wartawan singgalang

Sabtu, 15 Februari 2014

Inmemoriam Abak Ali Ibrahim Menanamkan Nilai-nilai Agama ke Anak Sejak Usia Dini

Inmemoriam Abak Ali Ibrahim
Menanamkan Nilai-nilai Agama ke Anak Sejak Usia Dini

    Senin, sekitar pukul setengah lima sore aku dapat telp dari Edi. Dia mengabarkan, bahwa Abak telah meninggal dunia. Senin itu tanggal 3 Februari 2014, aku tengah bersama Bagindo Rosman di Ketaping mengurus masayarakat yang belum kebagian hak ganti rugi tanah dari pemerintah, yang tanahnya terkena imbas normalisasi Sungai Batang Anai, yang merupakan proyek Sumbar.     Selesai dari rumah Rosman, aku langsung pulang, mandi dan langsung pula ke kampung. Aku Shalat Magrib di rumah Uniang tempat Abak menghembuskan nafas terakhirnya. Aku lihat wajah Abak, air mataku tak terbendung lagi. Aku shalat Magrib, setelah itu aku sebarkan sms ke jejaring yang aku punya.
    Ada yang membalas balik, dan ada yang lupa membalas. Tapi itu tak soal. Sejak tiga bulan jelang Abak meninggal, perasaan aku selalu menerawang. Acap punya pikiran kalau Abak sudah meninggal dunia. Ada pula bayangan memberikan sambutan dihadapan jenazah Abak, yang melintas dalam angan-angan aku. Saat larut dalam bayangan itu, aku cepat menghilangkannya, karena Abak memang belum meninggal dunia.
    Dia sakit keras, dan sering marah-marah. Inyiak Danan bilang, bawaan orang berang itu tanda ajalnya semakin dekat, itu kata Inyiak Danan saat aku menikahkan adikku Fitri dengan Sudirman, seminggu jelang Abak meninggal. Sewaktu Abak sakit aku sering dipanggilnya. Maklum, aku anaknya yang paling tua. Berkali-kali aku ditelpnya, bahkan nyaris tiap sebentar. Dia berhenti nelp aku, saat hp-nya hilang diambil orang.
    Abak sempat dirawat di RSUD Pariaman, tapi sebentar. Karena gelisah terus, diangkut pulang. Habis dirawat, dia sempat sembuh, dan ingin ke Ulakan untuk shalat berjamaah 40 hari, atau sembahyang 40 yang lazim bagi orang kampung di Piaman. Dia minta aku yang mengantarkan dia ke Ulakan. Aku ragu, dan ndak mungkin membiarkannya sendiri di Ulakan.
    Nanti apa pula kata orang kampung. Akhirnya dia pergi juga ke Surau Koto Runciang. Abak merasa tak betah di rumah anaknya di Ambung Kapur. Dengan itu pula Amak tiap hari ke surau itu, sambil juga berladang di sawah sekitar surau itu. Saat meninggal, kata Apak Anan, umur Abak baru 68 tahun.
    Abak tamatan persiapan IAIN Batusangkar. Dia punya anak 10 orang, meninggal satu orang saat bayi. Aku anaknya yang paling tua. Abak punya seorang kakak, Uniang Namek namanya. Lalu ada adiknya yang lain ibu; Mahyuddin, Amiruddin, Rasyiddin dan Fatimah. Ayahnya abak Labai Sirin, adalah orang terkenal di Ambung Kapur. Dia Labai Surau Taluak, kepunyaan Suku Mandailing. Suku ini paling besar di Ambung Kapur. Ibunya Joari. Kami memanggilnya uwai. Karena aku cucu tertua di rumah orang, Ayah Uwo Labai Sirin dan Uwai Joari sangat sayang ke aku.
    Abak dikuburkan dekat makam ibunya, Uwai Joari. Sedangkannya ayahnya Labai Sirin di makamkan di Ambung Kapur. Saat Ayah Tuo meninggal dunia, aku masih kecil dan belum sekolah. Dia berprofesi sebagai tukang rumah, sama juga dengan kerja Abak. "Den agiah waang pitih limo hatuih, kawani den ka surau," itu kata Ayah Tuo Labai Sirin manakala aku agak enggan mengawaninya ke Surau Taluak.
    Dialah yang mula-mula menanamkan ke aku rasa senang tinggal di surau, yang akhirnya aku jadi santri. Abak pernah cerita, Namaku Ahmad Damanhuri itu diambilkannya dari seorang temannya yang bernama itu. Orangnya hebat saat sekolah di persiapan IAIN Batungsangkar. Kalau baranak nanti akan ku beri namanya Ahmad Damanhuri, itu cerita Abak ke aku. Akhirnya, aku lahir sebagai anak pertama oleh abak, laki-laki pula langsung diberi nama Ahmad Damanhuri.
    Nama itu masih aku pakai sampai kapanpun. Setahu aku, disamping jadi Labai di Surau Koto Runciang, Abak juga seorang tukang bangunan rumah. Profesi tukang didapatkannya di ayahnya sendiri, Labai Sirin. Abak merasa, kerja tukang sangatlah berat. Abak pernah berkali-kali jatuh dari atap rumah orang saat bekerja. Kawan bekerja tukangnya saat aku masih belum sekolah; Jakfar, Pak Ambek, Mak Konek dan Mak Kunik yang juga kemenakan oleh Labai Sirin. Aku pernah dibawa abak ke Pekanbaru. Waktu itu masih menempuh lobang kalam. Jalan-jalan ke Bukittinggi dengan kawan Abak yang se profesi tukang dengannya.
    Mashur dikalangan tukang, kalau rumah orang lain banyak yang selesai dan rancak oleh kerjanya, tapi rumahnya sendiri susah untuk disudahkan. Dan itu terbukti pada rumah orangtua aku sendiri yang sangat susah untuk diselesaikan. Mungkin Abak karena sibuk kerja di rumah orang lain, dan mungkin juga pitih Abak tak begitu banyak untuk membuat sebuah rumah yang permanen. Rumah kami dimulai dengan julo-julo tukang Abak bersama kawannya, yang daya tahannya pun tak begitu kuat. Namun demikian, itulah nikmat Tuhan yang harus kami syukuri bersama.     Dari kecil aku diajar oleh Abak ke surau. Masa kecilku dihabiskan di Surau Koto Runciang dan Surau Taluak sama Ayah Tuo Labai Sirin. Dengan ini pula, setamat SD aku diantar Abak ke pesantren Darul 'Ulum Padang Magek, Tanah Datar. Waktu bujangan, Abak juga mengaji di surau, dan berakhir dengan sekolah persiapan IAIN. Aku sangat merasakan kasih sayang sebagai anak pertama dari Abak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar