wartawan singgalang

Kamis, 23 Agustus 2012

Catatan Setahun Pascagempa 2009

Korong Kuburan Massa
Pulau Aie Belum Bangkit


Pariaman---Setahun sudah berlalu gempa bumi yang sangat dahsyat itu terjadi. Sebanyak 46 Kepala Keluarga (KK) di Korong Pulau Aie, Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman hingga kini masih setia menempati shelter yang dibuatkan oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT). Pulau Aie, merupakan satu korong yang mengalami longsor akibat gempa diakhir September 2009 lalu. Dikampung itu juga dikuburkan sejumlah anggota masyarakat secara massal di dua tempat, yang pascalongsor itu sangat tidak memungkinkan untuk digali lagi.    Pulau Aie ini bertetangga dengan Korong Cumanak, yang juga kampung yang ikut tenggelam. Banyak cerita dari kampung yang mayoritas masyarakat bertani itu mengalir dari satu mulut kemulut lainnya. Hingga saat ini, gempa dan longsor bagi masyarakat tersebut adalah sebuah cerita, kisah sedih yang tidak akan pernah terlupakan. Apalagi saat ini, cerita kelam yang ditinggalkan oleh gempa, adalah hancurkan sumber perekonomian masyarakat. Dua irigasi, yakni Banda Baru I dan II, yang sebelum gempa terjadi berfungsi untuk mengaliri sawah masyarakat. Sejak kejadian itu tidak lagi berfungsi. Bantuan yang datang pascagempa dari berbagai pihak, merupakan setitik air yang turun ditengah padang sahara, yang sangat gersang.    Sebanyak 178 rumah masyarakat yang ikut hancur, rusak berat dan tenggelam bersama penghuninya, hingga kini belum ada yang bangkit. Bagi masyarakat, bantuan shelter yang diberikan ACT, sungguh tiada ternilai harganya. Rumah berupa pondok dari kayu, yang tersusun berjejeran dengan rapi, yang dilengkapi dengan sarana ibadah, olahraga, sekolah itu menjadi tempat pertama bagi masyarakat, setelah 15 hari tinggal dengan apa adanya.    Ali Azwar, salah seorang keluarga korban longsor yang masih hidup saat ini, melihat peristiwa demikian sungguh sebuah cobaan yang maha dahsyat, yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya. Saat kejadian naas tersebut, Ali Azwar tidak sedang berada dikampung. Dia tengah melakukan sebuah keperluan ke negara tetangga, Malaysia. Nun jauh disana. Dia menyimak peristiwa demi peristiwa itu lewat layar kaca, yang sengaja dia tonton. Saat menyaksikan hal itu, hatinya sangat galau. Dia ingin cepat-cepat pulang. Kalau saja tiket yang telah dia pesan itu bisa dipercepat pas setelah melihat tayangan TV itu, otomatis dia langsung terbang dari Kuala Lumpur ke Ketaping, Kecamatan Batang Anai, tempat BIM beroperasi.    Memang selama dia melihat apa yang ditayangkan TV, tak satupun yang menyebut nama tujuh anggota keluarganya yang ikut tenggelam. Istri serta empat anaknya yang masih kecil-kecil, ibu dan ayah mertuanya ikut menjadi maut. Dan diantara sebanyak itu ada yang terpaksa dikuburkan secara massal, lantaran tidak lagi mungkin untuk terus digali saat itu. Kini, Ali Azwar yang juga putra Lubuk Alung itu, masih merasakan betapa gelak dan tawa manja anak-anaknya, saat dia pulang bekerja, begitu memanggil-manggil ayahnya. "Suara itu seakan-akan masih menghimbau saya. Apalagi tatkala saya menziarahi makam mereka. Kenangan manis dan pahit, hidup bersama keluarga sekian tahun sangat susah untuk dilupakan," ceritanya.    Rivai Marlaut, selaku walikorong di kampung itu agaknya orang yang paling super sibuk. Walikorong yang dikenal dengan jujur, dekat dengan masyarakat itu memang menjadi tulang punggung bagi masyarakat yang tersisa di Pulau Aie tersebut. "Saat kejadian Rabu menjelang magrib itu, saya baru saja usai mencukur rambut di pasar Tandikek. Suara pekikan histeris saling bersahutan dari warga yang tinggal di komplek pasar tradisional itu. Pandangan tertuju pada pohon kelapa, yang dilihat banyak orang bagaikan terbang disebelah barat pasar Tandikek. Suara gemuruh memecahkan kampung, yang selama ini terkenal dengan aman, nyaman dan penuh dengan kedamaian telah meluluh-lantakkan dan membenamkan sejumlah perkampungan," ujarnya.    Pertolongan pertama yang dicari Rivai Marlaut selaku pemimpin ditengah masyarakat, adalah kantor polisi. Pria kurus itu langsung mandacak hondanya dengan cigin ke Sungai Sariak, tepatnya Kapolsek VII Koto Sungai Sariak, sebagai aparat keamanan yang menaungi tiga kecamatan, yang dulunya satu kesatuan. Dia melihat pemandangan yang maha mengejutkan. Banyak orang berkendaraan menuju arah kampungnya, bila dibandingkan kendaraan yang menuju Sungai Sariak tersebut. Dia tidak menghiraukannya. Baginya penyelamatan masyarakat adalah paling utama. Sesampainya di kantor Polsek itu, hanya betemu dengan seorang petugas yang sedang piket. Dia langsung meninggalkan nomor hp nya pada petugas tersebut, dan langsung balik ke Pulau Aie, melihat dari dekat kondisi sanak kemenakan dan masyarakatnya sendiri.    Rivai merasa bersyukur dengan adanya kesehatan yang prima yang dia punyai. "Selama 15 hari, siang dan malam, nyaris tidak tidur. Sibuk kesana kemari, bekerja menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Aparat yang pertama kali masuk kekampungnya, yang berada di kaki Gunuang Tigo itu, adalah Brimob dari Palembang, Sumatra Selatan. Mereka itulah yang pertama kali melakukan evakuasi mayat, yang masih bisa diselamatkan. Dan seterusnya, berbagai elemen masyarakat LSM, pemerintah dalam dan luar negeri yang datang sangat cepat.    "Bantuan yang diberikan berbagai pihak di Pulau Aie, memang terasa banyak. Tetapi yang namanya bantuan, tetap saja tidak sanggup untuk membangkitkan masyarakat secara utuh. Buktinya, hingga saat ini belum satupun masyarakat yang bisa membangun kembali rumah tempat tinggalnya. Kini tengah berjalan bantuan rumah dari Kanada, yang telah dialokasikan untuk 110 rumah, yang terserak dalam tiga kampung di Korong Pulau Aie ini, yakni Kampuang Palak, Mudiak Balai dan Sialangan. Rumah bantuan itu saat ini masih dalam tahapan pengerjaan. Kita berharap rumah itu segera dihuni oleh masyarakat," ungkap Rivai.    Menurut dia, sebagai tempat yang sangat bersejarah, kuburan massal yang ada di Pulau Aie itu akan dibuatkan tugunya, sebagai tempat duka nestapa yang pernah dialami masyarakat Pulau Aie. Upaya untuk mewujudkan itu masih disimpan begitu saja, lantaran belum waktunya dibuka dalam rapat-rapat bersama masyarakat. "Apalagi ditengah perekonomian masyarakat yang saat ini tidak jalan, tentu sangat tidak layak hal demikian dibicarakan bersama. Tetapi yang jelas, keinginan untuk itu menjadi sebuah keharusan nantinya, untuk dikenang bagi generasi yang akan mewarisi kampung yang cukup subur ini," kata Rivai bercerita.    Penanganan Korban Gempa    Penangan korban gempa yang dilakukan Pemkab Padang Pariaman selama setahun ini penuh dengan dinamikanya. Banyak pihak menilai, bahwa penanganan gempa di Padang Pariaman penuh dengan carut marut. Suara-suara sumbang ditengah masyarakat, hingga saat ini masih saja bersileweran. Suasana buncah terhadap hal itu, persis seperti pembagian Uang Lauk Pauk (ULP) diawal-awal kejadian gempa dulu. Tim fasilitator gempa yang ditempatkan di seluruh nagari, telah menjadi problem tersendiri.    Padahal, anggota dewan terhormat bersama sebagian aparat terkait lainnya telah melakukan studi perbandingan penangan gempa yang terjadi di daerah lainnya, di nusantara ini. Tetapi yang namanya penanganan gempa di Padang Pariaman tetap saja dinilai banyak pihak tidak tepat sasaran. Mulai dari pemotongan uang korban gempa, yang dilakukan oknum camat, disebagian kecamatan, pemotongan uang ini dan itu, yang sampai detik ini masih menimbulkan kontroversi didaerah yang baru saja usai melakukan Pilkada itu.    Begitu juga bantuan yang meresahkan terhadap aqidah masyarakat, juga masih mewarnai di sejumlah perkampungan. Anehnya, yang jadi korban iming-iming bantuan dari Bank Dunia, rampasan perang dan lain sebagainya itu banyak dari kalangan induak-induak. Ratusan kaum hawa di Padang Pariaman, menurut kajian yang dilakukan pihak berkopeten, dinilai tengah terancam. Bagi kebanyakan perempuan Padang Pariaman, bantuan yang tengah dijanjikan dengan nilai ratusan juta itu sangat penting artinya. Tak peduli, apakah bantuan itu memang ada, atau hanya sekedar menpengaruhi masyarakat itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar