wartawan singgalang

Selasa, 07 Agustus 2012

Malamang Untuk Mengaji ka Puaso Itu

Malamang Untuk Mengaji ka Puaso Itu

Pariaman---Sejak semalam kemarin, Mariani sibuk menyiapkan lamang. Karena malam ini dia mengadakan tradisi mengaji ka puaso dirumahnya sendiri. Lamang yang dia masak sejak pagi kemarin, rupanya harus dipersiapkan sejak malamnya, sehingga pagi tinggal lagi memasaknya dengan api yang dipajang disamping rumahnya.
    Ditemani sejumlah tetangga dan dunsanaknya, tampak Mariani sangat serius dengan pembuatan lamang demikian. Baginya, dan masyarakat perkampung Padang Pariaman lainnya, sebulan menjelang puasa masuk, adalah tradisi mengaji ka puaso, dimana hal itu hampir dilakukan disetiap rumah penduduk. Tak heran, bulan Sya'ban saat ini, di Piaman dinamakan dengan 'bulan lamang'. Rupanya, ibu yang berusia sekitar 64 tahun itu selalu membuat acara tersebut di rumahnya, Lapau Kandang, Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis.
    Bagi dia, terasa asing kalau tidak diadakan mengaji diatas rumah menjelang bulan puasa masuk. "Menurut yang tua-tua dulunya, tanah yang kita pakai saat ini adalah hasil kerja keras orangtua, dimana yang bersangkutan telah mendahului kita. Untuk itu, kita merasa berkewajiban mendoakannya, agar dia selalu bersenang-senang ditempatnya," ujar Mariani.
    "Lamang yang dimasak hari ini, disamping disuguhkan dalam suasana mengaji bersama urang siak, juga diperuntukkan buat ipar bisan, andan-pasumandan, dan karib-kerabat lainnya, yang dianggap punya hubungan dengan kita. Lamang ini adalah beras pulut yang diberi santan kelapa, lalu dikasih bumbu lainnya, lalu dimasukkan kedalam buluah, dan dimasak sampai matang. Biasanya, sampai matang itu akan memakan waktu yang cukup panjang. Ada agak setengah hari lamanya," ceritanya.
    Menurut Mariani, dia mendapat giliran terakhir untuk mengaji ka puaso tahun ini. Dikampungnya itu rumah cukup banyak. Urang siak yang terdiri dari labai, khatib, imam, dan lainnya selalu tiap malam mengaji di rumah masyarakat. Batas terakhirnya, adalah pada saat malam orang melihat bulan. Setelah itu tidak adalagi mengaji ka puaso, karena sudah berada dalam bulan puasa. "Setahu ambo, dulu urang siak tu bisa mengaji pada tiga sampai lima rumah setiap malamnya. Sekarang telah berkurang, karena orang yang pandai membuat lamang semakin banyak yang meninggal dunia, dan kepandaian membuat lamang tersebut tak tersalurkan kepada generasi saat ini," ungkapnya.
    Katanya lagi, lamang harus dimasak secara tradisional. Tukang masaknya harus banyak sabar, dan sungguh dalam memasak. Kalau saja tidak demikian, maka lamang yang dimasak akan rusak sendirinya. Seperti rasanya yang kurang lamak, dan lain sebagainya. Bagi Mariani dan ibuk-ibuk lainnya di Piaman, membuat lamang untuk keperluan mengaji ka puaso adalah bagian tradisi dan budaya yang sudah didapatkannya dari orangtuanya zaman saisuak.
    Menurut banyak pihak didaerah itu, tradisi malamang dilakukan oleh masyarakat, disamping sebulan menjelang puasa masuk, juga selama bulan maulid, dan mengaji pada saat adanya peristiwa kematian diatas rumah masyarakat, yang dimulai pada peringatan tiga hari, hingga 100 hari meninggal. Peristiwa membuat lamang itu erat pula kaitannya dengan pengembangan Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin dulunya, dimana sebelum itu masih kuat pengaruh Hindu dan Budha ditengah masyarakat.
    Seperti diketahui, dalam mengajak orang beragama, Syekh Burhanuddin banyak memakai jalur tradisi yang berkembang sebelum dia datang. Nah, supaya makanan yang disuguhkan tidak bercampur dengan makanan masyarakat, yang kala itu masih bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka Syekh Burhanuddin mau makan, apabila makanannya dimasak lewat buluah. Itulah yang dinamakan dengan lamang. Akhirnya, tradisi itu berkembang sampai sekarang. Kini, ditengah era globalisasi, tradisi malamang sedikit mulai tergerus, karena tidak ditopang oleh berbagai motivasi. Hal itu tumbuh sendiri, yang pada akhirnya bisa hilang dengan sendirinya pula. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar