan jadi labai di Surau Koto Runciang, menggantikan Apak Labai Usin yang meninggal dunia, aku masih sangat kecil. Belum sekolah, tapi aku sudah tahu, dan ikut melihat prosesi itu di kampungnya, Koto Runciang. Namun sangat disayangkan, kelak aku tak pandai bertani dan tukang. Aku melihat, Abak tak ingin anaknya susah menjalani hidup, seperti yang sudah dialaminya.
    Abak pernah terjatuh saat memasang atap rumah orang. Untuk ini, aku tak pernah diajarkan untuk pandai menjadi tukang itu pula. Malah setamat sekolah dasar, aku diserahkan melanjutkan pendidikan ke pesantren. Saat aku kecil, kampung Koto Runciang yang saat itu bagian dari Desa Guguak masih terbilang ramai. Kawan sepermainan banyak. Sambil menggembalakan ternak, aku juga sering main karet, main gambar. Kalau malam main endap-endapan di surau itu. Main bola di halaman surau atau ditengah sawah yang habis dipanen juga acap kami lakukan. Sekarang, aku lihat Koto Runciang semakin sepi. Apalagi surau milik kaum Suku Sikumbang itu dipindahkan ke Kajai, kampung kecil dalam Koto Runciang yang berbatasan dengan Desa Padang Bungo, karena di situ banyaknya rumah penduduk.    
    Pernah Abak mengajak aku bekerja di rumah orang, tapi tak sering. Hal itu saat aku pulang kampung dari pesantren Padang Magek dan Lubuk Pandan. Kekerasan didikan Abak yang aku rasakan, kalau yang kita buat tak diingininya, dia marah mintak ampun. Lain pula dengan didikan yang Amak berikan ke aku dengan berjualan sebelum sekolah. Kekerasan Abak ke aku mulai berkurang, saat aku sudah belajar di pesantren.
    Dalam masa pendidikan demikian, Abak malah banyak mengajak aku pergi wirid mingguan di surau yang tiga di Tigo Jurai tersebut. Kadang-kadang ada pula Abak mengajak aku saat orang kampung mengaji ka puaso dan mengaji kematian. Kalau saat wirid pengajian, aku sering disuruh ceramah. Apalagi kalau Ajo Mansur lagi tak ditempat, sehingga yang memberikan pengajian itu kami yang pulang dari pesantren tersebut. Itu cara Abak membesarkan aku untuk bisa hidup dan berkembang ditengah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar