wartawan singgalang

Minggu, 02 Agustus 2020

Lapau Kejujuran, Thareqat dan Kajian Kampung Ala Padang Magek

Surau Ateh, di samping berfungsi sebagai tempat mengaji, juga jadi asrama guru tuo. Mendiang Iskandar Tuanku Kuniang, Anwar Tuanku Sutan Marajo tinggal di Surau Ateh. Sebuah jendela surau dijadikan Iskandar sebagai warung. Dia menjual banyak hal makanan ringan, minuman dan rokok.

Setelah Iskandar pergi dari pesantren, warung itu dilanjutkan Anwar Tuanku Sutan Marajo. Di warung itu umumnya kami para santri belanja kalau sedang kegiatan di surau. Ambil barangnya sendiri, lalu tarok uangnya dalam warung itu yang sudah ada tempatnya.

Zaman itu, 1980 an hingga 1990 an belum dikenal di sekolah-sekolah istilah kantin kejujuran. Tetapi, kami santri Darul 'Ulum telah membuatnya. Ada yang berutang, dan mungkin ada yang tidak jujur. Tapi yang jelas, kedua guru tuo itu saat jualan sepenuhnya ikhlas. Guru tuo itu hanya tahu saat akan belanja lagi, yakni hari Selasa di Pasar Rambatan. Soal berapa uang terkumpul dalam kedai, itu banyak dilakukan Tuo Jalil, Tuo Syahrial dan Tuo Syamsuardi.

Di Surau Ateh pula kegiatan latihan pidato. Dan bila acara tahunan, seperti peringatan Israk Mikraj, itu juga diadakan di Surau Ateh. Termasuk juga wirid yang tua-tua alias ngaji thariqat bersama mendiang Buya Zen dari Tandikek diadakan sekali lima belas hari juga di Surau Ateh.

Begitu juga ngaji para guru tuo dengan Mak Anjang yang dilakukan tiap malam, juga di Surau Ateh. Dilakukan di atas anjung. Aku termasuk yang ikut dalam rombongan ngaji bersama Mak Anjang itu bersama kawan-kawan kelompok dari Surau Peto.

Kelompok Surau Peto itu, di samping aku ada Marjoni, Buyuang Sayang, Bakaruddin alias Atang, Ermi Johanda, Soni Irama, dan kawan lainnya. Sesekali kami yang tinggal di surau itu, dikasih ikan oleh Gaek Peto. Suraunya dikelilingi oleh kolam ikan, yang airnya terus mengalir dari aliran irigasi.

Meskipun kami tinggal di Surau Gaek Peto, soal masak tetap di Surau Baru. Termasuk juga kawan-kawan yang belakangan tinggal di surau yang baru dibangun keluarga Buya Salim Malin Kuniang, sebelah kiri Surau Gaek Peto juga masaknya di Surau Baru. Sekali piket memasak itu cukup banyak anggotanya. Nasi disanduk di dapur, lalu yang piket mengantar ke asrama kawan-kawan dan guru tuo.

Jadi, jadwal menghafal bersama di Surau Gaek Peto kami lakukan, bila tidak ada kegiatan di luar. Sehabis Isya, itu mengaji di atas anjung Surau Ateh bersama Mak Anjang. Sementara, pagi ikut mengaji di Surau Bawah, di Surau Tabiang. Sebab, mengaji pagi dari dulu itu bergiliran tempatnya antara surau yang dua itu. Biasanya, pagi itu di samping mendiang Mak Kakan, juga ada guru Mak Nur, dan Pak Suin. Mak Anjang ada manakala dia sedang tidak ke pasar.

Kumpulan pengajian thariqat bersama Buya Zen, aku tak ikut. Dalam rombongan Surau Gaek Peto yang ikut hanya seorang Marjoni. Sebab, Marjoni dianggap cukup usia untuk ikut pengajian yang tua-tua itu. Suatu kali aku dan Buyuang Sayang pernah mencoba mengintip pengajian itu dari luar surau, dengan cara diam-diam.

Baru sebentar mendengar, keluar Tuo Anwar, langsung menegur kami untuk tidak ikut menguping pengajian tersebut. "Belum pengajian kita itu. Nanti ada masanya. Ibarat anak ayam kalau dikasih padi nanti dia tercekek. Sebab, belum ukuran anak ayam itu makan padi," ulas Tuo Anwar menjelaskan, bahwa santri itu diibaratkan bagaikan anak ayam yang belum pantas memakan makanan yang keras dan yang berat-berat.

Dengan tersipu malu, dan pura-pura ingin belanja ke atas anjung, lalu kami pergi meninggalkan Surau Baru, dan pergi ke belakang, Surau Gaek Peto. Jadwal Buya Zen itu, di samping malam bersama jemaah yang tua-tua yang berasal dari orang kampung sekitar pesantren, dan sebagian guru tuo, pagi Minggu-nya, menjelang balik ke Tandikek, Buya Zen yang alumni Pesantren Madinatul 'Ilmi Buluah Kasok, Padang Pariaman ini ikut mengajarkan kajian kitab pagi Minggu.

Dari kelompok kecil ini barangkali jemaah Tuo Anwar jadi banyak dan berkembang di seantero Tanah Datar. Saat libur yang dimulai jelang puasa sampai lebaran, biasanya Tuo Anwar melanglang buana melakukan kajian thariqat ini di Jakarta dan Bandung. Begitu juga jadwal dakwah dan pengajian Tuo Anwar di luar hampir penuh tiap malam. Sekali aku dan Marjoni pernah mewakili jadwal dakwahnya di Guguak Baruah.

Dengan Marjoni yang anak Galoro, Nagari Tandikek Barat, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman ini, aku punya pengalaman dan memori tersendiri. Dia termasuk kawan yang rajin. Rajin mengaji, rajin ibadah, dan rajin pula berolahraga. Olahraga kami santri Darul 'Ulum sekali seminggu main bola kaki di Lapangan Tanah Sirah, Guguak Baruah.

Baik yang tinggal di Surau Tabiang, Surau Tungga maupun di pusat pesantren, Surau Baru punya aturan yang secara umum sama. Hanya saja yang sedikit berbeda mungkin dalam pengembangan minat dan bakat lewat giliran jadi imam dan baca doa usai shalat lima waktu. Saat aku tinggal di Surau Tabiang, oleh mendiang Tuo Zamzami dan Ajo Ismael, kami dilatih semua dalam bacaan alat shalat itu. Seperti jadi imam gantian. Begitu juga yang mengimami bacaan alat tasbih sehabis shalat, juga bergantian, dan doa begitu pula.

Namun, hal itu tak aku jumpai saat pindah ke Surau Baru. Di Surau Baru cenderung yang jadi imam shalat itu para guru tuo. Paling nanti saat baca doa dan tasbih, kami para santri disuruh secara acak oleh guru tuo yang jadi imam. Biasanya, jelang shalat Zuhur, kami rutin mendengarkan sandiwara lewat radio Carano. Kala itu yang paling buming adalah cerita Tutur Tinular. Satu radio milik guru tuo di Surau Ateh kami dengar secara bersama-sama.

Sekali seminggu, kami para santri dan guru tuo dibolehkan duduk di lapau sambil nonton tv. Biasanya jadwal itu berlaku setelah latihan pidato. Tepatnya malam Minggu atau Sabtu malam. Ada banyak kedai di Guguak Gadang itu tempat para santri nonton tv. Kalau guru tuo biasanya numpang nonton di rumah Buya Salim Malin Kuniang, yang saat itu kami sebut "Rumah Ande". Sebab, ke istri mendiang Buya atau ibu Ampera Salim Patimaradjo, kami para santri dan guru tuo memanggilnya Ande, atau rumah Mak Anjang, dan rumah masyarakat lainnya. Tetapi ada juga guru tuo itu yang ikut bersama kami para santri memilih warung sebagai tempat minum dan nonton tv.

Sebagai pelajaran tambahan, kami mempelajari ilmu alat kampung. Artinya, yang berhubungan dengan adat dan tradisi di perkampungan Padang Pariaman. Seperti kami mempelajari tata cara menyelenggarakan jenazah, sampai mengajikan yang lazim dilakukan di tengah masyarakat, yang dimulai sejak awal hingga seratus hari wafat. Begitu juga cara pelaksanaan shalat Tarwih di bulan puasa juga kami pelajari.

Sehingga tak heran, saat liburan pada bulan Rajab hingga lebaran, kami yang datang dari Padang Pariaman itu biasanya aktif di kampung. Mulai ikut mengaji jelang puasa yang dikenal dengan ngaji bulan lamang hampir di setiap rumah masyarakat. Ketika puasa masuk, kami juga sesekali disuruh jadi imam shalat Tarwih.

Malah, setahun mengaji di pesantren itu saat liburan sudah bisa totalitas jadi imam Tarwih, lantaran surau tak ada imam, misalnya. Sehari jelang liburan panjang di mulai, biasanya kami melakukan acara secara bersama-sama. Selawat Dulang paling trend saat itu. Kami undang dua grup tim selawat dulang. Dulu itu yang paling sering diundang, adalah grup selawat dari Pariangan dan Saruaso.

Lewat selawat dulang itu, kami undang banyak orang. Pesantren Darul 'Ulum terkenal dengan pesantren yang paling membaur di tengah masyarakat Padang Magek. Kami merasa, rumah masyarakat yang ada di Guguak Gadang adalah rumah orangtua kami. Begitu pula masyarakat Guguak Gadang memperlakukan kami para santri dan guru tuo ini bagaikan anaknya kemenakannya, sehingga terjalin hubungan yang baik.

Nah, bila kegiatan ada di surau, orang kampung pada keluar. Alek selawat dulang yang kami lakukan selalu ramai. Itulah Padang Magek. Makanya, saking baik dan eloknya hubungan antara santri dan masyarakat, dari dulu banyak santri yang dari Padang Pariaman tinggal dan kawin dengan orang kampung.

Sekedar menyebut nama, mendiang Mak Kakan, Mak Anjang, Mak Nur, Apuak Mahyuddin, adalah santri dari Padang Pariaman dulunya. Sekitar era 1960 an mereka jadi santri, lalu berlanjut membina keluarga. Dan jadilah mereka sumando Padang Magek dan Rambatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar