wartawan singgalang

Kamis, 29 Januari 2015

Labai Berdiri di Halaman Syarak dan Tepian Adat

Labai Berdiri di Halaman Syarak dan Tepian Adat

Padang Pariaman---Di Padang Pariaman labai adalah urang siak. Tak heran setiap surau di daerah ini punya seorang labai yang diangkat oleh kaum atau masyarakat korong terkait. Tergantung surau milik siapa. Kalau surau milik kaum, labainya terdiri dari yang patut dari suku bersangkutan.
    Tapi kalau suraunya sistim korong, labai diambilkan dari yang patut menurut masyarakat dalam korong itu. Sebab, di Padang Pariaman surau ada yang kepunyaan kaum dan ada juga yang kepunyaan korong. Semisal di VII Koto Sungai Sariak, itu surau kepunyaan suku. Setiap suku punya surau masing-masingnya. Dengan ini, setiap suku itu tentu punya seorang labai pula.
    Labai menurut ketentuannya, adalah insan yang berdiri di halaman syarak (agama) dan tepian adat. Artinya, setiap seseorang yang diangkat menjadi labai, setidak-tidaknya dia harus sedikit banyaknya paham soal agama dan adat yang berlaku di nagarinya. Mengangkat seseorang jadi labai, itu juga berbeda pula cara dan tradisinya setiap kampung di Padang Pariaman.
    Di Kecamatan VII Koto Sungai Sariak lama (Padang Sago, Patamuan dan VII Koto), itu proses pelantikan seseorang jadi labai memakan waktu cukup panjang. Bila telah disepakati yang bersangkutan untuk jadi labai, itu dilakukan prosesinya di suraunya. Ratik petang Kamis dinamakan. Yakni, Setiap Kamis malam para urang siak selingkaran kampung itu ikut melakukan ratik petang Kamis selama sebulan.
    Sehabis itu, yang akan jadi labai diangkut ke Ulakan, makam Syekh Burhanuddin oleh labai yang tua dalam nagari. Di Ulakan itu dia melakukan shalat, yang dinamakan dengan shalat 'Buraha', yakni shalat yang pahalanya dihadiahkan ke Syekh Burhanuddin. Ini disebut sebagai tawasul dalam beragama, karena yang bersangkutan akan menjalankan titah agama dan adat yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin dulunya.
    Lain pula caranya di Nagari Ulakan. Di sini surau milik korong. Dalam satu korong ada tiga sampai lima unit surau, tergantung luas dan banyaknya penduduk dalam korong yang ada di Ulakan. Di Korong Padang Toboh misalnya, ada empat surau. Surau Rimbo Aka terletak di Dusun Rimbo Aka, Surau Kampuang Paneh terletak di Dusun Kampuang Paneh, Surau Kariang dan Surau Rambai terletak di Dusun Kampuang Tangah. Dari empat surau yang ada di Padang Toboh ini, hanya tiga surau yang pakai labai. Sedangkan Surau Rambai tak pakai labai, karena surau kecil itu dianggap sebagai pengembangan dari Surau Kariang.
    Labai ada yang minta berhenti dari jabatannya, dan ada pula yang diberhentikan oleh masyarakat korong. Tentu tergantung dinamika yang terjadi di tengah masyarakat bersangkutan. Meskipun dia berhenti atau diberhentikan, orang banyak atau yang lebih tua dari dia tetap saja memanggilnya dengan sebutan mak labai, ajo labai, pak labai, inyiak labai dan lain sebagainya. Labai, sama juga dengan pemimpin lainnya di tengah masyarakat. Dia juga nyaris 24 jam bekerja secara sukarela. Tidak ada gaji tetap dari masyarakat, atau insentif dari pemerintah daerah.
    Kerja yang nyaris 24 jam demikian, ada yang bersifat kewajiban bagi dirinya selaku urang siak di tengah masyarakat, dan ada pula yang fardlu kifayah. Yakni, suatu kewajiban berdosa orang sekampungnya, bila tidak dilakukan. Semisal menyelenggarakan jenazah. Nah, disinilah peran dan tugas penting yang diemban oleh insan yang namanya labai. Bila ada anggota keluarga yang meninggal, mencari labai yang pandai mencuci dan menyelenggarakan mayat ini sudah mulai dirasakan sulitnya.
    Usman Labai, satu dari ratusan labai yang ada di Padang Pariaman yang dinilai jauh melangkah kedepan. Disamping jadi labai yang dia jalani sejak berusia 14 tahun hingga sekarang di nagarinya; Parit Malintang, Kecamatan Enam Lingkung, dia juga seorang pejabat di lingkungan Pemkab daerah itu. Sekarang Usman Labai dipercaya sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Padang Pariaman oleh induk semangnya, Bupati Ali Mukhni. Dia tahu persis bagaimana parasaian dan beratnya beban yang diemban oleh seorang labai dalam masyarakat.
    "Labai dengan tuanku memang sama-sama urang siak atau ulama. Namun, labai inggok basicakam, tagak basitumpu. Punya kekuatan yang lebih sedikit dari tuanku dalam kampunya. Labai orang dipilih oleh masyarakat dari sekian banyak anggota masyarakat yang patut dan mungkin. Sedangkan tuanku orang yang tamat dalam sebuah perguruan surau atau pesantren, yang kalau tuanku tiba di kampungnya dia akan sama dengan tokoh masyarakat biasa," kata Usman Labai.
    Usman Labai ingin ikut memberikan kontribusi positif terhadap komunitas labai ini di Padang Pariaman. Untuk itulah, dia mencoba melangkah kedepan, masuk dalam pusaran politik yang akan di mainkan pada masa Pilkada tahun ini atau tahun depan. Kalau jadi, dan berhasil nantinya, mungkin inilah baru sejarahnya labai bisa jadi Bupati di Padang Pariaman sejak daerah itu ada. "Selama ini, baik labai maupun tuanku belum ada yang memegang tampuk kekuasaan. Kalau jadi anggota dewan, sudah banyak tuanku yang jadi. Bahkan, saling berganti setiap lima tahunnya dari partai yang berbeda pula," ujarnya.
    "Kita tahu, H. Iskandar Tuanku Mudo, ulama dan pimpinan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan pernah jadi anggota DPRD Padang Pariaman dari Golkar. H. Muhammad Zen, tokoh ulama dari NU naik lewat PPP, Darwinis Jen Tuanku Sutan, tokoh Perti dari PPP, Zulhelmi Tuanku Sidi dari PKB. Tentu para labai dan tuanku punya hak yang sama dengan masyarakat lainnya dalam soal politik, baik di eksekutif maupun di legislatif," ungkapnya. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar