wartawan singgalang

Selasa, 01 April 2014

Mengambil Keputusan yang Tepat Saat Transisi

Mengambil Keputusan yang Tepat Saat Transisi

    Bermula dari kurangnya belajar di Padang Magek, lantaran gurutuo acap pergi ke luar daerah, aku memutuskan untuk pindah ke Lubuk Pandan. Sebelumnya, Sudirman, senior aku telah duluan pindah ke Pesantren Madrasatul 'Ulum itu. Untuk tahu Lubuk Pandan, sengaja aku ajak Tuo Sumardi mengantarkan aku. Kami naik PO Terang Bulan dari rumahnya di Sungai Sariak. Turun di Kampung Bonai, Parit Malintang, kami menyusuri areal persawahan. Sekitar setengah jam jalan kaki, kami tiba di komplek pesantren yang didirikan Syekh Abdullah Aminuddin yang terkenal dengan sebutan Tuanku Shaliah Pengka itu.
    Disana bersua para gurutuo yang sedang istirahat siang. Buya Tuanku Shaliah Pengka sedang keluar. Sebentar ngomong, kami pamit lagi pulang. Sampai di Kampung Bonai, Tuo Sumardi yang tukang jam itu terus ke Padang. Aku sendiri yang terus pulang kampung. Sampai di rumah aku ceritakan ke Abak tentang Lubuk Pandan yang baru saja dikunjungi sebentar itu. Tak berselang lama, aku datang ke Lubuk Pandan untuk melanjutkan belajar. Disana ada dunsanak aku. Amiruddin namanya. Dia orang Ampalu yang telah lama mengaji disitu.
    Setelah seminggu aku di Lubuk Pandan, datang Abak membawa rantang untuk mendoa. Sebab, mendoa adalah tradisi dalam menyerahkan anak ke pesantren ala surau. Aku tinggal di Anjung Jaya. Waktu aku mulai di Lubuk Pandan, Amiruddin jadi Marapulai Tafsir. Malam hari dia mengulang kaji sama Tuo Jakfar. Aku ikuti pula dalam menyimak tiap malam. Paginya aku ikut mengaji di Surau Belakang bersama Tuo Lukman. Sedangkan siang hari aku mengaji sama Tuo Bujang Albar. Sama halnya dengan Padang Magek, di Lubuk Pandan ada pula latihan dakwah seminggu sekali, yang kami sebut dengan program muhadarah.
    H. Iskandar Tuanku Mudo sang pimpinan pesantren baru saja terpilih jadi anggota DPRD Padang Pariaman dari Golkar. Saat aku mulai di Lubuk Pandan itu tahun 1992 akan ada pergantian Bupati Padang Pariaman. Iskandar, anggota dewan yang akan memenangkan Nasrul Syahrun. Saat itu bupati masih dipilih oleh anggota dewan terhormat. Nasrul Syahrun berhasil menang jadi bupati. Kunjungan kerja kedua kalinya dilakukan bupati itu ke Lubuk Pandan. Dia terkesan dengan guru besar pesantren; Tuanku Shalaiah Pengka. Kunjungan bupati yang difasilitasi Iskandar itu dimanfaatkan dengan acara peringatan Maulid Nabi. Malamnya diadakan acara shalawat dulang.
    Sehabis Amiruddin jadi Marapulai Tafsir, bulan puasanya aku ikut tadarus yang memilih marapulai yang akan dimulai pascalebaran. Namun, saat itu aku belum terpilih karena baru barangkali. Saat itu yang terpilih, Asrizal, Ardindas, dan lainnya. Barulah sehabis rombongan ini aku yang jadi marapulai, tepatnya tahun 1995. Dan aku marapulai terakhir yang ijazahnya di tandatangani langsung Buya Tuanku Shaliah Pengka. Buya wafat tahun 1996, setahun setelah aku tamat Marapulai Tafsir.
    Buya wafat di RS Ibnu Sina Padang. Aku dan Ardindas santri yang disuruh pulang duluan dari ruma sakit, karena waktu itu belum ada telp dan HP yang bisa menghubungkan komunikasi. Lima menit kami Tiba di surau, bunyi serine ambulan meraung-raung. Orang banyak berdatangan. Dari pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan, MTI Batang Kabung dan pesantren lainnya ikut melayat, melihat dan memberikan penghormatan terakhir kepada Buya. Begitu juga alumni dari berbagai daerah berdatangan ketika mendengar kabar gurunya telah pergi untuk selamanya. Sampai anjung penuh oleh yang ikut menshalatkan. Shalat jenazah diimani anaknya; Amiruddin Shaleh. Termasuk pesan dan kesan juga disampaikan anak Buya yang tua itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar