wartawan singgalang

Kamis, 23 Agustus 2012

Catatan Dua Tahun Pascagempa 2009

Dua Tahun Gempa 2009
Masih Ada Masyarakat yang Mendiami Rumah tak Layak Huni

Tandikek---Batuan gempa 2009 dari pemerintah bagi masyarakat yang pernah mendiami kampung yang telah dicap sebagai zona merah, seperti di Korong Lareh Nan Panjang, Lubuak Aro dan Pulau Aie dalam Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman agaknya belum punya arti apa-apa. Betapa tidak, masyarakat kampung lain, bantuan sebanyak Rp15 juta itu bisa merehab dan membangun lagi sebagian rumahnya. Namun, bagi masyarakat disana justru untuk melunasi beli tanah, karena mereka tidak boleh lagi mendiami kampung yang bernama Cumanak tersebut.
    Apakah semua masyarakat sisa korban longsor itu yang mampu beli tanah ? Tidak. Buktinya, hingga kini telah dua tahun sudah gempa akhir 2009 berlalu, masih ada diantara mereka yang rela mendiami rumah yang tidak layak huni. Menurut Ardi Bastian, Walikorong Lareh Nan Panjang, sebagian masyarakat sisa korban longsong dikampungnya, disamping ikut beli tanah, juga ada yang pindah tinggal dikampung lainnya, bahkan diluar Padang Pariaman, seperti ke Bukittinggi, ikut bersama keluarganya.
    "Soal tempat tinggal, walaupun ada sebagian kecil yang masih setia dengan rumahnya yang dinilai tidak layak huni, Alhamdulillah, semua masyarakat telah punya rumah kembali. Namun, persoalan ekonominya sama sekali tidak ada. Bagi yang tua-tua, untunglah punya anak yang tinggal dirantau, yang punya kepedulian pula, sehingga sesekali dikirimin uang. Mereka tinggal ditempat yang baru, tentu tidak bisa mendapatkan uang, seperti dilahan mereka sendiri," cerita Ardi Bastian.
    Sebagai seorang pemimpin ditengah masyarakat, Ardi Bastian sejak kejadian gempa dan longsor dua tahun yang silam, hingga kini terus dengan kesibukkannya mengurusi masyarakat. Belakangan, dia juga ditunjuk menjadi tim dalam soal bantuan rumah sederhana dari Genesis, sebuah NGO dari Kanada. Ada 890 rumah yang dia kelola, tersebar di Kenagarian Tandikek, dan sebagian di Nagari Batu Kalang, Kecamatan Padang Sago. Rumah demikian sangat dirasakan masyarakat, ditengah sulitnya membangun rumah pascagempa.
    Selama ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Padang Pariaman untuk membuat sebuah rumah butuh waktu lama, dan dengan julo-julo. Artinya, dibuat kelompok yang diisi sekitar 40-50 anggota. Setiap bulan dilakukan iyuran, dan bergiliran menerimanya. Ada yang dinamakan dengan julo-julo semen. Setiap bulan, anggota mengeluarkan uang serharga semen saat anggota lain menerimanya. Itulah tradisi kebersamaan yang sudah lama tertanamnya dikalangan masyarakat perkampungan daerah itu.
    Ardi Bastian melihat perlu pendampingan bagi masyarakat. Sebab, lahan sawah dan ladang yang selama ini mereka garap, kini sudah tidak bisa lagi. Untuk itu, butuh pendampingan dalam membangun kembali perekonomian masyarakat. Apalagi, kondisi irigasi tak lagi mengalir seperti biasanya. Ini tentu sangat memprihatinkan.
    Sementara, mantan Walikorong Pulau Aie, Rivai Marlaut justru menginginkan adanya pembangunan industri kecil yang difasilitasi oleh pemerintah. "Masyarakat yang tidak lagi dibolehkan tinggal dilahannya, telah tinggal berpencar-pencar. Mereka merasa kehilangan arah, untuk mencari sumber kehidupan barunya. Untuk itu, butuh pendampingan, sehingga mereka bisa kembali membangun masa depan yang lebih baik lagi," kata dia.
    Memang, kata Rivai, soal rumah tempat tinggal, walaupun kondisinya saat ini masih dalam suasana mencicil tanah yang belum lunas, sudah bisa dikatakan oke, dan bisa dianggap aman bagi mereka bila dimalam hari. Masyarakat memberanikan diri untuk beli tanah dengan cara mencicil, karena tidak ada kepastian yang jelas soal transmigrasi lokal yang didengung-dengungkan pemerintah.
    "Sebenarnya, kalau ada sosialisasi transmigrasi lokal itu terhadap masyarakat, kita yakin sebagian masyarakat akan menerima dengan senang hati. Tetapi hal itu belum pernah terjadi. Termasuk juga perlakukan khusus yang akan diberlakukan bagi korban longsor Tandikek, sampai saat ini juga tidak terwujud," sebut Rivai.
    Disamping itu mereka berpendapat, untuk membangkitkan kembali gairah perekonomian masyarakat agaknya butuh irigasi yang sehat. Dikampung itu hanya ada sawah dan ladang sebagai ekonomi andalan masyarakat. Sejak longsor, irigasi tak lagi berfungsi. Seiring dua tahun perjalanan gempa dan longsor, saatnya pemerintah membangun fasilitas yang bisa memajukan sumber kehidupan itu lagi.
    Memang, membangkitkan masyarakat yang tidak lagi mendiami kampung asalnya, butuh waktu panjang, dan banyak proses yang harus dilakukan, bila dibandingkan dengan membangkitkan masyarakat Padang Pariaman di kenagarian lainnya. Masyarakat korban gempa yang tinggal jauh dari lokasi longsor, boleh dikatakan tidak ada lagi persoalan, selain dari pencairan bantuan gempa bagi yang belum menerimanya sampai saat ini. Tetapi, bagi mereka yang disebut sebagai sisa longsor, harus tinggal dilokasi baru, memulai kehidupan baru, yang tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi tempat tinggal yang baru itu tidak disediakan pemerintah, atau pihak yang peduli, seperti LSM dan NGO yang sering memberikan berbagai bantuan pada saat gempa dulu. Mereka tinggal dikampung, tetapi harus menyewa atau dengan terpaksa mencicil uang untuk mendapatkan tanah buat bangun rumah, karena ada masyarakat yang punya lahan luas, dan mau menjual sebagian lahannya dengan cara mencicil, pun dengan harga yang sangat manenggang.     Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Padang Pariaman, Anwar ketika dihubungi menilai persoalan transmigrasi lokal memang lokasi daerahnya telah ditentukan, yakni Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Dharmasraya. "Namun, kapan waktunya masyarakat akan dipindahkan, kita masih menunggu keputusan pemerintah pusat. Sebanyak 600 KK lebih dari daerah ini telah kita usulkan untuk tinggal didaerah transmigrasi demikian," kata Anwar.
    "Menurut informasi dari pihak provinsi, untuk tahun ini ada jatah 100 KK yang akan ditransmigrasikan, namun hal itu belum tahu, apa ada jatah Padang Pariaman atau tidak, belum ada kepastian. Sebab, hal itu jatah untuk Sumatra Barat. Yang jelas, prosedural masyarakat yang akan dipindahkan, mengingat kultur kampungnya yang tidak lagi layak dihuni, telah kita selesaikan dengan baik dan benar," ujarnya. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar