wartawan singgalang

Sabtu, 08 Agustus 2020

Surau Mengajarkan Kita Hidup Bermasyarakat

Lazim bagi tamatan pesantren tradisional jadi guru mengaji, atau tinggal dan melakukan aktivitas di surau. Aku sehabis tamat di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan juga sempat jadi guru mengaji. Pertama kali diminta mengajar di Kandis, Duri, Provinsi Riau. Waktu itu aku baru saja kawin. Ada seorang pemilik rumah makan di Duri. Dia orang Kayutanam. Rumah makannya besar, tempt berhenti bus jurusan Dumai-Pariaman dan bus Pekanbaru-Medan. Nama bapak itu aku lupa. Dia minta seorang guru untuk mengajar mengaji di surau kecil samping rumah makan itu ke Lubuk Pandan.

Oleh Buya Marzuki aku yang diutus. Karena suasana besing, ramai setiap saat, cuma bertahan sebulan aku di situ. Aku permisi pulang kampung, dan tak pernah balik kesitu lagi. Habis dari Duri, aku diminta tinggal di kampung, Surau Ampang Tarok. Sebelumnya, aku dan Ajo Mansur melakukan wirid pengajian di situ seminggu sekali. Asyik juga tinggal di kampung, Ambung Kapur. Di samping mengajar mengaji siang jelang sore, aku juga mengaktifkan shalat berjamaah tiap waktu, terutama aku sedang di surau. Lama juga aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Dan selama tinggal di kampung, banyak wirid Ajo Mansur yang aku menjalankannya. Seperti wirid di Surau Mandiangin, Surau Kampung Tangah Barangan, dan lain sebagainya.     

Sempat pula membawa jamaah Ambung Kapur ziarah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dan ke Ulakan, sebagaimana lazimnya wirid Tuanku Sidi Tukang yang dijalankan Ajo Mansur. Ada dua tahun lebih aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Banyak kesan, dan tentunya banyak pula dukanya. Namanya saja tinggal di kampung sendiri. Dari kampung aku pindah ke Surau Kampung Paneh, Padang Toboh Ulakan. Di sana aku lima tahun lamanya tinggal dan mengabdi. Semasa aku di kampung, kerja sambilan adalah mengantarkan koran Padang Pos, yang Pak Amir kepala perwakilannya di Pariaman. Aku punya sebuah sepeda motor cup 70. Mengantar koran seminggu sekali, sambil pandai dan belajar juga jadi wartawan. Pindah ke Padang Toboh juga mengajar anak-anak kampung belajar mengaji.

Di Ulakan itu aku mulai tahun 2000 sampai 2005. Dan itu pula surau terakhir yang aku tunggui. Namun, ketika di Ulakan aku diperkenankan membawa urang rumah, dan disediakan tempat tinggal yang lumayanlah, yakni surau kayu lama yang dibuatkan sebuah kamarnya. Memang, kalau untuk mencari sumber kehidupan tidak bisa diandalkan hanya tinggal di surau, yang honornya dikasih masyarakat. Kadang ada diberi, kadang sudah tiga bulan tak menerima honor. Honornyapun tak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Tapi itu semua hanya diterima apa adanya dengan baik, Lillahi ta'ala. Tinggal di surau, apalagi itu surau milik masyarakat, ya honor hanya sebagai sedekah saja. Walapun demkian, orang mengajar nengaji di surau itu tak pula pernah mogok mengajar atau melakukan demo.    

Selama di Ulakan, aku dan keluarga yang belum punya anak itu juga mempunyai sejumlah ternak itik. Tiap pagi sehabis shalat Subuh aku acap mencari keong untuk makanan itik. Dari hasil penjualan telor itik itulah aku dapat tambahan biaya keseharian, di samping juga seminggu sekali mengantar koran alias jadi loper Padang Pos. Berbagai kemampuan dan kesanggupan, aku kerahkan untuk melakukan yang terbaik di tengah masyarakat Padang Toboh. Apa yang menjadi kebiasaan masyarakat selalu aku ikuti dengan baik. Seperti wirid bergiliran di empat surau yang ada di desa itu. Satu hal yang menjadi sejarah kepenulisan aku, di Padang Toboh itu berita pertama aku muncul di SKM Padang Pos, tahun 2000. Dan saat tinggal di situ pula aku dapat penghargaan sebagai loper terbaik satu SKM Padang Pos, saat HUT pertama tahun 2000, yang diadakan di Hotel Pangeran, Padang.  

Kepala Desa Padang Toboh Syahiruddin, dan sekretarisnya Syahayar sangat mendukung aku atas pemberitaan demikian. Waktu itu ada anak KKK dari Unand Padang yang melakukan jejak pendapat tentang perlu atau tidaknya mendirikan masjid di Padang Toboh. Ternyata banyak yang menginginkan pendirian masjid. Namun, keinginan itu dilawan oleh Sudirman Rangkayo Rajo Mangkuto, yang menguasai ulayat Sigimba Panjang. Berita itu jadi headlenews di Padang Pos. Kemudian, bersama ulama Padang Toboh, aku dianggap duduak samo randah, tagak samo tinggi di bidang apapun juga. Mulai dari peringatan Maulid Nabi di Sigimba Panjang, sampai alek baralek di tengah masyarakat.

Apapun tradisinya, selalu aku ikuti dengan baik. Bahkan, aku sepat ikut julo-julo tukang di Padang Toboh, yang ketuanya waktu itu Labai Siri. Tapi, karena belum membangun rumah, aku hanya menerima uangnya saja. Sempat lama aku ikut julo-julo tukang, yang setiap anggota yang menerima selalu melakukan kerja di rumahnya. Aku pergi dari Padang Toboh secara baik-baik. Tidak sanggup lagi menjalankan tugas, karena semakin sibuk di dunia wartawan. Menjelang keluar di situ, aku menjadi wartawan Media Sumbar. Setahun menjelang pindah ke rumah mertua, aku sempat ke Malaysia dan Singapura, serta ikut Muktamar ke-31 NU di Solo, Jawa Tengah.

Pengajaran dari orangtua

Pendidikan keluarga dari kecil sangat aku rasakan dampaknya setelah menginjak dewasa, terutama pendidikan yang diberikan Amak dan Abak. Abak punya tipikal yang lumayan keras dan kuat. Sebagai anak tua dari Abak, aku merasakan betul kerasnya pendidikan yang diberikannya ke aku. Berkali-kali aku dipaksa makan sahur, saat awal-awal aku belajar puasa. Saking susahnya aku dibangunin, Abak tak sungkan-sungkan memainkan kakinya ke pinggul aku. Itu terjadi saat aku tidur di Surau Koto Runciang.

Memang, dari kecil aku belajar mengaji dan banyak menghabiskan waktu di kampung bakoku tersebut. Malam mengaji, siang membantu Abak kerja tani sambil juga gembala sapi sama kakak aku Afrizal yang lain Abak dengan aku. Kalau tidak ada kerjaan tukang rumah di rumah orang, Abak melakukan kerja di sawah milik surau itu. Karena dia seorang labai, punya setumpak atau dua tumpak sawah yang digarap untuk kehidupan keluarga.

Ada banyak sawah wakaf milik surau yang digarapnya bersama Ajo Mansur, seorang ulama yang lama tinggal di Surau Koto Runciang. Di samping Abak dan Amak bertanam padi, juga ada bertanam cabai. Sebab, model sawah di kampung itu harus diselingi. Sekali padi, sekali dengan tanaman lain. Saat bertanam cabai, Abak sering kongsi dengan Apak Ali Munir, seorang Kepala Dusun di kampung itu. Panen cabai dua kali seminggu; Jumat dan Selasa. Aku acap ikut mengambil cabai demikian. Boleh di bilang, di samping padai tukang rumah, Abak juga seorang petani.

Kalau tukang rumah, agaknya itu kepandaian Abak yang langsung diajarkan oleh ayahnya; Sirin Labai Mangkuto. Saat Abak dinobatkan jadi labai di Surau Koto Runciang, menggantikan Apak Labai Usin yang meninggal dunia, aku masih sangat kecil. Belum sekolah, tapi aku sudah tahu, dan ikut melihat prosesi itu di kampungnya, Koto Runciang. Namun sangat disayangkan, kelak aku tak pandai bertani dan tukang. Aku melihat, Abak tak ingin anaknya susah menjalani hidup, seperti yang sudah dialaminya.

Abak pernah terjatuh saat memasang atap rumah orang. Untuk ini, aku tak pernah diajarkan untuk pandai menjadi tukang itu pula. Malah setamat sekolah dasar, aku diserahkan melanjutkan pendidikan ke pesantren. Saat aku kecil, kampung Koto Runciang yang saat itu bagian dari Desa Guguak masih terbilang ramai. Kawan sepermainan banyak. Sambil menggembalakan ternak, aku juga sering main karet, main gambar. Kalau malam main endap-endapan di surau itu. Main bola di halaman surau atau di tengah sawah yang habis dipanen juga acap kami lakukan. Sekarang, aku lihat Koto Runciang semakin sepi. Apalagi surau milik kaum Suku Sikumbang itu dipindahkan ke Kajai, kampung kecil dalam Koto Runciang yang berbatasan dengan Desa Padang Bungo, karena di situ banyak rumah penduduknya. Pernah Abak mengajak aku bekerja di rumah orang, tapi tak sering. Hal itu saat aku pulang kampung dari pesantren Padang Magek dan Lubuk Pandan. Kekerasan didikan Abak yang aku rasakan, kalau yang kita buat tak diingininya, dia marah mintak ampun. 

Lain pula dengan didikan yang Amak berikan ke aku dengan berjualan sebelum sekolah. Kekerasan Abak ke aku mulai berkurang, saat aku sudah belajar di pesantren. Setiap hari Amak membuat makanan jenis mangkuak, Amak butuh tepung yang diolah dari beras dolok. Beras itu ditumbuk dua kali seminggu. Aku dan adik-adik sama Amak pergi menumbuk beras tersebut di lesung milik Buyuang Katan. Kami membantu menjongkekkan kayu besar, yang alunya memecah beras. Lama di tumbuk, beras yang tadinya kasar jadi halus, lalu di ayak dan jadilah barang itu tepung. Di namakan tepung beras. Tepung dijemur oleh Amak agar bisa dibikin mangkuak yang rancak. Mangkuak itulah yang aku jual menjelang masuk kelas tatkala sekolah SD dulu. Lama juga numpang numbuk tepung di tempat Buyuang Katan. Kemudian, Abak membuat pondok tempat menumbuk itu, yang lesungnya dibawa dari rumah Amak Uwo. Dengan uang jualan itulah kami membantu kemasukan uang rumah tangga.

Kadang, pas kami menumbuk tepung, Buyuang Katan sedang menanak garam. Buyuang Katan juga dua kali menanak garam kasar menjadi garam halus dalam seminggu. Dia memasaknya dengan tradisional. Di bentangkan tempat menanaknya dari seng yang agak panjang, lalu dibakar dengan kayu. Selama sehari garam yang tadinya kasar, menjadi garam halus. Bagi masyarakat garam halus buatan Buyuang Katan ini sangat terkenal. Dia jualan PMD di Pasar Ampalu setiap hari Sabtu, di Sungai Sariak hari Rabu dan di Padang Sago hari Senin. Hampir tiap rumah menaruh garam halus demikian. Sebab, manakala garam gulai agak kurang terasa, di situlah gunanya garam halus penambahnya. Buya Lubuk Pandan membiasakan menjilat garam halus itu sebelum dan sesudah makan. Entah apa khasiatnya, aku tak tahu banyak pula soal itu. Kawan menyebutkan, kalau membiasakan makan garam sebelum dan setelah makan itu, insya Allah Tuhan menjadikan mulut kita asin. Artinya pembicaraan kita di dengar banyak orang.

Amak numpang numbuk tepung juga menyewa sama Jinan, kakaknya Buyuang Katan. Tapi sewanya tak begitu mahal. Selain tepung untuk membuat mangkuak, bagi Amak tepung juga bisa untuk memasak goreng pisang. Sesekali aku juga jualan goren. Kadang-kadang jualan tapai ubi bagai. Memang Amak mengajari kami semua anak-anaknya dengan berjualan. Tapi tak ada yang sampai jadi saudagar kaya di antara kami. Memang, apa yang dikatakan banyak orang, bahwa mencari uang harus dengan uang pula. Kalau tak bermodal jangan harap untuk bisa kaya. Ya untuk sekedar menutup biaya harian saja. Tapi, yang jelas Amak telah mengajari anaknya cara hidup mandiri bila dewasa kelak. Dan memang, dari sekian banyak anak Amak tak seorangpun yang dimodalkan pergi ke rantau orang, karena modal itu benar yang tak ada, selain dari pengajaran demikian yang kami jalankan selama sekolah SD di kampung.

Dengan kemandirin itu, aku tak merasa cangkung menghadapi kehidupan yang kian konflik. Belajar jualan dari kecil itulah aku merasakan, betapa hidup itu indah dan penuh dengan warna. Hanya dengan kesiapan yang matang, kita mampu menjalani hidup dengan baik dan benar. Mungkin nasib yang membuat aku tak jadi seorang pedagang. Tapi aku sempat jadi pengurus HIPMI, alias himpunan pengusaha muda Indonesia Kabupaten Padang Pariaman. Aku merasa tersanjung, tatkala Aljufri, Ketua HIPMI Padang Pariaman memasukkan namaku ke dalam pengurus organisasi pengusaha muda tersebut. Hanya berbekalkan cara hidup yang baik dari orangtua itu, aku merasa tak canggung menjalani kehidupan saat ini, meskipun banyak sudah pengalaman hidup yang aku lalui, sebelum berlabuh di dunia jurnalistik. Dan dengan pengalaman itu pula aku mampu menjalankan kepercayaan induk semang dengan baik.     

Terbukti, pasca aku keluar di Padang Pos, selalu media yang meminta aku bergabung untuk memperkuat media bersangkutan. Aku tak pandai menonjolkan diri, atau minta kerja di media terkait. Di pinangnya aku oleh banyak media, yang aku rasakan tak lepas dari hasil didikan Pak Infai yang aku terima awalnya di Padang Pos, hingga Media Sumbar. Alhamdulillah, sebanyak itu media mingguan dan harian yang aku masuki, terakhir berlabuh di Harian Singgalang, kepercayaan pimpinan ke aku masih aku pertahankan dengan baik. Dan ini modal didikan Amak, yang mengajari aku dengan kesederhanaan hidup, melihat susah hidup untuk ditiru yang baiknya.

Dalam masa pendidikan demikian, Abak malah banyak mengajak aku pergi wirid mingguan di surau yang tiga di Dusun Tigo Jurai tersebut. Kadang-kadang ada pula Abak mengajak aku saat orang kampung mengaji ka puaso dan mengaji kematian. Kalau saat wirid pengajian, aku sering disuruh ceramah. Apalagi kalau Ajo Mansur lagi tak di tempat, sehingga yang memberikan pengajian itu kami yang pulang dari pesantren tersebut. Itu cara Abak membesarkan aku untuk bisa hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar