wartawan singgalang

Sabtu, 08 Agustus 2020

Catatan Santri Padang Magek Soal Katupek Pitalah dan Pangek Bilih

Ada tiga makanan yang paling aku sukai semasa di Padang Magek. Tersebutlah Nasi Kiambang, Katupek Pitalah, dan Pangek Bilih. Bagi santri Padang Magek, Pasar Rambatan adalah pasar yang paling dekat untuk di kunjungi, di samping Pasar Batusangkar setiap hari Kamis. Rambatan hari pakannya, Selasa. Aku dan santri lain acap ke pasar ini dengan hanya berjalan kaki. Di samping memakiah alat yang akan di masak, kami juga pergi belanja membeli apa saja yang di perlukan. Kalau beli gulai, ya Pangeh Bilih yang sering di beli. Gulai buatan orang Ombilin ini terkenal enak. Ada ubi kayu campurannya. Biasanya kalau dibeli Selasa, sampai Rabu sore masih ada. Sementara, kalau ada flu yang menyerang banyak kawan-kawan memanfaatkan obatnya dengan makan di kedai Nasi Kiambang.

Gulainya terkenal pedas, mampu memerahkan wajah saat makan itu, sehingga angin tersumbat jadi lapang. Setiap Selasa Pasar Rambatan juga menyediakan Katupek Pitalah. Katupek ini besar-besar dan gulai cubadaknya juga gadang-gadang. Sehingga kalau di makan pagi bisa kenyang perut sampai siang atau sorenya. Di manapun pasar di daerah Tanah Datar selalu menyediakan makanan yang namanya Katupek Pitalah. Aku pernah juga makan katupek itu di Pasar Pitalah. Keenakan katupek ini gulainya di masak dengan periuk dari tanah yang sangat alami. Tentunya periuk itu buatan orang Galogandang, karena di kampung ini sangat banyak kerajinan rumah tangga dalam soal membuat periuk dari tanah yang kemudian di bakar bagai membuat batu bata.

Hingga kini Katupek Pitalah masih mentereng namanya dalam belantara kuliner di Luhak Nan Tuo itu. Sejak aku pindah dari Padang Magek ke Lubuk Pandan, Padang Pariaman sangat jarang aku makan Katupek Pitalah. Kalaupun ada, itu tentunya bisa sesekali saat jalan-jalan ke Padang Panjang, misalnya. Rasa Katupek Pitalah dengan katupek yang di jual banyak orang dalam kampung pun berbeda. Lalu ada lagi katupek gulai paku yang orang Piaman di Pasar Batusangkar. Di Pasar Bawah, tempat langganan kami menjual beras. Enak di tempat Uniang ini ada menyediakan sala lauak, ciri khas makanan Piaman. Namun, katupek gulai paku Uniang belum sanggup menyaingi Katupek Pitalah yang telah lama mendunia di Tanah Datar. Saat aku memakiah ke Pitalah, uang aku tak mau amak-amak yang jualan itu mengambilnya. Urang darek terkenal pemurah.

Aku jarang makan siang kalau saat jalan-jalan Kamis dan Jumat itu. Paling sehabis sarapan ketan goreng pagi, siangnya makan Katupek Pitalah atau katupek gulai paku Uniang. Sampai sing hari pun makanan demikian masih tersedia dengan baik dan enak. Semua makanan itu tak di sediakan di warung yang wah. Hanya kaki lima yang payung bulat di setiap hari pasar. Tapi pengunjungnya mintak ampun ramainya. Rasanya belum ke Pasar Rambatan kalau tak makan Katupek Pitalah atau membeli gulai Pangek Bilih. Setiap masyarakat yang pergi ke pasar itu pun demikian adanya. Pasti membeli gulai pangek bilih dan Katupek Pitalah. Bagi petani kampung Padang Magek, hampir tiap pakan makan di kedai Nasi Kiambang yang terkenal membangkitkan selera makan, serta menghilangkan segala yang tersumbat dalam batang hidung kita. Itu pula ajaibnya Nasi Kiambang. Dan itu hampir semua orang tahu di seantero Tanah Datar.

Belut dan ikan puyu

Mencari belut dan ikan puyu termasuk mainan yang aku sukai selama lima tahun mondok di Darul 'Ulum, Padang Magek, Tanah Datar. Sewaktu tinggal di Surau Tabiang, Kandar Koncen acap membawaku memancing belut di sawah. Begitu juga Uda Hendri, anak Rambatan yang sering tidur di surau itu juga pernah mengajak aku menangkap belut dengan lukah. Saat kelamaan nangkap belut sama Kandar Koncen, anak Pasa Usang itu sempat aku libur ngaji. Akibatnya, Tuo Zamzami dan Ajo Mael berang. Guru itu memarahi kami. Sebab, tujuan ke Padang Magek bukan mencari belut, tapi mencari ilmu. Untuk itu, aktivitas lain ndak boleh mengalahkan ngaji selama menuntut ilmu. Seminggu sekali kami main bola di lapangan Tanah Sirah, Guguak Baruah. Sementara kalau mencari ikan puyu ada sebuah sungai dekat Surau Tabiang. Sungai itu banyak melahirkan ikan puyu. Dan memang dalam nagari itu ikan puyu pula yang paling banyak. Baik ikan puyu maupun belut di Batusangkar itu terasa enak bila dibandingkan dengan belut dan ikan puyu yang ada di Piaman. Bahkan, di bandar sawah di kampung itu banyak ditemui ikan puyu. Dengan itu pula kami sering memasak ikan puyu untuk sambal makan.

Saat tinggal di Surau Tabiang, kami tak begitu susah mengambil air untuk di masak. Ada di belakang surau, tepatnya di samping halaman Etek Dar. Dari air sumur Etek ini kami menyauk pagi petang buat dimasak. Dapur Surau Tabiang pas di bagian Mihrabnya. Surau itu punya kamar tempat Tuo Zam dan Ajo Mael tidur. Sementara, sebuah warung tempat keluarga Mak Kakan jualan pun ada kamar tempat tidur. Kami kalau siang jam istirahat acap tidur di situ sama Kamil dan Uda Kamal, termasuk juga dengan Uda Kas dan Uda Hendri. Saat aku di Surau Tabiang tiga uda itu sekolah di MAN II Batusangkar di Limo Kaum. Sedangkan Kamil di MTsN Rambatan. Kami juga acap melihat kesenian randai. Yang paling ngetop Grup Randai Siti Baheram. Waktu itu adik Etek Dar jadi pemainnya. Randai di Batusangkar memang terkenal. Setiap kali ada kesenian itu selalu ramai oleh penonton. Sampai-sampai kami melihat randai itu ke Rambatan, Pabalutan dan Simpang Gobah. Itulah hiburan kami saat di Padang Magek.

Asyiknya di Padang Magek, saat Etek Dar panen padi. Karena sawahnya jauh, terpaksa habis dihiriak dijaga pada malam hari. Kami tidur di pondok darurat, tapi tidurnya nyenyak karena jerami yang tebal ganti kasurnya. Ada dua malam tidur di tengah sawah, baru padi bisa sampai semuanya di rumah Etek tersebut. Aku juga pernah turun ke sawah, tapi menolong Apuak Mahyuddin dan Mak Kakan saja. Ada yang ikut saat menyabit padi, dan ada pula mengangkut padi yang sudah panen. Mak Kakan punya tanah yang lumayan luas di situ. Tanah ladangnya ada di Padang Magek, ada pula di Rambatan. Sebagian yang di Padang Magek diserahkannya kepada santri yang tinggal di surau dia untuk ditanami apa saja. Pernah ditanami oleh Pak Ali Akbar, suaminya Etek Dar. Ajo Buyuang yang anak Salisikan pernah pula berladang.

Ajo Buyuang terkenal dengan santri yang agak kelainan jiwa. Tapi dia taat beribadah. Dialah santri satu-satunya yang berkekalan wudhu'. Tak heran, mukanya jernih. Biasanya sehabis wudhu' dia langsung ngaji. Kalau waktu shalat masuk dia azan. Soal ngaji meskipun umurnya udah jauh tuanya dari kami tetap saja seangkatan. Sebab dia termasuk yang lemah daya tangkapnya terhadap pengajian. Umumnya, di Surau Tabiang itu isinya kawan-kawan dari Pasa Usang. Mereka mengaji ke Padang Magek karena diantar oleh kakaknya Mak Kakan, Tuanku Mudo Mursyid. Anehnya, dari sekian banyak anak Pasa Usang di Padang Magek tak seorang pun yang jadi dalam menuntut ilmu. Hampir semuanya gagal. Pulang kampung dan hilang dari peredaran, seperti kebanyakan orang kampung biasa. Bahkan, Ajo Kiman berhenti di Padang Magek lantaran diusir oleh Mak Kakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar