wartawan singgalang

Rabu, 29 Agustus 2012

Monumen Tugu Perjuangan Rakyat Sintuak yang Terlupakan

67 Tahun Kemerdekaan RI
Monumen Tugu Perjuangan Rakyat Sintuak yang Terlupakan

Sintuak---Pembangunan tugu monumen perjuangan rakyat Sintuak telah dimulai pada 2001 silam. Namun, setelah batu pertama dimulai, tidak ada lagi kelanjutannya. Mungkinkah itu batu pertama, sekaligus batu terakhir? Tugu itu dibangun di komplek Surau Batu, Korong Simpang Tigo, Nagari Sintuak, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, Padang Pariaman. Pembangunan tugu sebagai monumen perjuangan rakyat Sintuak itu, erat sekali kaitannya dengan peristiwa berdarah Surau Batu yang terjadi pada Selasa 7 Juni 1949, empat tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
    Dalam buku Peristiwa Surau Batu Sintuak, Sejarah yang Terlupakan, yang ditulis oleh panitia pembangunan monumen perjuangan Sintuak, 2001 silam tercatat, bahwa peristiwa Surau Batu adalah sejarah kelam perjuangan urang awak untuk mengusir penjajah Belanda, pasca kemerdekaan RI 1945. Sebanyak 40 pejuang, termasuk juga TRI/TNI yang ikut didalamnya, tahun 1949 itu ditembak oleh Belanda. Mereka ditembak dari belakang secara bersama didepan Surau Batu.
    Menurut catatan buku tersebut, rencana pembangunan tugu monumen tersebut adalah bagian dari menghargai dan menghormati perjuangan zaman dulunya. Namun, entah dimana letak lemahnya, hingga saat ini sudah 67 tahun pula Indonesia meredeka, tugu itu tak juga kunjung selesai. Dan Surau Batu pun, sebagai saksi bisu atas keganasan pasukan Belanda, juga telah rata dengan tanah, akibat dihoyak gampo pada akhir 2009 lalu.
    Kronologi kejadian berdarah Surat Batu Sintuak, seperti yang tertulis dalam buku itu, pada pagi Selasa 7 Juni 1949, satu kompi serdadu Belanda sesudah hujan reda melakukan penyisiran kearah barat Lubuk Alung, tepat Pungguang Kasiak, Sintuak, Pakandangan, Toboh Gadang, Bintuangan Tinggi, Pauh Kambar. Operasi itu langsung dipimpin oleh Kapten Backer. Komando Markas Teritorial Belanda itu langsung menyisir kampung tersebut.
    Hasil penyisiran itu, Belanda menangkap setiap laki-laki dewasa yang ditemuinya. Ada ratusan orang yang ditangkap, dan dikumpulkan di Sintuak, dan dibagi per kelompok. Sebagian kelompok ada yang disuruh pulang kembali, dan sebagian ditahan. Nah, yang ditahan itu dibawa ketepi Sungai Batang Tapakih, tepatnya didepan Surau Batu. Mereka semua dituduh pengkhianat, gerilya, dan tuduhan lainnya oleh Belanda. Lalu, yang ditangkap sebanyak 40 orang itu disuruh menghadap sungai, dan ditembak dari belakangnya. Dari 40 itu, 3 orang diantaranya setelah mendengar tembakan, langsung menceburkan diri ke sungai, dan selamat lah mereka dari tembakan.
    Dalam buku itu juga ditulis, diantara 40 pejuang yang ditembak Belanda tersebut; Tengkarangan Datuak Sati dari Toboh Olo, Babot Datuak Tuah dari Toboh Kandang Gadang, Juri asal Toboh Apa, Hamid (TNI) asal Sintuak, Yusuf Jalang asal Sintuak, Nazir Labai Itiak asal sintuak, dan nama-nama lainnya. Mereka semua adalah pejuang yang terlupakan sejarahnya oleh perjalanan waktu.
    Sebenarnya pihak Belanda telah lama mengetahui, bahwa di Sintuak dan sekitarnya itu banyak pemuda pemberani, tangguh dalam perjuangan. Seperti pejuang Datuak Siam, Buyuang Kaliang, Karim Naum, Buyuang Dullah, dan pejuang Sintuak lainnya. Makanya, Belanda membuang sebagian orang itu ke Digul, dan sebagian ada yang tertanggap, seperti Buyuang Kaliang ditangkap oleh Belanda di halaman Masjid Raya Lubuk Pandan. Dan saat ini telah berdiri kokoh tugu perjuangan dihalaman Masjid Raya Lubuk Pandan tersebut, sebagai buah dari mengenang jasa Buyuang Kaliang, yang sebelum ditangkap dan dibunuh Belanda, berhasil membunuh Komandan Operasi Teritorial Belanda, Letnan De Haas dengan tusukkan pisaunya.
    Melihat tugu perjuangan di depan Masjid Raya Lubuk Pandan, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung itu, tampak sebuah pisau pada bagian atasnya. Dan tugu itu selalu dirawat dan diperbaiki oleh masyarakat nagari Lubuk Pandan. Sedangkan, di Sintuak tugu yang direncanakan itu, yang dimulai peletakkan batu pertamanya oleh H. Sudirman Gani, yang saat itu (2001) menjabat Sekdakab Padang Pariaman, hingga saat ini tak jelas lagi ujung pangkalnya.
    Agaknya, tugu perjuangan Surau Batu Sintuak sangat penting artinya. Panitia pembangunannya pada 2001 silam telah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mewujudkan tugu monumen dimaksud. Namun, belum kesampaian. Sebagai bangsa yang besar, para petinggi di Nagari Sintuak harus proaktif lagi, untuk mewujudkan tugu tersebut. Anggota dewan Padang Pariaman asal nagari itu harus berjibaku, agar pembangunan monumen itu bisa dirampungkan, lewat anggaran APBD.
    Orang dulu telah membuat sejarah. Mereka berjuang tidak saja dengan kekuatan yang ada, tetapi juga dengan nilai-nilai kebersamaan dan doa. Tanpa perjuangan yang mereka lakukan, mustahil kehidupan saat ini kita dapati. Mereka yang gugur, ditembak secara menggenaskan itu harus dikenang, sebagai penghargaan kita kepada mereka. Walaupun mereka berjuang dulunya tidak minta dihargai, dan dihormati. Tetapi, sebagai generasi pelanjut, kita harus merawat dan mengisi kemerdekaan itu dengan baik. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar