wartawan singgalang

Selasa, 07 Agustus 2012

Perjuangan dan Gerakkan Dakwah Syekh Burhanuddin

Perjuangan dan Gerakkan Dakwah Syekh Burhanuddin

Pariaman, Singgalang
    Berbicara tentang perjuangan Syekh Burhanuddin dalam Islamisasi di Minangkabau terlebih dahulu harus dipahami bagaimana perjalanan sejarah dakwah Islamiyah di ranah yang terkenal dengan adat dan istiadatnya yang bersandar pada alam takabambang jadi guru. Beberapa ahli dan penulis sejarah selalu mengklasifikasikan perkembangan Islam pada masyarakat Minangkabau menjadi dua tahapan.
    Pertama, melalui saudagar Arab dan India yang berkunjung untuk berdagang rempah-rempah dengan orang-orang di pulau Sumatra. Pada umumnya mereka beragama Islam dan pada saat yang sama mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat. Mereka menyiarkan Islam belum lagi secara terencana, tetapi masih bersifat perseorangan dengan cara sembunyi-sembunyi.
    Kedua, melalui pengaruh kerajaan Aceh yang memiliki pengaruh cukup luas di daerah pesisir barat pulau Sumatra. Tak terkecuali daerah Minangkabau, daerah yang mendapat pengaruh langsung dari Aceh, misalnya Pelabuhan Laut Tiku, Pariaman, Padang, dan Pesisir Selatan. Pengaruh kerajaan Aceh ini telah terjadi jauh sebelum Syekh Burhanuddin berkunjung untuk belajar ke Aceh. Sebab, kejayaan Aceh telah ada sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin belajar kepada Syekh Abdurrauf.
    Amir Azli dalam tulisannya yang berjudul, 'Pariaman Erat dengan Aceh Diperkirakan Berusia 420 Tahun' dalam Harian Haluan, Kamis 16 Januari 1992 mengungkapkan bahwa Pariaman dalam kajian sejarah sekurang-kurangnya mempunyai tiga peranan penting pada zaman dahulu.
    Pertama, sebagai basis kekuatan militer, kedua sebagai pusat perdagangan dan ketiga sebagai pusat pengembangan agama Islam di pesisir pantai barat Sumatra.
    Sebagai bagian dari basis kekuatan armada laut, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa ketika Aceh menyerang Portugis pada bulan Oktober 1556 M (di masa pemerintahan Sultan al-Kahhar) mengalami ketidak-berhasilan, maka putra Husein kemudian bergelar Sultan Ria’yat Syah meminta bantuan ke Pariaman, yang ketika itu diperintah oleh Sultan Sri Alam. Setelah ia wafat diganti oleh Zainal Abidin yang juga terbunuh tanggal 5 Oktober 1579 M.
    Kemudian A.I.Mc.Gregor yang mengutip 'Vida de Mathias de Albuer-querquer' dalam buku Seaflight near singapore in the 1570’s menyebutkan bahwa tanggal 1 Januari 1577 M telah terjadi pertempuran antara armada Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Serimaharaja berkekuatan 10.000 prajurit dan banyak meriam dengan Portugis di Selat Malaka. Pada pertempuran tersebut ikut juga Raja Ali Ria’yat Syah dari Pariaman. Diberitakan, pihak Portugis mempunyai 12 kapal perang, 1 batalion, 2 geleses, 3 geliot dan 3 briganyines.
    Pariaman sebagai pusat perdagangan rempah-rempah menurut catatan dan laporan dari pelaut Inggris Sir James Lancaster bahwa penghormatan yang diterimanya dari Raja Aceh adalah sangat memuaskan, sebagai tanda bahwa orang Aceh adalah orang sopan dan suka pada tamu. Penghormatan ini dilakukan dengan memberikan jamuan yang terhidang dari bejana emas.
    Selain itu, Sir Jame Lancaster pernah meminta kesempatan untuk membeli langsung lada ke Pariaman. Ia minta agar Sultan memberinya surat untuk dibawa ke Pariaman dengan mengunakan kapal Susanna. Surat tersebut masih tersimpan dalam Boendalan Library Oxford, bernomor M.S e.4 ditandatangani dan dicap dengan huruf Arab; Assultan Alauddinsyah Bin Firman.
    Sedangkan peranan Pariaman sebagai pusat pengembangan agama Islam dapat disimak dari tulisan DR. Schrieke dengan judul, 'Atjehasche Invioed was dan ook niet te onderschatien'. Pengaruh Aceh di pantai barat tidaklah dapat dipandang kecil. Daghregister 1661, 1663 dan 1664 M mencatat pengaruh itu di beberapa tempat, diantaranya jelas di Pariaman, Pauah, dan Ulakan yang merupakan pusat pengembangan agama Islam.
    Hampir semua penulis sejarah sepakat, bahwa masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau melukiskan betapa pesisir barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman sampai Indrapura telah berada dibawah pengaruh Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang pada waktu itu mencapai puncak kejayaannya dengan menguasai pantai Sumatra dari barat sampai ke timur.
    Dari penjelasan sejarah di atas dapat dicatat, bahwa jauh sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan, pengaruh Aceh  bersamaan dengan pengembangan Agama Islam sudah berjalan juga, meskipun itu baru sebatas masyarakat pedagang dan orang-orang pesisir pantai saja.
    Sedangkan dalam catatan H.B.M Leter, Pono yang kemudian namanya diganti oleh Syekh Abdurrauf dengan Burhanuddin baru pulang ke Minangkabau tepatnya ke Ulakan pada tahun 1069 H/1649 M pada masa pemerintahan Aceh di bawah Raja Sultanah Tajul Alam Safyatuddin (1641-1675 M).
    Dalam kondisi keagamaan sudah mulai terbentuk di Ulakan, Syekh Burhanuddin memulai perjuangannya menegakkan Islam melalui pendekatan persuasif dengan menggunakan lembaga surau yang didirikan oleh sahabatnya; Idris Khatib Majolelo di Tanjung Medan.
    Perjuangan Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan Islam melalui surau dibantu oleh empat orang teman dekatnya, yang dulu sama-sama belajar dengannya di Aceh. Keempat orang inipun dibuatkan pula surau untuk mempercepat proses pendidikan dan penyebaran Islam bagi masyarakat sekitarnya.
    Kegigihan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam di tengah masyarakat yang masih buta agama menjadi buah bibir dan catatan sejarah bagi pengikutnya dikemudian hari. Ada beberapa cara yang ditempuh Syekh Burhanuddin dalam meneruskan perjuangan agama bagi masyarakat; pertama, mengislamkan anak-anak dan remaja melalui permainan anak nagari yang masyhur dikala itu, antara lain main kelereng, gundu, main patuk lele (terbuat dari kayu yang dipukul dalam sebuah lobang, kemudian dilempar lagi untuk masuk ke lobang tersebut), dan main layang-layang.
    Setiap kali main, Burhanuddin selalu menang dan akhirnya pemuda bertanya bagaimana caranya beliau main, sehingga selalu menang. Burhanuddin menjelaskan dengan membaca bismillah setiap akan main. Melalui permainan ini ia diterima oleh anak-anak dan remaja atau pemuda dan pada gilirannya mereka inilah yang mengajak orangtuanya masing-masing untuk belajar ke surau. Karena memang surau dalam tradisi di Minangkabau, bahkan sampai saat ini masih berfungsi utuh sebagai pusat pembinaan pemuda sekaligus tempat tidur mereka.
    Kedua, mengikuti permainan anak nagari, seperti main layang-layang dan main lainnya dengan tidak merusak nilai-nilai agama yang dimilikinya. Melalui permainan itu ia dapat memasuki semua lapisan masyarakat tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Demikian sekilas catatan yang disampaikan oleh Prof. Duski Samad, dalam seminar sehari tentang Syekh Burhanuddin, beberapa waktu lalu di Pariaman. (525)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar