wartawan singgalang

Selasa, 07 Agustus 2012

Memahami Karya Syekh Burhanuddin

Memahami Karya Syekh Burhanuddin

Pariaman---Banyak kisah menarik yang dituturkan oleh pengikutnya tentang kemampuan Syekh Burhanuddin berinteraksi dalam suatu pergaulan yang memuaskan semua lapisan masyarakat tanpa canggung. Pendekatan sosial yang diterapkan beliau sangat efektif bagi masyarakat yang memang sudah mengalami kemajuan berpikir yang baik dan memadai dengan adat dan budaya yang dimiliki setiap orang Minang.
    Dia menyampaikan Islam secara perlahan-lahan dan mencari persesuaian antara norma-norma agama dengan kultur masyarakat. Gerakkannya dalam penobatan gelar setiap pemegang kekuasaan agama dalam masyarakat adalah bentuk nyata dari usaha beliau ke arah harmonisasi hubungan di dalam masyarakat, bahkan sampai sekarang kesan positifnya masih dirasakan.
    Hasil dari gerakkan tersebut terlihat dari tumbuhnya ratusan ulama (imam, khatib, labai dan tuanku) yang akhirnya memberikan corak tersendiri bagi struktur budaya dan kultural, serta nuansa Islam di Minangkabau. Gerakkan ini sekaligus mendorong timbulnya beratus-ratus ribu surau, masjid dan rumah ibadah. Dan kemudian institusi ini menjadi cikal bakal dari lembaga pendidikan Islam dan kajian ke-Islaman lainnya di bawah pimpinan ulama. Hampir setiap Jorong, (sekarang dusun), Desa (dulu korong), dan Nagari memiliki surau berikut dengan ulama yang memimpinnya.
    Paham dan Karya Syekh Burhanuddin
    Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jaringan intelektual Syekh Burhanuddin sejak dari guru pertamanya; Syekh Abdullah Arif (lebih populer dengan panggilan Syekh Madinah) di Tapakis Ulakan sampai belajar dengan Syekh Abdurrauf di Aceh masih berasal dari rumpun yang sama. Kedua guru ini sama-sama belajar dengan Syekh Ahmad Qusyasi di Madinah. Ulama Madinah ini merupakan tokoh yang menjadi sentral dalam jaringan Ulama Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18 M. Sebab memalui Ahmad Qusyasilah para ulama nusantara menemukan warisan intelektual Islam Fiqh, Tafsîr, tak terkecuali juga tasawuf baik yang sudah melembaga menjadi tarekat, maupun yang masih menjadi anutan dari pribadi muslim.
    Satu di antara murid Ahmad Qusyasi yang dikenal luas dalam jaringan ulama nusantara, adalah Abdurrauf al-Sinkili. Nama lengkapnya Amin al-Din Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili. Ia lahir diperkirakan sekitar tahun 1024/1615 M. disebuah kota kecil di pantai Barat pulau Sumatra. Ia berasal dari keluarga ulama, ayahnya Syekh al-Fansuri adalah seorang Arab yang mengawini seorang wanita setempat dari Fansur (Barus) dan bertempat tinggal di Singkil, di mana Abdurrauf dilahirkan.
    Sistem dan pola pemikiran Syekh Burhanuddin tidak dapat ditunjukkan secara konkrit, karena tulisannya yang dapat dijadikan acuan tidak ditemukan. Meskipun ada dua manuskrip yang oleh pengikutnya dikaitkan dengan Syekh Burhanuddin dan disebut sebagai karya Syekh Burhanuddin, tetapi manuskrip ini hanyalah merupakan mukhtasar (ringkasan) dari beberapa kitab tasawuf yang disebut pada penutup manuskrip itu.
    Pertama, manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqîq (Kitab Hakikat). Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuniang, khalifah yang ke-42, bertempat di Surau Syekh Burhanuddin, Tanjung Medan, Ulakan. Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning, lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4 abad (zamannya Syekh Burhanuddin).
    Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab Tahqîq tersebut tidak bisa dilihat oleh sembarang orang, dan juga tidak boleh dibawa keluar dari surau, karena hal itu merupakan amanah. Demikianlah seperti dikemukakan oleh khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian pendahuluan kitab Tahqîq, penulis dengan jelas menyatakan bahwa kitab ini (Mukhtasar) diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf yang populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.
    Kemudian kitab-kitab sumber tersebut oleh penulis dituliskan nama-namanya saja, seperti Kitab Tuhfah al-Mursalah ila ruhin Nabi, Kitab al-Ma`lumatt, Kitâb al-Jawahir al-Haqaiq, Kitab al-Mulahzhah, Kitab Khatimah, Kitab Fath al-Rahman, Kitab Maj al-Bahraiin, Kitab Mi`dan al-Asrar, Kitab Fusus al-Ma`rifah, Kitab Bayan al-Allah, Bahr al-Lahut, Asrar al-Shalah, Kitab al-Wahdah, Kitab Futuhat, Kitab Syarh al-Hikam, Kitab al-Asrar al-Insan, Kitab al-Anwar al-Haqaiq, Kitab al-Baitin, Kitab Tanbih al-Masyi’ dan  Kitab Adab ‘Asyik wa Khalwat.
    Memperhatikan kitab sumber yang dipakai oleh penulis kitab Tahqiq, dapat dipastikan bahwa kitab ini merupakan manuskrip tasawuf yang menjadi paham keagamaan yang dianut oleh penulisnya. Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab Melayu terdiri dari lima kitab yang juga tidak dicantumkan nama penulisnya. Kitab ini lebih sedikit maju karena dicantumkan masa penulisannya. Pada bahagian akhirnya tertulis, Alhamdulilah tamatlah kitab ini ditulis pada hari Selasa bertepatan dengan tahun 1223 hijriah Nabi Muhamad SAW bersamaan dengan 1788 M.
    Jelaslah bahwa kitab ini ditulis setelah satu abad Syekh Burhanuddin wafat. Kitab ini sekarang dipegang oleh Khalifah Syekh Burhanuddin yang berada di Sikabu, Ulakan melalui Tuanku Karimun, yaitu Tuanku Ali Bakri, Alumni S.1 Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sekarang tinggal di Jakarta. Buku ini dapat dipinjamkan dan perlihatkan kepada pihak lain tanpa harus melalui tata cara ibadah zikir seperti buku Tahqiq yang dipegang Syahril Lutan Tuanku Kuniang tersebut di atas. Buku ini oleh khalifah yang lain termasuk oleh Tuanku Kuniang Syahril Luthan dikatakan ditulis oleh Syekh Abdurrahman, khalifah Syekh Burhanuddin ketiga, dan buku itu tidak lengkap dan bukan buku asli dari Syekh Burhanuddin.
    Tuanku Ali Bakri yang memegang buku kedua saat ini menceritakan, bahwa buku ini diperolehnya dari gurunya yang bernama Tuanku Karimun Ulakan. Pada saat gurunya akan meninggal, ia berwasiat agar buku ini harus dipegang oleh orang yang tahu dengan kitab, maka Ali Bakri kemudian ditunjuk karena dialah murid sekaligus kemenakannya yang relatif bisa membaca kitab. Jadi, buku tersebut juga amanat yang mesti dijaga dan rasanya sulit untuk diserahkan kepada pihak lain.
    Buku  ini terdiri dari lima kitab yang digabung dalam satu buku yang cukup tebal dengan jumlah 315 halaman, diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan tulisan dalam bentuk esei panjang. Tiga dari kitab itu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab murni dan dua yang lain ditulis dengan huruf Arab Melayu. Kitab pertama ditulis dengan bahasa Arab berisikan ringkasan dari Kitab Tanbih al-Masyi, buah karya Syekh Abdurrauf al-Sinkili ini dicantumkan secara jelas.
    Empat kitab sesudahnya tidak diterangkan dari kitab apa diringkas dan siapa pengarangnya pun tidak dinukilkan. Dari isinya dapat ditangkap isyarat bahwa kitab ini jelas memiliki hubungan yang erat dengan kajian tasawuf, khususnya tarekat Syatthariyah. Misalnya pada kitab ketiga ada ungkapan yang menjelaskan hubungan murid dengan guru. Hubungan murid dengan guru itu laksana mayat di tangan orang yang memandikannya. Murid harus patuh terhadap semua perintah guru, kepatuhan murid pada guru itu haruslah ikhlas. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar