wartawan singgalang

Jumat, 04 Mei 2012

Tidak Digaji, Erianto Tetap Senang Mengajar Mengaji

Tidak Digaji, Erianto Tetap Senang Mengajar Mengaji

Parit Malintang---Ditengah trik matahari yang mulai reda, puluhan anak-anak Korong Pauah, Nagari Parit Malintang sore itu kembali mendatangi gurunya ke surau. Mereka mengaji setiap sore, sehabis shalat Asar, dibawah asuhan seorang guru bernama Erianto. Ada sekitar 30 anak yang dia asuh setiap harinya di Surau Pauah itu. Semuanya adalah anak-anak yang orangtuanya pekerja buruh kasar di tungku batubata yang terdapat disekeliling surau demikian.
    Eriato telah mengajar sejak tiga bulan belakangan dikampung itu. Sebelumnya, Buya, begitu sapaan akrab Erianto mengajar dikampungnya sendiri, Masjid Nurul Hidayah, Tanjuang Basuang I, Kenagarian Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman. Baginya, mengajar mengaji adalah sebuah amalan yang sudah biasa dilakukan dengan ikhlas.
    Sejak dulu dia mengajar anak-anak untuk pandai mengaji, tak satu sen pun upah yang dia dapatkan dari masyarakat. Hanya pahala disisi Tuhan yang dia harapkan. Walaupun demikian, Buya tak pernah bosan mengajar anak-anak. Setiap hari dia kerjakan kegiatan rutinitasnya. Sekalian dia menetap dalam sebuah pondok, yang dibangun masyarakat Pauah didepan surau itu.
    Meskipun jarang sekali masyarakat yang datang ke surau untuk shalat berjamaah, Buya tetap setiap waktu mengumandangkan suara azan, memanggil orang untuk menunaikan kewajibannya, shalat lima waktu sehari semalam. "Tak satu sen pun anak-anak yang dipungut iyuran minyaknya. Semua mengaji secara gratis. Kita pun mengajarnya dengan tulus ikhlas. Disamping ada anak-anak yang mengaji surat Iqrak, juga ada sebagiannya yang telah mengaji Alquran," cerita Buya saat ditanyai Singgalang, Minggu (22/4).
    "Walaupun tidak digaji ambo mengajar, Tuhan punya cara tersendiri dalam menghidupi saya. Buktinya, belum pernah saya merasa kelaparan sejak mulai mengajar di Pauah ini. Ada satu keistimewaan tinggal di surau tuo dalam Nagari Parit Malintang ini, dimana ada sebuah kuburan keramat, yang diyakini masyarakat Parit Malintang punya keistimewaan tersendiri. Dikuburan itu hampir setiap hari ada saja orang yang datang untuk mendoa, melepaskan nazarnya serta kegiatannya," kata dia.
    Dulu, kata Buya, sebelum dia tinggal disitu sangat susah masyarakat yang akan mendoa dikuburan keramat itu untuk mencari urang siak yang akan membaca doa. Semenjak dia tinggal disitu, masyarakat pun dengan mudahnya melepaskan hajatnya. "Nah, selesai nazarnya ditunaikan semua yang dibawa masyarakat dari rumahnya ditinggalkan di surau ini. Bahkan, saking banyaknya orang yang datang, banyak pula nasi yang tak termakan surang," ujar Buya.
    Memang, aku Buya, anak-anak yang datang mengaji ke Surau Pauah ini banyak dari kalangan keluarga miskin. "Bagi kita yang mengajarnya untuk pandai mengaji, jelas ini sebuah amalan yang sangat besar pahalanya disisi Tuhan. Disamping diajarkan kaji yang berhubungan dengan kitab suci ummat Islam, anak-anak juga diajarkan bernyanyi dan berlagu nuansa Islam. Sebelum pengajian dimulai, anak-anak dengan entengnya menyanyikan lagu yang telah diwajibkan," ungkap Buya.
    Disamping mengajar mengaji setiap harinya di Surau Pauah, Buya juga diberi pangkat dan jabatan oleh masyarakat kampungnya, Tanjuang Basuang I sebagai kapalo mudo. Artinya, ketika ada acara adat dan syarak ditengah masyarakat, Buya yang masih lajang ini punya peran yang sangat strategis. Tanpa kehadirannya dalam acara manjapuik marapulai, tak akan jadi acaranya berlangsung. Gagallah marapulai mempersunting anak daro. Prosesi baralek, baik dirumah pengantin pria, maupun pengantin perempuan, tugas kapalo mudo sangat menentukan. Itu undang-undang adat yang berlaku di seantero Padang Pariaman. (damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar