wartawan singgalang

Minggu, 02 Agustus 2020

Cerita Indah dan Santri Hebat dari Surau Baru Padang Magek

Pertama datang ke Padang Magek, aku diantar Abak dan keluarga setelah tamat sekolah SD tahun 1988. Menempati Surau Tabiang, yang merupakan surau milik mendiang H. Kakan, salah seorang guru di Pondok Pesantren Darul 'Ulum, yang juga warga Ambung Kapur yang telah lama tinggal di Rambatan.

Sebagai orang yang datang dari Ambung Kapur, tentu Abak yang pernah juga mondok dulunya di Padang Magek, dan sampai tamat sekolah di Persiapan IAIN Batusangkar, Abak mengantar aku ke Surau Tabiang. Apalagi Abak dan H. Kakan yang kemudian aku panggil dengan sebutan mamak itu sama-sama santri mendiang Salim Malin Kuniang dulunya.

Yang sama berangkat ke Surau Tabiang dari kampung, adalah Syamsuar Kamal, Ali Mutamar. Kami bertiga ini sama-sama tamat SD, dan sama-sama diantarkan ke pesantren oleh orangtua. Tak beberapa hari setelah aku sampai di Surau Tabiang, datang pula warga Ambung kapur lainnya, Anwar Syam, cucu kandung oleh Mamak Kakan.

Mahyuddin, kemenakan mamak Kakan yang juga telah jadi warga Rambatan yang banyak menemani kami para santri di kala malam. Kami mengaji bersama. Sebelumnya, saat kami kelas enam SD, Apuak, begitu kami memanggil Mahyuddin, pernah pulang kampung, dan sempat lama tinggal di kampung, yakni di Surau Langkuik.

Nah, selama dia di kampung itulah, kami yang datang ke Padang Magek itu pernah ngaji matan taqrib, matan bina, matan jurumiah serta makna Quran bersama Apuak. Belakangan, karena kesibukan Apuak yang semakin tinggi, dan banyak apsen mengajar. Didatangkanlah dua orang guru tuo dari Surau Baru.

Dia mendiang Zamzami dan Ismael. Zamzami yang orang Batang Piaman Gadang, Nagari Koto Dalam ini ikut membawa dua kemenakannya, Mukhlis dan Mansurni ke Surau Tabiang. Sedangkan Ismael sendirian. Cukup lama juga kami para santri yang datang dari Ambung Kapur, Pasar Usang itu ngaji bersama dua orang guru tuo tersebut.

Tahun berjalan, Tuo Zamzami melanjutkan merantau ke Palembang, menurutkan kakaknya yang telah duluan berhasil di kampung wong kito galo itu. Sedangkan Ismael yang warga Sarang Gagak melanjutkan mengaji ke Koto Laweh, Tanah Datar, bersama Tuanku Dahlan, orang kampungnya yang malin, alumni Pesantren Madrasatul 'ulum Lubuk Pandan.

Dua teman aku yang sama berangkat dari kampung, Syamsuar Kamal dan Ali Mutamar hanya bertahan setahun. Ali Mutamar memilih jadi kernet mobil Padang Sago - Padang setelah sempat pindah ke Pesantren Luhur Surau Mato Aie, Pakandangan. Syamsuar Kamal hanya bertahan di kampung.

Aku karena terasa jauh berulang mengaji dari Surau Tabiang ke Surau Baru, setelah minta izin ke Mamak Kakan dan Apuak Mahyuddin, memilih pindah tempat tinggal ke Surau Baru. Surau Baru itu mengingatkan kembali masa lalu saat aku nyantri dulu. Di surau itulah aku belajar ngaji, tahu adab sopan santun, memuliakan guru dan menghormati teman-teman yang senasib sepenanggungan. Di surau itu pula letaknya pusat sentral Pondok Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek.

Dari 1988 hingga 1992 aku ngaji di Padang Magek bersama sejumlah kawan yang datang dari Ambung Kapur, Kabupaten Padang Pariaman. Surau Baru kala itu ada dua. Makanya, ada Surau Ateh dan ada Surau Bawah. Kedua surau itu berfungsi, ya untuk ngaji, ya sekalian asrama. Sebagai tempat mengaji, di surau itu aku dan kawan-kawan belajar berbagai disiplin ilmu agama melalui kitab kuning. Waktu ngaji pagi, siang dan malam. Ada guru yang mendampingi saban waktu, yakni dari santri senior yang biasa kami panggil dengan sebutan guru tuo, lantaran mungkin karena usia dan ilmunya lebih dalam dari kami yang santri yunior.

Guru tuo, seperti alm H. Anwar Tuanku Sutan Marajo, Iskandar Tuanku Kuniang, Tuanku M. Jalil adalah guru yang paling tahu nasib dan perasaian para anak faqih di asrama. Dan ada juga guru tuo lain. Selama di Surau Baru, aku punya kelompok bersama kawan-kawan lain, yang merupakan gabungan dari surau lain, seperti Surau Tungga, dan Surau Baru.

Sementara, Mamak Kakan, Mak Anjang, Mak Nur, Pak Suin itu lebih banyak mengajar pagi. Pak Suin atau Suhaili Ya'kub adalah pimpinan pondok sepeninggal mendiang Buya Salim Malin Kuniang. Dia mengajarkan ilmu hadist.

Sempat kelompok itu tenar, dan terkenal sebagai kelompok yang paling rajin menghafal secara bersama. Kami memilih tinggal di belakang Surau Baru. Surau Gaek Peto namanya. Tak banyak kami di situ. Tapi kemampuan dan kerajinan kami saat itu jadi rujukan oleh para guru tuo saat memberi motivasi dalam belajar dakwah.

Belajar dakwah dalam program muhadharah, itu dilakukan sekali seminggu di lingkungan Pesantren Darul 'Ulum. Setiap Sabtu malam atau malam Minggu. Tiga surau-nya yang selalu terpakai tempat latihan berpidato para santri tersebut. Yakni Surau Baru, Surau Tabiang dan Surau Tungga.

Masa yang paling mengasyikan dan menyenangkan lumayan terasa selama menjadi santri. Selama lima tahun lebih kurang aku di sana, banyak ilmu dan keilmuan yang aku dapatkan. Dari sana aku terlatih senang dan gemar berorganisasi. Di Padang Magek itu selalu masak bersama, dengan sistim giliran alias piket masak.

Bagi yang piket akan terasa sekali, betapa ada kerja bakti yang melahirkan rasa kepedulian terhadap sesama. Di lingkungan Surau Baru air yang ada hanya untuk mandi. Tak bisa untuk masak. Kalau air untuk masak, itu kami jemput ke Koto. Ada beberapa meter dari surau arah ke makam Buya Salim Malin Marajo.

Kini, Surau Baru telah banyak perubahannya. Lokasi yang dipakai saat ini, pondasi dasarnya sempat aku dan kawan mengerjakan secara gotong royong. Batu bangunan pondasinya kami cari di sungai yang cukup jauh. Lupa nama sungainya. Lokasinya arah ke Ombilin. Kami keluarkan batu dari dalam sungai, lalu mobil mengangkut batu itu ke pesantren.

Surau Baru dan Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek telah memberikan banyak ilmu dan kenangan tersendiri bagi aku dan tentunya bagi kawan-kawan yang pernah mondok dulunya. Ada cerita yang mungkin tak bisa dilupakan hingga ini hari, yang tentu jadi memori, biarlah aku dan Tuhan saja yang tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar