wartawan singgalang

Kamis, 29 Mei 2014

Rasa Kebersamaan Lewat Ajaran Shalat Berjamaah

Rasa Kebersamaan Lewat Ajaran Shalat Berjamaah

    Shalat berjamaah, kata ulama pahalanya 27 kali lipat dari shalat sendirian. Sejak di Ponpes Darul 'Ulum Padang Magek sampai ke Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan aku belajar, selalu ada aturan shalat secara berjamaah. Bahkan, sejak awal aku tinggal di Surau Tabiang semua santri diasuh oleh Ajo Maen dan Utiah Zam dengan semua kelengkapan sembahyang. Artinya, seorang santri gantian jadi imam. Nanti membaca tasbih lain pula santrinya. Begitu juga untuk membaca doa, juga digilirkan dari santri yang ada waktu itu. Termasuk juga azan pun harus bergantian lima waktu sehari semalam.
    Dengan terbiasa demikian, aku sangat merasakan dalam diriku betapa indahnya sebuah kebersamaan, saling berbagi dengan teman, dan saling menutupi kelemahan dan kekurangan kawan. Di Surau Tabiang, kedua guru tuo demikian juga memberlakukan sanksi bagi siapa yang melanggar aturan atau tidak ikut shalat jamaah tanpa alasan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan. Hanya boleh bebas dua hari dalam seminggu, yakni Kamis dan Jumat karena dua hari itu merupakan liburan bagi kami yang ngaji di pesantren tradisional. Kalau yang dua hari itu kita tak shalat jamaah, atau shalat jamaah di luar pesantren dianggap bonus atau biasa saja.
    Perjalan minta belas kasihan orang lain pada dua hari tersebut, bukan semata miskinnya santri bersangkutan. Namun, lebih dari itu bagaimana kader ulama itu diterpa dengan kesusahan hidup. Masuk kampung dan nagari sambil pakai sarung, dan sebuah karung tepung dari kain, yang kami sebut buntie. Kami cukup mengucapkan salam kepada pemilik rumah, lalu bagi pemilik rumah yang punya niat ingin bersedekah, ya dikasihnya beras ala kadarnya atau uang. Itulah rezeki kami. Tak jarang, aku dan kawan-kawan yang melakukan itu acap dapat perlakuan kasar selama mamakiah itu dari masyarakat. Cacian dan makian dari segelintir orang, di kejar ajing gila atau di salak ajing penjaga rumah-rumah orang berada misalnya.
    Kata guru tuo kami, itu bagian dari ujian dalam menuntut ilmu agama Islam. Selama lima tahun aku di Padang Magek (1988-1993), boleh dikatakan semua kampung yang ada di Tanah Datar dan Padang Panjang sudah aku rancahi. Ada yang berdua perginya, dan ada pula yang sendirian. Ada pameo yang mahir untuk kawan yang sulit dapat ilmu; mangaji di Padang Magek, mamakiah ka Sitakuak. Bialah kaji ndak dapek, asalkan badan lai gapuak. Tentu, pamoe itu juga pelecut kami untuk terus giat belajar segala ilmu di pesantren tersebut. Memang, ada satu kampung di Tanah Datar itu yang bernama Sitakuak, yakni dekat Sungai Tarab. Begitu juga soal muhadlarah atau latihan dakwah seminggu sekali, juga semua santri dapat giliran.
    Dengan shalat berjamaah, zikir bersama setiap habis shalat serta doa bersama itu pula barangkali terbangunnya rasa sosial kemasyarakatan di tiap-tiap individu santri Padang Magek. Rasa bakawan, rasa berkampung dan rasa bernagari mampu hinggap dalam setiap jiwa. Tak heran, saat lebaran menjelang pergi ke pesantren kembali setelah libur panjang, kami yang di Padang Pariaman saling berkunjung. Aku berkunjung ke Koto Baru, Batang Piaman, Tandikek dan kampung kawan lainnya. Malah sampai bermalam disitu. Begitu juga kawan yang di Batang Piaman dan Koto Baru juga pernah bermalam di rumah orangtuaku, Ambung Kapur. Sewaktu aku di Padang Magek, memang yang paling banyak itu kawan dari Batang Piaman, Koto Baru dan Tandikek. Sedang dari Ambung Kapur dan Sungai Sariak ada pula, tapi tak begitu banyak. Hanya sekarang inilah silaturrahim untuk bertemu sesama teman alumni Padang Magek yang jarang aku ikuti, karena kesibukan jadwal yang kadang-kadang saling berantuk diantara agenda yang satu dengan lainnya. Namun, komunikasi kami masih tetap aktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar