wartawan singgalang

Selasa, 22 April 2014

Baruak Betina Piaman yang Suka Cemburu

Baruak Betina Piaman yang Suka Cemburu

Tandikek---Paling tidak butuh waktu selama enam bulan, baru bisa pandai baruak memanjat dan memetik kelapa. Proses pembelajaran itu butuh kesabaran dan ketabahan, serta keuletan dari si tukang baruak. Kemanapun pergi, baruak harus ikut pula dibawa. Sebab, melatih baruak, dsamping yang formalnya, yang informal juga sangat dibutuhkan.
    M. Jen, 57, warga Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman mengaku senang dan betah hidup dengan pencariannya, yang memakai tenaga baruak tersebut. Dia telah cukup lama menjalani profesi sebagai tukang baruak. Baginya, kesehatan dan stamina baruak harus dijaga, agar bisa menghasilkan uang yang lebih banyak lagi, untuk menghidupi keluarganya.
    Katanya, biaya untuk mendidik baruak hingga bisa pandai tidak bisa dihitung. Itu sifatnya relatif. Tergantung dari yang punya. Dan lagi, baruak itu kebanyakan dilantih sendiri. Untuk bisa cepat dan bersemangat, baruak sering dikasih dua butir telur ayam kampung dalam sehari, dan anak tabuhan yang dibakar. Hal demikian merupakan penambah semangat kerja dari si baruak. Baruak jantan dengan baruak betina, dalam beraktivitas banyak berbeda. Kalau yang jantan sering melawan induk semangnya. Banyak kejadian, betapa baruak jantan sampai ada yang membunuh induk semangnya sendiri. Itu diakibatkan, lantaran baruak tersebut tidak diperlakukan sebagaimana mestinya.
    Sementara, baruak betina ada juga yang cemburu. Ketika induk semangnya lagi ngobrol sama seorang perempuan yang punya kelapa, si baruak sedang memetik kelapa, setibanya dibawah, pasti baruak itu langsung mengejar si perempuan yang punya kelapa, lantaran cemburu melihat induk semangnya seolah diambil oleh yang punya kelapa tadi.
    Untuk Kenagarian Tandikek, aku M. Jen, profesi tukang baruak tidak begitu menjanjikan. Disamping palak karambia yang jarang dikampung itu, juga banyaknya orang yang menggeluti profesi demikian. Namun, M. Jen tak pernah mengeluh. Hari-harinya dia lalui dengan santai, berjalan dari satu korong ke korong lainnya, menjajakan mana masyarakat yang ingin kelapanya dipetik. "Untungnya, kita langsung beli kelapa yang telah jatuh, yang selanjutnya dijual dipasaran. Kini harga kelapa cukup tinggi. Yang besarnya sudah berharga Rp200 ribu," cerita M. Jen.
    Setiap kali memanjat kelapa, baruak M. Jen dapat upah dalam 10 biji kelapa, itu satu bijinya buat tukang baruak. Kemampuan banyak memetik kelapa, tergantung lahan kelapa yang ada. Baruak yang dimiliki M. Jen, kalau pergi ke kampung lain, seperti Ambung Kapur dan Padang Sago, itu bisa menjatuhkan kelapa dari 600 hingga 1.000 biji kelapa dalam sehari. Sebab, dikampung itu banyak orang yang punya lahan kelapa yang sangat luas.
    Kalau lagi musim memajat kelapa, M. Jen bisa menghasilkan uang dalam sehari dari Rp150-Rp200 ribu. Demikian paling tingginya. Cuman, lazimnya hanya paling tinggi Rp100 ribu. Apalagi dengan kondisi Padang Pariaman pascagempa besar akhir September 2009 lalu, dimana banyaknya batang karambia yang digunakan buat pembangunan kembali rumah masyarakat, maka permintaan untuk memajat kelapa dengan sendirinya pun berkurang.
    M. Jen melihat, sejak pascagempa demikian, belum ada pihak terkait melakukan peremajaan terhadap kelapa. M. Jen dan tukang baruak lainnya merasa kawatir, kalau-kalau kelapa tersebut bisa habis, dan berganti dengan tanaman lainnya. Apalagi proses peremajaan kelapa itu butuh waktu panjang. Sementara, penebangan kelapa terjadi beratus-ratus batang setiap harinya. Apa tidak bisa kelapa itu habis dengan sendirinya ? Tanya M. Jen.
    Dari sekian lama M. Jen melakukan profesi demikian, tentu banyak suka duka yang dialaminya. Namun itu semua adalah bagian dari dinamika kehidupan. Ada saatnya dapat rezeki yang banyak, dan ada pula yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa dalam keseharian itu. M. Jen pernah punya baruak yang sangat terkenal. Pandai berbelanja kewarung kopi, mampu menjatuhkan kelapa yang banyak. Saking terkenalnya, sampai baruak itu ditawar dengan harga jutaan rupiah. Namun, karena cintanya kepada baruak itu, dia tidak mau menjualnya. Hanya kematian baruak itulah yang memisahkanya. Sedih juga M. Jen saat baruak kesayangannya itu mati. Tapi setelah itu, dia ganti lagi dengan baruak yang dia latih sendiri, hingga saat ini baruak itulah yang dia pakai setiap harinya.
    Menurut M. Jen, kalau orang lain yang minta tolong untuk melatih baruak, biasanya sampai pandai itu yang punya baruak harus membayar seharga satu emas, yang dihargai saat timbang terima dengan yang punya baruak. Kalau harga emas naik, ya naik pula harga untuk mendidik baruak. Dan itu telah lama berlakunya. Pada umumnya pendidikan baruak itu berlaku seperti demikian. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar