wartawan singgalang

Senin, 10 Desember 2012

Ziarah, Tradisi NU yang Mesti Dimasyarakatkan

Ziarah, Tradisi NU yang Mesti Dimasyarakatkan

Jawa Timur---Dari 15 hingga 19 Mei 2012, kami (H. Febby Datuak Bangso Nan Putiah, H. Aminullah dan Damanhuri) melakukan rangkaian ziarah ke Jawa Timur dan Jakarta. Ziarah yang merupakan tradisi warga NU selama ini harus dimasyarakatkan, karena disamping mengingatkan kita akan kematian, juga mengenang serta belajar dari perjuangan yang dilakukan oleh ulama dan tokoh yang diziarahi itu. Kami mulai ziarah di makam Sunan Ampel, Surabaya. Tokoh yang dikenal sebagai salah seorang dari Walisongo atau wali sembilan itu cukup memberi sebuah inspirasi tersendiri.
    Siapa Sunan Ampel? Masa kecilnya bernama Raden Rahmat. Diperkirakan dia lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan, Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik China dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas China di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit. Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten China di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten China di Jiaotung (Bangil).
    Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah. Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Asia Tengah (Samarkand). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.
    Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil istri oleh Raja Majapahit, yang saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII). Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika putrinya dijadikan istri Raja Majapahit. Tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai.
    Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading.
    Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses Islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
    Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai empat orang anak; Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan istri dari Sunan Kudus. Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Masjid Agung Demak. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
    Dari Sunan Ampel, kami bertolak ke Bangkalan, Madura. Tepatnya ke makam KH. Muhammad Kholil Bangkalan. Kiai yang satu ini dikenal sebagai inspirator berdirinya organisasi besar Nahdlatul Ulama. Banyak sejarah mencatat, bahwa sebelum KH. Muhammad Hasyim Asy'ari bersama ulama lainnya mendirikan organisasi demikian, datanglah untusan Kiai Kholil ke Jombang untuk menyerahkan sebuah tongkat dan tasbih. Bahkan, utusan itu dua kali datang ke Jombang untuk menyerahkan kiriman Kiai Kholil ke KH. Hasyim. Nah, kiriman itu dinilai oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagai isyarat penyetujuan gurunya tentang sebuah keinginan bersama mendirikan NU, yang kelak menjadi organisasi terbesar didunia ini.     Menurut Saiful Rachman dalam bukunya; 'Surat Kepada Anjing Hitam, Biografi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan', KH. Muhammad Kholil Bangkalan adalah seorang ulama sekaligus waliyullah. Lahir bernama Muhammad Kholil. Kota Bangkalan tempat kelahirannya, kemudian dinisbahkan kepada namanya dan akhirnya dikenal dengan nama Muhammad Kholil Bangkalan.
    Dari sudut manapun, kehidupannya sangat menarik untuk dibicarakan. Legenda tentang perilakunya yang penuh keajaiban banyak sekali. Kehidupannya sangat unik. Kiai Kholil dikenal sebagai mubaligh, pimpinan pesantren, pencetak kader ulama terkemuka di Jawa dan Madura, juga menjalani kehidupan sufi dan Mursyid Thariqat. Disamping itu, Kiai Kholil adalah inspirator berdirinya NU. Beliau lahir pada 11 Jumadil Akhir 1235 H bertepatan dengan 14 Maret 1820 M, dari KH. Abdul Latif, seorang ulama besar keturunan Sunan Gunung Jati. Sebagai seorang ulama sufi, Kiai Kholil dikenal banyak karomah, sehingga sampai saat ini makamnya selalu ramai dikunjungi masyarakat.
    Kami berzikir, menghadiahkan fatihah sebagaimana layaknya orang ziarah di makamnya. Memang waktu kami datang, makam Kiai Kholil yang terletak dikomplek masjid itu sedang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Hari sore ditengah hujan yang cukup lebat, kami merapat diantara puluhan peziarah lainnya, bersama membaca wirit-wirid ziarah. Dari Madura, kami melanjutkan perjalanan ke Blitar, setelah sebelumnya bertemu dengan Menteri PDT RI, Helmy Faishal Zain. Perjalanan dari Surabaya ke Blitar kami tempuh dimalam hari, dan akhirnya istrirahat di salah satu hotel di Blitar. Paginya, kami langsung ke makam Bung Karno. Ternyata kesempatannya juga sama. Kami juga dapat menempati tempat yang agak didepan dari kerumunan peziarah yang semakin ramai berdatangan dari berbagai pelosok Jawa Timur itu. Terlihat sekali banyak orang yang datang dan berziarah ke makam sang Proklamator dan Presiden RI pertama tersebut. Sebab, disamping hal demkikian, Bung Karno juga dikenal sebagai salah seorang tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia. Seperti ditulis oleh Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, dalam bukunya; '100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia disebutkan, Bung Karno yang lahir pada 1901 M di Blitar itu adalah keturunan dari Raden Hardjodikromo, seorang bangsawan Jawa yang dikenal dengan Priyayi. Ada hal yang paling menarik pada Bung Karno. Dia selalu pakai peci hitam, yang saat itu bila ada orang Indonesia lainnya berada di Makkah pakai peci, selalu digelari sebagai Soekarno. Inilah ciri Islam kuat yang dipegangi oleh bapak bangsa itu. NU pernah memberikan gelar kepada Soekarno; 'Waliyyul amri dharuri bissaukah', karena diangap telah melindungi dan memberi kebebasan kepada umat Islam Indonesia untuk melaksanakan ajaran agamanya. Sementara, Muhammadiyah memberikan gelar Doktor Honoris Causa. Bung Karno (1901-1970) jelas figur yang bersejarah. Dia telah meninggalkan pengaruh yang sangat luar biasa. Diantara peninggalannya, kesadaran kebangsaan kita, perasaan dan kesadaran ke-Indonesiaan kita, kesadaran kita sebagai bangsa yang tidak menjiplak begitu saja dari dunia luar, melainkan menggelutinya secara kritis dan menjadikannya sebagai bahan untuk pengembangan Indonesia.
    Selesai di Blitar kami menuju daerah Jombang. Ya, siapa lagi, kalau bukan makam ulama besar dan pahlawan nasional; KH. Muhammad Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahid Hasim dan KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009). Kami tiba di makam yang terletak di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang itu pas waktu shalat Zuhur masuk. Ratusan peziarah keluar dan masuk secara bergantian. Mereka datang dari jauh. Laki-laki dan perempuan. Ada juga kelompok santri dari pesantren lain. Namun, dengan mudahnya kami bisa masuk dan duduk pada barisan pertama. Melakukan rangkaian ziarah. Menurut informasi yang kami peroleh, ternyata makam Bani Hasyim itu tak pernah sepi dari peziarah. Setiap hari ada saja orang yang datang ziarah ke makam demikian. Sebagai orang besar, pendiri NU, makam ulama itu tampak biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Berada dibagian belakang masjid. Tidak diatap. Hanya berada diruang terbuka. Diatas pusara KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahid Hasyim sengaja dipancangkan sangsaka merah putih, menandakan kedua ulama yang merupakan anak dan bapak itu seorang pahlawan nasional. Seperti banyak ditulis dalam sejarah, KH. Hasyim Asy'ari adalah kiblat ulama Jawa dan Madura. Dia tokoh inspirator bagi Bung Tomo dan Jenderal Soedirman. Setiap kali pergerakan dan pertempuran, Bung Tomo dan Jenderal Soedirman selalu mengirim utusannya ke Jombang, minta agar kiai Hasyim terus berdoa. Terutama ketika perperangan pasca diproklamirkannya kemerdekaan RI 1945. Bahkan, sebelum teks proklamasi dibacakan oleh duet Bung Karno dan Bung Hatta, Soekarno sempat menanyakan Kiai Hasyim, karena Bung Karno ingin membacakan proklamasi itu setelah restu Kiai Hasyim. Selama hidupnya, banyak rintangan dan tantangan yang dihadapinya. Mulai dari ketika lahir, kanak-kanak, remaja, hingga akhir hayatnya. Namun itu semua dilaluinya dengan penuh syukur dan doa kepada Tuhan.
    Anaknya, Wahid Hasyim dikenal sebagai salah seorang anggota BUPKI dan PPKI. Menteri Agama. Dalam usianya yang masih muda, dia telah mengemban pekerjaan besar. Beliau meninggal dalam kecelakaan dan dimakamkan dekat makam ayahnya; Hasyim Asy'ari di Jombang. Anak Wahid Hasyim yang tak kalah hebatnya, Abdurrahman Wahid. Kiai yang dikenal penuh dengan kontroversi ini sempat 15 tahun memimpin PBNU, salah seorang deklator PKB dan Presiden RI ke-4. Beliau meninggal akhir 2009. Bersama kakek dan ayahnya, Gus Dur, begitu dia sering disapa rekan sejawatnya dimakamkan juga di Tebuireng. Lama juga kami di Tebuireng. Yang jelas, sebagai orang yang kini dipercaya untuk memimpin PKB Sumatra Barat, tentu ziarah ke Jombang sangat besar artinya. Apalagi NU mengajarkan, bahwa kurnia itu datangnya dari Allah, syafaat dari Nabi dan berkah dari guru. Baik Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim maupun Gus Dur adalah guru bangsa, sekaligus Maha Guru PKB itu sendiri. Kami telah melihat dan datang langsung dikampung yang selama ini hanya kenal lewat buku. Kami merasakan, betapa pertautan NU dan PKB sebagai sebuah kekuatan besar yang sangat dahsyat. Tentunya perjalanan ini diharapkan mampu memberikan yang terbaik, terumata dalam melihat arti penting kebesaran NU dan PKB di Ranah Minang nantinya.
    Dari Tebuireng, kami melanjutkan perjalanan ke Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif di Denanyar, Jombang. Pesantren itu didirikan oleh KH. Bisri Syansuri. Kami kesitu sowan dan bersilaturrahim dengan Ketua Umum DPP PKB, H. A. Muhaimin Iskandar, yang kebetulan pada kesempatan itu sedang pulang kampung. KH. Bisri Syansuri adalah kakeknya Muhaimin Iskandar. Rumah orangtuanya berada di komplek pesantren demkikian. Lagi-lagi kesempatan emas yang kami dapatkan. Waktu kami datang, di pesantren itu sedang diadakan seminar pra HAUL KH. Bisri Syansuri yang ke-33, yang kebetulan pematerinya; Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI dan Helmy Faishal, Menteri PDT RI. Ada satu hal yang kami catat dari kebiasaan Ketua Umum PKB itu, yang selalu memberikan uang ala kadarnya kepada tukang becak disekeliling Denanyar. Kabarnya, kata salah seorang tukang becak, hal yang seperti itu selalu dia terima pada waktu Muhaimin pulang kerumah orangtuanya, sejak Muhaimin berada di Jakarta. Senang benarlah hati tukang becak itu menerima uang dari Menteri. "Ibu, ini Ketua PKB saya di Sumatra Barat. Febby namanya," kata Muhaimin memperkenalkan H. Febby Datuak Bangso Nan Putiah kepada orangtunya. Setelah itu kami disuruh ikut oleh Ketua Umum kekampung sebelah, karena dia diminta meresmikan keberadaan Kantor LP. Ma'arif NU Cabang Jombang.
    Sorenya, Kamis itu kami sowan ke KH. Abdul Aziz Manshur di Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi'in, di Pacul Gowang, Jombang. Kami tiba dikediamannya saat Ketua Dewan Syura DPP PKB itu tengah shalat Ashar. Kami disuruh menunggu diruangan tamu oleh pembantunya. Kami berbincang-bincang, memperkenalkan diri. Kiai paham dan merasa senang dikunjungi. Kiai Aziz turut mendoakan kami. Ikut berharap banyak, PKB Sumatra Barat bisa besar, seperti halnya PKB Jawa Timur juga. Saran Kiai Aziz, kami disuruh mengamalkan surat Alam Nasrah satu kali sehabis shalat Subuh. "Insya Allah, kalau surat itu diamalkan, semua permintaan kita akan dikabulkan Tuhan. Semua kesulitan kita akan dimudahkan-Nya," kata Kiai Aziz kepada kami. Menjelang Magrib, kami meninggalkan kediaman dan pesantren Kiai Aziz. Kamipun mengakhiri rangkaian ziarah di Jawa Timur untuk saat itu. Malamnya kami terbang ke Jakarta dengan Lion Air. Dan pagi Jumat, kami menuju Tanah Kusir, dimana Bung Hatta dimakamkan, sebagai penutup dari rangkaian ziarah di pulau Jawa.
    Selaku anak muda NU, kami ingin belajar dari sejarah. Ya, sejarah bangsa, sejarah NU dan PKB yang secara kebetulan untuk Sumatra Barat kami tengah menjalankan roda partai itu. Karena banyak orang sukses lantaran mau belajar dari sejarah masa lalu itu sendiri. Dan lagi ziarah dan budaya silaturrahim harus ditumbuh-kembangkan ditengah masyarakat. Apalagi orang yang kami kunjungi adalah orang-orang besar di zamannya. Paling tidak, kami telah melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang dulu, tentang arti penting sebuah ziarah kubur. Dimakam ulama terkenal itu kami menampungkan telapak tangan, berdoa kepada Yang Maha Kuasa, melalui kemulyaan hamba-Nya yang dimakam ditempat itu, agar kami diberi kekuatan dan kemampuan dalam memimpin dan mengelola organisasi besar didaerah yang bukan basisnya. Kami punya harapan yang sangat besar, ditengah masa transisi PKB yang masih belum selesai. Kami mengambil nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan para ulama dan tokoh bangsa itu. Bung Karno, Gus Dur, Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Kiai Kholil, Bung Hatta, Sunan Ampel adalah orang-orang hebat di zamanya. Mereka telah membuat perubahan yang cukup signifikan, dan dirasakan oleh masyarakat republik ini hingga kini hari. Berkah-nya itulah yang kami ziarahi.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar