wartawan singgalang

Selasa, 01 April 2014

Santri yang Jadi Wartawan

Santri yang Jadi Wartawan

    Di Lubuk Pandan ada OSIP. Yakni Organisasi Santri Intra Pesantren. Aku sempat menjabat Ketua OSIP itu satu periode. Disamping itu, sebagai bahan bacaan umum pesantren berlangganan Media Dahwah yang terbit sebulan sekali. Bermula dari acap membaca itu, aku jadi terbiasa membaca koran dan majalah. Tak heran, setiap Selasa aku ke Lubuk Alung membeli Koran Republika dan Tabloid Adil. Dua koran itu yang sering aku baca saat di Lubuk Pandan. Rebublika yang penuh dengan nuansa Islami menjadi kegemaran aku dalam berinteraksi dengan berbagai tulisan yang diolah oleh penulis hebat. Keseringan membaca, timbul niat dalam hati, kapan ya aku bisa menulis di koran? Itu kata-kata yang acap terlintas dalam angan-anganku.
    Zaman itu adik Abak, Amiruddin yang tamat MTI Batang Kabung dan IAIN sedang menjadi wartawan Haluan. Motivasiku untuk menulis dan jadi wartawan terus menyeruak, tatkala melihat Zakirman Tanjung yang setiap Jumat melakukan sembahyang seminggu sekali itu di kampungnya; Masjid Raya Lubuk Pandan. Sebelum sembahyang, pengurus masjid mengumpulkan infak dari jamaah. "Zakirman Tanjung, wartawan Canang seribu rupiah," kata pengurus. Aku lihat dan aku perhatikan terus dia. Dalam hatiku berkata, wartawan bapak ini rupanya. Dan itu hampir tiap minggu aku perhatikan.
    Sementara kecanduan membaca koran dan majalah, termasuk juga tabloid semakin candu bagiku. Ibaratnya, rumah tampak jalan tak tahu. Itu barangkali keinginanku tentang pekerjaan tulis menulis tersebut. Impian menulis itu terwujud, setelah aku kawin, dan melakukan banyak pekerjaan pula sebelumnya. Aku sempat jadi tukang cetak foto kolat lima menit siap di Ulak Karang Padang. Sempat pula jadi kuli bangunan di Mentawai, dan sempat pula sebulan mengajar anak mengaji di Kandis, Riau.
    Tahun 1999 setelah Pemilu, aku ditawari Pak Amiruddin mengantarkan koran Padang Pos seminggu sekali. Ada sekitar 150 orang langganan yang harus diantarkan. Mulai dari Batang Anai sampai Batang Gasan. Dari Ulakan terus ke Kayutanam. Kota Pariaman terus ke VII Koto Sungai Sariak lama. Sambil mengantar koran itulah keinginan menulis yang tumbuh sejak di pesantren itu mulai aku wujudkan. Perlahan aku mulai menulis opini. Mulai pertama akhirnya ketagihan, dan lama-lama sudah jadi kebiasaan. Waktu HUT pertama Padang Pos, aku termasuk loper berpretasi, sehingga dapat penghargaan pada malam anugrah yang diadakan di Pangeran Hotel itu.
    Kemudian Padang Pos mengadakan kemah bakti di Sungai Limau. Hadir juga Pak Infai yang saat itu menjabat Pemimpin perusahaan Padang Pos. Dia langsung sebut namaku. "Damanhuri ya," katanya. Iya pak," kata aku. Sekarang coba mulai menulis berita. Jangan opini terus. Biar jadi wartawan pula. Paka Infai memberikan contoh tekhnis penulisan berita. Dengan siapa harus konfirmasi. Diberikannya contoh tentang taman di Pantai Arta Sungai Limau. Lalu aku coba dengan topik yang lain, yang menurut seleraku layak jadi pulikasi berita. Saat itu aku belum pakai komputer. Hanya numpang ngetik di Kantor Desa Padang Toboh Ulakan, dengan mesin tik yang cukup tua. Pernah mesin ketik itu aku bawa ke Surau Kampung Paneh, tempat aku mengajar anak-anak mengaji dan sekalian tempat tinggal.
    Sedang enak jadi wartawan, relasi mulai bertambah, Padang Pos pun terseok-seok terbitnya. Surat tugas aku sebagai wartawan langsung ditandatangai Basril Basyar sebagai Pemred koran itu. Lalu datang pengangguran, karena Padang Pos sudah dianggap tak lagi rutin terbit tiap pekan. Datang Armaidi Tanjung menawari aku jadi wartawan Harian Semangat Demokrasi, yang kala itu sudah terbit tiga kali seminggu. Pemrednya Pak Infai yang aku kenal sejak di Padang Pos dulu.
    Tak berselang lama, Semangat Demokrasi habis. Aku diajak menjadi wartawan Media Nusantara untuk Pariaman bersama Netty Herawati. Bos koran ini Asli Khaidir. Hanya setahun, Media Nusantara berganti nama dengan Media Sumbar. Anehnya, berganti bos besarnya, Media Sumbar pun tak mampu rutin terbit. Sampai tahun 2005 aku di Media Sumbar, sempat raun-raun ke Malaysia dan Singapuran tahun 2004 bersama Pemkab Padang Pariaman. Tak berselang lama di Media Sumbar, aku diminta bergabung dengan Publik. Tabloid yang dipimpin AA Datuak Rajo Djohan ini aku masuki untuk kepala perwakilan Pariaman. Sama hal dengan Media Nusantara, Media Sumbar di Publik aku juga mengantarkan berita seminggu sekali, sambil mengantarkan uang tagihan. Untuk Media Sumbar dan Publik aku menjabat wartawan dan kepala perwakilan Pariaman.
    Hanya dua tahun aku di Publik. Sempat raun sekali ke Bali bersama wartawan dan Humas Pemkab Padang Pariaman tahun 2006, lalu masuk ke Harian Bersama terbitan Medan. Di koran ini aku mengisi seminggu sekali. Dalam mengisi Harian Bersama ini, aku juga ikut membantu A Basril H di Serambi Pos Pariaman. Sampai kode namaku dimasukkan bergandengan dengan nama Abe. Sekali seminggu aku mengantarkan Abe ke kantor Serambi di Tabing, Padang. November 2008, Gusnaldi Saman yang menjadi Korda Harian Singgalang di Pariaman ditarik ke redaksi menjadi Korlip. Sebelum ke Padang dia menghubungi aku yang saat itu sedang dalam perjalanan dari Pasaman Barat ke Lubuk Sikaping. Kata dia, ada peluang masuk ke Singgalang, apa masih ingin jadi wartawan, kata dia dalam telp.
    Aku langsung meresponnya dengan mengantarkan lamaran tiga hari setelah ditelp tersebut. Akhirnya awal Desember 2008 sampai sekarang aku resmi jadi wartawan Singgalang untuk daerah liputan Pariaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar