wartawan singgalang

Selasa, 04 Maret 2014

Diajar Bergembala Sapi dan Jualan Makanan

Diajar Bergembala Sapi dan Jualan Makanan

    Aku dilahirkan 13 Mei 1975 M, dari pasangan Ali Ibrahim-Dahniar di Ambung Kapur, Nagari Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman. Aku tumbuh bersama anak-anak kampung lainnya. Namun, dalam mengisi waktu sepulang sekolah, aku dan kakakku Afrizal menggembalakan ternak sapi.
    Menjelang masuk sekolah, aku diajar berjualan makanan masuk kampung keluar kampung, yang sepeninggal kakakku Afrizal pergi merantau, aku sendiri lagi yang jualan itu. Siang sekolah, malam hari mengaji. Ada banyak tempat ngaji yang aku datangi. Mulai dari rumah Haji Jose, Surau Taluak, Surau Koto Runciang, Surau Langkuik dan lainnya.
    Dari kecil dilatih ngaji, belajar dan berusaha. Sering kena marah lantaran sapi tak kenyang sore hari merupakan risiko yang acapkali aku terima dari Amak. Barangkali satu hal yang paling besar pengaruh dari gembala sapi itu, mampunya Abak dan Amak membangun rumah permanen yang awalnya hanya sebuah pondok kayu yang cukup lama juga kami huni.
    Aku menamatkan ngaji di Surau Koto Runciang bersama Ajo Men. Guru ngaji yang satu ini adalah kemenakan Abak. Dia terkenal disiplin. Semasa dia ngajar cukup banyak anak-anak kampung Koto Runciang, Ambung Kapur dan kampung lainnya yang ngaji saat itu. Kami juga sering melakukan pertandingan sepakbola antar kampung di halaman surau dengan bola plastik. Main lainnya yang sering dilakukan semasa kecil adalah main karet, sipak tekong dan main gambar.
    Saking banyaknya sapi yang digembalakan berdua, maka rumputnya pun harus dicarikan ke ladang orang lain. Kami menggembalakan sapi paling jauh itu ke Sungai Landai. Kalau udah kesitu, pergi pagi pulangnya senja saja. Dikampung yang berada ditepi Sungai Batang Mangoi itulah ibu dari ibuku punya lahan sawah. Kepada dia aku memanggil Amak Uwo dan ke suaminya aku memanggil Abak Uwo.
    Soal menderita dari kecil, agaknya sudah menjadi pakaian hidupku dalam keseharian. Aku menamatkan SD tahun 1988. Bersama Syamsual Kamar dan Ali Mutamar setamat SD itu aku diantar oleh Abak ke Padang Magek. Pondok Pesantren Darul 'Ulum namanya. Kami bertiga menempati Surau Tabiang, karena surau itu kepunyaan H. Kakan, orang Ambung Kapur yang kami panggil mamak.     Dalam surau itu juga ada orang dari Salisikan, Pasa Usang. Tak berselang lama, datang pula Anwarsyam yang juga sama tamat SD dengan kami. Sewaktu aku masih di kelas enam SD, Apuak Mahyuddin yang tinggal di Rambatan pulang ke kampung. Dia mengajarkan dasar kajian pesantrten kepada aku dan kawan-kawan. Aku termasuk yang paling cepat nankapnya, sehingga setamat SD diantar ke surau. Dan lagi Abak memang berdasar dari pengajian surau juga sebelumnya, yang cukup lama di Padang Magek itu. Sampai Abak tamat sekolah Persiapan IAIN Limo Kaum.
    Karena merasa kewalahan mengajar kami di Surau Tabiang, didatangkan dua orang guru dari Surau Baru. Dia adalah Ismail dan Zamzami. Setahun disana, Ali Mutamar pindah ngaji ke Surau Mato Aie di Pakandangan, Padang Pariaman. Aku dan Suwan, panggilan Syamsual Kamar masih tetap di Padang Magek, kabupaten Tanah Datar itu. Tapi Suwan akhirnya pun berhenti ngaji. Aku dua tahun lebih di Surau Tabiang, lalu pindah ngaji ke Surau Baru, lantaran Ajo Mael dan Utiah Zam tak lagi disitu.
    Ajo Mael pindah ke Koto Laweh, dekat Padang Panjang, Utiah Zam merantau ke Palembang. Tepatnya tahun 1992 aku pindah ke Surau Baru. Disana banyak santri dari Padang Pariaman, Solok, Tanjung Simalidu di Jambi sana. Di Surau Baru itulah pusat Pesantren Darul 'Ulum. Disitu aku sampai tahun 1994, lalu pindah ke Lubuk Pandan, tepatnya Pesantren Madrasatul 'Ulum dibawah asuhan Tuanku Shalaih Pengka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar