wartawan singgalang

Selasa, 04 Maret 2014

Ambung Kapur, Padang Magek dan Berakhir di Lubuak Pandan

Ambung Kapur, Padang Magek dan Berakhir di Lubuak Pandan

    Ambung Kapur dulunya sebuah desa dalam Kecamatan VII Koto Sungai Sariak. Sejak aku dilahirkan pada 1975, desa itu dipimpin Ismael. Desa ini membawahi empat dusun; Lapau Ngarai, Lamin, Mandiangin, dan Dusun Bengke. Suku Mandailing paling besar dan banyak di kampung itu. Tak heran, Surau Taluak sebagai surau-nya rang Mandailing paling besar diantara surau suku lainnya.
    Sewaktu aku kecil, lapangan bola yang terletak di Dusun Lapau Ngarai selalu jadi favorit. Hampir tiap sebentar digelar iven pertandingan di situ. Dengan ini pula anak-anak Ambung Kapur banyak yang pandai main bola. Sering pergi bertanding ke berbagai daerah di Sumbar, dan acap pula mengundang klub hebat ke Ambung Kapur.
    Setiap kali ada iven, aku jarang apsen untuk nonton bola. Kalau lagi ada pertandingan, sepulang sekolah aku cepat sekali menggembalakan sapi sambil menyabit rumput sekalian. Kadang aku nonton pakai sepeda, kadang berjalan kaki saja. Tanah yang dipakai untuk lapangan itu, adalah tanah milik Rajo VII Koto. Tanahnya sangat luas. Setiap kali memanjat kelapa ada ribuan buah kelapa yang terkumpul.
    Ambung Kapur punya dua SD. Aku sekolah di SDN yang terletak di Lapau Panjang. Sedangkan SD yang satu lagi adalah SD Inpres. Sewaktu aku kelas V SD, guru olahraganya Pak Indra. Dia orang Agam yang suka main bola. Setiap pelajaran olahraga, kami selalu diajarkan main bola. Tetapi ijazah aku keluarnya di SD Ampalu, karena di situ aku ujian akhirnya. Saat itu ujian akhir masih gabung dengan banyak SD.
    Usai ujian akhir itulah aku berangkat ke pesantren. Menurut cerita banyak orang di kampungku, sejarah Ambung Kapur tak terlepas dari sebuah pedati pengangkut kapur dari Padang Panjang yang terpuruk di kampung kecil itu. Saking capeknya sang kerbau, tak lagi kuat untuk mairik pedati bermuatan kapur, yang rodanya terpuruk. Ambung saja kapurnya disini, biar ringan dia. Akhirnya sang pemilik mengeluarkan kapur dari dalam pedati, maka kampung yang belum bernama itu diberi nama Ambung Kapur.
    Memang saat aku kecil, pedati alat transportasi pengangkut kelapa yang sangat diandalkan. Saat aku sering tidur di rumah Amak Uwo, subuh-subuh sudah terdengar bunyi pedati berjalan menuju Pasar Ampalu atau Sungai Sariak. Ketika Amak Uwo memanjat kelapanya, aku sering naik petadi Pak Tolaik. Begitu juga dengan pedati Anduang Bungo yang sering dibawa anaknya, Sizul. Kalau aku dan kakakku juga ada pakai pedati, tapi tak pakai roda. Usoh kami namakan.
     Dengan usoh itulah kami berdua pergi menyabit rumbut, saat induk sapi melahirkan anak. Sebab, sapi melahirkan butuh banyak rumput. Untung rancaknya punya sapi yang banyak, sehingga yang lain bisa ikut membantu tuannya mencari rumput, yang nantinya dibawa dengan osoh yang diirit oleh sapi tersebut. Lumayan juga. Sampai 8 karung rumput yang dimuatnya.
    Pagi menjelang siang Rabu di tahun 1988, kami bertiga bersama tiga orangtua menunggu mobil ke Batusangkar di terminal Sicincin. Sudah banyak mobil APB dan APD yang lewat, tapi tak satupun yang kami tumpangi. Kami masih kecil, tak tahu banyak soal mobil kesana. Akhirnya datanglah seorang sopir mobil jurusan Sicincin-Padang Panjang. Dia menawari langsung mengantarkan ke Padang Magek itu.
    Lumayan. Agak lapang, karena enam orang isinya ditambah tiga buah peti tempat pakaian kami. Lewat Simabur mobil belok kanan, memotong jalan lewat Cubadak. Pas sampai di Cubadak itu rusaklah mobil ini. Lama juga memperbaikinya, lantaran gardanya patah. Akhirnya kami sampai di Surau Tabiang menjelang sore. Malamnya langsung mendoa, pertanda dimulainya tahun mengaji. Di surau itu ada seorang senior kami, Kiman namanya. Kami memanggil dia dengan panggilan Ajo Kiman. Dia orang Salisikan. Ajo inilah pertama kali mengajarkan kami pergi 'mamakiah', mintak sedekah kerumah warga yang lazim dilakukan oleh santri pesantren salafiah setiap Kamis dan Jumat.
    Aku diajaknya mendatangi banyak kampung dalam daerah Tanah Datar itu. Dia tak lama mengajari itu. Cukup beberapa kali saja, kemudian disuruh jalan sendiri. Karena baru mulai, kami diajar mengaji oleh Apuak Mahyuddin. Setiap malam Minggu kami mengikuti latihan dakwah. Ini santrinya gabung dengan yang tinggal di Surau Baru dan surau Tungga. Tak lama Apuak ngajar lantaran dia sibuk ke sawah dan jualan, maka didatangkan dua orang guru tuo, Ajo Maen dan Utiah Zam.
    Saat sering ceramah di kampung bako itu akhirnya banyak anak-anak kampung itu yang ikut ngaji ke Padang Magek. Mulai dari Zaidir, Pian, Indin sampai Nizaf anaknya Ajo Mansur. Semua orang itu yunior aku. Berkat aku dinilai oleh orangtuanya berhasil ngaji, para orangtuanya kepengin pula anknya ngaji kayak aku. Jadi, pengaruh aku pulang kampung atau saat berkiprah bulan puasa di kampung, sangat dirasakan banyak orang. Sebab, mengaji di Padang Magek juga diajarkan ilmu alat kampung, seperti mengajikan orang yang sudah meninggal, menyelenggarakan jenazah, mengaji ka puaso, maulid nabi dan lain sebagainya.
    Dengan demikian, saat libur panjang jelang puasa sampai hari raya, hasil didikan Padang Magek bermanfaat dikampungnya. Orang siak kampung pada kagum, karena bacaan kita bersih. Para labai kampung kala itu memanggil kita pakiah. Itu panggilan yang lazim di Piaman bagi santri yang belum diangkat jadi tuanku. Lima tahun aku di Padang Magek, lumayan banyak orang kampung yang ikut denganku. Mereka ada yang berhasil, dan ada pula yang mengakhiri santrinya dengan merantau.
    Zaidir jadi pedagang di Kota Padang. Syofyan jadi tukang bengkel di Jambi. Indin jadi pengusaha pula di Pekanbaru. Hanya Nizaf yang lanjut dan akhirnya diangkat jadi tuanku yang mengajar di surau masyarakat di kampung ayahnya, Ampalu. Adeknya, Nazif juga jadi tuanku. Ini ikut dengan aku juga di Padang Magek awalnya. Setiap akhir tahun kami santri menggelar doa akhir tahun yang dilanjutkan dengan hiburan selawat dulang.
    Setiap jumat malam, kami mengumpulkan beras untuk seminggu makan, ditambah uang beli minyak lampu strokeng, karena di Surau Baru belum ada listrik saat itu. Bagi yang belum ada beras boleh ngutang. Edi orang Batang Piaman yang mengumpulkan bers itu. Dia termasuk santri senior. Aku memanggil dia dengan sebutan gurutuo.
    Di Padang Magek shalat Jumat-nya yang sama dengan Piaman ada di Pauah, dan Bulakan, karena dua tempat itu ada alumni Surau Mato Aia Pakandangan yang mendirikan Jumat. Kami sering juga shalat Jumat di Pauah, dan kadang di Guguak Gadang saja, Masjid Raya Padang Magek.
    Ada kantin kecil di Surau Ateh, Tuo Iskandar yang juawalan. Belakangan, Tuo Iskandar merantau kantin itu dilanjutkan oleh Tuo Anwar. Kelak kedua gurutuo senior itu sama-sama diangkat jadi tuanku oleh orang kampungnya, Batang Piaman dan Padang Sago. Iskandar gelarnya Tuanku Kuniang, Anwar Gelarnya Tuanku Sutan Majolelo. Tuo Jalil dibawahnya adalah gurutuo yang mengajari irama quran. Dia pintar qasidah.         Sedangkan dengan pimpinan Suhaili Yakub, kami belajar ilmu hadist. Liburan jelang puasa dan puasa pertama aku diajak Ajo Mun ke Surau Mato Aia. Dia ngaji di situ. Ajo Mun namanya Ali Amran. Kalau di Mato Aia dia dipanggil Tuo Maran. Kemenakan abak ini meninggal saat tinggal mengangkat tuanku, karena sakit. Akhirnya Mardanis yang kelak namanya diganti menjadi Zulfadli oleh Buya Ali Imran yang melanjutkan ngaji bersamaku di Padang Magek. Aku pindah ke Lubuak Pandan, dia pindah ke Ringan-Ringan.
    Padang Magek terkenal dengan kajian makna. Artinya, santri pesantren ini lebih lihai membaca Tafsir Jalalain ketimbang kajian lainnya. Setahun aku di Lubuak Pandan, datang Tuo Anwar yang ingin mengundang Tuanku Jakfar untuk ceramah bulan puasa. Saat itu aku temani Tuanku Jakfar ke Padang Magek. Akhirnya, pesantren Padang Magek tertarik dengan Tuanku Jakfar yang orang Arifan, Kabupaten Solok itu.
    Tuo Jakfar termasuk gurutuo senior yang pandai dengan anak didiknya. Santriwati dia yang mengelola di Lubuak Pandan tersebut. Pagi-pagi habis subuh, kami diajarkan bahasa Arab oleh Tuanku Jakfar. Sewaktu dia akan dilepas di Lubuak Pandan ke Padang Magek, hampir semua santriwati pada menangis. Begitu juga dengan santri yang menghuni Anjung Jaya.
    Di Anjung Jaya itulah aku dan Amiruddin Tuanku Kuniang tinggal bersama-sama dengan kawan dari Lumindai, Arifan Solok dan ada pula dari Lubuk Alung dan Kota Padang. Saat marapulai mengulang kaji sama Tuanku Jakfar di malam hari, kami ikut pula menyimak. Tuanku Jakfar terkenal sangat disiplin dan perhatian kepada anak didiknya. Kalau subuh masih ada juga yang tidur, dia tak segan-segan menyiram dengan air.
    Kalau menerapkan kebaikan, dia yang paling mulai duluan. Santriwati memanggil dia dengan sebutan kakak. Kalau aku, ngaji dengan Tuo Bujang Albar, juga orang Arifak Solok. Pagi-pagi sebelum jadi marapulai diatas anjung, aku juga sempat ngaji dengan Tuo Lukman, orang Ulakan yang kelak tinggal di Bisati, Padang Pariaman. Di Lubuak Pandan memasak juga secara bersama dan bergiliran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar