wartawan singgalang

Senin, 09 Mei 2016

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

Siapa tidak kenal dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916),[1] ulama asal Minangkabau yang menduduki posisi prestisius sebagai imam dan khatib dalam Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram, Mekkah. Sosoknya selalu disebut-sebut sebagai tokoh terkemuka dalam kancah keilmuan Islam bertaraf internasional di halaqah Masjidil Haram. Meski ia semenjak berangkat ke Mekkah untuk belajar hingga menjadi ulama yang mengajar pada salah satu halaqah di Masjidil Haram tidak pernah pulang dan menetap di kampung halamannya,[2] namun ia merupakan salah seorang rujukan keilmuan para pelajar Islam asal Nusantara di awal abad 20. Terutama dalam bidang Fikih, Ushul, dan Falaq, maka Syekh Ahmad Khatib ialah ulama dituju. Pelajar-pelajar yang datang ke Mekkah pada paruh pertama abad 20 umumnya belajar agama dengan Syekh Ahmad Khatib, terutama mereka yang berasal dari Minangkabau.
Perlu diketahui bahwa awal abad 20 ialah fase penting dalam diskursus Islam di Nusantara. Pergumulan antara ulama-ulama yang digolongkan kepada Kaum Muda di satu sisi, dengan ulama-ulama yang disebut Kaum Tua di sisi lain menjadi isu hangat saat itu. Kaum Muda diasosiasikan sebagai kelompok modernis yang menolak bermazhab dan bertasawuf sebagaimana yang telah berlangsung dikalangan ulama dan kaum muslim di Minangkabau. Sedangkan Kaum Tua ialah mereka yang teguh mempertahankan Mazhab Syafi’i dan tarekat ahli sufi.[3] Dikotomi antara ulama yang disebut sebagai Kaum Muda dan Kaum Tua itu juga dipengaruhi oleh tokoh ulama yang menjadi guru dari masing-masing kelompok.
Beberapa peneliti, di antaranya Deliar Noer, mencatat nama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai peletak dasar faham keagamaan Kaum Muda (modernis).[4] M. Sanusi Latief sebagai sarjana yang secara khusus meneliti Kaum Tua di Minangkabau memberikan alasan penempatan Syekh Ahmad Khatib sebagai tokoh sentral faham Kaum Muda karena ia sangat keras menentang tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang menjadi amalan ulama-ulama di Sumatera.[5] Namun bila kita perhatikan daftar murid-muridnya, terutama yang berasal dari Minangkabau, maka kita dapati bahwa mereka ialah tokoh-tokoh tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah sendiri. Murid-muridnya yang menjadi tokoh tarekat tersebut antara lain:
  1. Syekh Muhammad Khatib ‘Ali Padang, menerima ijazah dari Syekh Ahmad Khatib dalam bidang fikih. Sedangkan ijazah tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah diterimanya dari Syekh Mustafa Sungai Pagu (Muaro Labuah) dan Syekh Usman Fauzi Jabal Abi Qubais (Mekkah).[6] Ia menjadi tokoh pembela tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, terutama dengan menerbitkan Majalah Soeloeh Melajoe.
  2. Syekh Sulaiman Arrasuli Candung. Belajar tiga tahun di Mekkah bersama Syekh Ahmad Khatib. Sedangkan ijazah tarekat Naqsyabandiyah diterimanya dari Syekh Muhammad Arsyad Batuhampar Payakumbuh.[7]
  3. Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas. Bertahun-tahun belajar di Mekkah. Menerima tarekat aqsyabandiyah Khalidiyah dari Syekh Yahya al-Khalidi Magek, Agam.[8]
  4. Syekh Abdul Wahid Assalihi Tobek Godang. Belajar dengan Syekh Ahmad Khatib di Mekkah. Sedangkan ijazah tarekat Naqsyabndiyah Khalidiyah diterima dari ayahnya Syekh Muhammad Shaleh “Baliau Munggu” Padang Kandih dan Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Payakumbuh.[9]
  5. Syekh Arifin Batuhampar. Belajar di Mekkah. Ijazah tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah diterima dari ayahnya Syekh Muhammad Arsyad Batuhampar Payakumbuh.[10]
  6. Syekh Muhammad Jamil Jaho. Menurut informasi dari Bachtiar Jamili (anak Syekh Jaho), beliau mengamalkan tarekat Naqsyabandiyah, meski tidak tercatat pernah mengajarkannya.[11]
Beberapa murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi diatas dikenal sebagai tokoh-tokoh ulama tua yang berjuang mempertahankan eksistensi tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, disamping teguh memegang Mazhab Syafi’i. Tokoh-tokoh ini kemudian mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, sebagai basis perjuangan dalam dunia pendidikan dan sosial keagamaan.
Melihat kenyataan bahwa sebagian murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi pembela tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan teguh memegang Mazhab Syafi’i, menjadi sebuah pemikiran bagi kita bagaimana sebenarnya sikap Syekh Ahmad Khatib terhadap tarekat dan Taqlid. Apakah memang Syekh Ahmad Khatib penentang tarekat secara menyeluruh, sebagaimana diaminkan oleh beberapa peneliti, atau hanya bersikap kritis sebagai seorang intelektual. Kemudian apakah ia memang bersikap progresif dalam bermazhab sehingga ia memang benar-benar mengilhami tokoh-tokoh modernis, ataukah ia hanya bersikap dinamis dalam menanggapi hal-hal fiqhiyyah.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Tarekat
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menulis kritik yang bersifat keras terhadap tarekat Naqsyabandiyah paling tidak dalam tiga risalah. Risalah pertama berjudul Izhar Zaghlil Kadzbin fi-Tasyabuhihin bis-Shadiqin yang merupakan jawaban Syekh Ahmad Khatib terhadap pertanyaan Dr. Abdullah Ahmad (Pendiri Adabiyah School) mengenai beberapa amalan tarekat Naqsyabandiyah dan terbit tahun 1906. Risalah kedua, al-Ayatul Bayyinat lil-Munshifin fi-Izalati Khurafat Ba’dhil Muta’ashibin,  merupakan bantahan terhadap risalah Irgham Unufil Muta’annitin karya Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka yang mempertahankan tarekat Naqsyabandiyah. Dan risalah ketiga berjudul al-Saiful Battar fi Mahqi Ba’dhi Kalimati Ahli Ightirar yang merupakan bantahan terhadap surat Syekh Abdullah al-Khalidi Batusangkar.[12] Ketiga risalah ini sering disebut sebagai penolakan keras Syekh Ahmad Khatib terhadap tarekat Naqsyabandiyah.
Bila dilihat lebih cermat, ternyata konten karangan Syekh Ahmad Khatib tidak mutlak menolak tarekat. Dalam risalah Izhar Zaghlil Kadzibin, ia hanya mengkritisi lima hal dalam tarekat Naqsyabandiyah, yaitu masalah rabithah, masalah suluk 40 hari, masalah Zikir Latha’if, masalah makan daging, dan masalah silsilah. Sedangkan pada mukaddimah risalahnya tersebut ia menjelaskan syarat dan rukun tarekat yang dikutipnya dari Jami’ Ushulil Auliya’ karangan Syekh Ahmad al-Khumuskhanawi, tokoh tarekat Naqsyabandiyah di Timur Tengah.[13] Oleh sebab itu, dalam membantah Izhar Zaghlil Kadzibin, Syekh Sa’ad al-Khalidi Mungka hanya menfokuskan diri mempertahankan amal rabithah dalam karya bandingannya. Syekh Sa’ad Mungka menulis: “… maka hamba peroleh padanya beberapa pengajaran dan nasehat bagi ikhwan yang awam …. maka semuanya itu hamba terima dengan syukur.”[14] Artinya Syekh Sa’ad, sebagai tokoh utama tarekat Naqsyabandiyah di Pedalaman Minangkabau, menilai risalah Syekh Ahmad Khatib berisi pengajaran dan nasehat, meskipun beberapa bagian bertentangan dengan hakikat tarekat Naqsyabandiyah itu sendiri.
Penilaian lebih jelas diberikan oleh Syekh Muhammad Khatib Ali Padang sebagai murid Syekh Ahmad Khatib sendiri. Dalam risalanya yang berjudul Miftahus Shadiqiyyah fi-Ishtilahin Naqsyabandiyah, ia menjelaskan bahwa kitab Izhar-nya Syekh Ahmad Khatib ialah kritik terhadap sebagai guru-guru tarekat, bukan menolak tarekat.[15] Hal itu diperkuat oleh keterangan Syekh Ahmad Khatib dalam kitabnya yang lain, seperti al-Fathul Mubin, dimana ia membuat satu bab khusus mengenai tasawuf dan tarekat. Dalam bab itu ia menjelaskan tatacara talqin dan ba’iat dalam tarekat, berikut metode-metode zikir.[16]
Dalam otobiografi yang ditulisnya, Syekh Ahmad Khatib menjelaskan perjalanan hidupnya yang dikelilingi oleh ulama tarekat Naqsyabandiyah. Otobiografi itu ditulis pada 1915, satu tahun sebelum wafatnya. Dalam otobiografi itu ia tidak mencela tokoh-tokoh yang disebutkannya, malah ia menulis pujian. Misalnya kepada salah seorang kakeknya, Syekh Isma’il al-Khalidi al-Minangkabawi, disebutnya sebagai min akabir al-ulama al-jawi (artinya: salah seorang tokoh ulama Nusantara),[17] padahal Syekh Isma’il dikenal sebagai syekh dan tokoh besar yang berjasa menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Nusantara. Begitu juga salah seorang neneknya yang bernama Zainab, ia puji sebagai: kanat min al-shalihat min ahlit Thariqah al-Naqsyabandiyah (artinya: seorang perempuan shaleh pengamal tarekat Naqsyabandiyah).[18]
Penolakan yang keras sesungguhnya datang dari muridnya yang lain, yaitu Syekh Abdul Karim Amarullah (Haji Rasul, ayah dari Hamka) di Maninjau. Dalam buku Ayahku direkam bagaimana Haji Rasul berdebat dengan tokoh-tokoh ulama tarekat Naqsyabandiyah di Padang; bagaimana Haji Rasul mencap Bid’ah Dhalalah kepada pengikut tarekat Naqsyabandiyah.[19] Oleh sebab itu Haji Rasul disebut sebagai pionir Kaum Muda.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Taqlid terhadap Mazhab Syafi’i
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memperoleh jabatan sebagai imam dan khatib dalam Mazhab Syafi’i. Artinya ia bertugas mengimami shalat dan menjadi khatib pada maqam atau Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.[20] Selain itu ia mengajar pada salah satu halaqah (majelis) di Masjidil Haram. Jabatan yang diembannya menunjukkan bahwa ia ialah tokoh ulama bermazhab Syafi’i sejati. Kitab yang diajarnya, I’anatut Thalibin yang dikarang gurunya Sayyid Bakri Syatha, mencerminkan hal tersebut. Syekh Ahmad Khatib dapat dikatakan berjasa memperkenalkan I’anatut Thalibin sebagai referensi mutakhir dalam Fikih Syafi’iyah kepada murid-muridnya yang berasal dari Nusantara sehingga kitab ini menjadi populer di berbagai Madrasah dan Pesantren.
Cerminan sikapnya yang kuat dalam Mazhab Syafi’i tercermin dalam risalahnya yang berjudul al-Khuttatul Mardhiyyah. Risalah ini ialah semacam bantahan dan teguran yang keras kepada muridnya, Syekh Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang terpengaruh dengan karangan-karangan Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim. Haji Rasul ialah tokoh utama kalangan Kaum Muda yang secara terang-terangan membantah beberapa masalah furu’ Fikih Syafi’iyyah dengan mengandalkan karangan-karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.
Syekh Ahmad Khatib dengan keras menyatakan bahwa bertaqlid kepada salah satu empat Mazhab ialah jalan satu-satunya bagi seseorang yang tidak mampu berijtihad. Sedangkan penilaiannya terhadap Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, Syekh Ahmad Khatib menulis: “Keduanya ialah sesat dan menyesatkan.”[21] Ia lalu menjelaskan panjang lebar tengan masalah taqlid, mazhab, serta menguraiakan kesesatan dua pentolan tersebut.
Dengan demikian, Syekh Ahmad Khatib tidak mengajarkan muridnya terlepas dari Mazhab Syafi’i, atau lainnya. Ketimpangan murid-muridnya yang tergolong Kaum Muda tak lebih dari akibat membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang keluar dari ikatan Mazhab apapun.
Syekh Ahmad Khatib: Posisi di kalangan Ulama Perti
Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Ahmad Khatib dapat dibedakan kepada dua kelompok, ada yang disebut sebagai modernis (Kaum Muda), dan yang lain ialah Kaum Tua. Terutama Kaum Tua, yang kemudian mengidentifikasikan diri ke dalam organisasi Persatuan tarbiyah Islamiyah (Perti), sikap dan pemikiran Syekh Ahmad Khatib jelas mempunyai pengaruh. Pengaruh tersebut lebih tepat pada bidang Fikih Syafi’iyyah. Keteguhan ulama-ulama Perti dalam Mazhab Syafi’i ialah cerminan sikap Syekh Ahmad Khatib yang secara tegas mempertahankan Mazhab Syafi’i.
Sedangkan dalam corak tasawuf, ulama-ulama Perti lebih memilih sikap berdamai dengan tasawuf, terutama tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Ahmad Khatib, meskipun tidak menolak secara mutlak aspek tarekat, namun ia mempunyai jejak sebagai pengkritik tarekat Naqsyabandiyah pertama di Minangkabau. Sikap ulama-ulama Perti yang seolah-olah berlawan dengan guru mereka sebenarnya ialah kesuksesan Syekh Sa’ad Mungka dalam meredam debat Syekh Ahmad Khatib. Umumnya ulama-ulama Perti, sebelum maupun setelah berguru dengan Syekh Ahmad Khatib, pernah belajar atau bertukar pikiran dengan Syekh Sa’ad Mungka.
Syekh Sa’ad Mungka sendiri ialah tokoh ulama tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang tekemuka dan tokoh yang pertama yang sanggup melayani debat Syekh Ahmad Khatib. Sehingga timbul kesimpulan dikalangan ulama-ulama Perti sendiri: “Ulama-ulama Perti ialah murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang melanjutkan pelajarannya kepada Syekh Sa’ad Mungka. Sedangkan mereka yang hanya belajar kepada Syekh Ahmad Khatib umumnya menjadi Kaum Muda.” Meskipun ungkapan ini tidaklah begitu tepat, namun dipastikan bahwa Syekh Sa’ad ialah guru bagi ulama-ulama Perti dalam bidang tasawuf.
Dengan demikian, Syekh Ahmad Khatib ialah sanad ulama-ulama Perti dalam bidang Fikih Syafi’iyah, sanad yang menghubungkan mereka kepada Sayyid Bakri Syatha, pengarang I’anatut Thalibin. Syekh Ahmad Khatib tidaklah dapat disebut sebagai seorang anti tarekat dan seorang penolak taqlid, layaknya seorang modernis tulen. Sebaliknya, ia memberikan arahan bagaimana bertarekat, meskipun ia sendiri dikritik karena sikapnya yang radikal terhadap amal rabithah. Kemudian ia mencontohkan bagaimana seorang ulama mempertahankan mazhab dalam furu’ fikih dari pemikiran anti mazhab. Sedangkan ulama-ulama Perti ialah pelanjut estafet ke-faqih-an Syekh Ahmad Khatib; tanpa mengurangi ta’zhim, mereka ialah pembela tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Catatan
[1] Terdapat dua ulama Nusantara yang dikenal dengan nama Ahmad Khatib. Pertama, Syekh Ahmad Khatib Sambas (Abad 19), berasal dari Sambas – Kalimantan dan berkarir di Mekkah. Ia ialah tokoh pencetus tarekat Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah. Kedua, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (abad 20), tokoh yang kita bicarakan saat ini.
[2] Pada otobiografinya yang berjudul al-Qaulut Tahif fi Tarjamah Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Syekh Ahmad Khatib menceritakan bahwa ia pernah pulang satu kali ke kampung halamannya karena hendak mengobati rasa rindu ibunya. Ketika itu ia masih berstatus pelajar di Mekkah. Ia mukim di kampung halamannya selama satu tahun. Dalam masa setahun ia belajar di Koto Tuo kepada seorang ulama  yang bergelar Tuanku nan Muda. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, al-Qaulut Tahif, h. 8.
[3] Informasi tentang perbedaan dua kelompok ini dapat dilihat pada BJO. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi (Jakarta: Bhrata, 1975). Schrieke ialah sarjana Belanda yang meliput dinamika intelektual Kaum Muda dan Kaum Tua ini secara langsung, tak jarang ia menjadi moderator dalam debat antara dua kelompok ini. lihat Syekh Muhammad Khatib Ali Padang, Risalah al-Mau’izhah wa-Tadzkirah (Padang: Percetakan Orang Alam Minangkabau, 1919).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar