wartawan singgalang

Sabtu, 08 Agustus 2020

Membentuk Kemampuan Diri Lewat Organisasi dan Menulis

Belajar berorganisasi aku mulai di lingkungan pesantren. Di Lubuk Pandan OSIP namnya. Organisasi ini mengatur perjalanan santri dalam tata tertib menuntut ilmu, membuat peraturan secara bersama. OSIP di Lubuk Pandan lahir sekitar 1994, yang waktu itu aku termasuk santri baru di lingkungan pesantren yang berdiri sejak 1940 tersebut. Kata senior aku, organisasi ini terinspirasi dari kunjungannya ke pesantren Nurul Yaqin, Ringan-Ringan. Aku sempat jadi ketua organisasi ini, setahun setalah aku menyelesaikan marapulai tafsir.

Kepengurusan organisasi ini diperbaharui tiap sekali setahun. Dan setiap tahun pula dilakukan revisi peraturan yang sudah di buat pada tahun lalu. Artinya pengurus berganti, peraturan juga ditambah, dikurangi atau direvisi. Setelah peraturan ditetapkan secara bersama dalam rapat OSIP, maka marapulai bertugas menjalankan atau menegakkan peraturan demikian. Santri yang kedapatan nonton tv di luar waktu yang dibolehkan, marapulai dengan tegas menindak yang bersangkutan. Ada dikenakan sanksi bayar beras, uang dan ada pula yang dibebankan mencari kayu bakar, tergantung besarnya kesalahan yang dilakukan santri bersangkutan.

OSIP berhadapan langsung dengan pimpinan dan guru besar pesantren. Sebab, sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kawan-kawan yang senior, punya kharisma dalam bicara dan berperilaku. Sistem pemilihan ketua-nya ada yang voting dan ada pula dengan aklamasi, tergantung kesepahaman peserta rapat. Termasuk untuk menentukan siapa marapulai tafsir tahun depannya, itu OSIP langsung yang berumbuk dengan pimpinan dan guru besar. Guru besar; Buya H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sebagai orang pertama yang mendirikan pesantren itu. Sedangkan pimpinan dijabat Iskandar Tuanku Mudo, dan setelahnya oleh Marzuki Tuanku Nan Basa. Sekarang tidak terdengar lagi istilah guru besar, sejak beliau berpulang 1996, aktivitas pesantren sepertinya ditangani seorang Tuanku Marzuki bersama guru tuo yang ada.

Semakin lama kiprah OSIP nampaknya semakin redup pula. Gaungnya tak begitu kuat seperti yang pernah ada dulunya. Semasa guru besar masih ada, kiprah OSIP sangat-sangat menentukan. Tentunya faktor demikian, karena tidak atau kurang terpolanya pengkaderan dalam organisasi ini dengan baik. Bahkan, akhir-akhir ini ada yang jadi ketua sampai tiga periode. Ini tentunya kurang elok, dianggap gagal dalam melakukan pengkaderan secara berkesinambungan. Aku pernah sekali menata organisasi ini kembali. Aku coba memenej dari dalam, dimulai dengan musyawarah mufakat secara bersama menetukan siapa ketua, bagaimana pengurus lama menyampaikan laporan pertanggungjawabannya di tengah peserta musyawarah. Namun, hanya sekali itu adanya. Sehabis itu, OSIP kembali tak berketentuan. Ndak punya konsep dan visi misi yang jelas dalam mengembangkan diri dan dan potensi santri.

Padahal, kalau di lihat dan di kembangkan dengan baik, para santri punya sumber potensi diri yang bisa di kembangkan. Kita lihat, sebagian besar orang besar yang hebat berawal dari kiprahnya dalam organisasi. Organisasilah yang membentuk kemampuan diri kita bicara di depan banyak orang. Bisa berdebat dengan baik, punya kedewasaan jiwa karena lama di asah dengan perbedaan pendapat. Orang yang besar di organisasi dengan yang tidak, akan jauh bedanya bila sama-sama berkiprah di tengah masyarakat.

Aku sempat memberikan materi jurnalistik di kalangan teman-teman santri Lubuk Pandan. Namun, itu tak lama. Tujuan aku memberikan ilmu itu, bagaimana santri lebih mampu lagi mengembangkan dakwahnya lewat tulisan. Menurut aku, santri harus bisa jadi penulis. Itu benar yang ingin aku capai dari kawan santri Lubuk Pandan, tempat aku terinspirasi jadi wartawan karena tiap pekan melihat seorang Zakirman Tanjung, yang saat itu jadi wartawan Canang. Memang, ilmu jurnalistik harus dibarengi dengan minat dan bakat dari calon orang akan menerima ilmu tersebut. Kalau tidak, hanya bagai menjatuhkan batu ke lubuk, hilang begitu saja. Apalagi, santri saat ini tak lagi punya media sebagai bahan bacaan yang pernah kami lakukan dulu. Dulu, sebulan sekali ada Media Dakwah yang masuk ke pesantren itu. Belum lagi aku yang seminggu sekali membeli Tabloid Aksi dan koran Republika.

Rasa Kebersamaan Lewat Ajaran Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah, kata ulama pahalanya 27 kali lipat dari shalat sendirian. Sejak di Ponpes Darul 'Ulum Padang Magek sampai ke Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan aku belajar, selalu ada aturan shalat secara berjamaah. Bahkan, sejak awal aku tinggal di Surau Tabiang semua santri diasuh oleh Ajo Ismael dan Tuo Zamzami dengan semua kelengkapan sembahyang. Artinya, seorang santri gantian jadi imam. Nanti membaca tasbih lain pula santrinya. Begitu juga untuk membaca doa, juga digilirkan dari santri yang ada waktu itu. Termasuk juga azan pun harus bergantian lima waktu sehari semalam.

Dengan terbiasa demikian, aku sangat merasakan betapa indahnya sebuah kebersamaan, saling berbagi dengan teman, dan saling menutupi kelemahan dan kekurangan kawan. Di Surau Tabiang, kedua guru tuo demikian juga memberlakukan sanksi bagi siapa yang melanggar aturan atau tidak ikut shalat berjamaah tanpa alasan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan. Hanya boleh bebas dua hari dalam seminggu, yakni Kamis dan Jumat karena dua hari itu merupakan liburan bagi kami yang mengaji di pesantren tradisional. Kalau yang dua hari itu kita tak shalat jamaah, atau shalat jamaah di luar pesantren dianggap bonus atau biasa saja.

Perjalan minta belas kasihan orang lain pada dua hari tersebut, bukan semata miskinnya santri bersangkutan. Namun, lebih dari itu bagaimana kader ulama itu diterpa dengan kesusahan hidup. Masuk kampung dan nagari sambil pakai sarung, dan sebuah karung tepung dari kain, yang kami sebut buntie. Kami cukup mengucapkan salam kepada pemilik rumah, lalu bagi pemilik rumah yang punya niat ingin bersedekah, ya dikasihnya beras ala kadarnya atau uang. Itulah rezeki kami. Tak jarang, aku dan kawan-kawan yang melakukan itu acap dapat perlakuan kasar selama mamakiah itu dari masyarakat. Cacian dan makian dari segelintir orang, di kejar ajing gila atau di salak ajing penjaga rumah-rumah orang berada misalnya.

Kata guru tuo kami, itu bagian dari ujian dalam menuntut ilmu agama Islam. Selama lima tahun aku di Padang Magek (1988-1993), boleh dikatakan semua kampung yang ada di Tanah Datar dan Padang Panjang sudah aku rancahi. Ada yang berdua perginya, dan ada pula yang sendirian. Ada pameo yang mahir untuk kawan yang sulit dapat ilmu; mangaji di Padang Magek, mamakiah ka Sitakuak. Bialah kaji ndak dapek, asalkan badan lai gapuak. Tentu, pamoe itu juga pelecut bagi kami untuk terus giat belajar segala ilmu di pesantren tersebut. Memang, ada satu kampung di Tanah Datar itu yang bernama Sitakuak, yakni dekat Sungai Tarab. Begitu juga soal muhadlarah atau latihan dakwah seminggu sekali, juga semua santri dapat giliran.

Dengan shalat berjamaah, zikir bersama setiap habis shalat serta doa bersama itu pula barangkali terbangunnya rasa sosial kemasyarakatan di tiap-tiap individu santri Padang Magek. Rasa berkawan, rasa berkampung dan rasa bernagari mampu hinggap dalam setiap jiwa. Tak heran, saat lebaran menjelang pergi ke pesantren kembali setelah libur panjang, kami yang di Padang Pariaman saling berkunjung. Aku berkunjung ke Koto Baru, Batang Piaman, Tandikek dan kampung kawan lainnya. Malah sampai bermalam di situ. Begitu juga kawan yang di Batang Piaman dan Koto Baru juga pernah bermalam di rumah orangtuaku, Ambung Kapur. Sewaktu aku di Padang Magek, memang yang paling banyak itu kawan dari Batang Piaman, Koto Baru dan Tandikek. Sedang dari Ambung Kapur dan Sungai Sariak ada pula, tapi tak begitu banyak. Hanya sekarang inilah silaturrahim untuk bertemu sesama teman alumni Padang Magek yang jarang aku ikuti, karena kesibukan jadwal yang kadang-kadang saling berantuk di antara agenda yang satu dengan lainnya. Namun, komunikasi kami masih tetap aktif dan terjaga dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar