wartawan singgalang

Minggu, 02 Agustus 2020

Jadi Santri di Tengah Kepergian Dua Ulama Besar

Di atas mobil Datsun jurusan Sicincin - Padang Panjang itu hanya kami isinya. Aku, Ali Mutamar, Syamsuar Kamal, tiga Abak kami dan sopir serta seorang kernetnya. Sopir mobil itu berhasil melakukan negosiasi dengan Abak kami untuk mengantarkan ke Padang Magek. Waktu itu hari Rabu tahun 1988, mungkin karena kurang atau lengang muatannya, sehingga mereka mau mengangkut kami ke Kabupaten Tanah Datar itu.

Mobil Datsun yang kepalanya agak panjang itu meliuk-liuk mendaki Silaing. Tapi karena sudah jalan kebiasaannya, pendagian yang tinggi itu tak jadi halangan baginya. Sehingga dari Sicincin sampai ke Tanah Datar jalannya mulus saja. Barulah saat sampai di Cubadak, lantaran mobil belok kanan sehabis Pasar Simabur, mungkin jalan pintas dan cepat sampai mobil ini mengalami patah per. Lama berhenti di jalan yang kiri kanan jalan itu hanya sawah dan ladang cengkeh yang kami lihat. Dan menjelang sore, kami tiba di Surau Tabiang. Tak ada sopir bertanya selama di jalan. Sepertinya, Padang Magek sudah hafal betul oleh sopirnya.

Saat kami di Padang Magek, pesantren itu baru saja kehilangan pimpinan; Buya Salim Malin Kuniang yang wafat tahun 1987. Abak aku (Alm Ali Ibrahim) orang yang pernah lama mondok dulunya di Padang Magek, tinggal di Surau Lerong, yang berdekatan dengan Surau Tabiang. Dia melanjutkan ke pendidikan umum, dan tamat Sekolah Persiapan IAIN. Jadi, soal Padang Magek dia banyak tahu, sehingga oleh Abak-nya Ali Mutamar dan Syamsuar Kamal, Abak dijadikan semacam juru bicara sesampai di Padang Magek.

Artinya, ketika menyerahkan kami ke guru melalui Mak Kakan dan Apuak Mahyuddin, Abak aku yang banyak bicara. Ketiga Abak kami ini bermalam semalam di Surau Tabiang. Sebelum mereka pulang pagi Kamis-nya, kami dipesankan untuk tidak boleh pulang kampung selama setahun. Di samping dikasih sedikit uang, mereka juga menitipkan uang ke Apuak Mahyuddin, tapi tak dikasih tahunya ke kami.

Cerita soal Buya Salim Malin Kuniang yang selanjutnya kepemimpinan pondok saat aku di sana di pegang Pak Suin, alias Suhaili Ya'kub, yang pensiunan PNS, banyak aku dapatkan melalui guru tuo dan guru-guru yang tua-tua. Saat datang ke pondok mengajar ilmu hadis, Pak Suin selalu stedi. Pakai celana, baju lengan panjang. Dia mengajar selalu pakai papan tulis. Hanya satu bidang studi itu Pak Suin mengajar. Sedangkan yang banyak mengajar kitab adalah Mak Anjang, Mak Nur di Pauah, Mak Kakan. Tiga orang guru itu sepertinya mewarisi betul keilmuan dari guru besar pesantren; Salim Malin Kuniang.

Saat kami di Surau Tabiang, sudah ada juga santri senior di situ. Mereka Akhirman, Iskandar dan lainnya yang datang dari Salisikan, Nagari Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai. Mereka yang dari Salisikan itu diantarkan oleh Buya Mursyid Tuanku Mudo, adik kandung Mak Kakan. Dari santri senior itulah kami banyak belajar soal adaptasi lingkungan. Tapi untuk belajar mengaji tetap dipegang Apuak Mahyuddin, yang kemudian dilanjutkan mendiang Tuo Zamzami dan Ajo Ismael.

Aku merasakan, saat di Padang Magek itu tak ada berkurangnya santri yang mondok lantaran ditinggal pengasuhnya. Memang ada yang pindah sebagian santri ke pesantren lain, seperti ada yang ke Bukit Tandang, Kabupaten Solok, ke Pudak, Kabupaten Sijunjung. Tetapi santri yang datang lebih banyak lagi dari pindah mondok. Artinya, proses belajar mengajar tetap berjalan sepeninggal Buya Salim Malin Marajo. Mungkin karena banyak kader yang ditinggalkannya, sehingga Darul 'Ulum Padang Magek tetap eksis dan bertahan dengan segala dinamikanya.

Kalau kita lihat pesantren lain yang ditinggal guru besarnya itu, banyak yang tutup. Sekedar menyebut nama, di Bukit Tandang Solok itu sudah tidak ada lagi orang mondok, sejak Buya Tuanku Khaidir wafat. Begitu juga sejumlah pesantren yang sama di Padang Pariaman. Artinya, nilai lebih yang bisa kita ambil di sini mampunya Buya Salim Malin Kuniang meletakkan pondasi dasar yang cukup kuat, sehingga Darul 'Ulum Padang Magek semakin diminati santri.

Setahun aku di Padang Magek, terdengar kabar bahwa pimpinan Pesantren Luhur Kalampaian Ampalu Tinggi, Syekh H. Ibrahim meninggal dunia. Kabar itu yang dapat pertama kali di Padang Magek adalah Tuo Sumardi. Dia guru tuo yang dipercaya tinggal di Surau Tungga. Dia punya sebuah radio. Dari radio pagi yang dia dengar kepergian ulama besar tersebut. Tuo Sumardi adalah orang Sungai Pua Tanjung Mutuih, Nagari Koto Dalam. Tak heran, anak asuhannya banyak yang datang dari nagari terdekat, seperti dari Ambacang Gadang.

Dari Surau Tungga, Tuo Sumardi jalan kaki ke Rambatan untuk selanjutnya naik mobil ke Simpang Lima Kaum. Lalu singgah di Surau Tabiang. Orang, para santri senior sedang mengaji pagi bersama Mak Kakan dan Mak Nur. Setelah mengucapkan salam, Tuo Sumardi masuk dan mengabarkan bahwa dia pagi tadi dapat kabar, kalau Buya Ampalu Tinggi meninggal. Spontan, guru-guru dan santri yang sedang mengaji mengucapkan Innalillahi wainnailaihi rajiun.

"Ambo mungkin langsung berangkat ke bawah," kata Tuo Sumardi. Tuo Sumardi ini kabarnya, sebelum ke Padang Magek sempat nyantri di Ampalu Tinggi bersama Syekh Ibrahim tersebut. Saat aku di Padang Magek, Tuo Sumardi telah menjalani profesi seperti Mak Anjang pula, yakni tukang servis jam di pasar. Makanya, hari Selasa dia buka pula di Rambatan, Kamis di Batusangkar, serta ke pasar lainnya di daerah itu.

Jadi, aku merasakan di Padang Magek itu selalu ada guru tuo yang membimbing di tiga surau tersebut. Bahkan, saat aku jadi santri baru terasa sekali banyaknya santri senior yang selalu memberikan motivasi. Memang, secara duduk bersilanya, aku tak sempat ngaji sama Tuo Sumardi. Namun, saat aku akan pindah ke Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan tahun 1994, Tuo Sumardi yang aku cari dan minta tolong sama dia untuk mengantarkan aku ke Lubuk Pandan pertama kali. Hingga saat ini, Tuo Sumardi atau yang dikenal dengan Tuanku Aung masih melakukan profesi tukang servis jam di sejumlah pasar di Kabupaten Padang Pariaman. Kata dia, ada seorang anaknya yang jadi santri saat ini di Padang Magek.

Itulah peristiwa wafatnya dua ulama besar yang aku rasakan saat awal-awal jadi santri. Syekh Ibrahim kalau di Ambung Kapur dikenal dengan Tuanku Haji Ibrahim. Beliau sering ke Ambung Kapur, karena istrinya orang Ambung Kapur. Aku masih kecil, sering melihat dia berjalan kaki dari jalan raya ke rumahnya, pakai tongkat, lengkap dengan pakaian kebesaran ulama, seperti kain sarung dengan peci haji yang dililit dengan serban. Sayang, ulama besar Salim Malin Kuniang tak berjumpa dengan aku. Hanya ada cerita kharisma dia yang diceritakan oleh banyak guru di Padang Magek, serta ziarah tahunan ke Koto, tempat beliau dimakamkan.

Menjelang pulang kampung saat liburan panjang, kami para santri dan guru melakukan ziarah dan zikir di komplek makam Buya Salim Malin Kuniang. Ziarahnya malam hari. Kami mengangkut lampu strongkeng ke sana. Kala itu seluruh Surau Baru belum belistrik. Yang pakai listrik baru Surau Tabiang dan Surau Tungga. Kalau lagi ada acara besar, seperti peringatan Israk Mikraj, acara selawat dulang, lampu strongkeng tampak berkilauan di seluruh sudut Surau Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar