wartawan singgalang

Rabu, 12 Maret 2014

Kenangan di Surau Gaek Peto

Kenangan di Surau Gaek Peto
    Suarau Gaek Peto yang menyenangkan. Suraunya bersih, tak ada yang menempati. Siang hari Gaek Peto selalu di surau itu. Dengan komunikasi yang baik, surau yang tak jauh dari pesantren itu kami tempati. Ada Marjoni, aku, Buyung Sayang, Mansurni, Ermijohanda. Kami semuanya seangkatan. Kami tinggal di surau itu digratiskan oleh Gaek Peto. Gaek itu minta jaga kebersihan surau. Kalau mau ikan, silakan pancing dalam kolam yang ada di bawah surau. Kalau datang waktu ngaji di malam hari, kami berjalan sambil membawa lampu togok, menyisiri irigasi. Sama dengan jalan setapak. Meskipun tinggal di Surau Gaek Peto, kami tetap gabung masaknya dengan kawan yang tinggal di Surau Baru. Lama juga kami tinggal di surau itu. Kadang kalau ndak sempat shalat jamaah di Surau Ateh, kami berjamaah saja di surau yang sekalian tempat tinggal tersebut.
    Dari tahun 1988-1993 aku di Padang Magek, sudah tiga surau yang aku tempati. Pertama Surau Tabiang, milik Mak Kakan. Dari surau Tabiang aku pindah ke Surau Baru. Tak lama pindah pula ke Surau Gaek Peto. Selama di Padang Magek aku belajar membuat sambal dan gulai. Sangat jarang sekali membeli sambal buat makan. Pernah suatu kali dalam bulan puasa aku tinggal beberapa hari di kampung itu. Lumayan juga. Selama disitu tak pernah masak, baik untuk buka puasa maupun untuk sahur. Semua masyarakat Padang Magek berebut meminta berbuka atau makan sahur di rumahnya. Begitu juga kalau mamakiah, orang darek terkenal dengan pemurahnya.     Banyak kawan-kawan yang dapat induk semang disitu. Aku juga demikian adanya. Selama lima tahun aku di Padang Magek, semua kampung dalam Kabupaten Tanah Datar itu telah aku tempuh dan jajaki. Bangunan asli milik Pesantren Darul 'Ulum sekarang aku juga ikut goro mencari batu ke Sungai Batang Ombilin. Kami para santri mengeluarkan batu dari dalam sungai. Bila sudah teronggok, diangkut oleh truk ke Padang Magek. Saat goro itu, Abak datang dari kampung, ingin mendoa. Sebab aku sejak pindah dari Surau Tabiang ke Surau Baru belum pernah mendoa, atau diserahkan oleh orangtua. Abak pernah tinggal di Surau Lerong dulunya.
    Kawan Abak masih banyak disitu. Makanya, saat Abak ke Padang Magek di akhir tahun, atau melihat aku, dia acapkali bersua dengan kawan lamanya itu. Di Padang Magek kami dibolehkan nonton sekali seminggu, yakni saat usai Muhadlarah atau latihan pidato. Padang Magek sebuah nagari yang membentuk banyak karakter anak-anak Piaman. Dari kampung itulah aku belajar menghargai senior, belajar memasak, belajar kebersamaan, dan belajar hidup susah.
    Sayangnya, sewaktu disitu aku belum sempat mengaji thariqat sama Tuanku Muhammad Zen yang diundang sekali dalam seminggu waktu itu. Setiap peringatan Israk Mikraj, kami mengundang ulama terkenal dari Piaman. Mulai dari Tuanku Kuniang Zubir, Tuanku Mudo Idris, Tuanku Gapuak, dan banyak yang lainnya.

Mahir Tampil di Depan Banyak Orang
    Sesuai peraturan yang diterapkan di Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek, tentang dakwah dan pidato, maka sekali sepekan kami berlatih atau belajar itu. Surau yang tiga, yakni Surau Baru, Surau Tabiang dan Surau Tungga dijadikan sebagai pusat latihan dakwah secara bergiliran. Aku sangat merasakan, dengan pelajaran itulah mental dan bicara di depan publik jadi terbiasa dan sedikit mahir. Apalagi saat peringatan hari besar Islam, selalu diundang juru dakwah hebat, sehingga menambah semangat santri untuk mengasah kemampuannya.
    Seminggu menjelang tampil, nama santri sudah disebutkan. Dengan ini, kami bisa lama menghafal, topik apa yang akan diangkat. Apa Hadist dan Qurannya yang pantas mendukung judul yang kita inginkan. Tak jarang, kalau giliran tiba, kami bicara sendiri, membayangkan banyak orang yang hadir dan mendengar pidato kita. Dimanapun. Malah, sedang berjalan ke Pasar Rambatan hari Selasa misalnya, juga bisa dijadikan ajang untuk menghafal pidato. Begitu juga saat memasak atau saat akan tidur ditempat pembaringan.
    Waktu zaman aku disitu, selain Gurutuo Anwar dan Iskandar yang hebat pidato, ada yang namanya Fauza. Dia orang Bukittinggi. Adeknya M. Tanal juga pandai pidato. Pernah jelang Pemilu 1992 datang Mendiang KH Zainuddin MZ ke Salimpaung. Bejibun banyaknya manusia yang memadati lapangan bola. Termasuk sebagian besar santri Padang Magek. Pascaitu, banyak santri yang meniru gaya tambil da'i sejuta umat tersebut. Pertama kali tampil di kampung, aku dakwah di Surau Toboh Binu Hilie. Waktu itu peringatan Israk Mikraj. Abak atas persetujuan masyarakat Tigo Jurai disuruh mengundang Anwar Tuanku Sutan Marajo. Aku diminta mendampingi, atau sebagai pengembang lapiaknya. Luar biasa dukungan saat itu. Kami bermalam di Surau Koto Runciang. Lama juga aku ceramah malam itu. Ada sejam barangkali. Disitu aku tersebut sebagai anak pisang, karena Abak kampungnya disana.
    Pascaitu pula aku sering tampil di surau yang tiga demikian. Memang, sebelum tampil di kampung itu, aku cukup lama mempersiapkan diri, menghapal kajian Israk Mikraj, sesuai pelajaran yang sudah dapat. Sehabis acara itu pula, orang kampung itu banyak yang ngikut aku ke Padang Magek. Satu hal yang menjadi catatan kami di pesantren itu, adalah mendengar sandiwara Tutur Tinular. Melalui radio Carano di Batusangkar, kami sudah berkumpul jelang waktu zuhur masuk, mendengar sandiwara tersebut. Ceritanya bersambung tiap hari. Kami jarang absen mendengarnya, sehingga ceritanya hafal diluar kepala. Zaman itu radio sangat populer. Di pondok tak berapa kawan yang punya radio.
    Tuo Anwar orang pertama yang memakai motor di pesantren itu. Motornya Astrea Prima. Motor honda itu dia beli, lantaran mulai banyak orang mengundang dia untuk dakwah. Menjelang doa akhir tahun, kami ziarah bersama ke makam Buya Salim Malin Kuniang, sang pendiri Pesantren Darul 'Ulum yang terletak di Koto, tak jauh dari pesantren. Di makam itu kami zikir dan mengaji, sesuai kajian Thariqat Syatthariyah yang menjadi amalan guru di surau itu. Sebulan jelang liburan pajang, kami menghafal kajian kampung. Yakni pengajian untuk peringatan orang meninggal dan jelang puasa. Kami juga belajar cara menyelenggarakan jenazah. Kajian itu diadopsai dari urang siak senior di Batang Piaman, yakni Ayah dari Tuo Iskandar dan Tuo Anwar.

Ikan Tampak, Lubuak Baransang
    Ikan tampak, lubuak barasang. Iku kalimat awal ceramah Subuh aku dan Marjoni di salah satu masjid di Labuah Basilang, Kota Payakumbuh sekitar tahun 1991. Saat itu Kamis malam kami nginap di ruangan MDA masjid itu. Semalaman menahan lapar, karena tak punya uang untuk beli makanan. Untung sang garin masjid bermurah hati untuk menumpangkan kami nginap di ruangan belajar anak-anak demikian. Sebelum numpang, kami bicara dan minta waktu sedikit untuk ceramah paginya sehabis shalat Subuh. Ceramah tak panjang. Kami memperkenalkan diri, sedang menuntut ilmu di Pesantren Padang Magek. Kami berasal dari keluarga kurang mampu, dan berharap banyak bantuan dari kaum muslimin untuk bisa membantu biaya belajar. Kami ingin mencari ilmu yang tinggi, tapi biaya kurang. Sama halnya, ikan tampak tapi lubuak barasang.
    Setelah aku dan Marjoni ceramah, barulah garin masjid ngasih minuman dan makanan. Kami bercengkrama dengan pengurus masjid lainnya tentang pengajian yang kami tuntut di pesantren. Alhamdulillah, lumayan juga hasil infaq dan sedakah yang terkumpul pagi itu diberikan ke kami, sebagai bekal tambahan biaya dalam menuntut ilmu. Siang Jumat-nya, aku Marjoni melanjutkan kegiatan minta belas kasihan orang. Sempat mandi di pemandian Batang Tabik. Pemandian ini terkenal dengan aie-nyo janiah, ikannyo jinak. Kata-kata itu dituliskan dengan jelas di lokasi pemandian yang jadi objek wisata demikian. Kata-kata ikan tampak, lubuak barasang juga sebuah kata-kata mutiara yang aku temukan dalam sebuah bus jurusan Batusangkar-Payakumbuh.
    Kata-kata demikian patut adanya, dan sesuai dengan keadaaan yang aku alami saat menuntut ilmu di pesantren. Dan itu pula pertama kali kami ceramah didepan umum, di luar latihan di pesantren setiap seminggu sekali. Pengalaman itu amat sangat berkesan, dan tentunya memberi arti dalam berjuang menuntut ilmu di surau. Dan pengalaman minta ceramah di masjid atau surau, belum pernah pula dibuat oleh kawan yang lain. Aku dan Marjonilah yang memulainya. Dengan itu pula, barangkali Tuo Anwar mengutus kami berdua menggantikannya di sebuah surau di Guguak Baruah, Padang Magek untuk ceramah lantaran padatnya jadwal beliau. Aku dan Marjoni memang sering jalan berdua. Kami sam-sama memiliki rezki yang kurang, agak malas minta sedekah, sehingga agak sejiwa berdua. Kamipun sama-sama tahunnya masuk Padang Magek. Tapi usia dia lebih tua dari aku. Dia masuk pesantren tamat SMP, sedangkan aku tamat SD.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar