wartawan singgalang

Jumat, 04 Mei 2012

Toboh Ketek Tetap Mempertahankan Aturan Lama Sebagai Kekuatan Nagari

Toboh Ketek Tetap Mempertahankan Aturan Lama Sebagai Kekuatan Nagari

Enam Lingkung--Lain lubuak lain pula ikannya. Lain kampung, tentu berbeda pula adat, kurenah dan kakobeh masyarakatnya. Di Nagari Toboh Ketek, Kecamatan Enam Lingkung, Padang Pariaman misalnya. Ada sebuah aturan yang diputuskan sejak nagari itu ada, dan berlaku hingga saat ini. Yakni, kalau seorang labai atau ulama kampung itu tidak melakukan shalat Jumat di masjid nagari tersebut, tanpa adanya pemberitahuan kepada ulama lainnya, maka dikenakan denda sebanyak 100 lepat.
    Zulhelmi Tuanku Sidi, salah seorang tokoh masyarakat Toboh Ketek yang pernah menjabat walinagari dikampung itu menceritakan, pemberlakukan denda semacam itu dikarenakan sedikitnya orang zaman dulu. Sebab, untuk keabsahan shalat Jumat harus diikuti 40 orang. Kalau kurang dari jumlah itu, tentu shalat Jumat tidak sah, dan harus diulang dengan shalat Zuhur.
    "Nah, untuk menguatkan demikian, agar tidak kurang jamaah shalat Jumat, maka dibuat aturan. Tetapi aturan demikian hanya diberlakukan bagi orang yang menyandang pangkat labai dalam kaumnya. Denda atau hukuman bagi urang siak yang seperti itu dibayarkan oleh sanak kemenakannya, pada shalat Jumat depannya, dan dimakan oleh banyak orang dalam masjid tersebut. Aturan itu tetap dipertahankan, dan dianggap sebagai kekuatan nagari," kata anggota Komisi II DPRD Padang Pariaman ini.
    Memang, Toboh Ketek itu sesuai namanya, jumlah masyarakatnya dulu saketek pula. Toboh Ketek, sepengetahuan Zulhelmi artinya perkumpulan orang-orang yang jumlahnya sedikit. Dan tidak ada kaitannya dengan Nagari Toboh Gadang, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang. Toboh Ketek satu dari enam nagari, atau yang disebut dengan Enam Lingkung, sebelah hilir dari 2 X 11 Enam Lingkung. Dengan demikian, Toboh Ketek telah ada sejak lama, yang setara dengan Nagari Pakandangan, Parit Malintang, Sungai Asam, Lubuk Pandan dan Koto Tinggi dalam ulayat Enam Lingkung.
    Katanya, di Toboh Ketek tinggal masyarakat yang terhimpun kedalam Suku Guci, Panyalai, Tanjuang, Koto dan Jambak. Dari lima suku masyarakat, dipimpin oleh 11 niniak mamak. Masing-masing; Datuak Alat Cumano (Guci), Datuak Mangkudun, Datuak Marajo (Panyalai), Datuak Rajo Mangkuto, Datuak Tulabiah, Datuak Sinaro, Datuak Rajo Khatib (Tanjuang), Datuak Sinaro, Datuak Basa (Jambak), Datuak Tumangguang dan Datuak Sinaro (Koto). Masing-masing kaum, disamping punya niniak mamak, juga punya 11 labai. Artinya, diantara niniak mamak punya hubungan yang erat dengan labai demikian. Niniak mamak memimpin dibidang adat istiadat, dan labai memimpin bidang syarak atau agama.
    Nagari yang membawahi Korong Simpang Tigo, Parit Pontong, Labuah dan Korong Tanjuang Baringin itu pada saat era kembali kenagari 2002 silam, adalah nagari percontohan. Hal itu berlaku, karena hanya mengembalikan namanya saja, dari Desa Toboh Ketek ke Nagari Toboh Ketek. Dengan itu, tidak ada konflik tatkala kebijakan tersebut ditetapkan pada Toboh Ketek. Kini, nagari yang sebelah utara berbatasan dengan Nagari Sungai Asam, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung, selatan dan timur dengan Nagari Pakandangan, serta barat dengan Nagari Sungai Sariak, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak itu memiliki penduduk sekitar 1.556 jiwa lebih, tergabung kedalam 400 kepala keluarga lebih.       
    Menurut Zulhelmi, Toboh Ketek yang luasnya mencapai 3,53 kilometer persegi saat ini dipenuhi oleh banyak gudang batubata alias tembok. Hal itu sangat memungkinkan, karena banyaknya lahan perbukitan yang layak dibuat batubata. Diantara pengusaha batubata dari kampung itu, juga tidak sedikit pula pengusaha batubata yang datang dan menyewa lahan tersebut dari berbagai perkampungan di Padang Pariaman. "Ada sekitar 200 tungku batubata yang kini beroperasi diatas lahan sekitar 100 hektare. Ini tentunya menjadi lapangan pekerjaan tersendiri bagi sebagian masyarakat Toboh Ketek itu sendiri," kata Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Padang Pariaman ini.
    Ada dua korong yang mayoritas dipenuhi oleh tungku batubata. Yakni, Korong Labuah dan Tanjuang Baringin. Sebelum adanya kebijakan bulan bakti gotong royong yang ditetapkan sebulan sekali oleh Pemkab Padang Pariaman, Nagari Toboh Ketek telah memulainya. Dengan gotong royong seluruh masyarakat yang dipergilirkan disetiap korong tersebut, telah berhasil membuka jalan sepanjang 2,5 kilometer. Walaupun jalan itu belum diaspal hingga saat ini, dianggap telah mampu membuka keterisoliran masyarakat.
    Zulhelmi melihat, sebelum jalan itu dibuka secara bersama, masyarakat petani sangat susah untuk mengeluarkan hasil pertaniannya. Sekarang tidak lagi. Jalan yang akan dilalui mobil sudah terbuka. Mobil bisa langsung menjemput padi yang selesai dipanen. Hal itu terwujud, tentu adanya kebersamaan dari seluruh lapisan masyarakat Toboh Ketek. Sebelum Zulhelmi menjabat walinagari, Toboh Ketek dipimpin oleh Bukhari (alm), yang memimpin nagari demikian semenjak dari desa dulu. Saat ini, Toboh Ketek dipimpin oleh Afdinar, salah seorang tokoh pemuda dikampung itu. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar