wartawan singgalang

Selasa, 07 Agustus 2012

Sudah 20 Tahun Kundua Mengidap Penyakit

Sudah 20 Tahun Kundua Mengidap Penyakit

Nan Sabaris---Mawardi (38) menderita penyakit bintik-bintik disekujur tubuhnya. Penyakit itu dideritanya sejak 20 tahun yang silam. Hingga kini, bintik-bintik bagaikan bisul yang menyatu dengan kulitnya itu tak sembuh-sembuh. Seiring dengan itu, badannya semakin mengecil. Untuk mengantisipasinya, seminggu sekali dia datang ke Puskesmas Pauh Kambar, di Pinang Gadang, Kecamatan Nan Sabaris, Padang Pariaman untuk mendapatkan obat gratis.
    Anak nomor satu dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Nurdeli dengan Syafruddin Teja ini mengaku hanya mampu berobat ke Puskesmas. Pihak Puskesmas telah berkali-kali menyuruhnya untuk berobat ke dokter spesialis kulit. Namun, apa hendak dikata kedua orangtuanya tak punya banyak pitih. Dia pun tak punya pekerjaan, sejak pulang dari Medan setahun yang lalu.
    Menurut Kundua, begitu putra lajang ini akrap disapa, penyakit itu mulai tumbuh dipangkal pahanya. Setiap hari bintik-bintik itu semakin banyak, dan kini seluruh badannya telah dipenuhi oleh hal demikian. "Anehnya, bengkakkannya terasa keras bagaikan kulit. Tidak gatal-gatal. Tumbuh hanya dibagian kulit yang tidak ditumbuhi rambut. Pertamakali tumbuhnya, saat saya masih tinggal di Medan. Karena banyak orang yang merasa kasihan melihatnya, lalu saya disuruh pulang kampung," ujar dia saat ditemui dirumah orangtuanya, Korong Kampuang Tangah, Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris.
    Dan sejak penyakit itu pula, Kundua sering mengalami sesak nafas. Dia tidak kuat untuk berjalan jauh. 100 meter saja berjalan, itu terasa berat dan letih. "Pernah beberapa kali saya berhenti meminta obat, lantaran tidak ada ongkos ojek ke Puskesmas. Sedangkan berjalan tak kuat pula, karena sesak nafas tersebut," ujarnya.
    Orangtuanya yang hanya sebagai petani kampung sama sekali tak kuat untuk membiayai pengobatan anak sulungnya itu. Dari sebanyak itu dia beradik kakak, hanya seorang yang tamat SMA, yaitu adiknya yang nomor dua. Selebihnya, termasuk Kundua itu sendiri tak tamat SD, dan malah ada yang tidak bersekolah sama sekali. Kini, Kundua kehidupannya hanya dari lapau-kelapau. Waktu sedang ada keberuntungan, ada orang yang iba melihatnya, dikasihlah duit, dibayarkan minumannya di lapau kopi.
    Karena penyakit kulit yang disertai sesak nafas itulah Kundua tak kuat pula untuk menolong orangtuanya turun ke sawah. Hatinya ingin sekali bekerja, seperti yang pernah dia kerjakan dirantau, Medan dulu. Tapi apa hendak dikata. Kekuatannya untuk bekerja keras itu benar yang tak bisa. Dia merasa senang, ketika ada orang lain mengasihnya makan, minum, uang dan pakaian. Apalagi, dikampung itu ada tempat ziarah, yang sewaktu-waktu banyak orang lain yang datang kekampung itu melakukan ziarah.
    "Awak ingin bana cegak. Berobat ke dokter spesialis kulit seperti yang disuruh oleh bidan Puskesmas itu. Ingin kulit awak ini bersih, tanpa adanya bintik-bintik seperti bagaikan dilahirkan dulu. Awak pun tak tahu persis, apa namanya penyakit yang awak tanggung ini. Aneknya, penyakit itu tidak menular kekeluarga lainnya. Hanya awak yang mengidap penyakit ini. Amak jo Abak dan semua adik-adiknya biasa-biasa saja kulitnya," ungkapnya sedih. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar